Social Media

Image Slider

#BeraniLebih Jauh Berjalan Kaki

30 April 2015
Bandung macet melulu. Mirip Jakarta sekarang. Apalagi kalau akhir minggu, semua ruas jalan protokol ramai kendaraan. Semua tempat wisata penuh turis. Kapan dan ke mana warga Bandung harus menikmati kotanya? 

Aneh dan berlawanan banget kalau saya mengeluh tentang kemacetan di Bandung. Karena sudah dapat dipastikan saya adalah salah satu penyumbang sumber stresnya masyarakat perkotaan ini. 

Bagaimana bisa saya penyebabnya? 

Satu. Saya suka jalan-jalan di sekitar kota Bandung. Dari mall sampai hutan, dari warung sampai kafenya. Masalahnya, saya selalu menggunakan kendaraan pribadi ke mana pun saya pergi. 

Tidak ke mall, tidak juga ke taman kota. Pasti saya naik...motor! Kalau mobil sedang nganggur dan sopirnya -yang mana suami saya sendiri- tidak sedang kecapekan ya pasti saya naik mesin roda empat tersebut. 

Alasan saya menggunakan kendaraan pribadi agar cepat sampai di lokasi tujuan. Juga alasan kenyamanan. 

Pada akhirnya saya berpikir, jika dalam satu perjalanan di kota ini ada lima ribu warga Bandung dan lima ribu orang luar kota Bandung yang berpikiran sama dengan saya, bagaimana mungkin kota ini tidak macet? 


Dua. Saya membuat blog tentang Bandung. Pada awalnya tidak dimaksudkan untuk menjadi blog rekomendasi wisata. Blog ini hanya catatan perjalanan kecil tentang bagaimana saya menikmati kota tempat saya tinggal. 

Sampai kemudian blog saya ini dibaca banyak orang dan muncul pertanyaan 'how to get there'. Kalau membaca tulisan saya di blog ini, banyak sekali yang saya sisipi 'petunjuk arah' atau 'cara menuju ke sana' untuk membantu pembaca saya menemukan lokasi yang mereka inginkan. 


Aneh kalau saya mengeluh macet karena beberapa orang bisa saja mendapat petunjuk arah menuju lokasi tempat wisata yang mereka tuju dari blog yang saya buat ini. 

Sejak kesadaran itu tiba, saya memutuskan membuat kampanye #jalankaki dan #naikangkot di postingan yang saya sebarkan di media sosial. Mengutip perkataan walikota kebanggaan saya, Ridwan Kamil: put your car at home. pergilah dengan berjalan kaki dan naik angkot. 

Perubahan di kota Bandung sudah dimulai sedikit demi sedikit oleh walikotanya. Saya, sebagai warganya, merasa harus ikut berubah mengejar kemajuan yang Pak Walikota lakukan. Mengubah attitude warga yang selalu minta dilayani menjadi warga yang lebih mandiri. 

Trotoar dibuat lebar-lebar bebas PKL artinya satu: jalan kaki lebih jauh. Banyak dibangun halte artinya juga sama saja: jalan kaki lebih jauh. Daripada disamperin angkotnya sembarangan, saya memilih untuk berjalan kaki ke halte terdekat dan naik angkot dari titik tersebut. 


Kalau ada lima ribu orang di luar sana yang berpikiran dan berbuat sama dengan saya, ada paling enggak lima ribu kendaraan yang terpakir di garasi masing-masing. Jalanan Bandung dapat berkurang tingkat kemacetannya. Bukan tidak mungkin, bukan? ;)


Kalau sudah kepayahan berjalan kaki, coba dipikir lagi. Memangnya berapa kilometer yang harus warga Singapura dan New York tempuh dengan berjalan kaki setiap hari demi naik MRT dan kereta api? 

Mengeluh kekurangan infrastruktur yang kota ini punya hanya akan memberi sejuta alasan untuk kita gak bertindak. Kalau harus dimulainya dari diri kita sendiri, kenapa tidak. Dan saya sudah memulai kebiasaan #beranilebih jauh berjalan kaki dari diri sendiri dan keluarga kecil saya. Ikutan? ;)


Facebook : Nurul Wachdiyyah
Twitter: @bandungdiary
Instagram : Bandungdiary

Jalan Asia Afrika Bandung 1

20 April 2015
Jangan bilang kekinian ya. Bosen :D berulang-ulang baca kosakata itu di semua timeline media sosial. 

Tujuan ke Jalan Asia Afrika pagi-pagi adalah motret buat blog ini. Ternyata semua orang tujuan sama pada hari minggu 19 April lalu. Jalan Asia Afrika. Kirain udah paling pagi aja datang ke asia-afrika. Gak tuh, orang-orang juga udah pada nongkrong di sana. Bawa pacar, anak, istri, ibu, pembantu, blablabla banyak banget! 

Pertama kali dalam sejarah saya tinggal di Bandung, jalan Asia Afrika sepenuh itu! Fiuh. Susah motret. Semua jenis kamera nongol di jalan asia-afrika. DSLR, pocket camera, sampai pinhole dan kamera hape.  Kamera Go Pro juga ada! 

