Social Media

Image Slider

Pecel Buatam Salinem dan Rahasia-Rahasianya

24 May 2024

Rahasia Salinem adalah novel fiksi yang bahan baku utama ceritanya bersumber dari makanan bernama pecel. 



Plot ceritanya maju mundur dari masa lampau ke masa kini. Seting waktunya zaman belanda, jepang, revolusi, dan tahun 2013. 


Penulisnya mencampurkan fakta sejarah dengan narasi fiksi. Karena latarnya di kota Solo jadi unsur feodalisme jawa dan priyayinya bisa kita saksikan dari kacamata tokoh bernama Salinem, Kartinah, dan Soekatmo. 


Penulisnya ada dua: Wisnu Suryaning Adji dan Brilliant Yotenega. 


Sudut pandang ceritanya orang ketiga dan novelnya setebal 412 halaman. 


Diceritakan bahwa Salinem piawai membuat pecel tapi ia tidak mewariskan resepnya pada siapapun hingga akhir hayatnya tiba. 


Tyo, sebagai cucunya Salinem, berburu racikan pecel legendaris tersebut.


Pencariannya membuka banyak rahasia Salinem yang lain termasuk status sosial, kesetiaan, dan perjalanan hidup neneknya sekaligus keluarganya. 


Ada banyak sekali nama tokoh dalam novel Rahasia Salinem. Jujur saja saya agak pusing dibuatnya, ditambah nama-namanya mirip. Bahkan ada satu nama yang panggilannya tiga: ning, bulik, ragil. 


Hal yang bikin syok dari novel ini: ada banyak adegan kematian dan penulisnya cakap menggambarkan detik demi detik maut datang. Begitupun dampaknya terhadap orang yang ditinggalkan. Aduh mengambar air mata ini saat bacanya. Bukan bersedih karena semata-mata adegan yang ngenes, tapi karena rangkaian ceritanya dari awal sampai kematian hadir secara rapi, runut, dan detail. Ibaratnya pembaca gak hanya kenal dengan tokohnya tapi juga berteman.


Penulisnya laki-laki sedangkan tokoh utamanya perempuan, yaitu Salinem. Agak lumayan kerasa maskulinnya Salinem, Kartinah, bahkan Ning yang berbeda dengan Dasiyah, Roemaisa, dan Arum dalam novel Gadis Kretek yang mood perempuannya terasa sekali.


Sejauh ini saya gak nemu bocornya novel ini di mana selain bagian awal novel yang bertele-tele. Satu novel ini bisa jadi dua novel sih. Ceritabya 


Pengalaman membaca pertama saya terhadap novel ini agak kurang.  Setengah cerita di awal rasanya membosankan, tapi begitu udah dapat kliknya langsung nyantol, terutama cerita berlatar revolusi. Lumayan saya ulang lagi dari awal agar genap mengertinya. 

Berkunjung ke Pabrik Permen Davos Berusia 93 Tahun Bersama Mlampah Sareng

11 May 2024

Permen Davos merupakan brand yang bukan bicara tentang produk saja. Melihat Davos artinya throwback alias dilempar mundur ke belakang. Yang dilempar adalah ingatan kita karena permen Davos sobat anak-anak di tahun 90an. Nostalgia.  


 berkunjung ke pabrik davos


Saya, Indra, Nabil, dan Unis, rombongan Bandung ini sengaja bertandang ke Purwokerto Banyumas hendak mengikuti turnya Mlampah Sareng ke pabrik permen Davos di Purbalingga pada hari Sabtu 04/05/2024.

Dari Purwokerto ke Purbalingga dekat saja hanya 30 menit. Namun di Bandung setengah jam terasa cepat padahal sedang terjebak macet. Artinya titik pergerakan saya tidak jauh. Akan tetapi dalam perjalanan Purwokerto - Purbalingga 30 menit tanpa hambatan apapun. Tidak ada macet, hanya ada sedikit titik lampu merah. Titik pergerakan saya cepat berubah dan anehnya terasa jauh. Aneh juga ya reaksi tubuh terhadap perbedaan waktu tempuh yang sebetulnya sama itu. 


