Social Media

Image Slider

Showing posts with label Story. Show all posts
Showing posts with label Story. Show all posts

Bengong di Bis Metro Jabar Trans

10 April 2025

Tempat terenak buat bengong adalah kamar mandi, kamar tidur, bangku kereta api, dan kursi bis. 



Hampir tiga tahun saya berstatus penumpang tetapnya bis umum bernama Metro Jabar Trans (MJT). Sebelumnya kami sebut dia Teman Bus. Warga kabupaten menyederhanakan nama bisnya menjadi Bis Tayo, merujuk pada tokoh kartun Tayo The Little Bus favoritnya anak-anak. Ongkos bis tidak pernah berubah, Rp4.900 saja jauh dekat. Pembayarannya juga masih sama, via QRIS atau tap in kartu. 


Dan entah sudah berapa banyak saya menulis cerita pengalaman menumpang bis MJT di feed instagram. Dari mulai yang paling klise tapi penting: kondisi halte. 


Hanya sedikit halte dalam koridor bis 3D yang saya tumpangi, layak disebut halte. Mereka adalah halte:

Merdeka

Alun-Alun

Terusan Buahbatu

Podomoro Park


Saya sebut layak karena di halte ada bangku, haltenya berbentuk halte ada atap buat berteduh dari panas dan hujan. Ada rambu-rambu lalu lintas. 


Total halte ada 30. Tidak sampai lima halte yang kondisinya layak. Mayoritas halte bis MJT tidak berbentuk dan hanya dapat kita lihat dengan mata batin. 


Becanda. Ada kok bisa kelihatan sediiiikit. Pertanda haltenya dari rambu-rambu halte, itu saja. Komunitas Transport For Bandung (FDTB) membantu dengan memasang poster kecil gambar rute bis dan nama halte. Yha! begitu saja. 


Kata warga sih "begitu juga udah untung". Sedih. 


Untuk memudahkan mencari halte kita bisa menggunakan aplikasi Mitra Darat. Saya mengandalkan aplikasi ini untuk tracking bis. Kebantu banget deh beneran, serasa quantum leap warga kabupaten menikmati layanan transportasi umum seperti ini. Makasih ya siapapun yang ngide bis Metro Jabar Trans di kementrian perhubungan dan dinas-dinas pemerintah. Gitu atuh beneran kerjanya kerasa sama kami rakyat yang bayar pajak. 


Terlepas dari sarana haltenya, bis MJT sangatlah menolong. Bisnya nyaman, bersih, dan dapat diandalkan. Banyak atau kosong penumpang bisnya tetap berjalan, dari subuh pukul lima hingga sembilan malam. Terutama lagi bagi perempuan seperti saya, menumpang bis MJT terasa aman. Sejauh ini di dalam bisnya saya aman tidur, aman baca, aman nonton (di hape, menggunakan earphone), dan tentu saja aman bengong. 


Berjalan Kaki Satu Hari di Tasikmalaya: Bonteng, Batik, dan Burujul

26 July 2024
Kira-kira 1,5 jam durasi saya berjuang melawan rasa mual di trek Bandung-Tasikmalaya. Dalam perjalanan ada banyak kelokan tajam sekaligus memaparkan panorama pegunungan. Satu hari saja di kota santri saya terpukau pada payung geulis, berkenalan dengan keluarga pedagang batik tulis, dan terkesima akan lezatnya bonteng-bonteng di sana. 


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

Saya mengikuti acara jalan-jalan di Tasikmalaya (21/7/2024). Penyelenggaranya Mlampah Sareng (based di Purwokerto) yang diwakilkan Fachrul dan Mapah Sareng (Bandung) ada Retna. Plesirannya mereka beri judul Piknik Seek Tasik.

Memang aneh sekali berjejaring di tahun 2024 yang melibatkan Instagram dan lain-lainnya. Untuk trip ini saja kolaborasinya antar dua kota terpisah provinsi, dengan tujuan kota lainnya.

Ada tujuh tujuan yang kami kunjungi di Tasik. Pertama-tama kami bertandang ke pengrajin Payung Geulis A. Sahrod  yang ada sejak tahun 1971. Lokasinya di Kecamatan Indihiang, agak jauh dari pusat kota. 

 

plesir ke tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Ini kali pertama saya melihat dan menyentuh langsung payung-payung cantik khas Tasik. Memang betul rupawan sekali payungnya. Warna-warni mencolok dan bunga-bunga mekar sebagai motifnya. Kerangka dan tangkai payung terlihat rumit, berasal dari tangan-tangan apik para pengrajin.

Sandy Mulyana -generasi ketiga dari Payung Geulis A. Sahrod- bercerita sedikit seluk beluk industri payung geulis yang problematikanya berputar antara sumber daya manusia dan permodalan. 

 

Produk khas Indonesia memang bagus-bagus sekali! Sayangnya tidak ada showcase di lokasi pengrajin berada sehingga saya tidak bisa membeli payung geulisnya.

Beranjak ke arah pusat kota, kami semua mulai lapar.

Perut krucukan sebab belum sarapan, di pusat kota Tasikmalaya kami menghanca di Rumah Makan Bahagia.

Betulan bahagia, makanannya enak-enak semua dan halal! Bravo! Semua menu yang kami santap bergaya oriental. Aroma bawang putih yang sedap nan lekoh. Perpaduan kecap asin, saos tiram, dan minyak wijen. Potongan daun bawang ada di mana-mana. Daging yang empuk dan bonteng yang amboi nikmat betul.

Awalnya saya kepingin sarapan khasnya warga tasik, tapi saat menyantap makanan RM. Bahagia saya bersyukur sekali ketemu makanan ini.

Fakta menarik yang kami temukan dalam obrolan saat sarapan: orang tasik suka makan bonteng (timun). Karenanya lazim bila hampir semua makanan di sana side dishnya bonteng.

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
photo courtesy: Retna/Mapah Sareng

Fakta mengejutkan lainnya yang saya rasakan secara pribadi: BONTENG TASIKMALAYA ENAK BANGET! Kok bisa sih bontengnya manis dan sangat renyah? Dari manakah bonteng-bonteng ini berasal? Apakah ditanam di tanah Gunung Galunggung atau bagaimana?

Sarapan kesiangan itu jadi baterai kami mengarungi jalanan kota tasik yang langsung terasa panasnya. Namun berangin. Kalau pernah menumpang kereta api akan terlihat kalau kota tasik berada di ketinggian 340 mdpl. Sedangkan Bandung sekitar 700 mdpl.

Meski mencoba bertahan dari sengatan matahari, saya menyerah dan buka payung. Wah lebih nyaman jalan kakinya kalau kepala kita terasa teduh. Syukurlah lewat duhur langit berawan dan tidak lagi panas menyengat. Cuaca Tasik bersahabat.

Dalam kira-kira 14.000 langkah yang kami susuri, di antara rumah-rumah warga dan trafik Tasik yang lengang ada vihara, masjid, toko babadan, lapak makaroni, rumah makan baso, dan dua kedai kopi yang menempati rumah klasik khas tempo dulu.

Di toko babadan saya dan Tita membawa pulang sapu ijuk. Tita dititipi papanya sapu khas Tasik merek SPA. Retna -sebagai operator perjalanan- sangat mengaping pencarian sapu ijuk ini. Sambil berjalan sesuai arah tujuan, kami juga menelusuri sapu di beberapa toko.

