Ohoi saya belum kasih lihat catatan perjalanan saya dan Nabilkubil di
Blitar ya. Udah sih, tapi tulisan yang ini: Blitar dan Wajah Asing Soekarno,
adalah catatan yang rada serius. Hahaha. Kerasa serius gak sih? :P
Jadi, saya mau nulis tentang jalan-jalan di kota Blitar edisi santai aja.
Di Malang saya udah bertekad gak akan langsung balik ke
Bandung. Jadi browsinglah saya mencari kota tetangganya Malang apa aja nih. (Btw, tulisan tentang jalan-jalan di Malang baca di sini: Hampa di Malang)
Membuka peta Jawa Timur, saya menemukan lebih dari lima kota
dekat Malang. Pilih-pilih lagi, mengerucut ke Kediri, Pasuruan dan Blitar.
Terus tinggal dicocokan dengan jadwal kereta api ke Bandung. Nah, ketemulah kota Blitar!
Kalo bahas Blitar, saya gak tahu banyak kecuali tentang tiga orang ini: Soekarno, Dodit Mulyanto, dan Fokker.
gerbang ke Makam Soekarno |
Ke Blitar dan Bertemu Pandu
Keyword yang saya cari tentang Blitar gampang aja sih:
tempat wisata sekitar stasiun kereta api Blitar.
Ketemulah saya dengan beberapa artikel wisata yang gaya
menulisnya seperti tahu banyak padahal belum tentu. Hahaha. Palingan penulisnya
baca tulisan orang terus disadur ulang :P
Nah saya ketemu blognya Pandu. Tulisan dia nih terasa
lokalitasnya. Ini nih yang saya cari, gitu dalem hati saya bilang. Cari tahu profilnya, lah ternyata orangnya emang tinggal di Blitar.
Merasa klop dengan artikelnya yang bahas tempat-tempat
menarik sekitar stasiun kereta api Blitar, saya cari-cari ikon instagram di
blognya. Ketemu. Saya follow dan saya kontak via dm. Untunglah dia balas cepat
:D
Kenalan. Ngobrol bentar gak pake ribet. Diseling satu hari,
ia menjemput saya dan Nabil di depan stasiun kereta api Blitar.
Oh terima kasih, wahai teknologi!
Pandu sudah tahu saya cuma punya waktu empat jam. Siang sampai di Blitar, sore setengah enam harus naik kereta api ke
Bandung.
Ketemu Pandu gak pake ribet, ngobrol gak ribet, pokoknya
sama Pandu ini antiribet. Udah gitu baik banget pula, saya minta berhenti buat
moto rumah-rumah tua eh dia mau aja. Mantan-mantannya pasti nyesel melewatkan
cowok baik yang gak ribet kayak gini. Hahahaha :D
Aniweeei, sejak keluar stasiun dan meluncur ke jalanan Kota Blitar, feeling saya bilang ini akan jadi perjalanan pendek yang menyenangkan! ke mana aja nih di Blitarnya?
Di Blitar Ngapain?
- Makan Soto yang
Rasanya Manis
Sebab di Bandung mah sotonya gurih bukan manis. Di sini kuah sotonya warna hitam karena campur kecap sejak dari kuali. Dagingnya kelas hardcore: babat dan jeroan. Wkwkwk. Bukan jenis makanan yang saya suka tapi gak tega ngomong ke Pandu. Jadi saya telan aja semua. Makan gak pantangan. Sayurnya ada tauge dan potongan daun kucai. Kalo Indra ada di sini, pasti dia nambah dua porsi hahaha.
Menu makan kami siang itu adalah soto Bok Ireng. Kata Pandu ini soto terhits di Blitar. Harganya
juga termasuk mahal (SEMBILAN RIBU AJA UDAH SAMA NASI, BTW!). Saya tertawa waktu dia bilang sotonya mahal. Lha standar
saya kota Bandung yang harga sotonya 15.000.
Pandu bilang soto ini sudah dijual sejak pagi. Selain pecel, soto macam begini jadi menu sarapannya orang Blitar.
Pandu bilang soto ini sudah dijual sejak pagi. Selain pecel, soto macam begini jadi menu sarapannya orang Blitar.
Soto tandas masuk perut. Beserta tiga gelas es teh manis. Diminum
saya semua :D Emang gak ada minuman ternikmat di daerah berhawa panas begini
selain es teh manis!
Soto Bok Ireng, dimasak 8 jam di kuali |
- Museum Soekarno
Kedatangan kami berbarengan dengan rombongan peziarah. Beberapa
pengunjung memakai sarung dan kopiah.
