Social Media

Image Slider

Kemping di Bangbayang, Trekking ke Curug Cikidang

23 March 2019
Malam itu yang saya khawatirkan adalah asap rokok. Bukan hanya kami berenam yang tidur di dalam tenda. Ada dua tenda lainnya, diisi remaja-remaja desa yang mencari hiburan, di malam minggu.

Kami bertiga piknik ke desa di puncak bukit. Hampir 100 km dari kota Bandung. Letaknya di Desa Bangbayang Situraja, Kabupaten Sumedang. Dari jalan utama saja, jarak ke desa itu kira-kira 10 km.


Menuju ke sana melewati perbukitan. Jalannya horor. Bukan ada kuntilanak dan pocong, tapi tanjakan dan tikungannya itu lho.. Tanjakan panjang, abis itu jalannya nikung sambil nanjak pula!

Kalo kamu pernah ke Bromo, nah menuju Bangbayang mirip di sana kontur jalannya.

Kami bertiga, Kang Ichsan, dan Teh Mima, tidur di tenda yang berbeda. Nuhun buat Kang Ichsan yang minjemin tendanya pada kami :)

Malam di Bangbayang dan Makan Pohpohan

Jadi, teman kuliah Indra berkebun tanaman kopi di Bangbayang. Melihat potensi alam desanya, ia mengajak teman-temannya datang ke kampung itu. Gak mau maju sendiri, ia ingin melibatkan warga desa mengolah wisata Bangbayang.

Kang Asep nama temannya Indra itu. Waktu ke Jatigede, saya ikut tur buatan Kang Asep juga. Sok dibaca tulisan saya tentang jatigede di sini.

Kesan pertama mendapati pemandangan Bangbayang, indah sekali memang. Sejauh mata memandang hanya ada pucuk-pucuk bukit. Entah saya berada di ketinggian berapa. Di google map katanya 700anmdpl. Sama kayak Bandung.

Tapi sore itu hangat aja hawanya. Baru terasa dingin di atas jam 10 malam. 

Jam 6 sore kabut berdatangan. Udara mulai sejuk. Teh Mima mengenakan jaket. Tenda kami sudah berdiri. Alat pembakaran stand by, di atasnya ada ubi, jagung, ikan tenggiri, dan segelas kopi milik Kang Ichsan.

Kami juga ngemil jajanan Bangbayang. Kang Asep nampaknya mengundang warga untuk jualan di tepi lapangan. Ada cimol segala.

Highlight dari camilan di Bangbayang adalah keripik pisang. Terbuat dari Pisang Ro’ib. Rasanya manis banget, padahal gak pake gula sama sekali. Enak! 

Ada lagi namanya Sate Iwung, terbuat dari rebung. Pas dimakan, teksturnya seperti kol. Rasanya gimana? wuenak! Sate rebungnya dibumbuin sambal kacang. Pedasnya aja yang bikin gak kuat :D

Juga ada kopi Bangbayang. Biji kopi dari perkebunan setempat. Robusta kalo gak salah. Kami gak minum kopinya, Teh Mima dan Kang Ichsan yang minum. Rasanya gak tahu gimana, saya lupa nanya. Heuheu. 

Bila ada hal yang saya sayangkan di sini, itu adalah plastik sebagai kemasan. Dengan suplai berbahan alami di sekitar mereka, menggunakan kemasan daun (atau sejenisnya) pasti lebih bagus. Baik itu nilai jualnya, maupun dampak ekologinya.

Malam itu, Kang Asep menyuguhkan kami makanan besar berupa Nasi Liwet, Pepes Ikan, Asin, Sambal, daun singkong rebus, dan Pohpohan. Tapi itu terjadi jam setengah sepuluh malam.

Kami sudah isi perut duluan sehabis Magrib. Whehehehe. Dan tetap ikut makan besar juga hehehehe. Nikmatnya haduh jangan ditanya. Juaranya kombinasi ikan asin, sambal, dan pohpohan yang terasa begitu segar!

