Social Media

Image Slider

Masihkah Ada yang Membaca Blog?

25 July 2019
Apa orang masih baca blog?

Saya masih. Media sosial dengan caption pendek-pendek nampaknya lebih disukai sih. Saya sendiri rajin menulis caption di IG dibanding menulis di blog. Haha.

Photo Courtesy  di sini
Pembaca blog Bandung Diary per hari 200 view. Kalo musim liburan bisa naik sampe 300. Berarti masih ada dong yang baca blog. Namun di satu sisi, saya akui saya gak sering nulis di blog lagi kayak dulu. Kenapa?

  1. Platform karakternya seolah-olah meminta saya nulis panjang. Padahal pendek juga gak masalah. Jadi kita udah mikir ribet duluan nulis juga belum. Iya kan? :D
  2. Lebih ribet dari medsos dan gak ada interaksi langsung dengan pembaca selain tombol share dan komen.
  3. Media sosial lebih seru sih hahaha

Lantas, saya membuat survey di stories IG. Pemicunya karena di Twitter, ada yang share 50 hal yang mati di era milenial. #MillenialsKillEverything cenah hesteknya. Di no 49 ada: blog.

Milenial membunuh blog, katanya. Hmmm... apa iya?

Survey saya dan jawaban netizen saya urai di sini ya.

Masih pada baca blog gak?
Baca : 64%
Enggak : 36%
124 voted

Gimana kalo format blog saya pindahin ke stories?
Pindahin : 38%
Gak perlu : 62%
84 voted

Saya bertanya kepada yang menjawab ENGGAK BACA BLOG, alasannya kenapa?

  • Terlalu panjang tulisannya
  • Baca kalo perlu aja, misal kalo mau traveling, browsing dulu cari rekomendasi tempat yang oke
  • Membosankan
  • Sulit cari waktu untuk baca, baca blog menyita waktu banyak
  • Enakan baca di stories IG
  • Seringnya baca IG
  • Loading blog lebih lama dibanding medsos
  • Kalah sama wattpadd
  • Susah nemu blog yang beneran 'unik' karena kebanyakan cuma iklan
  • Males baca blog di hp, enakan baca di PC/laptop, masalahnya lebih sering buka hp daripada laptop
  • Blog mah kebanyakan intro
  • Baca kalo suka topiknya aja

Kesimpulan saya nih, blog masih ada nyawanya. Masih panjang usianya. Dia bagian dari google dan tahu kan mesin pencari apa yang paling laku? Google dong. Kalo kamu search nih, browsing-browsing gitu, google akan merekomendasikan blog dulu ketimbang media sosial. Bener gak sih? Sotoy amat saya haha.

Blog organik memang ketimpa banyak sama web-web dengan teknik SEO canggih. Tulisan saya pun yang dua tahun lalu bertengger di google page 1, tenggelam jauh karena web-web travel seo. Gak apa-apa, namanya juga persaingan haha.

Saya sendiri masih membaca blog, dengan topik yang saya sukai aja. Atau saya suka branding orangnya sehingga apapun yang dia upload mau di mana pun dalma bentuk apapun, saya pasti klik.

Bila menulis untuk kepuasan diri sendiri tanpa repot mencari pembaca/klik, terus aja ngeblog. Namun sebaliknya, bisa mencari pembaca atau perhatian bahkan cari uang dari blog (selain iklan adsense) mau gak mau ikutan tren sih. Maka gunakan media sosial sebagai pelengkap. Ibaratnya mah tulangnya media sosial, dagingnya itu blog.

Saya rasa gak ada yang salah menjadi blogger yang idealis maupun blogger yang mencari uang dari kontennya.

Lantas, gak usah bingung mau mulai darimana bila ingin menulis di planet digital. Platformnya ada banyak. Tiap platform beda karakternya. Blog hanya salah satunya. Seenggak-enggaknya, yang bertahan sejak 1990 ya? Platform lain jatuh bangun dan tutup. Platform blog ada terus. Entah 3 tahun lagi, 5 tahun lagi, 7 tahun lagi. Haha. Mudah-mudahan mah ada terus.