Males berlama-lama di jalan Asia Afrika yang disemutin ribuan orang, kami beranjak ke tempat lain. Keesokan harinya setelah sholat subuh, saya dan Gele kembali ke Jalan Asia Afrika yang lebih tenang dan memotret dengan bahagia. Niat amat dateng lagi, pagi-pagi lagi? Setahu saya semua fotografer pasti niat-niat motretnya. Gele ada deadline moto Jalan Asia Afrika untuk web ini

Duh saya mau nulis panjang tapi ntar aja deh. Fotonya aja dulu. I'm in the middle of preparing myself for the battle tomorrow, Bandung Historical Study Games. Rangkaian acara peringatan Konferensi Asia Afrika juga nih. Saya belum belajar, hahaha :D duengdueng! Malah blogging dan blog walking. Bah. 

Foto-foto jalan Asia Afrika masih banyak. Makanya saya kasih judul ini bernomor. Ada sambungannya. Nantikan :D 

Jatigede In The Morning

15 April 2015
Sebelum bersiap mengelilingi wilayah Jatigede dan melihat bendungan, saya berkeliling rumah dan halaman sekitar. Hunting foto ceritanya. Mencari cerita untuk dimuat di blog ini.

Mulai dari subuh-subuh duduk nongkrong di pintu samping rumah, merasakan angin paginya Jatigede sambil menyantap cemilan bernama Ketimus dan segelas air teh hangat. Matahari belum muncul namun langit sudah memutih. 

Saya minta izin melihat tempat paling belakang, gudang, dari rumah panggung saya saya inapi. Beberapa menit saya habiskan di Gudang, saya beranjak ke luar. Bermain di halaman belakang rumah Teh Awang. Di sana saya melihat ayam yang bertengger di atas pohon, memperhatikan detail kayu-kayu rumahnya, menemukan beberapa rumah yang abandoned, ditinggal pemiliknya. Ngobrol dengan emak-emak yang belum ingin pindah dari Jatigede. Terakhir sih memperhatikan seorang teman yang sedang mengemas bawaannya menuju Bendungan Jatigede.

Suka ngerasa gak sih ada banyak pagi yang kita lalui dan sama aja rasanya. Pagi di desa Cipaku itu buat saya adalah pagi yang berbeda. Menyadari bahwa saya berada di tanah yang akan tenggelam jadi bendungan, pagi di Jatigede saat itu sangat... apa ya...duh gimana jelasinnya ya. Sangat gak biasa. 

Membayangkan rumah ini, tanah ini, dan semua yang ada di dalamnya bakal tenggelam jadi bendungan...duh rasanya kok sedih ya. Kayaknya saya harus ketik ulang kalimat terakhir saya di postingan Jatigede sebelumnya. Berada di Jatigede dan berinteraksi dengan warganya walau cuma sebentar, saya jatuh cinta sekaligus patah hati. Tempat seindah dan sesubur jatigede kenapa harus ditenggelamkan dan dijadikan bendungan...


Hutan Larangan Jatigede

14 April 2015
Desa Cipaku. 

Menginap di rumah panggung adalah pengalaman yang unik. Sensasinya ada di dalam rumah panggung berbeda dengan rumah modern. Terdiri dari kayu Mahoni dan Jati, ada di dalam rumah panggung rasanya adem. Di desa Cipaku semua rumah panggungnya punya minimal satu 'hiasan' di depan rumahnya: Pohon Rambutan. 

Ada pohon yang besar dan rimbun di halaman rumah sendiri hari gini sudah jarang sekali. Kalau di kota, punya halaman dan pepohonan di area rumah kita semacam pertanda kesejahteraan pemilik rumahnya. 

Rasanya gak jauh beda dengan apa yang saya lihat di Desa Cipaku, Jatigede, Sumedang. Orang-orangnya hidup sejahtera: rumah dari kayu jati, mau makan ayam tinggal sembelih ayam peliharaannya, mau makan rambutan tinggal petik!

Dari kacamata saya yang tinggal dan bekerja di kota kayak Bandung, hidup di Cipaku jauh lebih sederhana dan menenangkan. Meski ada perasaan was-was karena bulan Juni nanti kawasan Jatigede akan ditenggelamkan jadi bendungan, tapi warga lokal masih menyibukkan diri dengan aktivitas sehari-hari. Tanam padi, misalnya. 

Rumah yang saya tinggali 1x24 jam di Cipaku - Jatigede saat itu pemiliknya bernama Teh Awang. Wanita dua anak yang super ramah, baik hati, senang tertawa, dan selalu berusaha membuat tamunya nyaman. Oh iya, dia juga jago masak! 

Sehabis menyantap makan siang yang lezat hasil masakan Teh Awang, saya dan teman-teman yang lain langsung diajak tuan rumah acara ini, Kang Asep, berkunjung ke Hutan Larangan Cipaku, gak sampai satu kilometer jaraknya dari rumah tempat saya menginap.

Sebagai tuan rumah, Kang Asep fasih menjelaskan sejarah Jatigede dari zaman kerajaan Sunda sampai cerita tentang nama pepohonan yang ada di wilayah Jatigede. Beliau sendiri adalah sosok putera daerah yang terbilang sukses mereguk kesejahteraan di kota lain. Tidak melupakan kulitnya, Kang Asep sering bolak-balik Bogor - Sumedang, menjenguk kakek-nenek, sekaligus kampung halamannya. 

Hutan Larangan berada di tengah areal pesawahan dan berbatasan langsung dengan sungai Cimanuk. Suka merhatiin gak sih kalau sedang dalam perjalanan melintasi pesawahan yang luaaaas banget, ada pemandangan sawah di mana-mana terus nyembul areal hutan di tengah-tengahnya? Nah ya gitu kita-kira gambaran Hutan Larangan. Seperti Fangorn Forest di film Lord of The Rings gitu lah.