Malam itu kami adalah manusia blasteran kambing, makan nasi berkali-kali, makan daun lebih banyak lagi. Whehehe.

Rupanya bukan isu perngududan yang harus saya cemaskan. Gak ada bau asap rokok malahan. Tapi abg-abg tetangga kemping bernyanyi semalaman, memetik gitar. Berisiknya membuat susah tidur. Tenda mereka persis di sebelah kami.

Kubil tertidur pulas sejak ia masuk ke sleeping bag. Sementara saya dan Indra, susah payah biar merem. Wekekekek. Niat hati mau tidur diiringi suara alam. Daun yang bergesekan, tonggeret yang bernyanyi, hening yang syahdu. Boro-boro. Hahaha. Malah denger lagunya Armada dkk.

Tapi saya ingat saya sanggup tidur kok. Gak nyenyak tapi cukup enak dan bangun dengan perasaan senang. Karena pas buka tenda, di depan saya bukan pemandangan sehari-sehari kalo saya bangun tidur.

Ada tebing dan hutannya, lapangan bola (ya kali wekekekek), dan bekas api unggun. Kabut tipis mengudara. Udara segar berkuasa. 

Pagi di Bangbayang,  Trekking Melihat Puncak Tampomas

Kang Asep mengajak kami trekking. Lihat puncak Gunung Tampomas, katanya. Kami berpapasan dengan petani penyadap getah pohon pinus, terlihat bahan baku tersebut jadi tulang punggung warga selain gula aren dan sapu ijuk/uyun. 

Di sini nih permainan baru dimulai. Permainan yang menyadarkan saya dan Indra, bahwa kami kelamaan di kota, gak pernah olahraga, dan bobot badan udah kelebihan. Aheuheheu. 

Sebuah permainan yang 'menukar' kaki-kaki pegal kami dengan panorama alam pegunungan yang memukau.


Kubil ikut trekking enggak? Ikut dong :D 

Berbeda dengan kami yang kepayahan trekking, anak cerewet itu malah kayak kijang. Gak ada capek. Gak ada bete. Salut juga saya sama dia. Menerjang trek-trek terjal dan ekstrim gak ada keraguan sama sekali. Emang saya dan Indra bikin dia senang terus sih, kalo enggak wadoohhhh gawat hahahaha.

Di balik anak yang senang jalan kaki di galengan sawah dengan jurang di sisi kirinya, ada orang tuanya kepayahan hahahaha. Capeknya tiga kali lipat memang kalo hiking dengan anak kecil.

Gak apa-apa. Kami berdua senang sekali bisa kasih Kubil pengalaman baru. Mudah-mudahan kamu inget pengalaman kita hiking di Bangbayang sampai tua nanti, Bil.

Dua kali melewati sungai berbatu-batu kali, Kubil juga main air melulu. Terus terang aja, ketemu air kayak gini membuat kondisi saya segar lagi. Capek dan lesunya berkurang. Bukan cuma kaki dicelup ke sungainya, saya juga cuci muka. Hahaha. Gak ada orang mah saya mandi juga nih.

Airnya itu lho, bening, mengalir jernih, dan merontokkan perasaan-perasaan negatif. Pantes ya orang zaman dahulu terlihat damai, kalem, tenang, pasrah. Sehari-hari bersentuhan dengan air kayak gitu.

Menuju Curug Cikidang

Di sinilah saya ketemu pemukiman, Desa Bangbayang. Rumah yang dikepung perbukitan. Terpencil, jauh dari mana-mana. 

Rumah-rumah di sini kombinasi tradisional dan modern. Terlihat banyak bekas rumah panggung. Lantai kayu berganti keramik. Kayu bakar menumpuk di sisi rumah. Sepertinya saya harus menginap lagi di Bangbayang, menginap di rumah warga.