Berkunjung ke pabrik permen davos mulainya pukul 10 pagi. Sedangkan kami sudah mendarat di Purbalingga 1,5 jam sebelumnya. Mencari-cari rumah makan atau warung terdekat demi sarapan yang baru buka hanya rumah makan Padang. Betulan fast food pemadam kelaparan! Okelah bungkus!

Tidak dibungkus, makan di tempat saja. Rasanya? Waduh lezat sekali. Kami memesan telor dadar, nasi dan kuah rendang. Kami makan dengan lahap. Lapar sebabnya! Ditambah empat es jeruk dan kerupuk satu bungkus total empat porsinya Rp71.000.

Tidak seperti di Bandung dan Yogyakarta, tur di Purbalingga ini cukup tepat waktu meski mulainya tetap molor juga. Sekitar pukul 10.30 kami bersama-sama berangkat ke pabrik Davos. Dari titik kumpul di Usman Janantin Park, menyebrang Jalan Ahmad Yani, masuk ke Jalan Gunung Kelir V. Sampai sudah ke pabriknya! Hanya satu menit waktu tempuhnya! 

 

berkunjung ke pabrik permen davos
courtesy Mlampah Sareng

pabrik davos purbalingga



Permen Davos yang saya kenal ada dua. Warna biru berisi 10 permen berbentuk tablet putih dan warna hijau kotak berisi 20 tablet kecil-kecil. Warna biru namanya Davos Roll, itulah permen pertamanya Davos. Sedangkan yang hijau namanya Davos Lux, favorit saya. Davos Roll rasanya terlalu pedas, tapi seingat saya sering ada dalam saku celana saat perjalanan jauh seperti mudik. Karena rasa pedasnya lumayan meredakan rasa kembung dan mual. 

 

Ternyata bukan barudak 90an saja yang akrab dengan permen Davos. Akan tetapi juga generasi ibu dan nenek saya. Sebab permen Davos adanya sejak tahun 1931! 


Fakta mengagumkan itu yang baru saya ketahui dari turnya. Sudah 93 tahun PT Slamet Langgeng produksi dan berdagang permen. Bayangkan hampir satu abad membuat produk yang sama.

Dari turnya juga saya mendapatkan informasi Davos pernah membuat limun. Namanya limun Slamet. Namun tidak lama hanya beberapa tahun saja.

Memasuki ruang produksi pabriknya kami dibekali head cover, masker, sarung tangan, dan sarung buat alas kaki. Sayangnya kami berjalan berombongan yang jumlahnya lebih dari 20 orang. Agak sulit mendengar penjelasan pemandu tur jika kita berada di barisan paling belakang.

Namun saya berhasil mencatat beberapa hal menarik dari penjelasannya. Seperti; bahwa permen Davos tidak menggunakan bahan pemanis buatan, gula dijemur menggunakan mesin sedangkan proses di masa lampau gula dijemur di bawah sinar matahari, permen Davos Roll cocok dicampur ke dalam teh tawar panas, dan cerita tentang produk limunnya.  

 

berkunjung ke pabrik davos
Courtesy Mlampah Sareng


Pertunjukan menarik dari pabriknya ada di ruang pengemasan. Karena permennya dikemas manual dan mesin. Pengemasan dengan mesin sudah dapat dibayangkan sendiri mungkin? Sementara cara manual dikerjakan oleh tangan para ibu. Persis seperti di pabrik kretek yang saya lihat di Taru Martani Jogjakarta

Ruang pengemasan adalah ruang terakhir yang kami lihat. Dimensi ruangannya paling besar dengan langit-langit tinggi. Berbeda dengan ruang produksi lainnya yang agak kecil dan tinggi langit-langitnya standar. Ruang kemas terlihat seperti ruangan lama, ruangan paling tua. Seperti hangar pesawat. Di satu sisi ada jendela-jendela besar berteralis. Para ibu duduk di sana fokus membungkus permen.

