Social Media

Image Slider

Berjalan Kaki Satu Hari di Tasikmalaya: Bonteng, Batik, dan Burujul

26 July 2024
Kira-kira 1,5 jam durasi saya berjuang melawan rasa mual di trek Bandung-Tasikmalaya. Dalam perjalanan ada banyak kelokan tajam sekaligus memaparkan panorama pegunungan. Satu hari saja di kota santri saya terpukau pada payung geulis, berkenalan dengan keluarga pedagang batik tulis, dan terkesima akan lezatnya bonteng-bonteng di sana. 


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

Saya mengikuti acara jalan-jalan di Tasikmalaya (21/7/2024). Penyelenggaranya Mlampah Sareng (based di Purwokerto) yang diwakilkan Fachrul dan Mapah Sareng (Bandung) ada Retna. Plesirannya mereka beri judul Piknik Seek Tasik.

Memang aneh sekali berjejaring di tahun 2024 yang melibatkan Instagram dan lain-lainnya. Untuk trip ini saja kolaborasinya antar dua kota terpisah provinsi, dengan tujuan kota lainnya.

Ada tujuh tujuan yang kami kunjungi di Tasik. Pertama-tama kami bertandang ke pengrajin Payung Geulis A. Sahrod  yang ada sejak tahun 1971. Lokasinya di Kecamatan Indihiang, agak jauh dari pusat kota. 

 

plesir ke tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Ini kali pertama saya melihat dan menyentuh langsung payung-payung cantik khas Tasik. Memang betul rupawan sekali payungnya. Warna-warni mencolok dan bunga-bunga mekar sebagai motifnya. Kerangka dan tangkai payung terlihat rumit, berasal dari tangan-tangan apik para pengrajin.

Sandy Mulyana -generasi ketiga dari Payung Geulis A. Sahrod- bercerita sedikit seluk beluk industri payung geulis yang problematikanya berputar antara sumber daya manusia dan permodalan. 

 

Produk khas Indonesia memang bagus-bagus sekali! Sayangnya tidak ada showcase di lokasi pengrajin berada sehingga saya tidak bisa membeli payung geulisnya.

Beranjak ke arah pusat kota, kami semua mulai lapar.

Perut krucukan sebab belum sarapan, di pusat kota Tasikmalaya kami menghanca di Rumah Makan Bahagia.

Betulan bahagia, makanannya enak-enak semua dan halal! Bravo! Semua menu yang kami santap bergaya oriental. Aroma bawang putih yang sedap nan lekoh. Perpaduan kecap asin, saos tiram, dan minyak wijen. Potongan daun bawang ada di mana-mana. Daging yang empuk dan bonteng yang amboi nikmat betul.

Awalnya saya kepingin sarapan khasnya warga tasik, tapi saat menyantap makanan RM. Bahagia saya bersyukur sekali ketemu makanan ini.

Fakta menarik yang kami temukan dalam obrolan saat sarapan: orang tasik suka makan bonteng (timun). Karenanya lazim bila hampir semua makanan di sana side dishnya bonteng.

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
photo courtesy: Retna/Mapah Sareng

Fakta mengejutkan lainnya yang saya rasakan secara pribadi: BONTENG TASIKMALAYA ENAK BANGET! Kok bisa sih bontengnya manis dan sangat renyah? Dari manakah bonteng-bonteng ini berasal? Apakah ditanam di tanah Gunung Galunggung atau bagaimana?

Sarapan kesiangan itu jadi baterai kami mengarungi jalanan kota tasik yang langsung terasa panasnya. Namun berangin. Kalau pernah menumpang kereta api akan terlihat kalau kota tasik berada di ketinggian 340 mdpl. Sedangkan Bandung sekitar 700 mdpl.

Meski mencoba bertahan dari sengatan matahari, saya menyerah dan buka payung. Wah lebih nyaman jalan kakinya kalau kepala kita terasa teduh. Syukurlah lewat duhur langit berawan dan tidak lagi panas menyengat. Cuaca Tasik bersahabat.

Dalam kira-kira 14.000 langkah yang kami susuri, di antara rumah-rumah warga dan trafik Tasik yang lengang ada vihara, masjid, toko babadan, lapak makaroni, rumah makan baso, dan dua kedai kopi yang menempati rumah klasik khas tempo dulu.