Untuk apa kayu-kayu itu, untuk masak kali ya? Jadi ingin lihat dapur rumahnya. Di kampung kayak gini mah masih bisa siduru kali ya.


Di belakang kampung mungil padat rumah itu, ada sungai besar. Lebar sekali. Di sungai ke-dua itulah kami main air lagi. Halaman belakang yang mengasyikkan. Sungai yang airnya jernih, perbukitan, pepohonan. Apa dulu Citarum kayak gini bentuknya? Bagaimana dengan sungai di Bandung itu, Cikapundung?

Sungai diterjang, kami pergi menuju Curug Cikidang.

Woh meski gak besar, air terjunnya eksotis! Bener-bener kayak mandi dibanjur shower. Shower raksasa. Saya juga ikutan dong kena airnya tipis-tipis. Kubil mah jangan ditanya, basah sebadan-badan! 

Di sini terasa bukan cuma perasaan buruk dalam hati yang terhempas air. Tapi dosa-dosa juga rasanya ikut hanyut. Segar airnya tuh masuk ke relung hati. Terasa damai.

Apa begini rasanya jadi pertapa? Mandi membersihkan diri dari dosa, dari rumitnya perkara dunia.

Saat kembali ke tenda, saya copot baju kubil dan menggantinya dengan raincoat, karena cuma itu yang ada di tas.  Heuheu. Sungguh pengalaman trekking yang menguji mental. Mental sebagai orang tua, tentu saja. Lain-lainnya sih gak ada masalah.

Sebelum pulang, kami makan lagi. Kali ini disuguhkan belalang goreng. Simeut nama makanannya. Renyah dan gurih, seperti makan udang goreng. Daun Pohpohan gak ada. Adanya daun singkong rebus.

Pulang ke Bandung, kami membawa setumpuk pakaian kotor dan otot-otot yang siap tegang esok hari. Benar saja, bangun tidur, sebadan-badan sakit semua. Kata Indra jangan diam aja. Justru badan harus tetap bergerak supaya ototnya mengendur dan sakitnya hilang. Alamak!

Wisata ke Bangbayang, Daftarnya ke Mana? 

Lebih tepatnya ke siapa. Ke Kang Asep aja. Nih nomor kontaknya: 0812.939.7391. Ini websitenya: Kampung Bangbayang.

Kalo diperhatikan lagi, trek di Bangbayang ramah buat keluarga. Tinggal atur-atur ambil jalurnya ke mana. 

Nah kalo kamu adventure junkie, bhahahahak di sana cocok banget! Seneng bersepeda di tanjakan dan turunan, ada semua di Bangbayang. Minta aja jalur-jalur ekstrim, pasti dikasih. Pemandangan mah jangan ditanya, indah sekali :)

Kalo mau kemping, toiletnya bagaimana? Ada dong. Bukan yang ideal seperti di rumah kita, tapi masih okelah. Gak ada komplen kalo saya mah. 




Kubil dan Kang Ichsan

Teh Mima dan saya :D
Dipoto Kang Ichsan



Dipotoin Kang Ichsan



Ajak Anak Traveling Biar Apa?

19 March 2019
Biar dia tahu kalo dunia ini kejam. Apalagi tinggal di negara berkembang kayak Indonesia.

Di rumah diajari, "nanti jalan kaki di trotoar ya," eh trotoarnya ga ada. Atau ditempati gerobak kaki lima. Atau dipake jadi parkiran mobil motor.

Dikasihtahu etika antre, eh pas ante diserobot bapak-bapak. Di Alfamart. "Bapak duluan ya. Cuma satu kok belinya," Wuasuuuu!

Di rumah diberi bekal ilmu dasar tentang buang sampah di mana dan bagaimana. Pas jalan-jalan, lihat tumpukan sampah. Sungai yang kotor. Orang yang buat sampah gitu aja.

