Social Media

Image Slider

Membaca Orang-Orang Oetimu

22 September 2019
Jujur aja saya capek baca novelnya. Bukan capek yang buruk, lebih kayak lelah aja baca konflik personal tiap tokoh di tiap chapter cerita. Betapa ngenesnya. 

Bila ini semua ditulis berdasarkan kejadian sehari-hari di Oetimu, nyata begitu, malang nian. Saya gak bisa lupa sama Laura ibunya Sersan Ipi...Maria yang benci gereja...Silvy yang jenius tapi..

Ohiya novel terdiri dari 220 halaman saja. Penulis bernama Felix K Nesi.




Gak ada kata pengantar dalam bukunya. Saya langsung masuk ke Oetimu dan bertemu Sersan Ipi. Habis itu ada Julio. Lantas Laura. Muncul Aim Siki. Atino. Martin Kabiti. Romo Yosef. Maria. Silvy. Linus. Dan lain-lainnya.

Latar ceritanya di Nusa Tenggara Timur. Timor-timor tepatnya. Dengan kerangka luarnya konflik perang dari zaman Belanda, Jepang, Indonesia, pemberontakan. Juga Orde baru hingga Reformasi. 

Saat saya menyelami keseharian warga di sana, saya berulang kali bilang ke diri sendiri. Betapa beruntungnya saya tinggal di Jawa, Jawa Barat, Kota Bandung, Setiabudi...

Di tiap chapter tokohnya berbeda. Namun semuanya saling berhubungan. Gak ada satupun bagian dalam novel ini yang membosankan atau karagok. Enak bener bacanya. Luwes kalimatnya. Seolah-olah saya sedang dinyanyiin atau didongengin. Membaca novelnya kayak denger orang lagi ngomong nonstop. Nyerocos.

Dan semua kalimat di novel ini, cakep-cakep banget! Kayak gini salah satunya: 

"Sersan Ipi menjemput Martin Kabiti dengan sepeda motornya. Itu adalah sepeda motor RX King yang telah ia modifikasi knalpotnya, sehingga raungannya menggelegar membelah rumah orang-orang miskin, membikin anjing melolong, dan kelelawar berterbangan dari pucuk-pucuk bunga kapuk".

Itu baru halaman pertama saja. Lainnya: 

"Silvy menyentuh punggung tangan Sersan Ipi. Anjing-anjing kecil saling gigit dan mengaing di samping dapur. Seekor ayam berkokok di kejauhan. Angin sepoi menerobos. Sepeda motor menderu di kejauhan. Telur telah matang. Dan mereka telah berciuman."

Tentang suasana di antara adegan, deskripsinya sangat menyenangkan untuk dibaca. Tiap adegan, jadi layar di kepala saya. Gini: 

"Wangi karang dan angin laut, kicau burung dan debu jalanan. Matahari belum juga jatuh. Cahayanya merah pendar beberapa senti di atas Laut Sawu. Saat itulah sepeda motornya dihantam dari belakang. Mereka terseret sembilan meter dan kena gilas tiga truk lain. Pakan ayam berhampuran. Darah dan otak menggumpal di jalanan".

Begitulah. Sekarang saya kenal Oetimu, yang sabananya luas-luas. Orangnya senang berjalan kaki. Atau naik kuda. Di sana, ojek gak laku. Laki-lakinya gemar sepakbola. Juga minum-minum, tuaknya bernama sopi. Sopi kepala. Mereka menanam cendana, jagung, jati. Prianya terkenal pria sejati. Tidak malu melakukan pekerjaan perempuan dan selalu berjalan di sisi kanan.

Ini bukan novel dengan kisah yang menyenangkan hati. Utamanya buat saya sebagai perempuan. Namun tulisannya brilian dan nikmat dibaca. 


Masih Ada Siesta di Bandung, di Toko Tidar Jalan Sabang

20 September 2019


Udah baca papan info yang ada dalam foto di atas?  Coba perhatikan, jam 13.30 sampai jam 17.00, tokonya tutup apa gimana?

Lokasi dalam foto tersebut adalah Toko Tidar, di Jalan Sabang. Dekat Pasar Cihapit. Seberangnya Taman Bacaan Hendra.

Toko Tidar menyediakan stationery. Biasanya Tidar langganan anak arsitek dan seni rupa. Saya pun tahu toko ini dari Indra yang waktu kuliah sering bolak-balik ke Tidar. 

Toko-toko lama di Bandung, kayak Toko Tidar ini, menerapkan jam buka tutup yang aneh. Siesta namanya.

Siesta artinya istirahat di tengah hari (wikipedia). Asalnya dari Bahasa Spanyol. Kita mendapatkan warisan Siesta dari orang-orang kolonial. Ya, Belanda.

Siesta merupakan kebiasaan yang wajar terjadi di negara beriklim panas. Di siang hari saat terik-teriknya, orang berhenti sejenak dari bekerja. Karena panas dan jam makan siang, sesudahnya kita akan ngantuk. Disarankan tidur siang.

Lantas, pekerjaan dimulai lagi di atas jam tiga sore. Toko Tidar saja buka kembali pukul 17.00.

Bayangkan. Bekerja dan disarankan istirahat di siang hari bukan cuma untuk makan. Tapi juga tidur.  Nikmat bukan main. Gak ada anxiety, gak ada depresi, gak ada mata panda. Gak ada ‘konsumen adalah raja’. Hahaha.