Tita memutuskan beli sapu di Toko Putra Karuhun, Jalan Tarumanagara. Saya ikut membelinya. Namun yang kami beli merek yang berbeda. “Gak apa-apa bukan sapu SPA?” tanya saya padanya. Tita jawab mantap “Aman!”

Saya bersyukur lagi ketemu fakta lainnya tentang Tasik. Bahwa sapu ijuknya sakti mandraguna. Pedagangnya saja memberi garansi satu minggu (wkwk) dan mengatakan pada kami sapu yang ia pakai usianya lebih dari satu dekade. “Tuh tingali ieu oge 13 taun kiat keneh!” katanya persuasif sambil menunjukkan sapu miliknya yang terlihat letih dan gigih.

Sakti yang dimaksud: tahan lama dan ijuknya dibuat dari bahan berkualitas. Begitu kata artikel-artikel yang saya baca. Jujur saja saya langsung browsing tentang sapu khas tasik saat Tita memberitahu kami bahwa papanya minta oleh-oleh sapu ijuk. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sarengwalking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
Tita dan sapu ijuk untuk papanya - photo courtesy Retna/Mapah Sareng


Buah tangan makanan sudah biasa. Tapi bila ada orangtua yang minta dibelikan benda-benda domestik dari kota tertentu, kita usahakan nurut saja sebab biasanya kualitas bendanya memang tangguh dan pasti terpakai di rumah. Dan bila kamu melakukan hampir semua pekerjaan domestik di rumah pasti tahu mengapa butuh sapu yang berkualitas. 

Makasih Papanya Tita. Berkatnya saya menambah khazanah oleh-oleh Tasikmalaya berupa sapu ijuk, (dengan tambahan catatan, diutamakan mereknya SPA).

Sampai di mana tadi? Toko babadan ya.

Menggelinding ke kedai kopi bernama Tjinere di dekat Prapatan Lima, saya memesan teh tubruk melati. Sajian minuman ini datang ke meja dalam komposisi teko air teh, dua gelas kecil, dan dua potong kue bangket. Saya habiskan sendirian sebab peserta tur lainnya sudah memesan menu pilihan masing-masing. Totalnya saya minum lima gelas teh tubruk. Efek kafeinnya langsung menendang, tidak lagi ngantuk.  


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Rina yang punya Tjinere - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Tjinere berada di sebuah rumah tua yang penuh dengan kembang hijau. Cantik sekali penempatan daun-daun di pintu masuknya. Terdiri dari dua ruangan untuk pengunjung, kami duduk di ruang kedua, pinggir jendela. Seperti kembangnya, warna cat kusen pintu dan jendela dominan hijau.


Saya berkenalan dengan pemilik Tjinere, Rina Amalia. Saat ngobrol saya bertanya padanya, apakah profesi neneknya (sebab memiliki rumah besar di pinggir jalan utama dekat rel kereta api). “Nenek teh dagang kain batik tulis,” jawabnya.

Walah! pengusaha kain batik. Rasa penasaran kian dalam tapi tidak ada sesi wawancara dalam obrolan santai ini. Suasana kedai ramai, suara pengunjung sahut-sahutan, suara musik mengalun, dan kami sudah terlampau kelamaan nongkrong. Sejujurnya saya mengharapkan ada obrolan lebih lanjut (dan resmi) antara peserta tur dengan pemilik Tjinere.

Sepertinya menarik cerita tentang Tasik lebih dalam dan dunia perbatikannya. Meski tetehnya mengaku tidak tahu seluk beluk detail sejarah keluarganya tapi cerita tentang keluarganya saja buat saya jadi cerita pengantar yang manis.

 

difotokan oleh Retna (makasih, Retna!)

Dari Tjinere kami beranjak ke kedai kopi bernama Praya Coffee. Lokasinya di Jalan Burujul dan bangunan kedainya sangat klasik.

Praya Coffee menempati sebuah rumah tua. Khas bangunan kolonial. Sementara kedai kopinya ada di ruang depan bangunan, di ruang berikutnya adalah tempat tinggal Innes Dewi Santika, pemilik rumah tua tersebut. 


Innes cerita sedikit tentang rumahnya. Didirikan oleh kakek buyutnya di tahun 1928, oleh Innes rumah tersebut dinamakan Rumah Burujul Heritage (RBH).

Kembali saya tanyakan padanya, apakah profesi pendiri rumah dahulu kala, mengingat ukuran rumahnya yang tidak lazim dimiliki warga biasa-biasa saja.

“Usaha kain mori dan pewarna batik,” jawabnya. Kain mori adalah material dasar pembuatan kain batik. Saya memberitahunya tentang kedai kopi Tjinere dan keluarganya dulu punya bisnis batik tulis. “Loh iya kami memang masih saudara,” katanya lagi semangat. Walah!

“Kakek buyut saya asal Tegal, merantau ke Tasik, namanya H. Manshur. Di Tasik menikah dengan warga lokal asal Panglayungan, yaitu Hj. Eteh, nenek buyut saya,” tuturnya lagi.

Menurut Innes, Rumah Burujul Heritage dirancang oleh nenek buyutnya. Meski tidak mengecap pendidikan formal, Hj. Eteh juga berperan besar mendukung suaminya yang berkarir sebagai saudagar, termasuk turut serta dalam memperluas aset bisnis H. Manshur. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Sempat kosong selama beberapa tahun lamanya usai nenek dan kakek Innes wafat, RBH sempat berfungsi jadi gudang. Sesekali keluarga besar menginap bila sedang berlibur ke Tasikmalaya.

Tahun 2021 Innes memutuskan kembali ke Rumah Burujul Heritage. Saat itu ibu dari tiga anak ini masih bolak-balik Jakarta-Tasik karena Innes sekeluarga bermukim di Ibukota.

Kini di tahun 2024 Innes resmi menjadi warga Tasikmalaya sebab telah berdomisili sepenuhnya. “Rasanya seneng banget! dream comes true banget bisa tinggal di sini!” ungkapnya. Sejak kecil Innes sekeluarga selalu berlebaran di RBH. Dalam kenangannya berkunjung ke rumah antik berhalaman luas itu sangat membekas.

RBH menjadi lokasi beberapa aktivitas seperti pameran dan workshop. Secara khusus Innes juga menyediakan ruang inklusif dan mencantumkannya dalam bio profil Rumah Burujul Heritage: rumah yang nyaman untuk bertemu, berkreasi, dan belajar bagi teman difabel dan non difabel.

Di sini kami tidak hanya nongkrong tapi juga berprakarya Cut and Paste dibimbing Soetedja Makerfest. Berbekal gunting, lem, dan kertas koran berbahasa sunda kami gunting menggunting dan menempel. Pengalaman baru buat saya ikutan tur jalan kaki dan diakhiri workshop. Menyenangkan juga, agak menyegarkan setelah seharian berjalan terus. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Innes pemiliknya RBH - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Saya catat di notes hp tentang hal-hal yang saya lihat di Tasik dan berjanji pada diri sendiri akan mencari informasinya lebih lanjut: sapu ijuk SPA, batik tulis tasikmalaya, kain mori, payung geulis, rumah burujul heritage, dan tentu saja bonteng.


