Social Media

Image Slider

Kembali ke Kotagede

31 May 2020
“Tuh kan kesiangan!” kataku merengut, pada Indra suamiku. Kami melewatkan Pasar Legi. Pasarnya sudah sepi. Kira-kira pukul dua siang waktu kulihat jam tanganku.

Keinginan mencicipi limun bersoda di Warung Sidosemi pun batal sebab warungnya tutup. Kemudian maksud hati menengok Masjid Kotagede yang kuno nan antik mesti diredam, sedang masjidnya ditutup karena renovasi. Ah sial betul plesiran kami ke Kotagede Yogyakarta waktu itu, empat tahun lalu.

Lantas seperti dendam yang kesumatnya belum tamat, saya dan Indra kepingin balik lagi ke sana, ke Kotagede. Itu dia, tempat yang akan kami datangi setelah pandemi covid-19 ini berakhir. Kupikir kembali ke tempat yang kami pernah datangi setelah wabah keparat ini selesai akan memberi pengalaman yang segar. Seperti bertemu kawan lama.

di kompleks makam raja Mataram

Menyenangkan namun tidak memuaskan adalah kesanku pada Kotagede. Seperti memakai baju yang belum pas ukurannya. Sewaktu di sana, kami menyusun itinerary berupa satu paragraf di awal itu, yang gagal semua itu. Ditambah: berjalan kaki menyusuri gang-gang Kotagede dan masuk ke kompleks makam raja-raja Mataram. Dua tempat yang terakhir itu (untungnya) kesampaian kami kunjungi.

Strategi berjalan-jalan di Kotagede akan saya balik susunannya. Kalau dulu, saya dahulukan berjalan kaki masuk keluar gang. Nanti nih, saya mau eksplor Pasar Legi di pagi hari. Cari jajanan pasar. Menyantap sarapannya orang-orang Kotagede. Mungkin belanja, biasanya di pasar-pasar tradisional begini banyak harta karunnya! Betul tidak :D

Lantas Masjid Kotagede sudah beres renovasinya, tentu kami bisa beribadah di sana. Sekalian melongok keantikan masjidnya. Tujuan utamaku sih memotret masjidnya. Juga merasakan pengalaman beribadah di tempat kuno begitu.

Namun untuk Warung Sidosemi sepertinya tidak ada harapan bagi kami ke sana. Secara permanen tempatnya tutup. Ya, untuk selamanya. Entah mengapa. Juga, saya gak bisa beritahu alasan kenapa saya ingin banget ke warung ini. Padahal tempatnya biasa saja. Warung sederhana pada umumnya. Menunya bakso. Juga limun jadul. Mungkin ini yang namanya efek traveling. Tempat-tempat yang biasa, kelihatannya istimewa. Heuheu.

Eh kalo Kipo pasti masih banyak di Kotagede. Whaaaa kangen makan Kipo! 

kipo!

Meski kompleks makam raja Mataram sudah kami sambangi, saya ingin kembali ke sana. Kali ini pengennya berlama-lama, kalo bisa ditemani pemandu berkeliling kompleksnya.

Begitu juga gang-gang yang dipenuhi rumah lama Kotagede, gak ada keraguan  buat saya menyusurinya lagi. Jalan setapak di Kotagede tuh alamak cantik, bersih, dan khidmat. Bahkan sepuntung rokok pun gak saya temui di gang-gang itu. Berulangkali juga kulihat papan pengumuman bagi pengendara motor agar tidak menyalakan mesin motornya.

Jogja dan hal-hal kecil yang tidak kulihat di Bandung adalah Jogja yang menyenangkan. Termasuk Kotagede, tentu saja.
Dahulu di Kotagede saya berburu foto bangunan tua. Namun saya melewatkan banyak sekali detail-detail dekorasi rumah kunonya. Seperti pintu dan jendela tua. Untuk memotret merekalah saya hendak kembali ke Kotagede. Berburu banyaaaaaaaaaakkkk sekali pintu dan jendela.