Pohonnya tinggi-tinggi, lebat, dan batang pohonnya besar-besar. Jalan setapak di hutan berupa bebatuan, tanah, dan air :D Licin karena sedang musim hujan dan seperti hutan tropis lainnya, banyak nyamuk. Saya bertemu dan bertegur sapa dengan penduduk lokal yang berjalan berlawanan arah. Habis pada ngapain ya mereka di Hutan Larangan?

Sudah kelihatan dari namanya, Hutan Larangan, dilarang tebang pohon, bahkan katanya ambil ranting pun gak boleh. Siapa saja yang masuk Hutan Larangan hanya boleh berjalan kaki dan berziarah saja di dalamnya.

Konsep takes nothing but pics and leave nothing but footprints berlaku di Hutan Larangan. Dan semua orang nurut. Warga patuh, begitu juga pendatang. Karena kalau enggak, sesuatu bakal menimpa orang yang melanggarnya. 'S e s u a t u' if you know what i mean...

Di Hutan Larangan ada banyak situs Kabuyutan. Situs Kabuyutan itu situs Patilasan. Semacam tempat yang pernah didatangi dan dikunjungi dalam rangka bersemedi selama beberapa waktu lamanya.

Tempat mereka bersemedi dijadikan tempat yang sakral. Bentuknya seperti makam raksasa, ada satu batu yang ditancapkan seperti nisan dan dibungkus kain putih. Buat saya sebagai orang kota yang tidak pernah bersinggungan langsung dengan tradisi seperti itu, situs-situs terlihat menyeramkan. Saya gak bisa bayangin ada di situ sendirian, baik itu dihari yang terang apalagi malam.

Tapi di satu sisi, tempat-tempat yang penuh doa dan harapan membawa kebaikan. Mempertahankan keberadaan situs kabuyutan, bagaikan mempertahankan kebaikan itu sendiri.

Situs Kabuyutan di Cipaku dipagari kayu yang berselimut bendera merah putih. Gak sedikit orang yang datang dari berbagai macam daerah berziarah ke situs kabuyutan. Mereka berdoa untuk dirinya sendiri, keluarganya, nenek moyangnya, sampai untuk keselamatan pekerjaannya. 

Di daerah Jatigede tercatat ada 33 Situs Kabuyutan. Jika Bendungan Jatigede rampung dan air mulai dibendung, maka situs-situs tersebut tenggelam. Semuanya. 

Saya bukan penganut agama yang masih mendatangi situs kabuyutan untuk ziarah. Tapi sedih gak sih ada tempat di mana orang-orang menaruh harapan, terus tempatnya ditenggelamkan? Tempat yang dikunjungi karena mereka percaya tempat itu adalah titik singgah nenek moyangnya, terus dalam waktu dekat mereka gak bisa melihat lagi tempatnya. 

Tan Hana Huni Tan Hana Mangke. Kita gak akan ada, kalau nenek moyang kita juga gak ada. Bila tidak ada masa lalu, maka tidak akan tercipta masa yang sekarang.

Saya gak bisa bayangin jadi warga Jatigede. Pindah rumah, pindah kampung halaman, situs Kabuyutan ditenggelamkan. Memindahkan kampung halaman gak sebanding dengan 20 juta atau 50 juta yang dikompensasikan pemerintah. Uang habis, kampung halaman dan semua memorinya ada terus. Sedih gak, sih? Saya mah sedih membayangkan tempat terhubung dengan nenek moyang saya terhapus sudah.

Kadang-kadang sejarah kan gak seharusnya semuanya ilang. Berada di Jatigede dan berinteraksi dengan warganya walau cuma sebentar, saya jatuh cinta sekaligus patah hati. 




























Tulisan yang lain ada di sini, di sana, di situ

Away We Go to Jatigede

13 April 2015
Menyambung postingan yang ini

Baru kali ini ikutan acara jalan-jalan yang titik kumpulnya jauh. 30 kilometer dari kota Bandung: Jatinangor. 

Ngomongin Jatinangor ingatnya lagu The Panas Dalam. Sudah jangan ke Jatinangor, dia sudah ada yang punya. 

Well ini wilayah penuh kampus. Ada kampus Unpad, Unpas, STPDN dan Ikopin. Sekarang wilayah padat ini makin bertambah penghuninya. ITB. Yes, ITB yang Institut Teknologi Bandung itu. Kelebihan muatan di kota Bandung, kampus gajah ini mengimpor mahasiswa ke Jatinangor.

Dan di gerbang kampus ini lah titik pertama keberangkatan geng Jatigede Tour. Di tepi danau ITB Jatinangor.

Acara Jatigede Tour ini dibuat oleh teman-teman dari Komunitas Save Jatigede. Teman-teman dapat melihat aktivitasnya di sini. Ide tur ke Jatigede ini berangkat dari kampanye mencegah proyek bendungan Jatigede terwujud. Proyek yang sudah berjalan sejak 1982 ini bakal kelar di bulan Juni nanti.

Kenapa gak boleh ada bendungan Jatigede? Ini saya ikutan turnya juga dalam rangka mencari jawaban tersebut. Kenapa saya merasa penting untuk tahu alasannya? karena orang tua dan banyak kerabat saya tinggal di Cirebon dan Indramayu, tempat yang bakal kena efeknya jika Bendungan jatigede itu jebol. 