Foto-foto dokumen pribadi, kecuali yang telah dicantumkan photo courtesynya

Berkunjung ke Pabrik Permen Davos Berusia 93 Tahun Bersama Mlampah Sareng

11 May 2024

Permen Davos merupakan brand yang bukan bicara tentang produk saja. Melihat Davos artinya throwback alias dilempar mundur ke belakang. Yang dilempar adalah ingatan kita karena permen Davos sobat anak-anak di tahun 90an. Nostalgia.  


 berkunjung ke pabrik davos


Saya, Indra, Nabil, dan Unis, rombongan Bandung ini sengaja bertandang ke Purwokerto Banyumas hendak mengikuti turnya Mlampah Sareng ke pabrik permen Davos di Purbalingga pada hari Sabtu 04/05/2024.

Dari Purwokerto ke Purbalingga dekat saja hanya 30 menit. Namun di Bandung setengah jam terasa cepat padahal sedang terjebak macet. Artinya titik pergerakan saya tidak jauh. Akan tetapi dalam perjalanan Purwokerto - Purbalingga 30 menit tanpa hambatan apapun. Tidak ada macet, hanya ada sedikit titik lampu merah. Titik pergerakan saya cepat berubah dan anehnya terasa jauh. Aneh juga ya reaksi tubuh terhadap perbedaan waktu tempuh yang sebetulnya sama itu. 


Berkunjung ke pabrik permen davos mulainya pukul 10 pagi. Sedangkan kami sudah mendarat di Purbalingga 1,5 jam sebelumnya. Mencari-cari rumah makan atau warung terdekat demi sarapan yang baru buka hanya rumah makan Padang. Betulan fast food pemadam kelaparan! Okelah bungkus!

Tidak dibungkus, makan di tempat saja. Rasanya? Waduh lezat sekali. Kami memesan telor dadar, nasi dan kuah rendang. Kami makan dengan lahap. Lapar sebabnya! Ditambah empat es jeruk dan kerupuk satu bungkus total empat porsinya Rp71.000.

Tidak seperti di Bandung dan Yogyakarta, tur di Purbalingga ini cukup tepat waktu meski mulainya tetap molor juga. Sekitar pukul 10.30 kami bersama-sama berangkat ke pabrik Davos. Dari titik kumpul di Usman Janantin Park, menyebrang Jalan Ahmad Yani, masuk ke Jalan Gunung Kelir V. Sampai sudah ke pabriknya! Hanya satu menit waktu tempuhnya! 

 

berkunjung ke pabrik permen davos
courtesy Mlampah Sareng

pabrik davos purbalingga



Permen Davos yang saya kenal ada dua. Warna biru berisi 10 permen berbentuk tablet putih dan warna hijau kotak berisi 20 tablet kecil-kecil. Warna biru namanya Davos Roll, itulah permen pertamanya Davos. Sedangkan yang hijau namanya Davos Lux, favorit saya. Davos Roll rasanya terlalu pedas, tapi seingat saya sering ada dalam saku celana saat perjalanan jauh seperti mudik. Karena rasa pedasnya lumayan meredakan rasa kembung dan mual. 

 

Ternyata bukan barudak 90an saja yang akrab dengan permen Davos. Akan tetapi juga generasi ibu dan nenek saya. Sebab permen Davos adanya sejak tahun 1931! 


Fakta mengagumkan itu yang baru saya ketahui dari turnya. Sudah 93 tahun PT Slamet Langgeng produksi dan berdagang permen. Bayangkan hampir satu abad membuat produk yang sama.

Dari turnya juga saya mendapatkan informasi Davos pernah membuat limun. Namanya limun Slamet. Namun tidak lama hanya beberapa tahun saja.

Memasuki ruang produksi pabriknya kami dibekali head cover, masker, sarung tangan, dan sarung buat alas kaki. Sayangnya kami berjalan berombongan yang jumlahnya lebih dari 20 orang. Agak sulit mendengar penjelasan pemandu tur jika kita berada di barisan paling belakang.

Namun saya berhasil mencatat beberapa hal menarik dari penjelasannya. Seperti; bahwa permen Davos tidak menggunakan bahan pemanis buatan, gula dijemur menggunakan mesin sedangkan proses di masa lampau gula dijemur di bawah sinar matahari, permen Davos Roll cocok dicampur ke dalam teh tawar panas, dan cerita tentang produk limunnya.  

 

berkunjung ke pabrik davos
Courtesy Mlampah Sareng


Pertunjukan menarik dari pabriknya ada di ruang pengemasan. Karena permennya dikemas manual dan mesin. Pengemasan dengan mesin sudah dapat dibayangkan sendiri mungkin? Sementara cara manual dikerjakan oleh tangan para ibu. Persis seperti di pabrik kretek yang saya lihat di Taru Martani Jogjakarta

Ruang pengemasan adalah ruang terakhir yang kami lihat. Dimensi ruangannya paling besar dengan langit-langit tinggi. Berbeda dengan ruang produksi lainnya yang agak kecil dan tinggi langit-langitnya standar. Ruang kemas terlihat seperti ruangan lama, ruangan paling tua. Seperti hangar pesawat. Di satu sisi ada jendela-jendela besar berteralis. Para ibu duduk di sana fokus membungkus permen.

Tentang mengapa Davos mempertahankan teknik membungkus manual itu, saya bertanya pada Kevin, pemandu tur dari Davos. “Penggunaan mesin pada teknik membungkus ini berdasarkan permintaan industri, Mbak. Karena kalau mesin yang bekerja, pembungkusannya rapat sekali. Beda dengan bungkusan ala tangan yang menggunakan lem,” jawabnya sambil memperlihatkan kemasan Davos Roll warna biru buatan mesin dan tangan.

Semua pemandu tur Davos bekerja dengan semangat. Seolah-olah kami tamu pertama kalinya bagi mereka, padahal tentu bukan. Davos sendiri secara rutin menerima kunjungan dari berbagai sekolah dan lembaga.

Entah seberapa luas pabriknya saya tidak bertanya. Kalau diperhatikan pabriknya tidak terlalu besar. Namun usahanya berjalan terus-menerus. Betul-betul pengalaman yang menggairahkan buat saya karena saya dan Indra juga berdagang di Fish Express. Kami juga mempunyai tempat produksi sendiri. Memelihara bisnis hingga 93 tahun betapa solidnya. Apa rahasianya bisa bertahan selama itu ya?

Indra bertanya pada Kevin, seberapa banyak kapasitas produksi pabrik ini perharinya. Kevin menjawab diplomatis, “Gimana marketingnya saja, Mas. Kami di sini selalu siap produksi sesuai permintaan mereka.”

Marketing dan salesnya Davos kok bisa sih jualan permen senendang itu. Ujung tombak bisnis seperti ini kan ya berdagang! Nawar-nawarin, jual-jualin. Tidak ada sales tidak ada uang. Bagaimana cara marketing dan salesnya bekerja sampai-sampai produk permen mint ini bertahan sepanjang 93 tahun?

 

berkunjung ke pabrik permen davos

Pertanyaan yang tidak terjawab karena sepertinya harus ada sesi ngobrol sendiri agak lama dengan Kevin. Makasih Mas Kevin yang antusias dan ramah sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

 

Begitu turnya selesai kami diberi suvenir permen Davos dan segelas teh dingin rasa permen davos. Tehnya segar, manis, dan dingin. Niat hati mau membawa pulang merchandise (apa saja: mug, pin, tshirt, kalender, totebag) tapi sayang belum ada merch resminya Davos. 

 

Saat ngomongin merchandise Davos saya teringat Seni Kanji. Sepertinya akan jadi kolaborasi menarik kalau bisa terwujud poster Davos buatan Seni Kanji. Tiba-tiba terlintas saja sih ide ini.