Sepertinya pemandangan Kotagede yang kami lihat empat tahun lalu akan berbeda dengan tahun ini. Atau tahun depan. Entah kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir, moga-moga akhir tahun ini kita sudah bisa plesiran lagi ya! Kalau saya ke Kotagede, kamu mau ke mana?

Nah seingatku, dulu saya menginap di Prawirotaman. Esok nanti ke Kotagede saya pilih penginapan di sana saja, di jantung Kotagede maksudku.

Penginapannya kupilih di Reddoorz . Cari hotel di Jogja saja. Budget menginap harus ditekan, belum bisa bermewah-mewahan. Tahu sendiri sedang pandemi covid-19 begini, biaya apa saja yang ditekan. Meski pekerjaan kami tidak terdampak buruk karena virus korona, tapi pemakaian uang mesti diirit-iirit juga. Heuheuheu.





Mencari hotel murah di Jogja tidak sulit dengan bantuan Reddorz. Apalagi secara spesifik saya ingin menginap di Kotagede. Tinggal masukan nama kotanya di kolom pencarian, nanti muncul kawasan-kawasan di Jogja. Tentu saja saya pilih Kotagede. Wilayah turunannya akan muncul seperti Umbulharjo dan Pandeyan, juga beberapa wilayah lainnya.

Akan tetapi, mencari hotel di Jogja (maupun kota lainnya), mesti kamu riset lokasinya. Disinkronkan lokasi yang ingin dikunjungi dan titik hotelnya berada. Pilihan hotel di Reddoorz ada banyak, biasanya saya cek harga, review dan lokasi hotelnya. Dicocokan dengan googlemap dan ukur jarak.

Selain harga hotel yang murah, Reddoorz juga mudah saya pakai aplikasinya. Pembayaran praktis dengan pilihan pembayaran yang beragam: online dan offline.

Walau murah, Reddoorz memberikan fitur garansi yang menurutku menarik. Seperti wifi gratis, televisi, kamar mandi yang bersih, amenities, linen dan ranjangnya yang nyaman. Juga air mineral.

Cara menggunakan aplikasi Reddoorz mudah saja. Install dulu aplikasinya. Sign up dan login dengan email.

Cara memesan kamar hotel di Reddoorz tidaklah sulit. Ketik kota yang kalian tuju. Atau klik lokasinya saja supaya langsung ketemu hotel yang cocok. Masukan tanggal check in dan check out.



Beberapa Reddoorz tidak akan menanyakan surat nikah. Namun ada pula beberapa hotel di reddoorz yang sistemnya syariah, sehingga bila bukan pasangan suami istri akan ditanyakan surat nikah. Karena itu selalu cek status hotelnya ya. Selama menginap di Reddoorz, saya tidak dipersulit saat check in. Meski menginap sendirian atau berdua dengan anak saya, mentok-mentok hanya ditanya KTP.

Begitu juga dengan uang deposit. Tidak semua hotel di Reddoorz  mencantumkan deposit. Akan tetapi ada pula yang menghendakinya. Sepengalamanku, biasanya deposit diminta dalam bentuk tunai.

Perihal refund di Reddoorz setahu saya gampil saja. Pengembalian dana memakan waktu 14 hari.

Antara sabar dan gak sabar ingin pandemi covid-19 ini berlalu, moga-moga apapun kondisinya kita sehat dan rezeki mengalir lancar! Kereta api sudah menunggu, pesawat terbang siap menanti, bis-bis antar kota sama kangennya dengan kita nih.

Kotegede, kami akan datang!


Terpukau dan Terpukul di Masjid Sang Saka Ratu di Cirebon

05 May 2020
Berada di Masjid Kaliwulu, rasa gak nyaman yang saya rasakan muncul karena hawa gaib. Di Masjid Sang Saka Ratu, perasaan terganggu adanya karena ulah manusia.