Di rumah juga saya ceritakan tentang Zebra Cross. Eh pas jalan-jalan, mau nyebrang di zebra cross, gak ada motor yang mau selow.

Ajak naik angkot. Si angkot ngetemnya lama. Ada penumpang masuk angkot, eh dia merokok. Duduknya di depan, samping sopir. Asapnya ke belakang. Pura-pura batuk, ngasih kode yang merokok. Si perokok pura-pura tuli.

Ya pada dasarnya, jalan-jalan bawa anak dalam rangka ngasitahu ke dia bahwa banyak orang dewasa punya mata dan telinga yang normal. Tapi gak benar-benar mereka gunakan. Begitupun otaknya.

Tapi gak semua, Bil. Begitu saya bilang padanya.

Banyak juga kok yang anti plastik. Ada kok yang disiplin antre. Juga masih banyak yang nyebrang jalan di zebra cross.

Keburukan di dunia luar ada banyak, kebaikan apalagi. Nilai-nilai yang diajarkan di rumah, berbenturan dengan sifat dan sikap orang lain. Terbentur, terbentur, terbentuk. Begitu kata Chairil Anwar, penyair sableng nan idealis.


Lima Hari Jelajah Jalan Raya Pos di Jawa Tengah

10 March 2019
Lima hari. Terlampau singkat untuk menjelajahi sebuah jalan legendaris seribu kilometer itu. Ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan lama-lama euy. Lima hari sepertinya waktu kompromis berkunjung ke kota-kota kecil di jalur bersejarah pulau Jawa ini: Jalan Pos, Jalan Daendels.

Terbatas waktu, edisi jelajahnya di Jawa Tengah dulu. Gak apa-apa, dicicil sedikit demi sedikit sebelum sampai ke Panarukan. Sepanjang tahun 2019, tujuan traveling saya demi satu hal saja. Jalan Pos. 

Saya bermukim di Bandung. Jalan Raya Pos melintas di kota ini. Bila teman-teman bertandang ke Jalan Asia Afrika, itulah highlight titik Jalan Raya Pos di Kota Kembang. Dari tadi nyebut Jalan Pos. Apaan sih itu?


Gara-gara buku yang saya baca, cita-cita menyusuri Jalan Pos ini lahir. Lagipula, sekalian saya mau hunting bangunan klasik tempo dulu dan memotretnya untuk koleksi pribadi. 

Jalan Pos adalah jalan yang membentang 1.000 km dari Anyer di barat Pulau Jawa, hingga ke Panarukan, Jawa Timur. Ini jalan dibangun di sepanjang utara dan jadi tulang punggung perekonomian Nusantara sejak tahun 1909.

Ada beberapa sumber literasi yang bahas Jalan Pos Daendels, tapi yang saya ingat sih ada dua: Pramoedya Ananta Toer ‘Jalan Raya Pos Jalan Daendels’ dan buku seri sejarah keluaran penerbit KPG, Jalan Pos Daendels.

Daendels adalah gubernur Hindia Belanda yang terkenal bengis. Juga ambisius. Karenanya, hanya tiga tahun saja pembangunan Jalan Raya Pos berlangsung. Sukses sih meski cerita pahit di belakang layarnya banyak. Korban berjatuhan. Pajak tinggi. Bahkan 40 tahun pertama, Jalan Pos tidak boleh dilalui pribumi. Dahulu kita jalannya di jalan setapak yang paralel dengan Jalan Pos.

Namun di sisi lain, Jalan Pos ini jadi sumber lahirnya keramaian kota-kota  di Jawa. Berhasil menyambungkan akses dari satu kota ke kota lain.

Where To Go

Nah bila saya memulai jelajah Jalan Pos dari Bandung, maka kota pertama yang ingin saya datangi adalah:

PEKALONGAN

Harusnya ke Cirebon dulu, namun saya sudah tiga kali ke sana. Jadi Pekalongan adalah titik mula jelajah saya. Ini kota identik dengan batik. Namun bukan batiknya yang ingin saya ketahui. Tapi Limun Orientalnya.