Sejujurnya saya sudah lupa ada yang namanya perman Davos. Namun sering tidak sengaja saya tonton  kontennya di TikTok. Ya betul Davos aktif menggiatkan konten-konten digitalnya di TikTok dan Reels dengan nama @davos.official. Link ke toko onlinenya juga tersedia pada platform tersebut. Salut sekali pada bisnis lama yang lentur adaptif terhadap teknologi, utamanya dalam hal ini media sosial. 

 

peken banyumasan davos purbalingga


Ditambah lagi kunjungan pabrik ini di bawah komando Mlampah Sareng dan termasuk dalam rangkaian acara bernama Peken Banyumasan. Peken Banyumasan merupakan acara kreatif satu hari yang menampilkan kolaborasi antar jejaring lokal: ada local market, ada tur berjalan kaki, ada screening movie, ada showcase dari kreator-kreator lokal. Kolaborasi yang menarik dan dibutuhkan satu sama lain, saya juga sebagai pesertanya.

Waktu menentukan tujuan ke Purwokerto tiada lain saya hanya mau ikutan tur ke pabrik permen Davos di Purbalingga. Niatnya ke satu kota saja, berujung sedikit singgah ke Purwokerto dan Banyumas juga. Hamdalah jalan-jalan yang menyenangkan, terutama di Purbalingga saat tur ke pabrik Davos. Kami kembali ke Bandung dalam kondisi bahagia rohani dan capek jasmani.



Selajang Pandang Magelang Bersama Alon Mlampah

04 September 2023

Kalau ada satu-satunya pelajaran sejarah yang kuingat, itulah dia tentang penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda yang berlokasi di Magelang, di sebuah gedung karesidenan. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi di bulan Maret tahun 1830. Saya berada di gedung tersebut 193 tahun kemudian, di hari itu sabtu 26/8/2023.

 

mlaku magelang


Gedungnya sekarang jadi Museum Diponegoro. Sewaktu saya ke sana ada hajatan sedang berlangsung. Teras gedungnya disewa untuk resepsi pernikahan. Sehingga saya dan teman-teman peserta tur jalan kaki Selajang Pandang Magelang hanya menyaksikan gedungnya dari luar saja. Hajatan di museum? Bisa ternyata kalau di Magelang! Hehe.

Akhir pekan yang singkat di Magelang sangat berkesan. Saya mengunjungi beberapa bangunan antik di sana. Kulihat bangunan sekolah cikal bakal lembaga STPDN, sekolah tempat Kyai Ahmad Dahlan mengajar, pastur Verbraak yang patungnya ada di Taman Maluku Bandung ternyata sepak terjang dan makamnya di Magelang, menelusuri cerita tentang KNIL dan pergundikannya.

Lalu ter-epik jejak telusur saya hari itu: lokasi Pangeran Diponegoro ditangkap Letnan Jendral Hendrik Merkus de Kock.

Maksudku, kita belajar di sekolah tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Ingat tidak? Dari Perang Jawa yang tidak berkesudahan ujungnya, suatu hari beliau diajak berunding Belanda. Tak tahunya dia dijebak. Belanda menangkapnya.

Peristiwa itu saya telusuri secara singkat dan jelas dari walking tour di Magelang. Karena berada langsung di lokasi penangkapannya, saya jadi serius menyimak kronologi peristiwanya berdasarkan penuturan Mas Gusta, selaku pemandu cerita dari Mlaku Magelang


Memang rasanya berbeda sekali menyimak cerita-serita sejarah di sekolah, di rumah, dan di tempatnya langsung begini. Pengalaman yang menyenangkan bisa berada di lokasinya langsung. Mungkin otak saya tidak mampu mengingat data nama, tanggal, dan lain-lainnya secara rinci, tapi perasaan terpukau yang muncul saat mendengar cerita Mas Gusta masih melekat.


museum diponegoro magelang


Mas Gusta cerita peristiwa penangkapan terjadi di bulan Syawal. Sebagai muslim, saya membayangkan bulan tersebut adalah bulan silaturahmi karena habis bulan puasa Ramadan.

Nah sepanjang bulan Ramadan hubungan antara Pangeran Diponegoro dan de Kock terbilang akrab. Mereka ngobrol dan nongkrong bareng di karesidenan tersebut. Begitu cerita Mas Gusta.

Hingga setelah Lebaran, Pangeran Diponegoro datang lagi ke gedung karesidenan. Disambut ramah oleh Belanda dan mereka ngopi-ngopi. Tak tahunya saat diajak ke dalam gedung, Pangeran Diponegoro dikasihtahu bahwa dia akan ditangkap, saat itu sekarang juga. Lha Diponegoro mengira hari itu dia akan berbincang-bincang seperti hari kemarin-kemarin, ternyata ditangkap.

Menyimak cerita naratif sekaligus berada di lokasi yang sama dengan penangkapannya, saya bisa membayangkan kejadian berlangsung. Wah betapa waasnya, demikian kalau kata orang sunda.


museum diponegoro magelang


Tangga teras yang saya injak adalah tangga yang sama yang diinjak Pangeran Diponegoro. Lukisan karya Raden Saleh tentang penangkapan Diponegoro setingnya teras gedung tersebut. Dan saya, 193 tahun setelah kejadian bersejarah itu, berada di teras yang sama!

Museum Diponegoro lokasinya di Jalan Diponegoro no. 1 Kota Magelang. Bangunannya berada di kompleks eks Kantor Pembantu Gubernur Wilayah Kedu, yang sekarang jadi Museum BPK dan Museum Diponegoro.

Gedungnya masih utuh dan berdiri menghadap Gunung Sumbing. Pelataran depan gedungnya luas sekali. Terdapat arca di dua sisi depan bangunan. Arca-arca lainnya juga terdapat di halaman belakang.

Saya mencari datanya di artikel-artikel online, luasnya 2.552 meter persegi. Kemewahan dan keagungan pejabat-pejabat kolonial dan priyayi masa lalu terlihat dari pemilihan lokasi di sini.

Saya sendiri masih gak percaya saat berdiri di depan gedungnya. Terpukau sekali rasanya bisa berada di tempat bersejarah tersebut. Meski agak terhalang dekorasi pernikahan karena gedungnya disewa untuk hajatan resepsi.

 

 

depot es semanggi magelang

kauman magelang

mlaku magelang

Dan kupikir Mas Gusta dari Mlaku Magelang adalah pemandu yang sangat impresif ceritanya. Selain dia pembaca buku akut sehingga memahami konteks sejarah dan peristiwanya, cara bicaranya juga menarik. Dia tahu bagaimana menempatkan kisah-kisah dramatis di awal, tengah, dan ujung cerita. Benar-benar rasanya seperti didongengin.

Caranya menyebut nama berbahasa belanda, jawa, indonesia sangatlah fasih. Seperti muscle memory yang bicara. Saat ia cerita pada kami tentang monarki bupati Magelang yang ia sebut lima nama bupatinya lengkap, panjang, tidak ada keraguan. Caranya bicara seperti jalan tol, mulus!

Mas Gusta juga beberapa kali bicara dalam bahasa jawa. Dan justru menarik banget bumbuhan ungkapan bahasa jawanya. Saya tidak mengerti tapi saya mengapresiasinya dan tidak merasa dikucilkan sebagai satu-satunya warga Bandung (sunda) yang ada dalam tur tersebut.