Tiap masjid kuno di Cirebon menguarkan rasa kagumku yang levelnya beda-beda. Maksudku, harusnya saya bisa lempeng aja dan biasa aja melihat masjidnya. Namun gak tahu kenapa nih, kalo masuk masjid-masjid kuno ini whoaaaa terpukau aja gitu. Ada rasa kagum, respek, bangga, sekaligus terpukul dan bingung, tumplek tumbleugh!

Akan tetapi, di Masjid Sunan Gunung Jati ini, rasa bingungnya terlampau banyak. Mengapa? Saya ceritakan nanti di bagian akhir tulisan. Saya ceritakan dulu tentang masjid berusia 5 abad ini ya.




Masjid Sang Saka Ratu adalah nama resmi yang tercantum di artikel dan buku-buku sejarah. Nama lain masjidnya ada dua:
- Masjid Dog Jumeneng
- Masjid Syekh Syarif Hidayatullah

Ngomong-ngomong, nama Masjid Sang Saka Ratu tidak saya ketahui dari mana asalnya. Namanya kolosal banget yah. Ada yang tahu mengapa namanya Sang Saka Ratu? 

Sewaktu saya bertanya petunjuk arah masjid ke warga lokal, mereka gak familiar dengan nama-nama tersebut.

Begitu kutanya "di mana Masjid Gunung Jati?" barulah paham maksudku. 

Terpukau Bangunan Masjid Gunung Jati

Masjid ini berlokasi di lereng bukit. Karena itu kontur masjidnya unik: dibangun berjenjang. 

Didirikan tahun 1452 M, mulanya area ini adalah taman. Setelah Pangeran Cakrabuana wafat, barulah areanya berubah jadi makam. Beliau dan Sunan Gunung Jati, dimakamkan di sana.

Ohiya, Pangeran Cakrabuana adalah sosok yang mendirikan Cirebon. Ia putra Prabu Siliwangi. Ya betul, darah kerajaan Pajajaran mengalir di tubuhnya. Gak heran Cirebon ini setengah sunda, setengah jawa. Atau tepatnya bukan sunda dan bukan jawa ya. Hehe. 

Berada di satu kompleks yang sama dengan makam Sunan Gunung Jati dan makam keluarga keraton, lumrah sekali ini masjid ramai pengunjung. Peziarah, tepatnya. Kompleksnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. 

Kami gak sengaja berkunjung ke sana saat kliwonan. Saya baru menyadari hari itu menjelang kliwon setelah berada di masjidnya dan kondisi kompleks tersebut penuh manusia. 

Mencapai masjidnya kami berjalan melewati jalan setapak berupa gang kecil di antara rumah warga. Begitu masuk ke dalamnya barulah terlihat kontur bangunan masjid yang berjenjang.

Ada empat jenjang serambi masjid. Jenjang paling atas, kita sebut saja serambi 1.

Gak ada pembatas antar jenjang serambi kecuali di serambi paling bawah. 

Ohya jenjang di sini maksudnya bukan bangunan bertingkat. Bayangin kue tart  tingkat empat. Nah begitu kira-kira jenjangnya.

Di serambi ke-3 dan ke-4 ada pembatas tembok setinggi satu meter. Tiap jenjang serambinya dihubungkan dengan tangga yang berada tegak lurus dengan pintu masuk masjid.

Apakah bangunan asli masjidnya adalah serambi paling atas itu? Entahlah. Buat pengunjung seperti saya yang datang semata-mata hendak wisata, butuh pemandu sih emang. Sebab bingung gitu ini teh gimana, ke mana, kenapa 😅

Tiap serambi adalah ruang sholat. Ruang utama sholat laki-laki di tiga serambi teratas. Ruang paling sakral ada di serambi I yang paling atas. Mimbar kuno pun terletak di sana. 

Atap masjid berbentuk tajug tumpang dua. Kalo orang sunda bilangnya bale nyuncung kali yah. Sekarang jarang banget kulihat di Bandung masjid yang atapnya tajug nyuncung begitu. 

Atap di serambi paling atas ditopang 16 tiang kayu. 16 tiang ini terdiri dari 6 sakaguru dan 12 sakarawa. Tiap tiang diameternya kira-kira 30 cm. Begitu kata buku yang kubaca. 