Kenapa kebiasaan itu berubah? Entahlah. Karena revolusi industri mungkin? Sebab toko-toko yang masih pake Siesta adalah toko kecil. Bukan skala besar kayak pabrik.

Selain Toko Tidar, di mana lagi toko-toko yang masih pake Siesta? Beberapa teman saya di Instagram ngasitahu nih:
Toko Nada (toko musik) di Jalan Naripan. 
Toko Laksa (kuliner) di Jalan Sultan Tirtayasa. 
Toko Dahlan (toko buku) di Otista. 

Saya posting tentang Siesta di IG dan boleh baca komen temen-temen lainnya di sana. Seru-seru!

Di kota selain Bandung ada juga Siesta, seperti di Sidoarjo, Bondowoso, Bangil, Lumajang, Gorontalo. Gak ketinggalan kota besar kayak Semarang, Surabaya, Jogja, Jakarta!

Gimana dengan kalian, di kotamu masih ada gak toko-toko yang siesta?

Special thanks untuk teman-teman yang kirim DM saya dan kasihtahu info toko siesta di Bandung:
@andhikaanandya
@amyzet
@yeccii
@nengimol




Playlist 18: Reuni

Minggu kemarin saya singgah di Cirebon. Ada reunian SMA. Perjalanan menuju ke sana dari Bandung, saya tempuh dengan Ciremai Express.

Kereta berangkat pukul enam pagi. Saya sendiri. Di hari yang sama, malam yang sama, sepupu saya menikah. Saya memilih pertemanan dibanding keluarga. Moga-moga saya gak kena kutukan. Toh suami dan anak saya ada menggantikan. Maaf ya, Mega Mahardika! Saya kirim doa-doa dari kursi kereta buat kamu! Mudah-mudahan Mega dan Adit saling setia, rukun, dan tentram!

Kereta berangkat pukul enam pagi. Saya tidak bawa makanan. Perbekalan berupa playlist. Didengar selama melamun di tepi jendela kereta api. Memandang kemarau. Melihat bukit gersang-gersang. Menunjuk sawah kering. Juga menyusuri masa-masanya berseragam putih abu-abu.

Kereta berangkat pukul enam pagi. Ia berhenti sebentar di Jatibarang. Memuntahkan penumpang. Stasiun kereta terdekat dari rumah, di sinilah wajah ayah saya berpendaran.  Dalam suatu siang, usai tujuh hari tahlilan, saya bertanya pada entah apa di stasiun ini sewaktu menunggu kereta ke kota kembang: bagaimana cara saya menghadapi hari-hari yang sama esok hari dengan perasaan asing begini?

Kita kembali lagi pada kereta yang berangkat pukul enam pagi. Pada ingatan bangku sekolahan. Yang pelajarannya menjemukan. Namun teman-temannya tidak.

IPA 2 namanya. Bila hari kamis tiba, kami berlomba-lomba datang lebih pagi. Sebab itulah waktunya bangku dirotasi. Jika kesiangan, niscaya duduk paling depan. Sasaran empuk teror para guru. Presiden kami Ayu Wulandari. Maskotnya Zainal Muttaqin, orang yang suara ngajinya paling keras bila ada ayat suci berbunyi: muttaaaqqiieeeeennnnnn!

Kereta berangkat pukul enam pagi. 30 menit lebih lama dari jam pergi saya ke sekolah. Bis aset Pertamina moda transportasinya. 60 kursinya. Saya sudah cerita belum? Kampung halaman saya disangga sawah-sawah berbatas cakrawala. Jantungnya gas alam, lambungnya minyak-minyak bumi.

Kereta berangkat pukul enam pagi. Bintang Limanya Dewa yang berkumandang tiap pagi di dalam bis sekolah. Berasal dari kaset milik anak pegawai pertamina, Adam Pribadi namanya. Siswa SMPN 1 Cirebon. Tahu kan lagu galau umat se-Indonesia saat itu: cintaku tak harus, miliki dirimu, meski perih mengiris, iris segala janji...

Kereta berangkat pukul enam pagi. Tidak saya tidak pernah pacaran sewaktu SMA.

Masih dari Ciremai Express yang mengangkut saya pukul enam pagi. Di gerbong kereta, saya bertemu Subrata, anak Gegesik simbol harapan orang tua pinggiran kota, yang jadi budak perusahaan rokok di Bandung. Teman satu kelas. Satu nasib.

Kami meninggalkan kursi kereta. Lantas nongkrong berdua di bangku restoran kereta api. Berbincang apa saja. Kebanyakan tentang cinta-cintaan. Topik abadi memang! Tiga minggu lalu, ia putus. "Waktu putusnya sih gak berasa, tiga hari setelahnya kok di sini sakit banget ya, Lu?" Brata menunjuk-nunjuk jantungnya. "Perih gitu," katanya lagi.

"Nangis, Brat?"
"Seminggu abis putus...nangis, Lu!"

Kami tertawa! Brata memukul-mukul meja restoran, masih tertawa. Matanya berkaca-kaca.

Kereta berangkat pukul enam pagi dan reuni dimulai jam tiga sore. Bertemu teman. Tidak ada mantan. Namun saya tidak lupa, seseorang dan ingatan di bangku kelas dua. Satu-satunya yang pernah menelepon ke nomor 484366 di suatu minggu siang. Di ujung telpon, ia bertanya "rumah kamu deket pasar kan, Lu? ini saya udah di pasar karangampel. Dari sini ke mana?" Cuk! Di sudut mata saya, saat telepon saya banting, ayah sudah berkacak pinggang, "siapa yang mau datang?!"