Di toko babadan saya dan Tita membawa pulang sapu ijuk. Tita dititipi papanya sapu khas Tasik merek SPA. Retna -sebagai operator perjalanan- sangat mengaping pencarian sapu ijuk ini. Sambil berjalan sesuai arah tujuan, kami juga menelusuri sapu di beberapa toko.

Tita memutuskan beli sapu di Toko Putra Karuhun, Jalan Tarumanagara. Saya ikut membelinya. Namun yang kami beli merek yang berbeda. “Gak apa-apa bukan sapu SPA?” tanya saya padanya. Tita jawab mantap “Aman!”

Saya bersyukur lagi ketemu fakta lainnya tentang Tasik. Bahwa sapu ijuknya sakti mandraguna. Pedagangnya saja memberi garansi satu minggu (wkwk) dan mengatakan pada kami sapu yang ia pakai usianya lebih dari satu dekade. “Tuh tingali ieu oge 13 taun kiat keneh!” katanya persuasif sambil menunjukkan sapu miliknya yang terlihat letih dan gigih.

Sakti yang dimaksud: tahan lama dan ijuknya dibuat dari bahan berkualitas. Begitu kata artikel-artikel yang saya baca. Jujur saja saya langsung browsing tentang sapu khas tasik saat Tita memberitahu kami bahwa papanya minta oleh-oleh sapu ijuk. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sarengwalking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
Tita dan sapu ijuk untuk papanya - photo courtesy Retna/Mapah Sareng


Buah tangan makanan sudah biasa. Tapi bila ada orangtua yang minta dibelikan benda-benda domestik dari kota tertentu, kita usahakan nurut saja sebab biasanya kualitas bendanya memang tangguh dan pasti terpakai di rumah. Dan bila kamu melakukan hampir semua pekerjaan domestik di rumah pasti tahu mengapa butuh sapu yang berkualitas. 

Makasih Papanya Tita. Berkatnya saya menambah khazanah oleh-oleh Tasikmalaya berupa sapu ijuk, (dengan tambahan catatan, diutamakan mereknya SPA).

Sampai di mana tadi? Toko babadan ya.

Menggelinding ke kedai kopi bernama Tjinere di dekat Prapatan Lima, saya memesan teh tubruk melati. Sajian minuman ini datang ke meja dalam komposisi teko air teh, dua gelas kecil, dan dua potong kue bangket. Saya habiskan sendirian sebab peserta tur lainnya sudah memesan menu pilihan masing-masing. Totalnya saya minum lima gelas teh tubruk. Efek kafeinnya langsung menendang, tidak lagi ngantuk.  


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Rina yang punya Tjinere - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Tjinere berada di sebuah rumah tua yang penuh dengan kembang hijau. Cantik sekali penempatan daun-daun di pintu masuknya. Terdiri dari dua ruangan untuk pengunjung, kami duduk di ruang kedua, pinggir jendela. Seperti kembangnya, warna cat kusen pintu dan jendela dominan hijau.


Saya berkenalan dengan pemilik Tjinere, Rina Amalia. Saat ngobrol saya bertanya padanya, apakah profesi neneknya (sebab memiliki rumah besar di pinggir jalan utama dekat rel kereta api). “Nenek teh dagang kain batik tulis,” jawabnya.

Walah! pengusaha kain batik. Rasa penasaran kian dalam tapi tidak ada sesi wawancara dalam obrolan santai ini. Suasana kedai ramai, suara pengunjung sahut-sahutan, suara musik mengalun, dan kami sudah terlampau kelamaan nongkrong. Sejujurnya saya mengharapkan ada obrolan lebih lanjut (dan resmi) antara peserta tur dengan pemilik Tjinere.

Sepertinya menarik cerita tentang Tasik lebih dalam dan dunia perbatikannya. Meski tetehnya mengaku tidak tahu seluk beluk detail sejarah keluarganya tapi cerita tentang keluarganya saja buat saya jadi cerita pengantar yang manis.

 

difotokan oleh Retna (makasih, Retna!)

Dari Tjinere kami beranjak ke kedai kopi bernama Praya Coffee. Lokasinya di Jalan Burujul dan bangunan kedainya sangat klasik.