Menuju Jatigede, saya pergi dengan dua orang teman: penulis dan fotografer -namanya Ayu Kuke Wulandari-, menumpang Teriosnya- M Ichsan Harja Nugraha, arsitek dan seniman lukisan cat air. 

Empat jam perjalanan, tersendat macet di Tanjung Sari, terpotong waktu sholat Jumat di daerah bernama Situraja.

Situraja. Danau tempat raja-raja berkumpul kah dahulunya tempat kami transit ini? Membaca tugu yang ada di Alun-alun kota, Situraja merupakan wilayah pertahanan serangan Belanda pada Agresi Militer di tahun 1946.

Anyway, kembali ke Jatigede. Desa Cipaku adalah yang kami tuju. Satu jam dari Situraja, Cipaku menjadi tempat kami menginap satu hari satu malam. 

Dari pemandangan rumah-rumah pada umumnya (tembok), masuk ke desa Cipaku melihat rumah panggung. Sebagai orang kota, rumah panggung yang semua material rumahnya dari Kayu Jati dan Kayu Mahoni itu aneh sekali. Bukan pemandangan sehari-hari. 

Rumah panggung Jatigede, seksi! 

Kami menginap di satu rumah panggung bercat hijau. Bertemu muka dengan peserta lain, berkenalan, dan langsung makan siang. Perut lapar sekali padahal sudah diganjal semangkuk mie baso di Masjid Alun-alun Situraja satu jam lalu. Ya gimana ya, saya orang Sunda dan prinsip kami adalah: belum makan kalau belum ada nasi yang tertelan! 

Satu porsi ayam goreng + lalap daun singkong + nasi panen anyar (fresh baru saja dipanen) + melanggar prinsip tidak-makan-sambal di perjalanan saya lakukan. Sambalnya: ENAK banget! Gak bikin sakit perut! 

Cipaku sedang musim panen raya. Tanaman Padi juga pohon rambutan. Sayangnya pas kami datang, banyak yang padinya udah dipanen. Padahal pengen lihat padi yang kuning-kuning ranum sejauh mata memandang. Ya gak apa-apa deh, masih banyak yang bisa dinikmati :)

Senangnya tinggal di kampung kayak Cipaku - Jatigede. Bahan makanannya tinggal petik rambutan, potong ayam peliharaan di kandang belakang rumah, ambil telur bebek sesukanya, dan makan padi hasil panen sendiri. Gak ada Alfamart. Gak ada Indomaret. Gak ada 14045. 

Gak ambil waktu istirahat berlama-lama, selain karena penasaran dengan Hutan Larangan ya saya juga takutnya hujan turun. Gak apa-apa hujan juga sih, gak salah hujannya. Cuma ya kondisi kering lebih apa ya, lebih gak riweuh aja walau riweuh itu cuma state of mind aja sih ini saya ngetik apa sih. 

Well, oke lanjut. 

Ke Hutan Larangan. Next. Di sini

Makan Sore di Centropunto Jalan Trunojoyo

10 April 2015
Lagi keliling naik motor di sekitar jalan Riau dan...HUJAN! Sebelum hujan turun deras, saya dan Gele cari tempat berteduh di sekitar jalan Trunojoyo dan singgahlah kami di Centropunto. Kelihatannya hujan bakal lama redanya dan kami putuskan berlindung dari air hujan sekaligus makan sampai kenyang. 

Pukul 4 sore. Saya dan Gele masuk ke Centropunto. Ruangannya gede juga ternyata dan dominan putih warnanya. White and clean. Ada banyak lukisan menggantung apik di tembok restoran. Bagus buat kita foto dan upload ke Instagram. 

Langsung saya dan Gele ambil tempat yang menurut kami paling nyaman. Langsung deh baca-baca menu dan mata saya tertumbuk pada menu spesial sore hari ala Centropunto. 

Biebelebop. Harga 30.000+++ dapat cemilan dua macam dan satu gelas sari buah. Saya pesan menu spesial ini lah jadinya, sementara Gele pesan makanan berat dan pizzaaaaa! 

Paket Biebelobop terdiri dari 8 pilihan cemilan dan 6 pilihan jus (ada kopi tubruk dan hot tea juga). Dari 8 pilihan itu saya putuskan makan Tahu Gimbal, Brownies dan jusnya saya pilih Pink Guava. 

Sebenarnya ada banyak pilihan sih, ada Suis Roll, Single Taco, Chicken Wings, Grilled Chicken, dan Samosa yang dicocol ke mayones (Samosa ini gorengan isi beef+jamur+wortel+paprika). Paket Biebelebop berbonus satu porsi french fries. 

Dalam penyajiannya Paket Biebelebop ini, Centropunto menghidangkan semua menunya dalam piring tiga susun. Kayak rantang tapi lebih chic aja. Piring paling atas untuk kentang, di tengah semacam kayak main course tapi porsi ngemil, dan paling bawah adalah dessertnya kayak Brownies. 

Rasanya... biasa. Gak sesepesial yang saya bayangkan. French friesnya layu dan terlihat lesu. Gak segar banget. Rasanya juga estede. Brownies pun gak menolong kekecewaan saya pada french friesnya. Tahu Gimbal ini yang paling mendingan rasanya. Enak! Tahu Gimbal tuh mirip lotek, bumbunya dan bahan makanan didalemnya sama persis dengan lotek. Rasanya juga sama. Next time kalian ke Centropunto, pesen deh Tahu Gimbalnya. 