Kereta berangkat pukul enam pagi. Tahu-tahu sudah delapan malam. Reuni bubar. Bersalam-salaman. Berfoto sampai kamera ponsel gemetaran.

Waktu tergelincir sudah. Baru kemarin rasanya jadi anak pantura. Berkawan matahari, bersahabat obat nyamuk baygon. Lihat sekarang, saya udah jadi orang gunung. Berteman baik cuaca dingin, menyembah dedaunan mentah.

Gang dua selatan
Pasar Karangampel
Wahidin 79
Pasar Pagi
Kanoman
Grage mall
Elf-elf pantura biadab tapi elf majalaya lebih setan!

Ini dia kota yang, meminjam puisinya Saini KM- jalannya uratku, udaranya napasku.




Langsung aja dah playlistnya mana. Ini dia.

1. Anda - Dalam Suatu Masa
2. Rusa Militan - Senandung Senja
3. Hindia - Membasuh
4. GAC - Berlari Tanpa Kaki
5. Ari Reda - Surat Cinta
6. Mata Jiwa - Semesta
7. Silampukau - Lagu Rantau
8. Melancholic Bitch - Bioskop, Pisau Lipat
9. Anda - Tentang Seseorang
10. Andien - Indahnya Dunia


Cerita Dari Gedung Naskah

16 September 2019
Highlight jalan-jalan saya di Kuningan adalah Museum Perundingan Linggarjati. Atau Gedung Naskah. Abis baca biografinya Sjahrir nih gara-garanya. Kalo ke Banda Naira menyusuri jejak Sjahrir iraha boa atuh, tapi ke Kuningan bisalah karena dekat dari Bandung. Ada kan shuttle Bhineka jurusan ke sana, naiknya dari Pasteur atau Mekarwangi. 





Perundingan Linggarjati, Buat Apa? Mengapa?

Di bangunan bergaya kolonial inilah berlangsung perundingan resmi pertama Indonesia dengan Belanda setelah proklamasi. Eh? Kan kita udah merdeka, ngapain berunding segala? 

Kita udah merdeka memang. Kata siapa? Kata kita sendiri. Gak apa-apa ngaku-ngaku merdeka? Gak apa-apa. Akan tetapi begini lho.

Dunia belum kenal kita. Gak ada yang tahu negara kita namanya Indonesia. Dunia taunya kita ini Hindia Belanda, koloninya negara Belanda yang sedang dicaplok Jepang. 

Ditambah fakta, mana maulah Belanda lihat kita merdeka.

Setelah 17 Agustus 1945 itu, Belanda gak terima kemerdekaan kita. Kan waktu itu Jepang kalah di Perang Dunia II, tersingkirlah dari Indonesia.

Terus Belanda datang lagi ke Indonesia. Angkat senjata, mereka melancarkan agresi militer. Gak bisa kamu merdeka, kamu kan koloni saya. Gitu meureun kalo Belanda bisa ngomong. Hehe. 

Bandung kena tuh agresi militernya Belanda. Pasti tahu kan peristiwa Bandung Lautan Api? Saya pernah nulis tentang peristiwa tersebut. Link di sini.

Kita melawan Belanda lagi. Dengan senjata juga. Jendral Soedirman, Bung Tomo, Tan Malaka. Pokoknya kita gak mau balik lagi jadi budak-budak Belanda! Soedirman bilang gini: lebih baik di (bom) atom daripada tidak merdeka seratus persen! 

Etapi apa iya kita harus ambil cara itu terus-terusan? Angkat senjata dan secara frontal berperang dengan Belanda dan sekutunya? 

Enggak. Ada cara lain. Yaitu cari pengakuan kemerdekaan Indonesia dari kancah internasional. Berdiplomasi.

Hatta dan Sjahrir adalah otak-otak dibalik diplomasi Indonesia ke dunia. 


Diplomasi Sjahrir, Mundur untuk Loncat! 

Jadi, setelah proklamasi itu pahlawan-pahlawan kita berbagi tugas. 

Pertama, ada yang melawan Belanda dengan senjata. Soedirman contohnya. 

Kedua, ada yang melawan dengan diplomasi. Sjahrir orangnya. 

Ketiga, ada yang nonstop menggelorakan kemerdekaan. Siapa lagi kalo bukan Sukarno. 

Jangan abaikan juga peran Tan Malaka yang perjuangannya dari balik layar.

Di sini nih, di Gedung Naskah yang dulunya vila bekas hotel perundingan berlangsung empat hari. November 1946. Sjahrir otak di balik terjadinya perundingan ini. 

Ingat gak pelajaran sejarah di sekolah dulu? Perundingan Linggarjati dianggap nguntungin Belanda aja. Kita kalah.

Sjahrir diece-ece gagal. Tapi apa iya dia gagal? 

Hasil perundingannya gini: wilayah Indonesia secara de facto hanya Jawa dan Sumatera, Belanda mengakuinya. Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat yang tergabung dalam Uni Indonesia Belanda. 

Namun gak banyak yang tahu, bahwa dalam hasil perundingan Linggarjati, Sjahrir dengan cerdiknya mengusulkan satu pasal yang jadi batu loncatan. Pijakan  yang membawa kita ke kancah internasional. 