Praya Coffee menempati sebuah rumah tua. Khas bangunan kolonial. Sementara kedai kopinya ada di ruang depan bangunan, di ruang berikutnya adalah tempat tinggal Innes Dewi Santika, pemilik rumah tua tersebut. 


Innes cerita sedikit tentang rumahnya. Didirikan oleh kakek buyutnya di tahun 1928, oleh Innes rumah tersebut dinamakan Rumah Burujul Heritage (RBH).

Kembali saya tanyakan padanya, apakah profesi pendiri rumah dahulu kala, mengingat ukuran rumahnya yang tidak lazim dimiliki warga biasa-biasa saja.

“Usaha kain mori dan pewarna batik,” jawabnya. Kain mori adalah material dasar pembuatan kain batik. Saya memberitahunya tentang kedai kopi Tjinere dan keluarganya dulu punya bisnis batik tulis. “Loh iya kami memang masih saudara,” katanya lagi semangat. Walah!

“Kakek buyut saya asal Tegal, merantau ke Tasik, namanya H. Manshur. Di Tasik menikah dengan warga lokal asal Panglayungan, yaitu Hj. Eteh, nenek buyut saya,” tuturnya lagi.

Menurut Innes, Rumah Burujul Heritage dirancang oleh nenek buyutnya. Meski tidak mengecap pendidikan formal, Hj. Eteh juga berperan besar mendukung suaminya yang berkarir sebagai saudagar, termasuk turut serta dalam memperluas aset bisnis H. Manshur. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Sempat kosong selama beberapa tahun lamanya usai nenek dan kakek Innes wafat, RBH sempat berfungsi jadi gudang. Sesekali keluarga besar menginap bila sedang berlibur ke Tasikmalaya.

Tahun 2021 Innes memutuskan kembali ke Rumah Burujul Heritage. Saat itu ibu dari tiga anak ini masih bolak-balik Jakarta-Tasik karena Innes sekeluarga bermukim di Ibukota.

Kini di tahun 2024 Innes resmi menjadi warga Tasikmalaya sebab telah berdomisili sepenuhnya. “Rasanya seneng banget! dream comes true banget bisa tinggal di sini!” ungkapnya. Sejak kecil Innes sekeluarga selalu berlebaran di RBH. Dalam kenangannya berkunjung ke rumah antik berhalaman luas itu sangat membekas.

RBH menjadi lokasi beberapa aktivitas seperti pameran dan workshop. Secara khusus Innes juga menyediakan ruang inklusif dan mencantumkannya dalam bio profil Rumah Burujul Heritage: rumah yang nyaman untuk bertemu, berkreasi, dan belajar bagi teman difabel dan non difabel.

Di sini kami tidak hanya nongkrong tapi juga berprakarya Cut and Paste dibimbing Soetedja Makerfest. Berbekal gunting, lem, dan kertas koran berbahasa sunda kami gunting menggunting dan menempel. Pengalaman baru buat saya ikutan tur jalan kaki dan diakhiri workshop. Menyenangkan juga, agak menyegarkan setelah seharian berjalan terus. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Innes pemiliknya RBH - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Saya catat di notes hp tentang hal-hal yang saya lihat di Tasik dan berjanji pada diri sendiri akan mencari informasinya lebih lanjut: sapu ijuk SPA, batik tulis tasikmalaya, kain mori, payung geulis, rumah burujul heritage, dan tentu saja bonteng.


Foto-foto dokumen pribadi, kecuali yang telah dicantumkan photo courtesynya

Berkunjung ke Pabrik Permen Davos Berusia 93 Tahun Bersama Mlampah Sareng

11 May 2024

Permen Davos merupakan brand yang bukan bicara tentang produk saja. Melihat Davos artinya throwback alias dilempar mundur ke belakang. Yang dilempar adalah ingatan kita karena permen Davos sobat anak-anak di tahun 90an. Nostalgia.  


 berkunjung ke pabrik davos


Saya, Indra, Nabil, dan Unis, rombongan Bandung ini sengaja bertandang ke Purwokerto Banyumas hendak mengikuti turnya Mlampah Sareng ke pabrik permen Davos di Purbalingga pada hari Sabtu 04/05/2024.