Beres dengan Paket Biebelebop yang habisnya secepat kilat :D saya dan Gele beralih ke Pizza! Ukurannya jumbo! Bisa saya bungkus bawa pulang. Rasanya enak tapi gak berbekas. Biasa aja deh. 

Pizza beres, saya beralih ke menu Bandeng Asap Meresap yang dipilih Gele. Ikan bandeng asap isi yang dilengkapi sambal dan lalap. Nah ini dia menu yang menurut saya JUARA! Enak banget! Highly recommeded. 

Makan sore di Centropunto, hujan deras di luar, dan musik belanda mengalun santai. Lumayan juga kok ini restoran. Ada lagi satu kejutan lucu. 

Ada Parade Bebek! Iya, beneran bebek!

Jam 5 sore tiba-tiba ada suara cowok dengan pengeras suara. Katanya pengunjung restoran bersiap di deket karpet merah yang melintas ruangan tengah Centropunto. Saya kan penasaran ada apaan sih. Ih ternyata ada bebek-bebek yang mau parade gitu, kayak fashion show tapi bebek yang tampil :D Unik banget hihihi. 

Bebeknya pada nurut-nurut deh, ada pawangnya satu orang. Lucu banget lihat bebeknya pada jalan lurus gak belok kanan kiri. Lucu lah saya antara pengen ketawa dan terkesima. Teman-teman harus ke Centropunto untuk melihat parade ajaib ini! Lucu banget!

Centropunto 
Jalan Trunojoyo 58 Bandung

Buka jam 7 pagi
Tutup jam 11 malam

Kalau mau lihat parade bebek yang lucu banget ini datang hari selasa dan sabtu, parade tiap jam 5 sore.

Bandeng Asap Meresap 59,5 K
Paket Biebelebop (plus pajak) 35 K


Gedong Cai di Bandung 3

09 April 2015
Dari Gedong Cai, kami beranjak ke tempat yang lebih tinggi dan lebih terjal dari semua trek yang kami lalui sebelumnya. Hosh! 

Saya dan Gele sampai gak kuat bawa Nabil. Seorang panitia dengan gagahnya gendong Nabil dan naik ke dataran yang lebih tinggi. Tanahnya licin sekali dan kemiringannya tajam euy. Beberapa kali saya hampir terjatuh. Begitu juga cowok di depan saya yang menggendong Nabil. Yosh! Seru banget dan deg-degan. Habisnya kalau saya jatuh, itu artinya terjun bebas ke sisi kanan yang lumayan sih tinggi juga. 

Sampai di dataran yang landai dan bisa menarik napas lega. Alhamdulillah! 

Nabil baik-baik saja, gak nangis sepanjang jalan. Dari titik pertama perjalanan digendong pun jarang. Saya gak mau gendong-gendong dia sih, berat. Kecuali darurat. Gele harus motret jadi saya menyediakan diri jadi penjaga Nabil :D 

Oh iya, selama perjalanan ini salah satu kegiatan uniknya adalah mengumpulkan sampah dan menanam bibit pohon. Panitia yang menyediakan bibit pohonnya, mereka juga yang menanam.  Saya hanya nonton prosesnya. Semoga pohonnya nanti jadi tinggi dan rindang, gak ada yang tebang! Amin. 

Istirahat sebentar lalu perjalanan dilanjut. Gak susah trek terakhir ini ini, jalan setapak - meniti jalur batu sungai kecil - keluar di kompleks Budi Indah. Kompleks perumahan elit! 

Jreng jreng. Hahaha pakaian kotor karena tanah becek, napas tersengal-sengal, sepatu sudah gak jelas warnanya eeeh keluar di perumahan elit. Aneh banget hihihi ya ini ngelihatin kan sebenernya lahan hijau di Ledeng sudah terdesak jauh oleh pemukiman. 

Hampir sampai di titik akhir, perjalanan menuju garis finish ini rutenya gampang banget. Jalanannya aspal dan masuk ke gang-gang rumah warga. 

Dari trek berupa jalan setapak dengan aneka keterjalannya, masuk ke pemukiman elit, terus melintas rumah-rumah warga lokal. Komplit banget yah. 

Acara terakhir adalah istirahat, makan siang dan diskusi di CCL (komunitas Celah-celah Langit, di belakang Terminal Ledeng) seusai perjalanan. Tapi saya sudah gak kuat pengen pulang, berganti pakaian, makan, dan molor :D 

Jam 1 siang sampai di rumah. Seru, senang, dan gak nolak ikutan kalau ada acara yang serupa lagi. Seneng acara jalan-jalannya, suka dengan kontennya.

Jadi tahu kalau Belanda menjajah kita berbekal banyak ilmu. Ilmu perang sampai ilmu tata kota. Perang gak baik. Tapi tata kota dan sistem pengairan yang Belanda buat, itu bagus sekali.

Gedong Cai di Bandung 2

08 April 2015
Pemberhentian pertama. Reservoir.

Ada satu bangunan yang 3/4-nya terbenam di tanah dan beberapa toren air di dekatnya. Tak jauh dari situ ada tempat pemandian umum di mana sumber mata air ditampung. Mata air? YES! Kita bahas dulu reservoirnya ya. 