Menyusuri Kauman dan Jajan Lumpia Gang Lombok

23 July 2019
Abis jalan-jalan di Surabaya, ceritanya saya pengen ke Semarang. Mampir sebentar di kota lumpia itu. Barulah balik ke Bandung. Ternyata di Semarang gak bisa sehari saja. Sebab kota ini menarik banget!

Bila biasanya menumpang kereta api, kali ini saya menumpang bus. Bus Sugeng Rahayu Traveloka, pesan kursi eksekutif ongkosnya Rp100.000 saja. Bus Sugeng Rahayu ini udah pegangannya warga lokal Jawa lah.

Di Semarang kunjungan wajibnya ada beberapa tempat. Makanya gak cukup sehari doang. Extend lah dua hari. Hehe.

Siapin kaki yang kuat.
Siapin perut yang kosong.

Ke mana aja, ngapain aja?


1. Jelajah Kota Lama, Kauman, dan Pecinan

Wisata jalan kaki dulu. Enaknya jalan kaki, bisa lihat, lebih dekat lebih detail dan bisa pegang-pegang. Hehe.

Semarang nih bisa dibilang surganya bangunan klasik. Bandung ketinggalan jauh sih jumlah bangunan kunonya dibanding Semarang.

Tapi saya pikir perhatian pemerintah terhadap bangunan tua ya sama saja. Mau di Bandung atau Semarang, banyak cueknya 😂

Kecuali di pusatnya kota sih. Seenggaknya di jantung kotalah bangunan kategori cagar budaya (agak) diperhatikan oleh yang berkuasa.

Kota Lama pusatnya gedung-gedung kolonial. Sekarang kawasan ini sedang direstorasi. Lebih cakep. Lebih ramah pejalan kaki.

photo source: Traveloka

Pernah lihat bangunan klasik bertuliskan Spiegel wara-wiri di timeline instagram?

Spiegel adalah bangunan kolonial, satu dari banyak gedung klasik di Kota Lama. Dia sedang melejit popularitasnya. Mana ini gedung diisi kafe kopi pula. Segala-galanya instagenic di sini.

Lawang Sewu & Gereja Blenduk gak usah dijelasin lagi lah udah pada tahu semua kan. Hehe.

Dari Kota Lama, pindah ke Kauman.

Di Kauman masi ada peninggalan bangunan kolonial. Pabrik Hygeia salah satunya. Pabrik air minum pertama di Semarang.

Ada juga Pasar Johar. Dahulu ini pasar cakep banget. Indah dan megah. Sayang kondisinya sekarang berbeda jauh sejak bencana kebakaran tahun 2015.

Lantas, di sini kita telusuri rumah-rumah kuno di Kauman. Berjalan kaki saja keluar masuk gang. Mengamati rumah dengan dekorasi unik dan jendela berbuku-buku antik.

Kauman sendiri termasuk kawasan religi. Lokasinya tak pernah jauh dari masjid besar. Dalam hal ini Masjid Agung Kauman Semarang.

Udah capek jalan kakinya? Yok pindah ke kawasan Pecinan! Kalo di sini, banyak jajanannya. Nyam!

Pecinan semarang gak boleh dilewat. Eksotis abis! Klentengnya, rumah-rumah dengan arsitektur pecinannya, dan tentu saja menyusuri kios-kios kulinernya.

photo source: Traveloka

Klenteng Sam Poo Kong yang megah. Jejak Laksamama Cheng Ho ada di sini. Di dalamnya saja ada empat bangunan klenteng lainnya: Kelenteng Dewa Bumi, Kelenteng Juru Mudi, Kelenteng Sam Poo Tay Djien, dan Kelenteng Kyai Jangkar.

Sementara itu kelestarian rumah-rumah tionghoa Semarang emang tidak lebih baik dari kondisi serupa Bandung. Namun bisa menyaksikan meski sisanya saja masih menarik hati kok.


2. Lumpia Gang Lombok nan legendaris

Gak kehitung lagi teman yang rekomendasikan lumpia ini.

Ke Semarang, jajannya lumpia gang lombok! Harus ke sana lho. Lonely Planet aja rekomendasiin kuliner ini.

Gitu kata teman-teman.

Ini kios lumpia pertama di Semarang. Sudah lewat empat generasi, artinya si lumpia udah lebih dari seabad dong ya.