*Sakaguru: tiang peyangga struktur banguna utama. Sakarawa: tiang penyangga struktur bangunan tepi atap.
*Atap tajug: atap bentuk limas, dasarnya persegi dengan satu puncak di tengah.

Indra sholat di serambi utama, yang paling atas itu. Jadi dia bisa lihat saka gurunya. Sungguh dia beruntung! 

Serambi atas dibuka hanya di hari Jumat saja. Seingatku, kami ke sana hari kamis ashar. Tapi Indra bilang itu hari jumat.

Untuk perempuan ruang sholatnya ada di serambi di paling bawah. Ya di sanalah saya berada. Sehabis sholat kutengok-tengok aja kan interior masjidnya. 

Gimana ya jelasinnya. Level dekorasi bangunan di sini level kerajaan gitu. Bahkan ada tangga yang kulihat itu berdekor bunga yang terlihat mewah. 

Kekagumanku pada masjid ini juga jatuh pada pada dekorasi dinding dan pintu. Banyak sekali dekorasi kelopak bunga yang tertanam di dinding. Formasi kelopaknya 4-8. Bunga apa namanya saya gak tahu. Lagi-lagi, saya butuh pemandu di sini...heuheu...





Gak ketinggalan ornamen piring-piring cantik nan antik khas bangunan zaman kerajaan di Cirebon. Ada buanyak sekali ornamennya. 

Masjid ini kalo diperhatikan mewah juga dekorasinya. Makanya kubilang tadi levelnya buat raja-raja. 

Sayangnya lantai masjid berupa keramik putih biasa. Begitu juga atap di serambi bawah. 

Di teras masjid terdapat bedug tua yang asalnya dari abad 16. Saya juga menengok koleksi mushaf Al Quran tulisan tangan yang tersimpan di lemari kaca. Konon usianya ratusan tahun.

Sama dengan situs sakral religius lainnya di Indonesia, di sini juga ada sumur keramat. Saya hanya melihat satu sumur saja dan enggan menghampiri sumur lainnya. Sebab terlalu hiruk pikuk suasananya. Kubaca pada buku panduan, ada empat sumur keramat di kompleks ini.


pintu ini masuk masjid yang cakep banget.
tambahan atap seng itu ganggu pemandangan masjid, tapi butuh untuk menghalau air hujan dan panas, mungkin


Pengalaman Gak Enak di Masjid Gunung Jati

Ongkos parkir Rp10.000. Tak apa. Masih wajar. Tiket masuk Rp5.000, oke gak apa. 

Masjidnya berada di tengah pemukiman padat. Menuju ke pintu masjidnya saja, kamu harus jalan berbelok-belok menelusuri gang kecil. Melewati rumah penduduk, warung-warung kelontong, dan...barisan pengemis.

Ya betul. Barisan pengemis duduk di tepi jalan gang itulah yang membuatku bingung.  

Sambil berjalan kaki dengan posisi membungkukan badan tanda permisi, kuhitung jumlah mereka. 

Satu...
Dua...
Lima...
Tujuh...
Sepuluh...

Berbelok gangnya, masih ada pengemisnya. 

Empat belas...
Tujuh belas...
Dua puluh...
Tiga puluh...

Aduh jantung saya menyusut memikirkan betapa menyedihkannya pemandangan tersebut.

Empat puluh? hampir.

EMPAT PULUH ENAM ORANG DUDUK BERSILA NUNGGU SUMBANGAN. 

Bayangkan kamu jalan kaki masuk gang. Lalu di sisi kiri kamu nih ada 46 orang ibu dan bapak duduk berjajar. Di depan mereka ada baskom kecil warna-warni buat wadah uang. 

Saat kuceritakan ini pada seorang teman, ia tertawa. Apakah aku membayar mereka sekaligus dengan uang lima puluh ribuan dan kembaliannya Rp4000?

Baru kulihat pemandangan pengemis dengan formasi yang terorganisir begitu.