Ya, saya mau lihat pabrik antik yang memproduksi Limun Oriental Cap Nyonya yang masih handmade itu! Diwarisi oleh generasi kelima, limun klasik yang ada sejak 1920 ini masih bertahan di Pekalongan. Satu-satunya.

Di Bandung bahkan gak ada. Sewaktu kecil, saya sering jajan air soda lokal ini. Pasti menyenangkan sekali bisa minum limun yang serupa.

photo courtesy: blog teman saya, Alfian Widi

SEMARANG

Semarang adalah kota metropolisnya Jawa Tengah. Di Kota Lumpia ini saya bikin daftar kunjungan agak banyak :D 
Inginnya ke mana saja?
  1. Area Kota Lama. Keliling bangunan tua era kolonial. Hunting banyak foto jendela dan pintu tempo dulu.
  2. Kauman. Melihat rumah kuno di sana, dari masjid sampai kawasan santrinya.
  3. Menjelajah Stasiun Tawang dan sedikit area kereta api di sekitarnya. Di sinilah lahir rel pertama dan stasiun pertama di Hindia Belanda.
  4. Ke rumah Radja Goela. Sebagai salah satu sentra pabrik gulanya Hindia Belanda, Semarang ini punya banyak pabrik gula, terbengkalai sudah pasti. Radja Goela merupakan salah satu peninggalan era keemasan gula di Hindia Belanda dan Indonesia. Legenda kelas berat.
  5. Menyusuri rute Pecinannya Semarang.
  6. Menyantap Lumpia! Tentu saja :D 
photo courtesy: blog.reddoorz.com

Alamak. Dengan daftar sebanyak itu, satu hari di Semarang mana cukup! Di kota ini saya akan menginap juga. Sepanjang misi jelajah jalan raya pos, urusan inap menginap saya serahkan pada aplikasi RedDoorz saja.

Meski tipe traveling yang saya jalani bukan ala backpacker, tapi urusan berhemat ada dalam top prioritas. Mau irit, tapi gak mau sekarat juga :D

Dengan demikian, urusan tidur juga mesti selektif. Penginapan yang ongkos tidurnya terjangkau memang penting. Tapi fasilitas di dalamnya juga mesti diperhatikan.

Makanya saya cari penginapan via aplikasi RedDoorz.

RedDoorz merupakan jaringan penginapan online. Artinya, mereka kerja sama dengan properti penginapan dan menjual kamar secara online.

Makanya nama penginapan di RedDoorz pake nama RedDoorz-@-nama tempat atau RedDoorz-near-nama wilayah. Misal nih kalo di Bandung namanya RedDoorz @Asia Afrika atau RedDoorz near Bandung Indah Plaza.

Memang kesan namanya random banget. Sebab ‘near Asia Afrika’ kan ada banyak. Sebelah mananya Jalan Asia Afrika nih maksudnya?

Mulanya saya pikir juga begitu. Tapi saya pernah menginap di RedDoorz @Sukamulya Pasteur. Dalam pilihan penginapannya, mereka masukin kategori penginapan ke perwilayah. Kalo kamu cari penginapan di Bandung, misalnya nih, cari tahu wilayah yang kamu pengen inepin di mana. Dago misalnya, klik tab Dago. Nanti muncul daftar penginapan berlokasi di Dago aja.

Kayak gini, kamu masukin keyword Dago, nanti muncul distrik yang ada di Dago.
Cocokin dengan lokasi atau nama tempat yang kamu hendak kunjungi di Bandung.

Namun, turis kalo traveling kadang belon riset dan gak paham nama lokasi. Gampang, browsing aja dulu penginapannya di RedDoorz. Terus cocokin namanya dengan tempat-tempat yang kamu ingin kunjungi. 