Di museum ini saya melihat ada banyak foto Soekarno di
Bandung. Foto yang sama pernah saya lihat di Museum Konperensi Asia Afrika di Bandung. Bersama foto, saya juga
menyaksikan banyak lukisan Soekarno.
Sedikit artefak Soekarno. Banyaknya sih buku dan dokumen
(selain foto dan lukisan).
Museum Soekarno dirancang oleh Tim arsitek Baskoro Tedjo, dosennya
Indra di ITB dulu. Indra bilang “perhatiin museumnya ya, dirancang Pak Baskoro.
Pasti bagus.” Tapi selama saya berada di museumnya seperti gak dirancang
arsitek. Heuheu.
Penyebabnya spanduk-spanduk yang dipasang di kolom dan
dinding. Ditambah deretan pedagang suvenir. Visualisasi museumnya terkesan
bising daripada khidmat.
Nah baru tuh masuk ke area makam, lebih nyaman terasa. Orang-orang
ngobrol berbisik. Lebih banyak diam. Hawanya sejuk. Dan iya lebih syahdu.
Namanya juga pemakaman kali ya.
Saya gak mendekat ke makam Soekarno. Sebab pendopo makam
penuh oleh peziarah. Kalo saya ikut duduk di sana, bingung juga ngapain ya.
Belakangan saya menyesal karena melewatkan pengalaman duduk bersama orang-orang
yang (anggap aja) mengkultuskan Soekarno. Harusnya saya duduk bersimpuh di
sana. Baca Al Fatihah saja apa susahnya sih saya tuh…
Kalau saat itu saya bersama Michael Palin, Simon Reeve, atau
Kate Humble, saya udah dipecat dari BBC. Hahaha. Mereka gak hanya akan duduk
bareng peziarah. Tapi juga ngobrol dengannya.
Di kios-kios suvenir lebih aneh lagi. Nabil pengen beli
miniatur gamelan. Terus saya belikan. Di dalam kereta api ke Bandung, saya baru
mikir. Ngapain saya beliin itu barang ya ahahahaha. Kenapa gak beli tshirt aja
buat Nabil dan buat saya. Buat Indra sekalian. T-shirt yang ada tulisan Blitar
begitu. Lebih berguna.
- Es Plered Kebon Rojo
Menghabiskan es plered, saya gak bisa gak merhatiin Kebon
Rojo. Kalo diperhatikan, dia mirip Balaikota. Semacam taman kota yang rindang.
Bila saja ada waktu lebih lama, saya mau berkunjung ke Kebon Rojo dan berjalan
kaki mengelilinginya.
- Jam 4 sore. Istana Gebang here we come!
Bagi saya, situs ini adalah ‘museum’ ke dua Soekarno. Lebih
banyak tentang Istana Gebang sudah saya tulis di tulisan pertama tentang Blitar yang tentang Soekarno itu.
Ada dua hal yang saya sukai dari kunjungan ke Istana Gebang.
Pertama: ada kelas tari di bangunan sebelah rumah utama, di Balai Kesenian. Suara gendingnya itu lho, terdengar indah sekali. Gabungan rumah antik, suara anak-anak yang ceriwis, dan suara gending, wah terasa tradisional dan berbudaya. Kedua, angin sepoi-sepoi meniup gorden putih di kamar-kamar rumah utama. Matahari pukul empat sore jatuh di sela-sela daun jendela.
Perasaan ini terasa sejuk. Hangat. Damai. Tenang.
Ada dua hal yang saya sukai dari kunjungan ke Istana Gebang.
Pandu, Kubil dan saya melihat yang latihan menari |
Perasaan ini terasa sejuk. Hangat. Damai. Tenang.
- Sekilas Alun-alun Blitar
Di sekeliling Alun-alun, ada pohon besar-besar. Saya hitung Pohon Beringinnya. Satu...dua...tiga...empat..lima...enam....! Buset ada berapa Pohon Beringin di sini? Gila sepuluh mah ada! Edan euy!
Sewaktu di sana, kata Pandu
sih Alun-alunnya tumben rapi. Ya gara-gara persiapan Adipura itu.
Ada bangunan pendopo dan pagar penutup batang pohon. Dominan
meras warnanya. Kota Blitar ini memang gak bisa lepas dari partainya Megawati sih. Pandu
bilang, pemilih di kota Blitar 95% suaranya untuk PDIP.