Dari Purwokerto ke Purbalingga dekat saja hanya 30 menit. Namun di Bandung setengah jam terasa cepat padahal sedang terjebak macet. Artinya titik pergerakan saya tidak jauh. Akan tetapi dalam perjalanan Purwokerto - Purbalingga 30 menit tanpa hambatan apapun. Tidak ada macet, hanya ada sedikit titik lampu merah. Titik pergerakan saya cepat berubah dan anehnya terasa jauh. Aneh juga ya reaksi tubuh terhadap perbedaan waktu tempuh yang sebetulnya sama itu. 


Berkunjung ke pabrik permen davos mulainya pukul 10 pagi. Sedangkan kami sudah mendarat di Purbalingga 1,5 jam sebelumnya. Mencari-cari rumah makan atau warung terdekat demi sarapan yang baru buka hanya rumah makan Padang. Betulan fast food pemadam kelaparan! Okelah bungkus!

Tidak dibungkus, makan di tempat saja. Rasanya? Waduh lezat sekali. Kami memesan telor dadar, nasi dan kuah rendang. Kami makan dengan lahap. Lapar sebabnya! Ditambah empat es jeruk dan kerupuk satu bungkus total empat porsinya Rp71.000.

Tidak seperti di Bandung dan Yogyakarta, tur di Purbalingga ini cukup tepat waktu meski mulainya tetap molor juga. Sekitar pukul 10.30 kami bersama-sama berangkat ke pabrik Davos. Dari titik kumpul di Usman Janantin Park, menyebrang Jalan Ahmad Yani, masuk ke Jalan Gunung Kelir V. Sampai sudah ke pabriknya! Hanya satu menit waktu tempuhnya! 

 

berkunjung ke pabrik permen davos
courtesy Mlampah Sareng

pabrik davos purbalingga



Permen Davos yang saya kenal ada dua. Warna biru berisi 10 permen berbentuk tablet putih dan warna hijau kotak berisi 20 tablet kecil-kecil. Warna biru namanya Davos Roll, itulah permen pertamanya Davos. Sedangkan yang hijau namanya Davos Lux, favorit saya. Davos Roll rasanya terlalu pedas, tapi seingat saya sering ada dalam saku celana saat perjalanan jauh seperti mudik. Karena rasa pedasnya lumayan meredakan rasa kembung dan mual. 

 

Ternyata bukan barudak 90an saja yang akrab dengan permen Davos. Akan tetapi juga generasi ibu dan nenek saya. Sebab permen Davos adanya sejak tahun 1931! 


Fakta mengagumkan itu yang baru saya ketahui dari turnya. Sudah 93 tahun PT Slamet Langgeng produksi dan berdagang permen. Bayangkan hampir satu abad membuat produk yang sama.

Dari turnya juga saya mendapatkan informasi Davos pernah membuat limun. Namanya limun Slamet. Namun tidak lama hanya beberapa tahun saja.

Memasuki ruang produksi pabriknya kami dibekali head cover, masker, sarung tangan, dan sarung buat alas kaki. Sayangnya kami berjalan berombongan yang jumlahnya lebih dari 20 orang. Agak sulit mendengar penjelasan pemandu tur jika kita berada di barisan paling belakang.

Namun saya berhasil mencatat beberapa hal menarik dari penjelasannya. Seperti; bahwa permen Davos tidak menggunakan bahan pemanis buatan, gula dijemur menggunakan mesin sedangkan proses di masa lampau gula dijemur di bawah sinar matahari, permen Davos Roll cocok dicampur ke dalam teh tawar panas, dan cerita tentang produk limunnya.  

 

berkunjung ke pabrik davos
Courtesy Mlampah Sareng


Pertunjukan menarik dari pabriknya ada di ruang pengemasan. Karena permennya dikemas manual dan mesin. Pengemasan dengan mesin sudah dapat dibayangkan sendiri mungkin? Sementara cara manual dikerjakan oleh tangan para ibu. Persis seperti di pabrik kretek yang saya lihat di Taru Martani Jogjakarta

Ruang pengemasan adalah ruang terakhir yang kami lihat. Dimensi ruangannya paling besar dengan langit-langit tinggi. Berbeda dengan ruang produksi lainnya yang agak kecil dan tinggi langit-langitnya standar. Ruang kemas terlihat seperti ruangan lama, ruangan paling tua. Seperti hangar pesawat. Di satu sisi ada jendela-jendela besar berteralis. Para ibu duduk di sana fokus membungkus permen.