Di sini mereka menyediakan hanya lumpia ayam dan udang. Cuma dua doang tapi ramenya luar biasa. Legendaris! Saya aja ante sampe sejam. Capek emang. Tapi begitu makan lumpianya, alamaaaak nikmat parah!

photo source: Traveloka

Rasa rebungnya istimewa. Konon di situlah kunci kelezatannya. Saat lumpia disajikan, disertakan juga bawang daun, selada, dan cabe rawit. Rasa manis, gurih, sekaligus pedas bergemuruh nikmat di mulut.


3. Jajan di Pasar Semawis

Ini pasar kuliner yang adanya malam hari saja. Konon, kuliner Semarang tumplek tumblegh di sini. Pilih aja mau apa. Sebanyak apa.

Hanya saja bagi muslim harus tanya dulu nih sama yang jualnya. Halal atau engga. Beberapa menu di sini menggunakan bahan nonhalal.

Kuliner rekomendasi di Pasar Semawis nih: es hawa yang unik dan langka, jamu jun, es cong lik, dan tahu pong nasi ayam.

Menu makanan berat ada banyak. Kebanyakan ala makanan tionghoa. Kayak nasi goreng babat. Enak-enak semua sih di sini hahaha. Siapin aja perut yang kosong kalo ke Pasar Semawis.

photo source: Kompas
Jalan kaki udah, makan banyak udah. Foto-foto bejibun. Tinggal siapin diri buat pulang ke Bandung.

Kota lumpia memang berkesan.  Termasuk kota yang seru dan ga ada habisnya.

Sampai ketemu lagi, Semarang!

Stories dengan Ilustrasi, Terima Kasih Eri!

21 July 2019
Bulan ini menyenangkan dan bersejarah buat Bandung Diary.

Saya pernah cerita kan ya tentang blog versi stories instagram. Ya, saya mindahin tulisan di blog ke stories IG @bandungdiary.

Udah ada 5 blog instagram stories yang saya highlight. Bisa cek ke highlight @bandungdiary. Nah di tulisan ke-6 saya gak ngerjain sendiri.

Ada Erri The Third (@errithethird) yang melengkapi tulisan saya dengan ilustrase ciamik. Terima kasih ajakan kolaborasinya, Eri! Saya gak pernah meragukan ilustrasinya, saya fans berat karya-karyanya Eri (hint: buku Salam Matahari, Sundea).


Karena ilustrasinya lah, versi baru blog IG stories saya lebih menarik. Jauuuuuhh sama sebelumnya yang garing.

Blog stories ke-6 ini judulnya Pusaka di Jayagiri.

Baca teks di stories jadi lebih menarik. Gak bosenin. Lucu. Keren. Whoaa gila si eri lah warna desain dia bagus banget. Eklektik gitu. Bener gak itu istilahnya? Haha. Tabrak-tabrak warnanya brilian!

Uwuwuw saya seneng! Terima kasih, Eri!

Oiya, Eri tinggal di Bintaro. Saya di Bandung. Kami tukeran ide dan menyamakan frekuensi via watsap aja.

Serunya nih, proyek yang kami pikir bakal berjalan sederhana dan cepat ini ternyata makan waktu lama hahaha. Saya pikir kirim tulisan ke eri udah beres. Begitu pun dia, kirim desain ke saya. Udah.

Gak gitu.

Bikin blog IG stories dengan ilustrasi gak semudah yang saya lakukan sebelumnya. Bolak-balik ngecek desain. Revisi. Mana yang dibenerin bukan cuma gambar tapi juga tulisan saya. Haha.

Seru!

Begitu udah siap tayang storiesnya nih, waduh perut saya tuh mulesnya luar biasa. Jantung kenceng degupnya.

Si Eri lebih aneh. Dia bilang semangat banget sampe penyakit herinya kambuh. Heri = heboh sendiri.

Hahahaha seru banget. Beginilah rasanya mengalami hal-hal untuk pertama kalinya. Kalo kalian masih mikir-mikir untuk melakukan sesuatu pertama kali nih, udah kerjain aja. Mana tahu gimana hasilnya kan. Mules mah mules deh. Hehe.

Kamis 18 Juli 2019 jam 6 pagi, storiesnya saya upload.

Deg-degannya hilang. Berganti rasa cemas.