Terdengar suara bergemuruh dari dalam reservoirnya. Gak niat mau lihat deras air di dalamnya. Ngeri :D Saya dan Nabil melihat-lihat sekeliling saja sementara Gele motret.

Reservoir ini berada di dekat tebing. Ada pemukiman warga di bagian dataran yang tinggi. Banyak batang pohon bambu yang berserakan seperti habis ditebang entah untuk apa. Pasti ada alasan kenapa di sekitar reservoir ditanam banyak pohon bambu. Pohon ini adalah jenis tanaman yang sanggup menyerap air lebih banyak dibanding pohon yang lain. 

Pohon bambu merupakan jenis pohon pengumpul air. Ada yang lebih canggih dari Bambu, Pohon Kawung. Dan saya melihat beberapa pohon tersebut di sekitar reservoir-nya. 

Pohon Kawung sanggup menyimpan 10 Liter air dalam SATU HARI saja. WOW! Jadi kalian banyak-banyak tanam pohon Kawung ya. Biar air hujan gak ngegelosor begitu saja lalu membanjiri rumah kalian. 

Sekarang tentang mata airnya. Kami berjalan ke tempat pemandian umum. Berbentuk gubuk tanpa pintu tanpa jendela. Gak mungkin mandi di situ, bisa-bisa direkam orang dan masuk youtube. Kalau cuci piring atau baju sih cocok. Ada empat kocoran air alami alias gak ada kerannya. Bolongan tempat keluar air cuma disumpal dengan plastik kemasan yang dibuntel-buntel. 

Perhatikan ini. Di mana pun kalian berada, ketika melihat mata air, basuh tangan dan muka dengan airnya. Kenapa? karena itu mata air! Murni, bersih, dan segar! Sayang banget buat dilewati begitu saja.

Saya cuci tangan dan cuci muka. Nabil dan Gele juga ikutan, celana kami basah dan sepatu kami juga ya tentu saja ikut terkucur air yang seger banget itu. Basah deh. Terus kami ketawa-tawa. Ah ya mata air seberlimpah ini kapan lagi. Seneng banget! dan yang pasti mah seger luar biasa. 

Muka segar kembali dan kami masih semangat menyusuri jalan setapak 'hutan ledeng'. Gak jauh dari sumber mata air tersebut, kami berjalan kaki dan sampai di tempat di mana tokoh utama perjalanan ini berada: GEDONG CAI. 

Gedung tua buatan Belanda. Di muka depan bagian atas bangunanya tertulis TJIBADAK 1921.
Tji = Cai = air.
Badak = Badag = Besar.
Tjibadak = air yang besar, berlimpah ruah. 

Belanda membangun banyak tempat resapan air. Mereka menampung air sungai dan hujan, juga air tanah (sumber mata air). Air-air ini dikirim ke pemukiman di Bandung. Ke Ciumbuleit, ke daerah Sersan Bajuri, dan terus sampai ke daerah kampus ITB. 

Gedong Cai ini julukan dari warga lokal. Banyak kok Gedong Cai di Bandung. Saya pernah ke Ciwangun Indah Camp dan kalau berjalan kaki lebih dalam menuju Situ Lembang, ada Gedong Cai juga di sana. Ciri khas bangunan ini biasanya setengah terbenam di tanah dan bagian atapnya rimbun tumbuhan menjalar dan rumput. Sengaja dibuat begitu kali ya? 

Yang pasti selama menduduki Bandung, pemerintah kolonial Belanda membuat banyak danau buatan dan bangunan-bangunan penampung air. Air yang warga Bandung nikmati ya asalnya dari sistem air yang Belanda buat. 

Sayang keberadaan Gedong Cai di Ledeng terancam pembangunan gedung. Hotel dan pemukiman sih yang jadi bahaya. Semakin mereka mendesak masuk mendekati wilayah Gedong Cai, ya bakal makin kecil debit airnya. Pertama, karena mereka akan menyedot air lebih banyak. Kedua, lahan hijau yang jadi penahan air hujan udah ganti jadi beton. 

Serem membayangkan Ledeng kekeringan. Lalu bagaimana nasib daerah Tamansari, Jalan Merdeka, Jalan Riau, Ahmad Yani, kalau di Ledeng aja udah kekeringan?

Treking bagian satu di sini 
Treking bagian terakhir di sana.


Gedong Cai di Bandung 1

07 April 2015
Hari yang menyenangkan adalah Sabtu 21 Maret 2015. Saya, Gele dan Nabil bisa berjalan-jalan kembali. Rasanya sudah seabad kami hanya hilir mudik di dalam kota, di antara trotoar yang rusak dan klakson kendaraan yang menyalak. 

Happy banget bisa bersentuhan lagi dengan rumput basah, melihat pepohonan tinggi dan digembrong nyamuk! hahaha. 

Kami bertiga tinggal di Ledeng, Bandung Utara. Ledeng mirip dengan Dago, udaranya masih sejuk dan kualitas airnya masih bagus. Itu kalau kamu ke Lembang pasti lewat wilayah rumah saya deh, ngetopnya dengan nama Setiabudi sih bukan Ledeng :D

Di rumah saya tinggal, sumber airnya masih alami, bening, dan dingin sekali. Dan karena Ledeng itu kawasan yang pasti kalian lewati kalau mau menuju Lembang, gak aneh kalau tiap akhir minggu, jalan Setiabudi yang memintas Ledeng itu pasti macet sejadi-jadinya, separah-parahnya, senyebelin-nyebelinnya.