Apa yang harus saya rasakan saat memandang itu semua? Risih, terganggu, sedih, marah? 

Kamu tahu apa yang paling ironis dari itu semua? Saat kubaca pengumuman donasi masjid di papan pengumuman. Jumlahnya mencapai angka...TIGA RATUS JUTA.

Dikemanakan tiga ratus juta, mengapa harus ada pengemis sebegitu banyak dan terkoordinir begitu rapi. Mengapa mereka harus jadi bagian dari sistem wisata ziarah yang seharusnya agung, sakral, dan kudus ini? 

Pemandangan tersebut hanya terjadi saat kliwonan atau tiap hari? begitu tanyaku dalam hati. Kacau sekali. 

Saat berjalan kembali melewati 46 pengemis itu, perasaan gak nyaman mulai memuncak. Inginnya bergegas kembali ke parkiran. Lalu pergi. 

Kami membawa kamera DSLR, tapi kamera itu diam saja dalam tas. Kami pikir saat itu tidaklah bijak memotret dengan kamera model 'serius'. Petugas patroli di mana-mana. Ratusan (atau ribuan tepatnya) orang berjejalan di semua sudut kompleks. 

Terlintas sih keinginan saya untuk kembali ke situs Gunung Jati ini di hari biasa, bukan kliwon. Namun, sepulang dari sana rasanya saya gak mau balik lagi. 

Di parkiran saat kami bersiap pulang, mesin mobil baru menyala dan kami didekati banyak ibu-ibu berperawakan sehat. Kalung di leher. Anting-antingnya menggantung di kedua telinganya. Entah emas betulan atau bohongan. Mereka meminta-minta. Anak-anak seliweran menadahkan tangan meniru orang dewasa di sekitarnya. Pada ngapain? Mengemis juga.

Lalu seorang mas-mas bertubuh tegap mengetok jendela mobil kami. Tahu ia minta apa? uang parkir. Sudahlah kami berdamai dengan situasi saja. Kami cuma orang asing di sana.

Sungguh mengenaskan hal-hal yang gak islami terjadi justru di situs yang seharusnya paling islami. 

Begitulah. Pengen gak pengen balik lagi ke Masjid ini tuh...masjidnya indah, tapi...

Terlepas dari pengalaman tersebut, apakah saya rekomendasikan situs kuno ini untuk dikunjungi? YA TENTU SAJA :)




Oya, karantina covid-19 membuatku menulis catatan lama ini. Penelusuran saya akan masjid-masjid kuno di Cirebon ini sudah lama berlalu. Beberapa masjid pernah saya tulis di blog. Nah sekarang saya tulis satu masjid lainnya yang populer di kalangan peziarah Walisanga, yaitu Sang Saka Ratu.

Saat Harus Keluar Rumah dan Pencegahan Virus Korona

01 May 2020
Hai apa kabar, hari ke berapa karantina di rumah akibat virus korona, 48 hari?

Hari ini kuputuskan ikut virtual walking tour di Semarang. Ya, bayangkan saya berdiam diri di Bandung tapi bisa jalan-jalan ke salah satu kota pesisir pantai utara Jawa Tengah? menarik bukan. Pandemi ini membuat hal-hal yang tidak sangka akan terjadi, malah terwujud. Kayak jalan-jalna virtual, misalnya. Hehe.

kami siap jalan-jalan beneran begitu pandemi korona ini udahan! 

Bosan di rumah membuatku ingin traveling ke kota-kota kecil kayak kemarin-kemarin. Namun mana bisa, karantina ini hampir membuatku sedikit gila. Apa kamu juga merasakan hal yang sama?

Saat kupikir saya akan bertahan berada di rumah terus, bahkan berbelanja pun kulakukan via tukang sayur online, ternyata beberapa hari yang lalu takdir mengatakan saya harus setor muka ke...bank. Semakin saya tunda, makin ribet urusannya. Jadi, selain ke minimarket sebelah rumah, saya akhirnya menjebloskan diri ke ruang publik bernama: bank.