Sepertinya menjadi pemandu Mlaku Magelang adalah panggungnya ya. Dan kupikir Mas Gusta adalah aktornya.  Kostum yang ia kenakan juga bagian dari pertunjukkan. Kostumnya adalah pakaian seragam sekolah pamong praja di Magelang. 

 

mlaku magelang

Kami berjalan kaki cukup jauh, hampir 10.000 langkah dari pukul 9.30 hingga 4 sore!

Kupikir dengan kostum dan alas kaki yang ia kenakan, pastilah tidak nyaman rasanya. Namun energinya sepanjang tur tidak habis! Jalannya bertenaga, ceritanya bersemangat. Tempo cerita yang rapi dan interaktif. Betul-betul sebuah komitmen yang hebat.


Saya beruntung bisa ikutan tur ini. Meski hanya melihat selayang pandang saja alias melihat kurang dari satu hari, tapi cukup berkesan. Es pleret coklat yang kuminum di warung pojok bawah tanah rasanya enak dan segar! Bangunan tua di Magelang yang cakep-cakep dan tentu saja puncaknya di Museum Diponegoro itu yang menarik.

 

Meski lihatnya sekilas, agaknya betul juga kalau Magelang disebut cocok untuk dihuni pensiunan. 

 

mlaku magelang


Dan walau harus keluar uang rada banyak untuk transportasi dan akomodasi karena transit di kota Jogja dulu bergabung dengan Alon Mlampah selaku penyelenggara tur ke Magelang tersebut, tapi ya gak apa-apa. Uang bisa kucari lagi. Pengalaman menyenangkan ini mungkin gak akan terulang (meski ada rencana akan saya lakukan lagi!).

Sore di Magelang saat kami beranjak dari bangunan Museum Diponegoro itu terasa syahdu. Langit menguning seperti berkabut. Peristiwa duka dan suka ada di lokasi-lokasi yang saya datangi. Khusus buat saya, yang terasa sukanya. Benar kata orang-orang, waktu terbang saat kita sedang bersenang-senang.

Cerita Dari Walking Tour di Cicalengka

15 August 2023

Coba bayangin ada acara seperti itu di kabupaten: walking tour di Cicalengka. Namanya juga penasaran, saya daftar sekaligus buat empat orang. Saya ajakin orang-orang di rumah ayo ikut yuk! Mumpung soalnya. Dalam bayangan saya mungkin tur jalan kakinya berlangsung satu kali, yang kedua kalinya akan selang beberapa bulan mendatang atau entah kapan. 


cicalengka historical trip

 

Tentang Cicalengka hanya pahlawan pendidikan Dewi Sartika yang saya ketahui dari buku biografinya. Usai tur berjudul Aloen-Aloen Tjitjalengka (25/6/2023) ini saya tahu kalau di masa kolonialnya Cicalengka pernah menjadi ibukota kabupaten.

Beberapa tokoh penting pernah bermukim dan melintasinya. Ada Djuanda, Soekarno, arsitek terkenal Wolff Wchoemaker, dan Umar Wirahadikusumah.

Ir. H. Djuanda adalah perdana menteri Republik Indonesia dan inisiator Deklarasi Djuanda yang mengubah sistem ketatalautan dan zona teritorial Indonesia. Namanya abadi menjadi nama jalan yang populer dengan nama Dago, taman hutan raya, bandara, dan kita dapat melihat wajahnya dalam lembar uang 50.000.


Djuanda kecil menempuh pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School, sekolah dasar warga eropa dan bangsawan) yang kini menjadi SMPN 1 Cicalengka. Masa remajanya bolak-balik naik turun di Stasiun Cicalengka - Stasiun Bandung demi bersekolah di HBS (SMA 3). Ayah Djuanda sendiri guru di HIS (sekolah belanda untuk bumiputra) yang sekarang berfungsi sebagai SDN VIII Cicalengka.

Dalam tur jalan kaki Cicalengka ini kami diajak melihat kedua bangunan fisik sekolah tersebut. Yaitu SMPN 1 di Jl Dipati Ukur dan SDN VIII di alamat Jalan Raya Barat. 

 

cicalengka historical trip

cicalengka historical trip

 

Kedua bangunan itu masih menyisakan bagian kunonya. Terlihat skala ruangnya berbeda jauh. Bangunan SMP 1 bekas sekolah dasar eropa lebih megah dan tinggi. Jendela dan pintunya besar-besar. Lokasinya tepat di depan Alun-Alun. Sedangkan SDN VIII yang dahulu sekolah khusus pribumi bangunannya lebih kecil begitupun jendelanya. Lokasinya agak menjauh dari Alun-Alun.

Dari situ saja terlihat perbedaan sekolah kolonial dan sekolah pribumi. Sebuah perbandingan menarik, status sosial sejarahnya masih bisa saya lihat berkat kondisi fisik bangunan yang masih ada.

Tur berlangsung sekitar dua jam saja. Menurut saya waktunya sudah ideal. Saat saya mengikuti walking tour di kota Yogyakarta, durasinya dua jam juga.

Meskipun hanya dua jam, ada banyak bangunan tua yang kami lihat secara fisik dan secara gaib. Hehe melihatnya dengan mata batin karena bangunannya memang tidak ada. Sudah berganti rupanya. Seperti bangunan sekolah agama yang bersebelahan dengan kantor kecamatan. Juga penjara yang kini menjadi gudang pegadaian.

Bumi Kapungkur adalah situs kuno paling berkesan buat saya. Bentuknya rumah tinggal bergaya arsitektur artdeco (bulat-bulat bentuknya dan banyak dekorasi rumah). Warga mempercayai rumah tersebut sebagai rumah keluarga Dewi Sartika.

Cicalengka berjarak 32 km dari Alun-Alun Bandung dan identik dengan pahlawan Dewi Sartika yang pernah bermukim di rumah pamannya patih cicalengka. Di sanalah jiwa aktivisnya tumbuh. Saat orangtuanya bebas dari pengasingan dan kembali ke Bandung, Dewi turut pulang dan membawa angin perubahan dalam pendidikan perempuan.

Rumah patih yang pernah didiami Dewi Sartika bukanlah Bumi Kapungkur, melainkan berada di kompleks sekolah SMP 1 di Alun-Alun. Tur jalan kaki ini meluruskan fakta yang kabur tersebut. 

 

 cicalengka historical trip

cicalengka historical trip


Sofia Riyanti, pemilik rumahnya, mengatakan penghuni rumah merupakan generasi ke-4. Tentang apakah betul Bumi Kapungkur rumah keluarga Dewi Sartika, Sofia mengatakan hal sebaliknya. “Rumah kami bukan rumah keluarga Ibu Dewi Sartika.”

Sofia melanjutkan cerita, saat itu buyutnya, H. M Samsudi, menikah dengan anak pertama camat Cicalengka. Samsudi merantau dari Palembang dan berprofesi pedagang akar wangi dan ulat sutera. Setelah menikah ia menetap di Cicalengka dan bermukim di rumah yang dibangun tahun 1928 itu.

Obrolan tentang profesi Samsudi terdengar menarik, yaitu usaha ulat sutera dan akarwangi. “Memang pernah ada bisnis benang ulat sutera di Cicalengka tapi hasil panen ulatnya tidak terlalu bagus”, kata Ibu Sofia. “Kecil-kecil ulatnya sehingga usaha tersebut tidak berlangsung lama juga,” ujarnya lagi.