Kayak main catur, langkah Sjahrir dalam perjalanan politik kelihatannya hati-hati, sabar, cerdik, dan tentu saja elegan.

Emang bunyi pasalnya gimana?

Sjahrir mengajukan pasal perundingan di tingkat PBB apabila  terjadi perselisihan lagi. Belanda nurut. Mereka udah kesenengan merasa menang. Gak sadar, ia masuk jebakan Sjahrir. 

Sjahrir tahu, usai perundingan, kita gak akan berhenti melawan. Soedirman dan simpul-simpul perjuangan terus bergerak. Gak mau ditindas. Belanda ya sudah pasti nyerang terus.

Hasilnya? Tahun 1947 Belanda melancarkan agresi militer. Yak perselisihan!

Prediksi Sjahrir terjadi. Belanda masuk 'perangkap' Sjahrir. Dilaporin lah Belanda ke PBB. "Nih mantan penguasa koloni kami  -Belanda- menindas kami nih!"

Dueng! Belanda baru nyadar taktik Sjahjrir. Sjahrir membuat dunia internasional melek bahwa ada negara namanya Indonesia, sudah merdeka, tapi masih ditindas mantan(penguasa koloni)nya. 

Di tingkat PBB itulah kita berunding lagi. Sjahrir memanfaatkan momentum tersebut. Sambil berunding, sambil juga ia berjejaring dengan berbagai negara. Mencari simpati. 

Lantas Belanda terbukti melanggar perjanjian. Akhirnya Belanda harus menuntaskan persengketaan atas wilayah Indonesia di sidang Internasional di PBB. Ya, sambil... ditonton...dunia…

Akhir perundingannya gini. PBB mengakui eksistensi RI dan menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan resminya. 

Perundingan berlanjut di Konferensi Meja Bundar di Hague Belanda. Kali itu, Hatta yang jadi peluru menghabisi Belanda di meja perundingan. 




Museum dan Artefak

Itu ya, cerita yang saya kasih lihat tadilah yang saya harap ada di Gedung Naskah. Tapi gak ada. 

Museum ini membosankan setengah mati. Artefaknya aja yang dipajang. Konteksnya enggak. Bahkan Sjahrir gak kelihatan penting di sini.

Ada foto, tanggal, tahun, nama, hasil perundingan. Namun menurut saya gak cukup museum hanya menyajikan info apa dan siapa. 

Tidak ada keterangan mengapa dan bagaimana. Mengapa perundingan harus berlangsung. Bagaimana perundingan berjalan. Apa efeknya bagi kemerdekaan kita. Mengapa masih ada perundingan setelah Linggarjati. Blablablabla….

Cerita yang saya perlihatkan di atas pun hanya cuplikan saja. Teman-teman mesti baca sendiri kronologisnya. Termasuk taktik Sjahrir mengirim hampir setengah juta ton beras ke India. Itu ada hubungannya dengan diplomasi mencari kedaulatan. Dan menaklukan boncengannya Belanda, yaitu Inggris.

Saat saya membaca kisah yang saya paparkan ulang ini, kok saya jadi lebih ngerti ya. Tanggal dan tahun gak lagi angka-angka sekedar hapalan. Nama Sjahrir saja buat saya gak lagi sama. Ia terbaca begitu…keren!


Mungkin gitu bagusnya pendekatan belajar ya. Dengan pendekatan bercerita. Terima kasih banyak buku-buku biografi. Hahaha. Harusnya buku sekolahan tuh buku biografi ajalah. Jadi gak kaku. 


Bangunan Museumnya sih Cakep! Banget!

Terpisah dari konten sejarahnya, bangunan Gedung Naskah ini cuakeepppp banget! Pintu jendela dicat hijau. Dindingnya putih. Ala kolonial. 

Dahulunya ini bangunan hotel namanya Rustoord. Tahun 1935. Pernah jadi markas belanda, pernah jadi sekolahan. Juga pernah...terbengkalai. 

Tahun 1976, gedungnya direstorasi. Lantas jadi museum. Hingga sekarang. 

Bila ke Kuningan, saya rekomendasikan Gedung Naskah. Bukan untuk berfoto saja, tapi untuk menyadari ini lokasi legendaris. Dan tentang Sjahrir, baca-baca dulu tentangnya sebelum ke museum ini. Dialah orang yang membuka jalan pengakuan kedaulatan Indonesia dari dunia. Ya, dari kaki gunung Ciremai ini mulanya. 

Museumnya sudah buka sejak pukul 8 pagi. Tiketnya Rp2.000.






Menteri Sosial RI yang pertama, orang yang mengusulkan lokasi perundingan di Linggarjati


Unang yang sedang merintis sekolah dasar di Kuningan bernama Linimasa




Pengen ke Pekalongan

08 September 2019
Gara-gara postingannya Alfian, saya pengen ke Pekalongan. Ngapain? Minum es limun! Ke sananya kayak biasa naik kereta api aja dari Bandung. Cek jadwal keberangkatan kereta api, berangkatnya pagi-pagi. Turun di Pekalongan jam 12 siang. Langsung minum es limun! Wqwq.

Ingat gak dulu es limun adalah minuman yang lumrah kita temui semasa kita anak sekolah dasar. Beli lima puluh perak, dapat es limun satu plastik. Gak tahu di Bandung, kalo di kampung saya dulu sih banyak banget es limun. Hawa panas enaknya kerongkongan dibanjur air gula manis. Dan dingin!