RedDoorz mencantumkan alamat penginapan secara rinci. Ditambah setelah booking, mereka akan mengirim ulang alamat sebagai konfirmasi tambahan. So, harusnya kita gak nyasar sih. Tinggal aktifin googlemap aja sebagai pemandu arah. Sesuai aplikasi :D 

Di app ada tab Direction dan Call kalo butuh bantuan. Juga tersedia foto penginapan. Bisa pake ilmu cocokologi foto dan bertanya ke resepsionisnya sih :D

Dan ini sih yang selalu saya perhatiin tiap kali booking online: selalu baca review/testimoni. Cek aja ke bagian review di tiap penginapan, di aplikasi ada kok tinggal baca-baca.




RedDoorz menyediakan kamar dengan harga terjangkau dan fasilitas kamar yang baik. Mereka bahkan kasih jaminan: linennya bersih, kamar mandi bersih, ada perlengkapan kamar mandi, dan wi-fi gratis! Tidak ketinggalan televisi dan air mineral.

Menginap dua malam di Semarang, saya mau lanjutkan perjalanan ke kota berikutnya yang terletak 32 km ke arah timur.

DEMAK

Di kotanya Sunan Kalijaga ini saya hendak mampir sebentar. Mau lihat Masjid Agung Demak. Peninggalan Kerajaan Islam pertama di Jawa. 

Sejak 2017 masjid kuno masuk ke daftar tujuan traveling saya. Nah di Demak ada satu masjid tua –salah satu yang tertua malahan- di Indonesia. Bagian atapnya berbentuk limas. Serambinya disangga delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Konon Raden Patah, keturunan Raja Majapahit terakhir 

Tak lupa saya mau menyantap hidangan serba kerbau di Kedai Bu Saki. Di Demak ini, kerbau dihidangkan dalam banyak bentuk. Ada soto, sup, sate, baso, hingga pindang! Saya mau makan sotonya saja :D

Pokoknya tiap kota, mesti makan kuliner khasnya. Nyam! 

KUDUS

Bersih, suci, murni. Begitulah arti kata Kudus, diambil dari bahasa Arab. Masjid Kudus tentulah tujuan saya. Menyaksikan masjid-masjid nusantara ini bukan lagi saya kategorikan sebagai hobi, tapi kewajiban. Bukan karena saya sholehah lho ya. Wekekeke. Tapi pengen memandang langsung peninggalan-peninggalan sejarah Nusantara. Lagipula masjidnya memang unik dan sejarahnya panjang.

Bayangkan bisa menyentuh artefak yang umurnya 470 tahun kayak Masjid Kudus. Membuat saya serasa istimewa. Ibarat kamu fans K-drama garis keras dan bersalaman dengan Gong Yoo, nah seperti itu perasaan saya bila bersentuhan dengan bangunan klasik :D

Di Masjid Kudus, menaranya masih bercorak dari tradisi Jawa-Hindu. Bukan hanya menaranya sih, tapi juga candi bentar dan gerbang paduraksa ada di sini.

Umumnya masjid-masjid kuno yang pernah saya lihat, arsitekturnya menyatu dengan tradisi lokal. Sedap sekali memandang arsitektur masjid yang datangnya dari masa lalu ini. Terselip rasa bangga juga kadang-kadang. Betapa tingginya craftmanship orang-orang zaman dahulu! Ke mana perginya skill itu sekarang ya...

Selain menara Masjid Kudus, pasti pada tahu kan Kudus identik dengan apa? Rokok kretek! Sebab itu mereka punya museum khusus Kretek. Juga monumennya.

Makan Soto Kudus tak boleh dilewatkan. Pasti beda ya rasanya makan Soto Kudus di Kudus! 