Bila berpatokan ke Jalan Dewi Sartika lokasi Bumi Kapungkur di sebelah utara. Di masa kini rumahnya bersanding padat dengan rumah-rumah lainnya, juga di seberangnya arah selatan. Saya mengintip di sedikit di belakang rumah-rumah itu dan terdapat areal pesawahan yang luas dan indah. Sistem pesawahannya terasering.

Saat itu pukul sembilan pagi dan sinar matahari sedang cantik-cantiknya menyentuh pucuk-pucuk padi pesawahan. Saya membayangkan diri menjadi Samsudi dan ngopi-ngopi di teras rumahnya, menghadap pemandangan itu semua di tahun 1930. Betapa indahnya.

Saya pikir akan menarik bila tur Cicalengka mampir sebentar melihat pemandangan pesawahan itu. Cerita nostalgia sejarahnya akan bulat karena relevan dengan kejadian masa kini, yaitu tentang mata pencaharian warga Cicalengka dan kondisi areal pesawahannya.

Sebelum tur dimulai saya sempet bertanya profesi warga Cicalengka mayoritas apa. “Kebanyakan buruh tani, buruh pabrik, dan buruh harian lepas” jawab Nurul Maria Sisilia ketua pelaksana tur jalan kaki Cicalengka.

Saat ini terhitung jumlah penduduk Cicalengka 122.991 (bandungkabs.bps.go.id). Dilansir dari sumber yang sama, pekerjaan warga terbanyak adalah buruh harian lepas, wiraswata, dan pekerja swasta. Sementara komoditas pertaniannya yang utama adalah jagung, cengkeh, dan tembakau. 

 

cicalengka historical trip  cicalengka historical trip

 

Cicalengka menjadi lumbung pertanian dan perkebunan di masa kolonial. Tanaman kopi, teh, dan kina dibudidayakan. Rencana pemerintah belanda memindahkan pusat kepemimpinan dan militer ke kawasan Bandung melahirkan infrastruktur kereta api dan Stasiun Cicalengka.


Stasiun Cicalengka yang mulai beroperasi tahun 1884 ini menjadi jantungnya mobilisasi perekonomian karena mengangkut hasil bumi dari perkebunan ke kota Bandung dan Batavia (Jakarta). Saat ini bangunan utama stasiun yang bersejarah terancam dibongkar berkaitan dengan pembangunan infrastruktur kereta api cepat. 

 

Di stasiun yang sama pula tahun 1929 calon presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, turun dari kereta asal Yogyakarta dan melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju penjara Banceuy. Soekarno saat itu dianggap salah satu tokoh penggerak kemerdekaan dan kemunculannya sebagai tahanan pemerintah kolonial di stasiun Bandung akan memicu keributan. Oleh karena itu beliau berhenti di Stasiun Cicalengka alih-alih Stasiun Bandung. 

 

 

cicalengka historical trip


Di akhir tur kami dituntun ke kantor kecamatan. Di sana ada pertunjukan musik keroncong dan pameran foto Cicalengka tempo dulu, durasi acaranya bertambah. Ada juga kuisnya dan saya berhasil mendapatkan satu tas selempang kecil warna hitam bertuliskan “Tjitjalengka Historical Trip”. Duh senangnya!

Tur jalan kaki yang sangat menarik. Pendaftarannya melalui instragram mereka di nama akun @tjitjalengka.historical. 


Senang saya bisa tahu lebih banyak dari hari-hari kemarin. Bahwa di Cicalengka ada banyak tokoh penting yang bermukim di sana itu juga fakta menarik. 


Jadi ingat buku perjalanan Sigit Susanto berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Dia tinggal di Swiss dan sering jalan-jalan ke negara-negara tetangga. Minatnya pada sastra dan politik. Karenanya dia bertandang ke kota-kota pelosok kecil menyusuri jejak para tokoh panutannya. Bisa ya di sana keberadaan para tokoh itu diabadikan dan jadi situs wisata; rumahnya, makamnya, sampai warung kopi tempatnya nongkrong. 

 

Bila saja Cicalengka bernasib seperti desa-desa di eropa itu, waduh betapa bergairahnya wisata (sejarah) di Bandung.


Terima kasih kepada Tjitjalengka Historical Trip yang meriset dan merancang perjalanan singkat tersebut. Benar-benar gerakan progresif buatan anak kabupaten. Sesuai taglinenya tur jalan kaki ini, hari itu saya melihat sejarah besar di kota kecil. 



cicalengka historical trip




Cerita Dari Toko Buku Merpati di Garut

05 June 2023

Sejak sehari sebelum berangkat dari Bandung saya sudah fokus pada empat tujuan di Garut: makan bacil, berendam di Tirta Gangga, belanja teh kiloan di Pasar Mandalagiri, dan mampir ke toko buku di Jalan Ciledug. Hamdalah tiga dari empat kesampaian. Terutama yang terakhir itu, ke toko buku Merpati.

 

toko buku di garut toko buku merpati


Tahun lalu waktu berkunjung ke Garut secara tidak sengaja saya melihat toko buku sehabis makan bubur di Jalan Ciledug sekitar pukul sembilan pagi. 


Berjalan kaki di trotoar saya memperhatikan pertokoan di sisi kanan. Etalase toko berupa kaca berlapis jendela kayu klasik warna cokelat terlihat menarik. Itulah Toko Buku Merpati.

Saya berlalu saja sambil berkata dalam hati mungkin sore nanti saya mampir ke tokonya. Keputusan yang salah karena pada waktu kembali ke sana, tokonya sudah tutup dan saya harus kembali ke Bandung esok harinya pagi-pagi sekali.

Tahun 2023 inilah saya berjodoh dengan Merpati. Ada rasa gugupnya saat pergi ke Jalan Ciledug. Khawatir tokonya tutup. Syukurlah buka. Terlihat dari etalase tokonya.

Sesuai instruksi mamang parkir, saya harus mengetok pintunya. “Dibel weh, Neng!” teriak Mamang Parkir. Oke baik saya pencet bel pintu. Tingtong!

Selang beberapa detik pintu dibuka oleh ibu-ibu berkaos merah. Kukatakan padanya hendak membeli buku. Dengan ramah ia menyambutku, kami mengobrol dalam bahasa sunda.

Saya pergi ke toko bersama Indra, jadi dengan bahasa sunda level basic yang saya kuasai ini, Indra yang skill bahasa sundanya level advanced membantu saya ngobrol dengan pemilik Toko Buku Merpati.
 

"Asih Setiasih, mangga Ibu Asih wae," ucapnya sambil tersenyum saat mengenalkan diri.

Seperti ngobrol dengan teman lama, Ibu Asih memulai cerita toko buku Merpati dari orang tuanya. Tokonya adalah warisan. Ayahnya menitipkan toko buku tersebut agar tetap buka meski mereka sudah tiada. 

 

toko buku di garut toko buku merpati


“Kinten-kinten tahun 50an mung abdi hilap tahun sabaharana mah,” jawab Ibu Asih, saya bertanya padanya tahun berapa toko buka pertama kali.

Mayoritas buku yang tersedia di sini adalah buku-buku berbahasa sunda. Semua bukunya disuplai oleh penerbit asal Bandung. Ada penerbit Pustaka Jaya, Kiblat, dan Ujung Galuh.