Sebelum keluar rumah, kubuka aplikasi Halodoc untuk memastikan beberapa informasi terkait Virus Korona. Begini, dalam kondisi normal, kupikir perlu ada satu app medis di dalam ponsel pintarmu. Apalagi situasi pandemi begini. Apa kamu melakukan hal yang sama denganku, memasang aplikasi Halodoc di smartphone-mu? Jika belum, download dan segeralah install sekarang. Aplikasi ini sangat membantu.



Dengan kondisi tubuhku yang sehat, ketentuan apa yang harus saya lakukan bila ingin berkunjung ke bank di masa-masa pandemi begini. Itulah yang kucari di Halodoc. Lantas saya temukan beberpaa informasi berguna seperti:

1. Menggunakan masker
Dalam artikel yang kubaca di Halodoc, penggunaan masker akan efektif bila dibarengi dengan kebersihan tangan. Oleh karenanya saya mengenakan masker (sesuai standar pencegahan Virus Korona) dan membawa hand sanitazer. Meski di bank disediakan pembersih tangan, saya juga jaga-jaga membawanya sendiri.

2. Social Distancing
Jaga jarak dengan orang-orang sekelilingku. Menyebalkan memang harus menghindari orang dalam jarak tertentu. Akan tetapi, saya belum siap mati. Jadi, yasudahlah.

Dipikir-pikir agak paranoid juga harus berjaga diri menjaga jarak. Semoga pandemi ini segera berlalu. Saya gak bisa berlama-lama harus mencurigai orang yang berdiri di sebelahku, apakah dia terpapar virus korona atau tidak. Argh!

3. Minum suplemen
Saya jarang minum suplemen vitamin tambahan. Makanan yang saya santap di rumah kupikir sudah menyehatkan. Ditambah, saya gak ke mana-mana selain berdiam diri di rumah. Namun, berhubung harus keluar rumah saya putuskan minum suplemen tambahan saja untuk menjaga daya tahan tubuh. Bagian jadi menjaga diri.

4. Survei lokasi tujuan
Saya membaca partikel terkait pencegahan penularan virus korona di Halodoc, disebutkan saya harus menghindari keramaian dan jangan bepergian ke daerah atua wilayah yang terpapar wabah.

Karena itulah saya survei lokasi bank yang tidak berada di zona merah. Agak sulit sih karena banyak bank-bank cabang yang tutup. Tapi syukurlah saya temukan satu bank yang berada di zona hijau. Saya datangi bank di jam pertamanya buka. Kupikir, makin cepat urusan makin baik.

5. Sterilisasi
Beres urusan, sampai di rumah saya sterilkan semua pakaian yang kukenakan. Langsung masuk mesin cuci. Saya bahkan langsung mandi. Barang yang kubawa kusemprot cairan desinfektan. Sebut saja, dompet, uang, smartphone, tas kupakai, sampai sandal! Sebegitunya memang bagaimana lagi.

Artikel-artikel yang saya baca di Halodoc benar-benar menolong di situasi seperti ini. Googling juga membantu kita mencari informasi. Namun, terlalu banyak informasi yang masuk ke kepalamu, mana yang bisa kamu terima? Paling tidak ada satu sumber medis yang terpercaya, cepat, dan ada di genggamanmu, ya itulah aplikasi Halodoc. Bayangkan rumah sakit online, nah kira-kira hampir seperti itulah caranya bekerja.


Dalam aplikasi Halodoc, saya bisa membuat janji temu dengan dokter, bahkan konsultasi online dengan dokter, membeli obat (banyak diskon pula :D), daftar untuk pemeriksaan lab, menggunakan fasilitas asuransi, dan layanan yang berhubungan medis lainnya. Seru ya dunia digital ini bekerja.

Nah. Sekarang saya siap-siap dulu jalan-jalan ke Semarang, via internet tentu saja. Hehe. Sehat-sehat selalu ya, semoga kita diparengi kesehatan yang baik dan tidak terpapar virus korona ya. Amin!