Berapa lama sih enaknya jalan-jalan di Pekalongan? Saya cuma punya waktu di akhir pekan. Apa dua hari satu malam cukup?

Baik kita coba bedah kalo 2D1N di Pekalongan bagaimana dan berapa.

Hari Pertama di Pekalongan

Pesan tiket di Traveloka. Jam 06.15 kereta berangkat. Siang hari sampai di Pekalongan. Lanjut naik ojeg online ke Kedai Oriental.

Puas-puasin dulu di toko limun ini. Mengikuti perkembangan zaman, Kedai Oriental menyediakan tempat untuk duduk bersantai.

Terus gimana kalo mau lihat pabriknya, boleh gak sih? Entahlah. Saya coba nanya ke wiraniaganya aja nanti. Mudah-mudahan boleh mengengok dapur pembuatan limun ini.

Photo Courtesy: Discover Pekalongan

Oke cukup. Kayaknya check in dulu. Nginepnya di The Sidji. Hotel dengan bangunan utama yang legendaris. Sebab dahulu rumahnya milik seorang letnan Tionghoa. Sekaligus saudagar batik. Ia memimpin tahun 1927-1930.

Bangunan hotel ada di belakang bangunan bersejarahnya. Hotelnya modern saja. Seperti bangunan hotel bintang 3 pada umumnya. Ada kolam renang, btw. Cocok untuk merendam hangatnya angin laut.

Kayaknya hari pertaman santai aja. Istirahat bentar di penginapan. Bila keluar pun tujuannya makan-makan. Terus enaknya makan di mana nih?

Ya saya tahu. Kita pergi ke Garang Asem Masduki saja. Reviewnya bagus-bagus. Lokasinya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari The Sidji. Nasi Megono dan Garang Asem jadi target sasaran. Haha.

Semalam di Pekalongan. Nongkrong di Alun-alun Pekalongan seru gak sih? Gak mungkin udah pada tidur kan kalo malam minggu? Kayaknya seru nih lihat-lihat sebentar Alun-alunnya di malam hari. Tapi kalo gak menarik, ya sudah balik saja ke hotel. Lalu tidur zzzttt.....

Hari Kedua di Pekalongan

Keluar penginapan sekaligus checkout. Sore nanti kembali ke Bandung. Jam tujuh malam tepatnya kereta akan berangkat.

Masih ada cukup waktu buat jalan-jalan. Ke mana aja? Museum Batik tentu saja!

Tiket masuknya murah hanya lima ribu per orang. Sebuah tip dari teman, katanya bila ke Museum Batik jangan sendiri. Suasananya agak spooky. Entah benar atau tidak. Haha. Yang pasti saya emang gak akan pergi sendiri. Indra dan Nabil ikut juga (syukurlah haha).

Hasil riset mengatakan mengelilingi museum ini gak makan waktu lama. Satu jam udah paling maksimal. Kita bisa lihat perkembangan batik di Pekalongan. Menempati bangunan klasik di Jl. Jetayu no. 1, museum ini memiliki lebih dari seribu koleksi batik.

photo courtesy: wikipedia

Wikipedia menulis, gedung Museum Batik Pekalongan dulunya adalah bangunan kantor. Kantor keuangan bagi tujuh pabrik gula di Pekalongan. Level kepentingan gedungnya udah tingkat tinggi.

Di tahun 2006 Museum Batik ini diresmikan. Di dalamnya terdapat ruang koleksi batik, perpustakaan, kedai batik, workshop, dan beberapa ruang lainnya. Saya tebak batik pesisir lebih banyak ditampilkan di sini. Senggak-enggaknya batik dari kota tetangga: Cirebon dan Lasem.

Namun bisa jadi ada lebih banyak batik. Secara ini kota ikonnya memang batik.

Kedai limun sudah.
Museum sudah.
Selanjutnya ke mana?

Rumah Makan Bung Kombor! Baca deh review-reviewnya. Disebutkan kepiting di sini juara enaknya. Lokasinya hampir sekilo dari Museum Batik. Bisa gak ya naik becak ke sananya? Eh, masih ada kan becak di Pekalongan? wqwq.

photo courtesy: Garnesia

RM Bung Kombor menyajikan tiga menu saja: udang, kepiting, dan swike. Kepiting adalah yang paling direkomendasikan. Tapi saya suka udang. Yhaaa! Harga agak mahal, tapi ada yang bilang murah. Tapi seafood emang gak mungkin harganya kayak seporsi nasi uduk kan. Hehe.

Satu tujuan terakhir adanya di daerah Kauman. Saya mau susuri kawasan tua dan moto-moto bangunan kunonya. Apa yang gak ada di Bandung, pasti ada di sini nih. Seperti waktu saya ke Yogyakarta, saya kunjungi Kauman juga. Kauman biasanya gak jauh dari Alun-alun dan masjid raya.

apa di dalam jalan kecil ini banyak rumah-rumah antik?
photo courtesy: cintapekalongan.com

Sorenya ke stasiun Pekalongan dan bersiap pulang ke Bandung.

Oya, Indra bertanya pada saya. Apa perlu kami ke pantai. Hmmm...saya gak terlalu menyukai wisata alam. Hahaha. Ditambah, rumah orang tua lokasinya hanya lima kilometer dari rumah. Pantai adalah keseharian saya dulu. Melihatnya lagi saya rasa gak perlu. Saya cuma mau jalan-jalan di jantung kotanya.