Tentang mengapa Davos mempertahankan teknik membungkus manual itu, saya bertanya pada Kevin, pemandu tur dari Davos. “Penggunaan mesin pada teknik membungkus ini berdasarkan permintaan industri, Mbak. Karena kalau mesin yang bekerja, pembungkusannya rapat sekali. Beda dengan bungkusan ala tangan yang menggunakan lem,” jawabnya sambil memperlihatkan kemasan Davos Roll warna biru buatan mesin dan tangan.

Semua pemandu tur Davos bekerja dengan semangat. Seolah-olah kami tamu pertama kalinya bagi mereka, padahal tentu bukan. Davos sendiri secara rutin menerima kunjungan dari berbagai sekolah dan lembaga.

Entah seberapa luas pabriknya saya tidak bertanya. Kalau diperhatikan pabriknya tidak terlalu besar. Namun usahanya berjalan terus-menerus. Betul-betul pengalaman yang menggairahkan buat saya karena saya dan Indra juga berdagang di Fish Express. Kami juga mempunyai tempat produksi sendiri. Memelihara bisnis hingga 93 tahun betapa solidnya. Apa rahasianya bisa bertahan selama itu ya?

Indra bertanya pada Kevin, seberapa banyak kapasitas produksi pabrik ini perharinya. Kevin menjawab diplomatis, “Gimana marketingnya saja, Mas. Kami di sini selalu siap produksi sesuai permintaan mereka.”

Marketing dan salesnya Davos kok bisa sih jualan permen senendang itu. Ujung tombak bisnis seperti ini kan ya berdagang! Nawar-nawarin, jual-jualin. Tidak ada sales tidak ada uang. Bagaimana cara marketing dan salesnya bekerja sampai-sampai produk permen mint ini bertahan sepanjang 93 tahun?

 

berkunjung ke pabrik permen davos

Pertanyaan yang tidak terjawab karena sepertinya harus ada sesi ngobrol sendiri agak lama dengan Kevin. Makasih Mas Kevin yang antusias dan ramah sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

 

Begitu turnya selesai kami diberi suvenir permen Davos dan segelas teh dingin rasa permen davos. Tehnya segar, manis, dan dingin. Niat hati mau membawa pulang merchandise (apa saja: mug, pin, tshirt, kalender, totebag) tapi sayang belum ada merch resminya Davos. 

 

Saat ngomongin merchandise Davos saya teringat Seni Kanji. Sepertinya akan jadi kolaborasi menarik kalau bisa terwujud poster Davos buatan Seni Kanji. Tiba-tiba terlintas saja sih ide ini.

Sejujurnya saya sudah lupa ada yang namanya perman Davos. Namun sering tidak sengaja saya tonton  kontennya di TikTok. Ya betul Davos aktif menggiatkan konten-konten digitalnya di TikTok dan Reels dengan nama @davos.official. Link ke toko onlinenya juga tersedia pada platform tersebut. Salut sekali pada bisnis lama yang lentur adaptif terhadap teknologi, utamanya dalam hal ini media sosial. 

 

peken banyumasan davos purbalingga


Ditambah lagi kunjungan pabrik ini di bawah komando Mlampah Sareng dan termasuk dalam rangkaian acara bernama Peken Banyumasan. Peken Banyumasan merupakan acara kreatif satu hari yang menampilkan kolaborasi antar jejaring lokal: ada local market, ada tur berjalan kaki, ada screening movie, ada showcase dari kreator-kreator lokal. Kolaborasi yang menarik dan dibutuhkan satu sama lain, saya juga sebagai pesertanya.

Waktu menentukan tujuan ke Purwokerto tiada lain saya hanya mau ikutan tur ke pabrik permen Davos di Purbalingga. Niatnya ke satu kota saja, berujung sedikit singgah ke Purwokerto dan Banyumas juga. Hamdalah jalan-jalan yang menyenangkan, terutama di Purbalingga saat tur ke pabrik Davos. Kami kembali ke Bandung dalam kondisi bahagia rohani dan capek jasmani.