But ya anyway saya bikin blog tentang Bandung dan bisa jadi mengundang orang datang ke Bandung dan saya menyumbang kemacetan. Jadi ya sudah lah hahaha :P

Kembali ke air. 

Perjalanan Napak Tilas Sejarah Air di Ledeng Bandung yang kami ikuti ini gak lama durasinya. Kira-kira total perjalanan hanya dua jam saja. Di mulai pukul 10.00 dan berakhir sekitar jam makan siang (adzan dhuhur). Satu jam pertama treknya menantang nian euy.

Jatigede Tour

06 April 2015
3 April 2015. 
Jatigede, Sumedang. 

Senang rasanya bisa menjauh dari internet selama beberapa waktu. Tepatnya dua hari satu malam. Jumat dan Sabtu tanggal 3 - 4 April 2015. 

Tapi agak sedih juga karena trip kali ini saya pergi tanpa Gele -suami- dan Nabil -anak-. Di perjalanan ini pula saya harus memotret, biasanya Gele yang jepret dan saya yang mengumpulkan informasi selama di perjalanan. 

Sedihnya gak lama dan berlarut-larut. Makin dipikirkan malah makin terasa. Lagipula, selama trip di Jatigede saya bertemu kawan-kawan baru yang baik dan lucu-lucu. Dua hari di Jatigede: puas jalan-jalan, enak makan, ngobrol santai, dan nyenyak tidur. 

Kalau sedih yang pertama berhubungan dengan keluarga, sedih berikutnya adalah ketika mengetahui bahwa tempat yang saya kunjungi akan menjadi bendungan. Artinya desa, hutan, rumah, dan sawah yang saya tempati dan lalui hari itu akan ditenggelamkan. Bendungan Jatigede nama mega proyeknya. Well, kalian harus ke sana untuk melihat langsung sebesar apa pemerintah mengurus mega proyek ini. Kelihatannya seperti sedang membuat kolam ikan raksasa saja ketimbang bendungan untuk 1 milyar meter kubik. SATU MILYAR METER KUBIK AIR, guys! 

Di satu sisi harus diakui bahwa negara ini membutuhkan banyak energi. Membuat kita bertanya-tanya, selama ini PLN ngapain aja kerjanya, gak sih? 

Di sisi lain, mengorbankan wilayah Jatigede, apa gak sayang? Apa gak ada wilayah lain yang gak se'kaya' Jatigede untuk pemerintah tenggelamkan dijadikan bendungan? Wilayah tanpa banyak situs bersejarah, 32 desa, dan areal pesawahan yang membuat kalian masih bisa makan nasi hingga saat ini, gitu? 

Betewe, saya harus merampungkan beberapa tulisan dulu sebelum memulai dengan tulisan tentang Jatigede Trip. Anggap aja ini pembuka (yang gak terlalu bikin penasaran ya :D heuheuheu). 







IndiHome Kecepatan Internetnya di atas 10Mbps! Mauuuu!

05 April 2015
Saya gak tahu berapa jumlah jenis profesi baru yang lahir semenjak meledaknya internet di seluruh dunia. Digital Marketing, Social Media Strategic Analyst sampai admin akun twitter. Pekerjaan kantoran dan pegawai negeri gak lagi jadi tujuan utama. Internet mewujudkan mimpi banyak orang, termasuk mimpi saya: small office, home office. 

Beberapa bulan belakangan ini saya mulai bekerja dari rumah. Mempunyai penghasilan layaknya pekerja kantoran tapi tidak terikat jam nine-to-five. 

Pekerjaan tetap saya adalah menjadi orang di belakang layar dua produk di jagat Twitter dan penerjemah artikel khusus art, design, dan technology untuk website berbasis lingkungan berlokasi di Jakarta. Belum lagi sedang merintis produk hasil usaha sendiri yang marketingnya dilakukan secara online. Ditambah blog Bandung Diary ini yang seenggaknya saya perbarui blogpostnya sebulan minimal 7 kali deh. Semua pekerjaan itu bergantung pada satu benda yang namanya Internet. Bener-bener s e m u a n y a. 

Listrik padam dan internet mati, saya jadi pengangguran. 

Di rumah laptop nyala terus. Sesekali diistirahatkan pada waktu saya tidur aja sih. Begitu juga dengan internet di ponsel. 

Selama ini saya dan gele terhubung ke internet melalui modem dan paket internet di ponsel. Berapa perincian uang yang kami keluarkan untuk internet selama satu bulan? 

Modem : 100.000
Internet HP saya: 100.000
Internet HP Gele : Sekitar 100.000 (Pake HALO, internetnya sudah dipaket dengan biaya telepon dan sms). 

Totalnya sekitar 300.000 biaya yang kami habiskan untuk internet.

Kecepatannya bagaimana? Merem melek. Saya menggunakan dua macam provider. Maksudnya sih supaya saling melengkapi satu sama lain, di saat yang satu melambat satunya lagi bisa menggantikan. repot amat hahaha :D

Mana blog ini isinya foto melulu, pokoknya kalau upload foto saya bisa sambil mengerjakan pekerjaan lain. Abisnya lama sih keunggahnya. Sambil sholat, sambil masak perkedel, sambil jemur pakaian, atau sekedar update status di facebook dan twitter. Pada akhirnya lebih sering susunan pekerjaan jadi berantakan dan gak ada yang beres sih saking multitaskingnya itu loh. Kacau. 