Bila kamu warga Pekalongan dan membaca tulisan ini, menurut kamu perlukan saya mengunjungi pantai-pantai di Pekalongan?


Mencari Makam Kapitan

07 September 2019
Buat apa cari-cari makam kapitan? Apa kaitannya makam tersebut dengan saya?

Tidak ada. Tentang hal-hal yang gak bisa saya jelaskan sekaligus, inilah contohnya.

Makam kapitan bandung

Pagi itu langitnya biru menyala. Pertanda siang nanti akan panas. Banget! Namun saat kami mulai berjalan, dingin kemarau masih menggigit.

Dewi berjalan paling depan. Dia pemandu kami. Kira-kira ada 20 orang yang ikutan jalan-jalannya Heritage Lovers ini.

Saya seperti biasa. Terseret-seret dalam rombongan. Berjalan paling belakang. Kebanyakan moto.

Dalam perjalanan dalam labirin gang-gang Babakan Ciamis ini, saya ketemu banyak rumah.

Ada sebuah rumah bergaya tempo dulu. Terbesar di antara rumah sekelilingnya. Resik dan mewah.

Letak rumahnya persis di belakang Gedung Indonesia Menggugat (Landraad). Kata Teh Erna, salah satu peserta, bisa jadi itu rumah dulunya nih milik pegawai Landraad. "Mungkin jaksanya," kata dia lagi.

Tapi kok cuma satu ya. Atau dulu ada kompleks perumahan jaksa atawa hakim di di sini? Lantas cuma satu yang tersisa?

Gak ada yang tahu.

Berjalan ke jantung Babakan Ciamis, pemandangannya rupa-rupa. Dari kutang hingga kandang. Sungai dan lapangan. Toko kelontong baru buka dan ibu-ibu yang nongkrong menyuapi anaknya sarapan.

Babakan ini banyak gangnya. Bukan cuma jalannya datar tapi juga nanjak. Bikin lelah juga haha. Walo begitu pengalaman eksplor gang ini menarik juga.

Ada rumah dengan pepohonan sebagai pagarnya. Lebih banyak lagi hunian tanpa pagar. Menempel lengket satu rumah dengan rumah lain. 

Kami masih berjalan mencari makam kapitan.

Gelombang kedatangan orang Tionghoa ke Bandung kira-kira di tahun 1884. Dekat-dekat munculnya jalur kereta api. Sebab pemerintah kolonial butuh tenaga kuli tambahan. Ada juga yang merantau ke Hindia Belanda merintis karir jadi saudagar.

Kapitan atawa letnan adalah jabatan yang ditampuk orang Tionghoa. Ia dipilih pemerintah kolonial untuk memimpin etnisnya. Utamanya sih dalam bidang perdagangan.

Nah Dewi mengajak kami mencari makam kapitannya Bandung. 

Rupanya itu makam gak sedekat yang saya pikir. Kami bahkan menyebrang Jalan Aceh. Pindah jalur. Lalu masuk lagi ke jalan-jalan kecil macam labirin tak berujung.

Di gang-gang itulah saya lihat rumah dengan teras mungil nan sempit. Ada sofa butut di sana. Dekil dan nampak reyot. Anehnya, terlihat nyaman. Pagarnya pagar hidup. Rumahnya tak seberapa besar. Akan tetapi tentang harapan-harapan yang gak boleh putus, saya melihatnya ada di sana.

Apalagi yang saya tengok di Babakan Ciamis ya. Bekas rumah panggung. Rumah jengki. Rumah berdinding bilik.

Juga ada rumah dengan halaman berbentuk lorong. Lebar kurang dari semeter dan panjang. Membayangkan malam-malam pulang ke rumah lewati lorong macam begitu...

Dan ada rumah dengan banyaaaaaak sekali tanaman di halamannya. Rumah pohon perkotaan.

Begitu dalam kami masuk ke jantung babakan ini, rumah makin kecil, gang makin sempit. Dinding rumah saling menghimpit.

Saya lihat ada banyak mural di Babakan Ciamis. Makin rapat huniannya, makin menarik muralnya.

Ngomong-ngomong, kamu tahu Babakan apa artinya? kampung baru.

Kampung baru ini terbentuk karena perantau yang berkumpul. Komunal.

Misalnya, Babakan Ciamis. Perintis kampung tersebut datangnya dari Ciamis. Pada mulanya hanya orang dari Ciamis yang bermukim di sana.

Namun Babakan gak lagi komunal. Sekarang, siapa saja dari mana saja bisa tinggal di Babakan. Udah nyampur.

Nah, di era kolonial si Babakan Ciamis ini dahulunya Sentiong. Alias, makam warga Tionghoa. Letnan pertama di Bandung makamnya ada di sini.

Terus, mana makamnya?

Tidak ada. Hanya ada nisan menempel ke dinding rumah. Nisan warna putih. Bertuliskan gini: Oeij Bouw Hoen (1882).

"Jadi gak ada makamnya, Dew?" tanya saya. Gak ada, Dewi bilang gitu. Kami hanya ketemu nisan saja yang hampir menempel ke dinding rumah warga. Memotretnya pun sulit.

Dewi menjelaskan begini: 

Berhubung Bandung yang dulu adalah Bandung yang sedang tumbuh, maka titik-titik di dalam kota ikut berubah. Pabrik kina dan stasiun kereta api saja, itu lokasi tadinya di pinggir kota. Lihat sekarang, jadi malah jantungnya kota.