Sudah beres, kembali ke stasiun, saya bertanya di manakah
pasarnya Blitar. Biasanya di dekat pasar, pasti ada komunitas Pecinan. Di sana
pula ada bangunan-bangunan ala Tionghoa.
Nah Pandu bawa saya dan Nabil melewati Pasar Legi, sambil balik ke stasiun. Saya moto-moto beberapa rumah
tua di sana. Juga di sekitar pasarnya.
Sebenernya gak langsung ke stasiun juga sih. Pandu bawa kami
berkeliling kota sebentar menumpang motornya. Malah sampe lewatin rumah bibinya
dan ngajak mampir. Rumah bibinya Pandu bagus banget, tipe-tipe rumah antik yang
jendelanya banyak. Waduh mau banget mampir tapi takut ketinggalan kereta api. Heuheu.
Hampir Empat Jam di Blitar
Memang cuma empat jam di kota Blitar, rasanya sudah senang.
Kotanya kecil dan sepi. Jalanan bagus mulus. Ada ruas jalan banyak pohonnya.
Ada juga yang kering kerontang.
Saya bertanya kepada Pandu, orang-orang di kota Blitar ini
apa pekerjaannya? Kebanyakan pegawai negeri sipil dan guru. Sisanya wiraswasta.
Bikin kerajinan perak.
Senasib dengan kota kecil kebanyakan, anak mudanya merantau
ke kota besar. “Ke Surabaya sih biasanya,” kata Pandu.
Pandu sebaliknya. Dia balik ke Blitar setelah kuliah dan bekerja di Surabaya. “Kenapa balik lagi kota kecil begini, Du? Betah memangnya?” tanya saya.
“Tinggal di kota (besar) pusing, Mba,” kami tertawa. Saya
menertawakan diri sendiri. Pandu entah ngetawain apa. Hahaha.
Di sekitar Kebon Rojo, saya memandang anak-anak SMP
bersepeda, waduh nikmat sekali melihat pemandangan seperti itu. Tiba-tiba
kenangan pulang pergi ke madrasah dulu naik sepeda bermunculan.
Angkutan umum hanya ada becak dan bemo. Kalau memperhatikan rute jalan-jalan saya bersama Pandu, bisa ditempuh dengan becak. Atau sewa bemo. Bila dalam kondisi santai tidak dikejar jadwal kereta api sore nanti, saya mau coba itu becak dan bemo ala kota Blitar.
Lingkungan di sini terasa nyaman. Rileks. Tapi itu kesan pertama. Gak tahulah kesan berikutnya bila saya menghabiskan barhari-hari di kota ini.
Tapi aslinya, pengen juga sih pindah ke kota-kota kecil
seperti Blitar. PENGEN BANGET (aminkan!). Kota yang selow. Kota yang gak
buru-buru.
Rumah tuanya pun unik, gak ada di Bandung. Makin jauh dari kota-kota metropolis, rumah-rumah kuno begini bentuknya cantik-cantik. Juga ada banyak.
Rumah tuanya pun unik, gak ada di Bandung. Makin jauh dari kota-kota metropolis, rumah-rumah kuno begini bentuknya cantik-cantik. Juga ada banyak.
Di Stasiun Blitar
Kira-kira pukul 5 sore kami sudah mendarat di stasiun.
Kereta api datang 15 menit kemudian. Berpisah dengan Pandu, berpisah dengan
Blitar.
Pukul 17.40 sore itu, lembayung yang saya saksikan dari
bangku stasiun Blitar indah sekali. Serasa saya sedang disalami satu-satu oleh
Soekarno, Dodit Mulyanto, dan Fokker. Hahaha.
Kalau kamu sedang jalan-jalan ke kota lain (atau negara lain)
dan tiba waktunya pulang, muncul perasaan sentimentil yang aneh gak? Sebab saya
iya.
Perasaan seperti ini saya rasakan saat pulang sehabis
mendaki Gunung Lawu, perjalanan kembali ke Bandung setelah pemakaman ayah saya
di Karangampel, dan di Blitar ini. Ketiganya punya sensasi perpisahan yang
mirip. Ada sedihnya, ada juga bahagianya,
dan ada haru di sana.
Di dalam kereta api menuju Bandung, saya gak berhenti membagi foto dan cerita ke Indra di Bandung. Via whatsapp. Sampai di rumah saya nyerocos terus ceritain detail-detail perjalanan pada suami saya itu. Dia gak bosen sih dengernya, ngantuk palingan :D Memang benar kata Christopher McCandless: happiness only real when shared.