Apa netizen akan menyukainya?
Banyak yang lihat gak?
Berapa angka Reachnya?

Saking cemasnya, saya sampe nanya ke diri sendiri. Buat siapa saya membuat ini semua, memuaskan diri sendiri atau menyenangkan orang lain?

Saat saya ngaca dan berkata, "ini mah proyek pribadi buat saya aja. Saya keluar zona nyaman dan saya menyukainya" nah rasa cemas itu hilang.

Senang melihat diri sendiri sampai di titik ini. Saya harap hal-hal kayak gini gak berhenti. Pasti gak akan terjadi tiap hari, saya menyadari itu. Sebab ini bukan pekerjaan utama saya.

Tapi kita kan gak pernah tau. Jalanin aja dulu seseru-serunya. Dari stories kemaren aja banyak catatan evaluasinya. Dipikir-pikir, untunglah kami menelurkan proyek kolaborasi ini meski masih banyak cacatnya. Hahaha. Jadi tahu kan salah-salahnya di mana.

Untuk kolaborasi kemaren dengan Eri, saya harus apresiasi karyanya dan karya saya sendiri. Selamat, Ulu. Selamat, Eri.

Juga, terima kasih banyak, Eri! Mudah-mudahan kolaborasi kita gak berhenti sampai di sini.

Terima kasih netizen yang baca storiesnya dari halaman pertama sampe tamat. Juga ikutan interaksi ngisi pooling dan kirim response. Wah saya senang sekali dan karenanya saya mules juga 😂😂



Tahu Gak Ada Banyak Hotel di Jalan Pangarang?

13 July 2019
Jalan Pangarang adanya di belakang jalan Asia Afrika.

Ibaratnya mah Maliboro sebab kawasan Asia Afrika emang mirip-mirip Malioboro hitsnya, nah Jalan Pangarang ini adalah jalan dagennya.

Baru pertama kalinya saya masuk ke Jalan Pangarang. Ternyata banyak hotel di sana. Saya sendiri menginap di Reddoorz Near Asia Afrika. Nama hotelnya Hotel Mawar.




Menarik lho ternyata hotelnya. Saya kayak apa ya, gak nyangka juga sih ada hotel kayak gini di dalam sebuah jalan yang kebanyakan dari kita gak kenal namanya. Jalan Pangarang. Kalo saya banyak uang, mau juga sih bikin bisnis penginapan di jalan ini. Hehe.

Menariknya, hotel di sini murah-murah. Cocok buat backpacker. Juga bagi yang traveling dengan budget sedikit.

Ada satu hotel besar di sini. Ukuran bangunannya terbesar. Nama hotelnya Raffleshom. Saya cek di OTA, ratenya gak mahal-mahal amat. Masih di bawah 400ribu. Okelah kelihatannya ini hotel pas saya pandang dari luar.

Saya mah nginepnya di Hotel Mawar. Di sebelah hotel Raffleshom. Gimana hotel mawar nih, menarik gak?

Ya gitu aja kamarnya cocok buat tidur. Bukan staycation. Bukan tipe kamar yang istimewa. Apa karena saya bookingnya di kamar termurah ya wkwkwk gak tahu juga nih.

Tapi okelah semuanya gak ada komplen. Enak tidur, AC oke, dan pilihan channel televisi yang gak banyak tapi masih memuaskan anak saya. WIFI gak kenceng-kenceng amat tapi cukup buat cek stories di ig. Hehe.

Kalo gak salah, hotelnya terdiri dari tiga lantai. Semua kamar manghadap ke taman.

Ini hotel cukup impresif juga. Dari luar nampak hotel yang biasa saja. Masuk ke dalamnya, hmmm dia mencoba ngasih view yang enak buat tamunya. Ada taman. Dekorasi pagar kayu juga oke. Ada sedikit balkon yang muat untuk satu orang saja. Ditaronya meja kursi di situ. Cocok buat nunggu atau kalo sepi ya bisa nulis-nulis dan jadi puisi :D

Ada juga perpustakaan. Saya rasa ini bagian terbaiknya. Karena perpustakaannya ditempatkan di lantas bawah, semi outdoor, dengan sofa yang super lembar dan super empuk! Nikmatnya luar biasa pas duduk di sini. Angin semriwing, duduk terasa nyaman. Belum lagi pilihan buku dan majalahnya gak buruk-buruk amat. Ada komik Kungfu Boy juga. Majalahnya ada Tempo dan National Geographic. Juga ada novel-novel lama.


saya dan kubil nih

Sayangnya, tamu lain ikut nongkrong juga. Kan deket sofa ada kursi-kursi ala meja makan gitu.  Dan mereka merokok. Heuuuu bubar deh.