Sama kayak pemakaman. Yang tadinya makam, dipindahin makamnya dan lokasi makam yang pertama itu jadi babakan. Makam jadi kampung.

Memindahkan makam bukan perkara mudah. Ada keluarga yang kehabisan uang mendanai proses pindahan, atau keluarganya gak datang-datang ngurusin makam keluarga. "Ribet," kata Dewi.

Kompleks makam tertua di Bandung ada di Banceuy. Lantas, makam-makam Tionghoa tersebut pindah ke Babakan Ciamis, dekat Balaikota. 

Dewi cerita kalo pemakaman masih dipindah lagi. "Pindahnya ke Cikadut," jelas Dewi lagi. Cikadut itu ada di Bandung Timur. Sementara Banceuy dan Babakan Ciamis di Bandung Utara. 

Dalam proses pindahan makam, ada komplek-komplek pemakaman baru juga. Di antaranya, di Taman Sari yang sekarang jadi UNISBA. Apakah kamu mahasiswa di sana dan pernah mengalami yang namanya penamppppzzttttt...udahudah. Ini bukan Jurnal Risa :D

Baik. Kita sudahi dulu. Dalam acara jalan-jalan mencari makam kapitan ini, kami hanya menemui nisan tertancap di dinding. Bila kita ada di dekatnya, gak akan tahu di situ ada nisan. Yang kelihatan hanya gang sempit, rumah warga, dan toren air.

Masa iya makam sepenting ini tercecer. Ataukah makamnya sudah dipindah tapi nisannya dibiarkan saja?

Yah jawabannya menggantung. Dewi gak tahu. Saya apalagi.

Sudah begitu saja pencarian makamnya. Gak ketemu. Eh ketemu sih, nisannya aja. ehe. Ya gak apa-apa. 

Kapitan bandung





Nisan di Babakan Ciamis



Membaca Gadis Kretek

02 September 2019
"Jika matahari di timur, maka kopi lebih tepat dipadukan dengan kretek. Tetapi jika matahari di barat, tehlah yang berjodoh dengan kretek," gitu kata Idroes Moeria, bapaknya si Gadis Kretek. Seumpama saya pedagang kretek, saya bakal nyetak kutipan Idroes Moeria tersebut dalam banner dan memasangnya di toko.



Novel Gadis Kretek terbit tahun 2012. Lewat tujuh tahun saya baru baca bukunya. Iya gak apa-apa. Gak ada buku yang telat dibaca. 

Dari judulnya saja mesti tahulah novel ini temanya apa. Iya betul. Kretek, tembakau yang ditaro di kertas linting terus dibakar dan hisap. Kayak rokok. Kretek ini mbah leluhurnya rokok yang ada sekarang. 

Kretek identik dengan kota Kudus. Dalam novel ini Kudus malahan hanya numpang lewat. Latar ceritanya di kota M. Kota yang dimaksud mungkin Muntilan, Jawa Tengah. CMIIW.

Saya bertanya-tanya mengapa penulis novelnya, Ratih Kumala, menulis kota M dengan inisial. Sementara latar kota lain disebut lengkap: Jakarta, Magelang, Yogyakarta, Surabaya.

Novel ini ceritanya menarik banget.. Muatan budaya lokal suatu daerah bila dijadikan latar sebuah novel tuh beneran seru bacanya. Ditambah tulisannya Ratih Kumala sebagai penulis renyah dan mudah bacanya.

Novel yang plot ceritanya maju mundur ini bermula dari pencarian gadis Kretek bernama Dasiyah oleh tiga orang kakak adik, atas permintaan ayahnya. Jalan ceritanya seru banget karena menelusuri teka-teki Dasiyah dengan panduan cerita di masa kini, kolonial, jepang, dan revolusi. Era kelam di periode 1965 (PKI) juga ada ceritanya.

Konfliknya muter-muter di tokoh utama, Dasiyah, dan ayahnya, Idroes Moeria.

Menuju klimaks konfliknya makin seru banget! Pencarian Dasiyah terlihat ada ujungnya, tapi ada kejutan lain menunggu di sana. Pembaca kayak saya sih senang betul dengan kejutan begini karena gak ditunggu-tunggu tapi mendadak muncul dengan korelasi cerita yang baik. Kejutan ini melibatkan properti semprong petromak! Wah, mantap, Mba Ratih Kumala! (asa akrab heuheu).

Ada sedikit yang janggal kayak kemunculan tokoh Soeraja yang rada cepat nongolnya, padahal peran dia penting banget. Cerita yang lajunya udah enak dibaca kerasa agak ngebut jadinya. Seperti kebetulan yang dipaksakan. Untungnya hanya di bagian Soeraja aja, lain-lainnya tidak.

Penggemar kretek dan teh bolehlah baca novel ini. Di halaman 129-135 ada prosesi pembuatan kretek dan menikmati kretek yang sangat menarik dan intim. Hangat dan permai bacanya.

Ayahnya si Gadis Kretek ngasih rekomendasi menikmati kreteki: "jika matahari di timur, maka kopi lebih tepat dipadukan dengan kretek. Tetapi jika matahari di barat, tehlah yang berjodoh dengan kretek." Tehnya mesti teh poci, teh nasgitel.

Asli sih selama membaca novelnya saya pengen banget pergi ke warung dan beli rokok kretek, menggiurkan banget penuturan tentang kreteknya. Kretek yang saya maksud adalah kretek buatan Dasiyah.