Tentang mengapa Davos mempertahankan teknik membungkus manual itu, saya bertanya pada Kevin, pemandu tur dari Davos. “Penggunaan mesin pada teknik membungkus ini berdasarkan permintaan industri, Mbak. Karena kalau mesin yang bekerja, pembungkusannya rapat sekali. Beda dengan bungkusan ala tangan yang menggunakan lem,” jawabnya sambil memperlihatkan kemasan Davos Roll warna biru buatan mesin dan tangan.

Semua pemandu tur Davos bekerja dengan semangat. Seolah-olah kami tamu pertama kalinya bagi mereka, padahal tentu bukan. Davos sendiri secara rutin menerima kunjungan dari berbagai sekolah dan lembaga.

Entah seberapa luas pabriknya saya tidak bertanya. Kalau diperhatikan pabriknya tidak terlalu besar. Namun usahanya berjalan terus-menerus. Betul-betul pengalaman yang menggairahkan buat saya karena saya dan Indra juga berdagang di Fish Express. Kami juga mempunyai tempat produksi sendiri. Memelihara bisnis hingga 93 tahun betapa solidnya. Apa rahasianya bisa bertahan selama itu ya?

Indra bertanya pada Kevin, seberapa banyak kapasitas produksi pabrik ini perharinya. Kevin menjawab diplomatis, “Gimana marketingnya saja, Mas. Kami di sini selalu siap produksi sesuai permintaan mereka.”

Marketing dan salesnya Davos kok bisa sih jualan permen senendang itu. Ujung tombak bisnis seperti ini kan ya berdagang! Nawar-nawarin, jual-jualin. Tidak ada sales tidak ada uang. Bagaimana cara marketing dan salesnya bekerja sampai-sampai produk permen mint ini bertahan sepanjang 93 tahun?

 

berkunjung ke pabrik permen davos

Pertanyaan yang tidak terjawab karena sepertinya harus ada sesi ngobrol sendiri agak lama dengan Kevin. Makasih Mas Kevin yang antusias dan ramah sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

 

Begitu turnya selesai kami diberi suvenir permen Davos dan segelas teh dingin rasa permen davos. Tehnya segar, manis, dan dingin. Niat hati mau membawa pulang merchandise (apa saja: mug, pin, tshirt, kalender, totebag) tapi sayang belum ada merch resminya Davos. 

 

Saat ngomongin merchandise Davos saya teringat Seni Kanji. Sepertinya akan jadi kolaborasi menarik kalau bisa terwujud poster Davos buatan Seni Kanji. Tiba-tiba terlintas saja sih ide ini.

Sejujurnya saya sudah lupa ada yang namanya perman Davos. Namun sering tidak sengaja saya tonton  kontennya di TikTok. Ya betul Davos aktif menggiatkan konten-konten digitalnya di TikTok dan Reels dengan nama @davos.official. Link ke toko onlinenya juga tersedia pada platform tersebut. Salut sekali pada bisnis lama yang lentur adaptif terhadap teknologi, utamanya dalam hal ini media sosial. 

 

peken banyumasan davos purbalingga


Ditambah lagi kunjungan pabrik ini di bawah komando Mlampah Sareng dan termasuk dalam rangkaian acara bernama Peken Banyumasan. Peken Banyumasan merupakan acara kreatif satu hari yang menampilkan kolaborasi antar jejaring lokal: ada local market, ada tur berjalan kaki, ada screening movie, ada showcase dari kreator-kreator lokal. Kolaborasi yang menarik dan dibutuhkan satu sama lain, saya juga sebagai pesertanya.

Waktu menentukan tujuan ke Purwokerto tiada lain saya hanya mau ikutan tur ke pabrik permen Davos di Purbalingga. Niatnya ke satu kota saja, berujung sedikit singgah ke Purwokerto dan Banyumas juga. Hamdalah jalan-jalan yang menyenangkan, terutama di Purbalingga saat tur ke pabrik Davos. Kami kembali ke Bandung dalam kondisi bahagia rohani dan capek jasmani.