Terus di sini ada galon di tiap lantai. Lumayan bisa isi ulang kan gak usah beli-beli air putih lagi.

Keluar Jalan Pangarang, ketemu Jalan Dalem Kaum. Sebrang-sebrang aja nanti masuk ke jalan Asia Afrika deh. Udah gitu aja langsung masuk ke areal wisata. Ke Braga ya tinggi lurus saja dari Jalan Pangarang itu. Gampang lah.

Hotel Raffleshom stratanya tinggi.
Hotel Mawar strata keduanya.
Nah hotel-hotel lain ada yang lebih murah.
Tapi pas kamu browsing penginapan di sini, perhatiin juga review-reviewnya. Rekomendid gak. Hotelnya kayak gimana nih. Bahaya gak buat keluarga dengan anak (siapa tahu sih ada praktek plus-plus :D). Ya usahakan riset selalu lah. Gampang kan riset zaman sekarang mah.

Sejauh ini yang saya rekomendasikan Hotel Raffleshom dan Hotel Mawar. Keduanya pun berafiliasi dengan Reddoorz dan Airy. Sok aja dicek-cek.

Udah lama saya gak review penginapan ya hahaha gini nih pensiunan agen agoda emang :))))








Foto: Ulu

Membaca Nice Boys Don't Write Rock n Roll

12 July 2019
Genre buku yang beda dari yang biasa saya share di instagram. Karena bukunya bahas musik. Dari Guns N' Roses sampai Iwan Fals.

Judulnya Nice Boys Don't Write Rock n Roll. Ditulis sama jurnalisnya Tirto. Nuran Wibisono namanya. Lumayan tebel juga. 450 halaman bahas musik. Terbitan indie. Dan ini yang saya beli cetakan keduanya. 



Ini jenis buku yang saya sukai meski kadangkala saya gak ngerti siapa yang dibahas. Tapi seneng aja bacanya. Terus biasanya saya browsing di youtube musisi yang disebut dalam bukunya.

Buku kayak gini tuh semacam rekomendasi musik. Tapi disertai cerita panjang. Menurut saya disitulah menariknya.

Kayak, sekarang saya tahu William Cohen yang watir pisan kisah cintanya dan kenapa lagu-lagunya gelap. Juga Quiet Riot dengan lagu Thunderbird.

Ini buku terbitan penerbit indie, cetakan ke-2. Halamannya banyak, ada 449 belum termasuk halaman indeks. Hebat bener penerbit indie sekarang berkibar! Sampe pada cetak berulang gini.  

Tulisan di buku ini terbagi dalam lima subjudul, saya baca semua tapi banyak yang saya gak ngertinya sih. Karena saya bukan penggemar band-band hair metal. Sementara di buku ini ada satu subjudul yang isinya bahas Guns N Roses semua.

Nah kalo subjudul Obituari dan Kematian adalah bagian ini saya paling suka.  Begitu juga dengan Musik Indonesia. Pas masuk Hair Metal, saya google dulu nama-nama yang ia bahas. Berulang kali jadi mikir, kenapa ya saya beli buku ini. Haha. Tapi kover bukunya bagus! Tema bukunya juga jarang banget kalo di Indonesia. Bisalah masuk kategori buku koleksi nih.

Walo saya gak bisa ngikutin sebagian isinya, tulisan Nuran bagus sekali: lucu, observatif, unik, penuh cinta (yang ini khusus buat Guns N' Roses). Kalo suka Axl Rose, cocok sama buku ini. Kamu baca & berdebatlah sama penulisnya. Khekhe.

Buku bagus, beli dan bacalah buat rekreasi pikiran.


Sore-sore di Gedung Pakuan

10 July 2019
Kalo bukan karena acara reuni SMA 3 Bandung, manalah mungkin saya bisa masuk ke areal rumah dinasnya gubernur Jawa Barat ini.