Bisa kali ya suatu hari nanti saya nganjang ke Kudus, mampir ke toko-toko kecil di sana membeli kretek homemade. Pengen juga nyoba sekali kayak apa rasanya. Eh, masih ada gak yah kretek buatan rumahan di sana? Kretek tangan, maksudku. Seperti kretek buatan Dasiyah.

Silakan dibaca novelnya. Gak nyampe 300 halaman, enteng bacanya, terhibur dengan ceritanya. Bukunya cari aja di toko-toko online, beli buku original ya meski bekas yang penting ori.

Ibu Berbagi Bijak di Bandung

01 September 2019
Berapa banyak dari kita yang hidupnya di pinggir jurang? 



Kecelakaan, masuk UGD, gak punya uang, bagaimana bayar biaya rumah sakit...

Anak cerdas mau lanjut pendidikan ke tingkat kuliah. Orang tua gak sanggup membiayai.

Pekerja paruh waktu. Gaji gak seberapa besar. Habisnya buat ongkos adik yang masih sekolah. Juga ayahnya sakit-sakitan.

Bisnis sendiri. Cashflow macet. Utang numpuk.

Hasrat mau liburan. Gaji cukupnya untuk kebutuhan bulanan. Maksa ikutan 'pay later' alias bayar kapan-kapan.

Minggu lalu (28/08/2019) saya ikutan workshop literasi yang diselenggarakan @ibuberbagibijak. Pesertanya perempuan semua.

Emang sejak 2017 Visa aktif kampanye literasi keuangan. Peserta selalu sama, yaitu perempuan. Di acara ini, perempuannya khusus para freelancer dan pelaku UMKM.

Beberapa komunitas hadir sebagai undangan. Ada Buana Belantik. Sekumpulan pengusaha UMKM, mayoritas perempuan. Anggotanya tersebar sejawabarat. 

Ada juga cewek-cewek pekerja paruh waktu dari komunitas Emak-emak Blogger. Gak ketinggalan meramaikan acara, The Urban Mama yang kebanyakan pesertanya ibu-ibu muda. 

Mentor workshop dari Visa, Ibu Berbagi Bijak, ada beberapa orang. 

Selain sambutan dari presdir PT Visa Worldwide, Riko Abdurrahman, ada juga perwakilan dari OJK, Teguh Dinurahayu. 

Sementara itu, workshop finansialnya dipandu Prita Ghozie. Seorang dosen, penulis, ibu, juga konsultan finansial profesional.

Ada beberapa yang saya highlight dari presentasinya. Gini.

Usahakan punya asuransi. Wajib. Sisihkan pendapatan seenggak-enggaknya buat iuran BPJS. Kalo asuransi yang lain sanggup bayarnya, ya udan yang lain aja.

Lantas berhubung di acara ini Visa menargetkan peserta perempuan dari kalangan pengusaha kecil, maka Mba Prita ngasih tips keuangan dasar buat pelaku UMKM. 

Oya, freelancer juga diitungnya pelaku usaha. Usahanya menjual jasa. 



Ada tiga macam catatan keuangan dasar yang mesti kita ketahui dan terapin: 
📝 Neraca
📝 Laba dan rugi
📝 Catatan atas laporan keuangan.

Sementara itu untuk alokasi pendapatan, tingkat pengeluarannya gini: 
1. Zakatin dulu 2,5% dr gaji.
2. Bayar asuransi minimal 5% dr gaji
3. Alokasi bulanan (gak lebih dr 60%)
4. Nabung utk keperluan jangka pendek 
5. Investasi utk keperluan jangka panjang (nabung + investasi jgn lebih dr 30% dr pendapatan).

Oleh Mba Prita, kelima istilah di atas diberi singkatam ZAPFIN: zakat, assurance, present consumption, future spending, dan investment. 

Kalo ada utang gimana nih? Porsi utang jangan lebih dari 30%. Kalo lebih, maka korbanin alokasi bulanannya.

Itu sih yang saya highlight dari penjelasannya Mba Prita. 

Oiya, berkali-kali dia ingatkan, jangan tergiur fitur Pay Later dan skema pinjaman mudah ala pinjaman online.

Mba Prita bahkan bilang, pekerja freelance sebaiknya gak pake fitur cicilan kayak Pay Later. Kecuali ada jaminan perbulan pendapatan pasti. 

Intina mah cenah, pada bisa ngukur diri. Jangan nurutin nafsu dan gengsi. Bahkan kalo pendapatan gak cukup buat investasi, ya udah tahan dulu. "Semua akan indah pada waktunya," gitu Mba Prita bilang.



Pak Teguh juga mengonfirmasi uraian Mba Prita. Katanya, baca dengan seksama terms & agreement kalau u3rusan utang piutang begini.

"Memang banyak fintech yang nakal. Tapi banyak juga laporan kasus yang masuk ke OJK penyebabnya karena si pelapor gak baca terms & agreement dengan teliti," kata Pak Teguh.

Literasi finansial pada dasarnya bukan cuma kemampuan kelola pendapatan ya. Ternyata skill membaca dan menyimak juga sama pentingnya.

Skill dasar manusia banget gak sih itu? Membaca dan memahami. Hehe.

Pulang ke rumah usai acara Ibu Berbagi Bijak ini, saya ngahuleung. Apakah selama ini saya hidup di pinggir jurang? Kalo kamu, gimana?