Makanya kecepatan internet adalah hal yang mutlak. Butuh banget! 

Kira-kira di dekat rumah, berjarak 2 km, ada kantornya IndiHome Fiber. Ini kantornya pasti kami lewati kalau pergi ke pusat kota. Karena sering lihat sekilas kantornya eh jadi penasaran cari tahu tentang IndiHome ini apa. Rumah saya di Ledeng, Setiabudi. Kantor IndiHome ada di depan Borma Supermarket, jalan Setiabudi juga.

INDIHOME FIBER

IndiHome adalah provider internet yang baru. Internetnya IndiHome terhubung dengan fiber optik. Kabarnya kecepatan internet dari fiber optik ini 10 - 100 Mbps. Tahu gak berapa kecepatan internet yang selama ini saya pake, 5 Mbps doang! uhuk! Udah gitu IndiHome Fiber ini wireless. Jadi saya gak usah beli paket data internet banyak-banyak lah, di rumah bisa Wi-Fi. 

Well, saatnya cari tahu lebih banyak tentang IndiHome ini dan saya dapat data berikut ini.




Octuple Play IndiHome Fiber

Ada delapan layanan yang bisa saya nikmati kalau langgangan IndiHome Fiber. Kita bahas satu-satu yak. 

1. Kecepatan internet. Nah ini yang saya taksir. Jadi gak perlu manyun nunggu foto yang sedang diunggah ke email deh. Biasanya lama nunggu, bisa sambil facebookan, twitteran yang pada akhirnya saya lebih banyak bersosmed daripada ngerjain pekerjaan utamanya. Heuheuheu keasikan euy. 

Oiya kecepatannya udah dibilang ya tadi di atas. Up to 100 Mbps! Mirip kecepatan cahaya! 

2. Ada TV Kabelnya. Tersedia 99 Channel. Kalo langgananan IndiHome Fiber saya bisa copot TV Kabel yang sekarang dong ya. Internet ada, TV Kabel juga ada. Pokoknya harus punya TV Kabel. Menjaga kewarasan dari gempuran acara tv lokal yang aneh-aneh gak bermutu. Hehe :D

3. Layanan telepon rumah. BEBAS telepon ke rumah, lokal atau interlokal. Kuotanya gratisnya 1000 menit aja. Lumayan itu, kira-kira 16 jam gratisan! Waaaaaa! 

4. Layanan telekomunikasi nirkabel seluler berupa panggilan unlimited dari telepon rumah ke nomor Telkomsel (YES! ibu, suami, adik, adik ipar, kakak ipar, dan bos-bos saya hampir semuanya pengguna nomor Telkomsel!)

5 Bisa Wifi di banyak tempat. Kalau mau pergi-pergi cek wifi point-nya IndiHome aja di wifi.id. Mereka sudah punya ada 100.000 titik wifi. Ada biayanya, 10.000/bulan untuk pelanggan IndiHome. 

6. Ada layanan digital music, bebas streaming selama 12 bulan, dan gratis antivirus Trend Micro selama tiga bulan. Ada 10 juta daftar lagi yang bisa di download (secara resmi!) dan tersedia pilihan bebas download secara add on. 

7. Home Automation. Semacam CCTV di rumah, terhubung ke aplikasi yang bisa kita unduh dari Googleplay store dan App store. Walau sedang di luar rumah kita masih bisa cek kondisi rumah dari kamera yang terpasang ke fasilitas IndiHome ini. 

8. Layanan panggilan langsung internasional (Global Call). Bayar 50.000 bisa nelepon 100 menit dengan jangka waktu satu bulan aja. Sebenarnya paket yang ini saya gak ngerti-ngerti amat. Juga gak butuh. Jadi saya mau fokus ke layanan 1 - 4 sih karena itu kebutuhan tertinggi saya saat ini. 


Biaya untuk menjadi pelanggannya IndiHome

Nah info penting nih. Berapa duit harus saya bayar untuk jadi pelanggannya IndiHome Fiber. 

10 - 12 Mbps 
Rp 390.000

20 - 25 Mbps
Rp 640.000

Saya sama gele kayaknya mau daftar yang paket 10 -12 Mbps ini dulu deh. Gak jauh beda dengan anggaran yang kami habiskan buat internet dan tv kabel di rumah sekarang. Internet yang sekarang 300ribu, TV kabel 179 ribu. Sama aja kan totalnya mah. Bedanya hanya di kecepatan internetnya IndiHome yang dahsyat itu aja. Makanya ngiler abis!

Sebelum daftar saya cek lokasi rumah dulu, siapa tahu jaringan fiber optiknya belum sampai ke rumah. Ceknya di mana? di www.indihome.co.id. 




Gampang banget ternyata mau langganan IndiHome. Cek status jaringan fiber optiknya aja bisa dari websitenya langsung. Jadi kita bisa tahu jaringannya sudah sampai di wilayah rumah kita atau belum. Dan di rumah saya ternyata.... belum! Fiber Optiknya baru sampai di daerah Gegerkalong, itu deket banget dari Ledeng, rumah saya. Palingan juga setengah kilometer jaraknya. Ada harapan IndiHome sebentar lagi meluaskan jaringan ke Ledeng dan jika saat itu tiba, saya bakal langsung daftar jadi pelanggannya!