Dahulu ada lebih banyak penerbit yang menitipkan bukunya di sini, termasuk Gramedia. Namun bisnis perbukuan cetak menurun, penerbit berguguran. Gramedia sendiri baru buka tokonya di Garut tahun 2022 dan sejak itu buku terbitannya tidak lagi masuk ke Toko Buku Merpati.

Kutanyakan padanya bahwa tahun lalu saya berniat mampir ke toko, tapi tokonya sudah tutup meski belum pukul 4 sore. “Tabuh sabaraha buka tutupnya, Bu?" kutanyakan untuk konfirmasi.

Ibu Asih menjawab simpel: pagi dan sore. Kalau pagi kira-kira pukul sembilan dan sorenya tutup sebelum magrib, katanya. Bahkan, katanya lagi, kalau ia menyapu trotoar depan toko subuh-subuh, itu artinya toko sudah buka. 

 

"Serius, Bu?" tanya saya rada olohok. 

"Muhun atuh hahaha!" Ibu Asih tertawa renyah saat berkata demikian. Saya pun ikutan tertawa.

Saat ini ibu dua anak tersebut sedang menjalani masa pensiun. Waktunya lebih leluasa buat mengasuh toko. Sebelum pensiun, ia membuka tokonya sehabis jam kerja kantor.

Saya meresapi perkataannya. Punya toko buku, bekerja di kantor, sekarang pensiun, tokonya masih dalam pengasuhan. Wah sepertinya kehidupan yang menarik bila saya menilainya dari lapis permukaan saja. Utamanya jika pemilik toko adalah kutu buku juga.

 

toko buku di garut toko buku merpati

 

Namun menjual buku bukan pekerjaan mudah, lantas bagaimana dengan menjual buku berbahasa sunda?

Ibu Asih cerita bahwa pelanggan tokonya terdiri dari pegawai dinas pemerintah, guru dan anak sekolah dasar, lalu perantau.

“Perantau, Bu?” tanyaku rada bingung tapi saya dapat menebak arahnya ke mana.

“Muhun,” jawabnya. Ia melanjutkan, perantau orang sunda yang bekerja dan tinggal di luar pulau jawa dan luar negeri bila pulang ke Garut pasti mampir ke tokonya dan memborong banyak buku. Salah satu pelanggannya bermukim di Kalimantan.

“Buat obat kangen” ucapku, Ibu Asih mengiyakan. Biar serasa tidak jauh dari kampungnya mungkin, katanya lagi. 

 

Saat itu saya ingin memotret Ibu Asih tapi beliau berkata sedang tidak memakai kerudung. Tidak enak hati memotonya secara diam-diam, saya hanya meminta izin foto toko dan buku-bukunya saja. 


Penampakan tokonya seperti bukan buatan tahun 2000an. Tegel kuning kusam terlihat seumur dengan ayah saya, lemari buku yang rapi dan sunyi, etalase toko dengan majalah Mangle yang menggantung-gantung hening di sana. Semuanya, meski tidak tua-tua amat, terasa begitu antik. 


Saya menyimpulkan Ibu Asih sayang pada tokonya. Ia juga pembaca buku, dengan fasih dan lincah ibu berusia 62 tahun tersebut merekomendasikan berbagai macam judul.

Dibantu rekomendasinya, saya membeli tiga buku di sini. Total harganya Rp99.000. Tidak lupa saya minta cap tokonya juga di halaman pertama tiap buku sebagai tanda mata. Kenang-kenangan.


toko buku di garut toko buku merpati

 

Toko buku Merpati tidak berjualan online. Alamatnya di Jalan Ciledug 57 Garut.

Senin - Sabtu
Buka pukul 09.00
Tutup sebelum magrib

Mungkin hari minggu juga buka

 

Bila kamu datang ke sana dan mendapati tokonya tutup di antara pukul 9 dan sebelum magrib, anggap saja belum beruntung. 


Toko Buku Merpati ini ibaratnya kue-kue rumahan, diasuhnya dengan sentuhan pelan dan longgar, tergantung aktivitas pemiliknya. Subuh-subuh saja, jika kamu melihat seorang ibu-ibu sedang menyapu trotoar depan etalase toko, mungkin itu pertanda sudah buka tokonya.


toko buku di garut toko buku merpati

Bandungdiary yang Menggantung di Toko Monas

29 May 2023

Toko Monas yang berada di Pasar Kanoman itu berubah wajah. Tegel toko yang sebelumnya warna hijau persegi kecil kini keramik mengkilap. Tidak lagi ada jambal roti menggantung-gantung kokoh di pintu toko. Bakasem japuh dalam baskom dan ebi beralas tampah menghilang. Semua ikan asin tersimpan  dalam chiller.

 

toko monas cirebon


Mudik 2023 lalu saya berbelanja di Toko Monas yang sekarang serba modern dan rapi. Wujudnya membuat wajah toko ini sama dengan toko oleh-oleh pada umumnya yang kulihat di Cirebon. Cici yang biasanya menjaga kasir toko wafat tiga tahun lalu. Kini toko diurus generasi ketiga.

Perubahan wajah toko terjadi entah karena efek pandemi atau memang pemiliknya mau renovasi toko saja. Saya menyukai wujud toko sebelumnya yang rapi, sedikit berantakan tapi cantik dan terasa tradisionalnya.

Namun ya sudahlah, saya pembeli bukan pemilik tokonya. Di sini saya belanja bakasem japuh saja. Selain font nama toko yang syukurlah tidak diubah, kualitas produk di toko juga masih sama seperti dulu. Di Bandung kumasak dan makan bakasem japuhnya, duh gusti nikmatnya luar biasa memang bakasem japuh made in toko Monas adalah terbaik!

Btw, saat membayar di kasir, saya melihat ada beberapa pigura terpajang di tembok belakang kasir. Kubaca dan kukenal salah satu foto yang dalam pigura itu: foto Toko Monas yang kujepret dengan kamera hp di tahun 2018 dan saya posting ke instagram Bandungdiary.

Kuminta izin kepada mba-mba kasir untuk melihat piguranya lebih dekat. Ia menolak, tentu saja karena alasan keamanan, tidak mengapa.


Saya mengatakan padanya bahwa foto yang menggantung di belakang meja kasir itu adalah foto jepretanku. Itu pun akun instagram milikku. Hamdalah dibolehin kulihat piguranya dari dekat. 

 

toko monas cirebon


Postingan saya tentang Toko Monas masuk radar tokonya. Juga sangatlah saya terharu atas fakta bahwa mereka mencetak foto beserta captionnya dan memajangnya di toko. Nama akun instagram saya tidak dihilangkan. 


Saya bukannya dari Kompas, Jawa Pos, atau media lainnya yang meliput Toko Monas. Saya hanya pelanggan yang kebetulan punya instagram dan blog. Perlukah saya merasa istimewa mengetahui bahwa mereka memajang postingan instagram Bandungdiary di tokonya? 


toko monas cirebon


Indra bilang saya gak berlebihan. Saya sendiri tidak tahu sejarah dan asal usul tokonya. Hanya saya tebak saja dengan kandungan produk yang terkurasi dan beragam khas pantura itu, kupikir ini toko mungkin sudah ada sejak lama. 

 

Keinginan saya posting foto Toko Monas di instagram semata-mata ingin merekomendasikannya sebagai toko oleh-oleh Cirebon. Maksudku di antara batik trusmi (yang bagus itu) dan empal gentong (yang enak banget itu), ada toko yang menjual produk pangan khas Cirebon berupa bakasem, ebi, emping kwalitet bagus, dan mie homemade yang mereka buat dengan teknik kuno seperti di tiongkok. 