Demak dan Kudus, dua kota berturut-turut. saya menginap saja di Kota Kretek ini sebelum ke kota berikutnya. Tapi belum bisa booking via RedDoorz, sebab RedDoorz jaringannya di kota-kota besar se-Indonesia. Belum masuk ke kota-kota kecil.

LASEM

Kota terakhir sebelum balik ke Bandung.  Disebut-sebut Tiongkok kecilnya Indonesia, ada beberapa rumah kuno bergaya pecinan di sini. Foto-foto rumah kuno di Lasem sering saya saksikan di timeline instagram. Juga youtube. Tapi yang pertama kali mengenalkan saya dengan Lasem adalah film Ca Bau Kan, seting filmnya berlokasi di Lasem.

Makin sering dilihat, makin besar keinginan berkunjung ke kota di pesisir pantai utara ini.

Photo courtesy: @kesengsemlasem

Lasem juga surganya batik-batik mewah nan klasik. Dibuat handmade, batik Lasem terkenal istimewa. Agak sangsi saya akan belanja batik di sana. Makanan membuat saya semangat, tapi urusan sandang gak terlalu menyukainya. Walo begitu saya mengapresiasi banget karya-karya tradisi seperti batik.  Utamanya yang tulis dan butuh waktu berminggu-minggu membuatnya.

Kota-kota kecil ini menarik amat ya. Tiap kota, denyut nadinya berbeda. Padahal masih satu pulau, tapi tradisinya berbeda, bahasanya rupa-rupa. Seolah-olah, tiap kota ada harta karunnya sendiri. Dan semua didapat dengan lima hari saja. Insyaallah. Kan baru rencana nih. Doain ya semoga terwujud! Hehe.

How To Go

Mulanya terpikir menumpang kereta api. Tapi urung. Bawa mobil sendiri saja. Transportasinya lebih efisien dan murah. Ongkos kami bertiga bisa dialokasikan untuk bensin. Saya hitung pun lebih irit. Tinggal banyakin olahraga dan atur pola makan agar stamina bagus. 

Perjalanan pergi via jalan pantura. Pulang ke Bandung baru ambil jalan tol. 

Lima hari di jalan (plus nginep-nginepnya), di Bandung istirahat dulu sebelum gas kerja jalan lagi :D 

Where To Sleep

Di kota besar saya mengandalkan RedDoorz. Di kota-kota kecil, saya gak mengandalkan apa-apa, senemunya hotel aja. Jika dilihat dari rencana perjalanan, menginap hanya di Semarang dan Kudus saja. 

Kalo mau nanya-nanya tentang RedDoorz, komen aja nanti saya bantu jawab. Simpel aja booking di RedDoorz cuma pilih penginapan, isi data nginep, book, bayar transfer aja. E-ticket dikirim ke email dan di app. Jangan lupa cek promo, siapa tahu ada kode promo atau tanggal-tanggal diskonan :D

Photo Courtesy: @reddoorzid

Jika resolusi traveling 2019 temen-temen adalah traveling ke Filipina, Vietnam, Singapura, bisa nih riset dulu penginapan di RedDoorz. Karena ada juga RedDoorz di sana.

How Much

Yes, berapa banyak uang yang dianggarkan untuk perjalanan lima hari tersebut? Cant' tell. Ada sih jumlah minimalnya, tapi ini baru bisa saya kasih tahu bila perjalanannya sudah terjadi :D 

 When

TAHUN 2019 INI DONG DOAKAN YAAAAA! PINTU-PINTU KLASIK SEPANJANG PANTURA, JENDELA-JENDELA KUNO, TEGEL ARTDECO, MUSEUM-MUSEUM, MASJID-MASJID NUSANTARA, GEREJA TUA... TUNGGU SAYA DATANG! 

Agak lebay tapi yah namanya juga usaha (yang tertunda-tunda mulu dari kapan dan bersaing ketat dengan anggaran biaya daftar anak sekolah :D). Kalo teman-teman, tahun 2019 pada mau traveling ke mana nih?