Bukan Ridwan Kamilnya yang mau saya temui. Tapi gedungnya yang klasik banget. Biasanya cuma bisa memandang dari luar pagar. Sekarang bisa masuk ke terasnya. Segitu juga udah lumayan. Khekhekhe.




Temen bilang sih di sini suka ada pengajian. Terbuka untuk umum atawa komunitas pengajian. Wah saya belum tertarik, karena kalo acara kayak gitu suka dipasang panggung dan dekorasi yang nutupin keindahan gedungnya :D

Nah pas banget nih si Indra reunian, saya ikut ngintilin. Lalu berfotolah sepuasnya di sana. Rupanya saya gak sendiri. Emang banyak yang mau foto-foto di sana hehe.

Gedung Pakuan usia bangunannya udah tuaaaa banget. Sejak tahun 1866. Dia bahkan udah ada sejak rel kereta api belum dibuat di Bandung. Oleh karenanya, ini gedung yang jadi saksi sejarah Bandung yang tadinya kampung pedalaman menjelma jadi kota metropolis.

Bergaya Indische Empire, gedungnya emang kelihatan 'menindas' banget. Mewah. Pilar-pilarnya besar ala kerajaan romawi. Gedung yang sama pernah saya lihat di Gedung Negara di Cirebon. ya mirip-mirip begitu. Halaman depan yang ekstra luas, teras yang lebar dan besar, kolom-kolom yang ala istana, dan pintu depan ada beberapa biji dan berbuku-buku.

Ini bangunan termewah pada zamannya kali ya.

Coba perhatiin kantor Polwiltabes Bandung, seberangnya Bank Indonesia itu lho di Jalan Jawa. Nah arsitek Gedung Pakuan dan Polwiltabes orang yang sama. Polwiltabes ini dulunya Sakola Raja. Sekolah buat kaum priyayi. Ndak heran gaya-gaya rancangannya mirip yhaaa.

Nama Pakuan sendiri diambil dari nama kerajaan sunda pajajaran di Bogor.





Dulu waktu wilayah di Hindia Belanda masih dibagi dengan nama karesidenan, nah inilah rumahnya residen Priangan. Status bangunannya sepenting itu. Ibukota Karesidenan Priangan tadinya di Cianjur sih, tapi emang mau dipindahin ke Bandung. Kenapa ya?

Berhubung Gunung Gede meletus, cepet-cepet lah dipindahinlah ke Bandungnya. Nah itulah mulainya titik mula Bandung dilirik sama orang Belanda jadi tempat yang 'boleh juga nih!'

Sebab setelah itu, Daendels yang memimpin Hindia Belanda dan mindahin pusat kota yang tadinya di selatan (Dayeuh Kolot) ke utara di kawasan Jalan Asia Afrika sekarang. Udah deh abis itu merem aja. Bandung melesat pertumbuhannya. Jalan pos dibangun. Jalur rel kereta api dibuka. Moncer pokoknya cuan-cuan lancar masuk keluar Bandung.

Gedung Pakuan ini pernah direstorasi satu kali. Biayanya banyak, hampir satu milyar. Begitu kata artikel-artikel yang saya baca online.

Sejarahnya panjang. Bukan cuma ini gedung jadi pemukiman gubernur, pernah juga bangunannya diinapi kontingen Konferensi Asia Afrika. Kelihatannya sih ya dulu zaman hotel belum banyak dan ada event-event sekelas dunia, Gedung Pakuan dimanfaatkan untuk menjamu tamu. Termasuk kalo ada artis-artis sekelas internasional pada datang ke Bandung. Kayak Raja Siam, Charlie Chaplin, Perdana Menteri Prancis di tahun 1921, dll, dst, dkk. Gitu cenah kata Wikipedia.

Walo gak bisa masuk ke dalam bangunan, bisa melihat lebih dekat kayak gini aja saya seneng sih. Ini lahan luas banget ya. RK cuma berempat kalo dengan istri anak. Lantas asistennya berapa. Ajudannya berapa. Sopirnya berapa. Wow...memang zaman dulu tuh pejabat diperlakukan bak raja. Tapi sekarang gak mungkin petantang-petenteng kayak dulu lagi sih kan zamannya udah beda :D

Atau masih?








Foto: Ulu