Menurut pendapat saya komponen pangan ala wong Cirebon sangatlah menarik. Mereka bukan jawa juga bukan sunda. Bila kamu plesir ke Cirebon, belanja ke pasar tentu saja jadi pengalaman menyenangkan karena ketemu bahan-bahan pangan yang orisinil. Asem jawa saja ada beberapa macam dari yang mentah sampai yang tanpa biji. Hingga asem jawa ya g difermentasikan jadi obat bernama Asem Kawak. 


 toko monas cirebon


Pada waktu itu saya bisa masukkan toko ini sebagai ‘hidden gem’ Cirebon karena kurasi Toko Monas akan produknya memang sebagus itu. 


Maksudku, di mana bisa kamu temui jambal roti versi manis? Dan bakasem japuhnya Toko Monas…astaga…terbaik sekali dari segi tekstur, ukuran, dan rasa. Penggemar masak memasak niscaya akan bahagia ada di toko ini.

Beberapa kali sebelum pandemi saya jastipkan produk dari Toko Monas di Bandung. Pembelian saya hanya 2-3 juta. Bila saya minta diskon ke cici, ia memberiku diskon 10.000 sambil berkata “wis tenang bae baka tuku ning kene jaminane wis mutu kabeh laka maning ning toko sejene!” demikianlah kepercayaan diri pemilik toko, cici-cici yang usianya saat terakhir saya bertemu mungkin sekitar 70 tahunan. 

Saat berbelanja dan jastip itulah saya memotret banyak produk Toko Monas dan fasadnya. Saya posting di instagram. Dan foto itulah yang mereka pajang. 


Bandungdiary yang menggantung di Toko Monas adalah salah satu episode ajaib nan menyenangkan dalam hidupku. 


toko monas cirebon

Berkunjung ke Dapur Bolu Cukil Cap Tomat di Parakan

18 March 2023

Bolu cukil kering bentuknya imut seperti tomat cheryy. Terbuatnya dari gula, telur, dan terigu. Tambahan rasanya vanila atau gula aren. Bolu Cukil Cap Tomat asalnya dari kota Parakan, Jawa Tengah, 373 km dari Bandung dan saya beruntung sekali bisa melongok dapurnya si bolu cukil the OG.


 

bolu cukil cap tomat parakan

Iya saya berkunjung ke Parakan mengikuti turnya Alon Mlampah. Di kota tersebut saya diboyong ke sebuah rumah antik di Jalan Demangan 16. Rumah di sini ada nama-namanya. Yang kudatangi namanya Omah Tjandie atau Omah Gotong Royong.

Masuk ke rumahnya saya akan melewati sebuah pintu gerbang beratap genting. Lalu dari pintu tersebut menuju rumah ada halaman luas berumput hijau dan ada beberapa pohon. Sebuah jalan setapak cantik mengarah ke teras rumah. Masyallah cantik sekali rumahnya.

Usia rumahnya 173 tahun. Cat rumah dominan putih. Ada dua pilar besar dan super tebal di terasnya yang super luas itu. Beberapa lukisan terpajang di sana, di terasnya. Bila duduk di kursi-kursi teras kita akan menghadap Gunung Sumbing. 

 

bolu cukil cap tomat parakan


Sayangnya di seberang Omah Tjandie ada rumah tingkat dua yang menghalangi pandangan. Kubayangkan betapa nikmatnya nongkrong di teras Omah Tjandie, entah pagi atau sore, memandangi Gunung Sumbing. Gunungnya dekat sekali!

Dapur bolu cukil berada di bagian belakang rumah. Sebelum menuju dapurnya kami bertemu Dani, pemilik rumah tersebut. Dani adalah generasi keenam Omah Tjandie.

Rumah ini juga dikenal dengan nama Rumah Kungfu atau Rumah Pendekar. Maklum saja dahulunya di sini tinggal seorang ahli kungfu Lauw Djeng Tie. Ia mendirikan perguruan bernama Garuda Mas. Di sinilah ia mengajarkan ilmu bela diri, tenaga dalam, dan merintis usaha pengobatan obat gosok dan parem. Racikannya berhenti di tahun 2015.  

Garuda Mas sudah tutup. Dani sendiri menguasai kungfu tapi ia tidak melanjutkan perguruan tersebut. Produk pengobatan yang ada di sini hanya 8 ml minyak gosok untuk mengobati memar dan pegal linu. Saya membelinya satu botol, harganya Rp15.000 saja.

Beberapa peninggalan guru kungfu Lauw Djeng Tie dapat kulihat. Ada tombak, golok, dan benda-benda alat bela diri dan senjata lainnya. Mereka terpajang di rumah bagian depan sebagai dekorasi. Kurasa rumah ini jadi museum kecilnya Garuda Mas.

Di dapurnya ada enam orang sibuk mengurus bolu cukil. Empat orang di depan kompor dan oven, dua lainnya di bagian pengemasan. Satu dari mereka adalah laki-laki. 

 

bolu cukil cap tomat parakan


Saya meminta izin rekam video. Mereka memperbolehkannya. Saya juga permisi mencicipi satu potong bolu cukil kering, mereka memberiku izin.

Rasanya manis. Varian rasa gula aren tidak lebih manis dari vanila. Sedap semua kuenya. Namun bagiku ini bukan kue baru, maksudku di Bandung maupun kota lainnya ada kue-kue yang rasanya seperti ini. Namun saya sedang berada di Parakan dan kupikir istimewa sekali bisa membeli langsung di dapurnya begini. Semacam bolu cukil The OG alias mbahnya, yang orisinil, yang legendaris.

Saat bolu matang ia dicukil dari wajan pemanggangnya. Karenanya bernama Bolu Cukil. Dan menurutku menyematkan nama Cap Tomat sangatlah menggemaskan.

Bolunya ada dua, varian basah yang tahan satu minggu dan kering yang ketahanannya hingga enam bulan. Rasanya manis dan cocok disantap sebagai camilan. Teman minumnya kopi pahit atau teh hangat yang tawar. Beuh nikmatnya!

Tersedia dalam kemasan 250 gram. Harga perbungkusnya kira-kira dua puluh ribuan. 

bolu cukil cap tomat parakan


Distribusi bolu cukil sampai ke kota Semarang, Magelang, dan Jogjakarta. Mereka tidak melayani pembelian online, saat kutanyakan mereka menjawab demikian. Namun bila kamu ingin membelinya mungkin bisa mengontak instagram PIPPA (Pusat Informasi Pariwisata Parakan).

Bagiku melongok dapur Bolu Cukil Cap Tomat adalah highlight pejalanan tur ini. Ny. Go Kiem Tong pendiri dan perintis bolu cukil wafat tahun 2015. Anak-anaknya yang meneruskan usaha tersebut.

Mereka bekerja hampir tiap hari pukul 07.30 hingga 4 sore. Mengetahui isi rumahnya masih produktif adalah hal yang membuatku lega dan senang. Biasanya rumah kuno isinya muram dan sepi, tapi Omah Tjandie milik keluarga Hoo Djien ini agak ramai dan ada kegiatan usaha yang berjalan terus-menerus. Hamdalah.


bolu cukil cap tomat parakan




jendela toko kue Orion yang menjual bolu cukil cap tomat