Social Media

Image Slider

Hampa di Malang

17 April 2018
Dari Bromo saya mampir ke Malang. Tiga hari lamanya di kota apel ini. Pertama-tama main di Jatim Park 2 tentu saja. Barulah di hari berikutnya mulai main di kota, menyusuri bangunan tuanya.




Seperti biasa, peta sudah di tangan. Rencana disiapkan. Saya dan Nabil berjalan kaki dengan titik mula di Pasar Besar Malang. Ke sana untuk makan sate klomoh yang legendaris. Tidak sulit cari warungnya yang mana. Pasarnya sepi gak seramai pasar yang saya bayangkan pada umumnya. 

Bisa jadi sayanya kesiangan ke pasar ya, jam 9.30 waktu itu. Sate Klomoh tiga tusuk cukup sudah. Ngobrol dengan dua ibu-ibu yang dulu pernah bermukim di Bandung. Tahun 90an katanya pernah tinggal di Jalan Suci. Balik ke Malang awal tahun 2000.

Saya pamit kepada ibu-ibu tersebut. Keluar pasar dan cek daftar kuliner yang mau saya coba.

Ketan bubuk. Saya cari-cari pedagangnya, dua orang yang saya tanya bilang saya kesiangan. Pedagangnya udah tutup lapak. Ah ya sudahlah. 

Saya ajak Nabil ke Museum Bentoel. Kali ini naik ojek online. Ternyata museumnya ada di sebelah pasar aja tinggal jalan dikit ahahahaha. Kesalnya belum berakhir. Museumnya tutup. Yaaah sudahlah.




Akhirnya berjalan kaki saja mengikuti rute di peta. Kira-kira dua jam kemudian kami mendarat di Toko Oen. 

Semestinya seorang teman baru menemani perjalanan saya di Malang ini. Namun mendadak ia harus lembur sehingga saya dan Nabil berjalan tanpa pegangan. Rasanya hampa banget jalan melihat-lihat bangunan kuno di Malang tanpa ditemani narator. Udah gitu harus nyebrang-nyebrang jalan aduh sejak tertabrak motor di Yogyakarta, saya trauma menyebrang sendiri :D 

Kira-kira di Jalan Tumapel, saya putuskan sewa ojek online lagi. Saya membayarnya lebih banyak untuk mengantar saya ke beberapa lokasi yang tercantum di peta. Ini sopir ojeknya keukeuh mau bawa saya dan Nabil ke Kampung Pelangi. 

Buat apa ke Kampung Pelangi, Mas? 
Buat foto-foto, Mbak.

Euuurrr... kami sudah berhenti di mulut masuk ke Kampung Pelangi dan saya dengan sedih harus menolak ajakannya. Sebab saya sudah punya tujuan sendiri dan kampung warna-warni seperti itu (dan semua yang dibuat untuk instagram) bukan favorit saya. Kecuali kampung yang di Kali Code. 

Hampa banget nih jalan di Malang. Kayak kurangnya banyak banget. Beda banget dengan perjalanan singkat di Blitar yang malahan terasa begitu 'penuh'. 

Saya udah bilang sih sama Indra, pengen balik lagi ke Malang. Main lagi di Jatim Park 2 (bagian kebun binatangnya mau saya lewatkan saja, lebih seru main di wahana fantasinya ahahahahaha). Tentu saja pengen lagi datengin bangunan kunonya. Nanti mah wajib ditemenin warga lokal biar gak garing. Biar gak hampa. Halah :D




Kesan saya terhadap kota ini adalah:

1. Dia gak sedingin Bandung. Malang 400++ mdpl kalau Bandung di 700++ mdpl.
2. Walo begitu Malang tetep adem, saya suka kotanya ehehehehe. Minimal mah abis makan teh teu kesangan kayak di Cirebon, Surabaya, atau Jakarta :D
2. Jalan-jalannya kecil mirip di Bandung. Dibikin searah juga terus belok-belok mulu ah lieur.
3. Waktu di Jalan Ijen, hwaduh rasanya kayak ketemu cinta lama, yaitu jalan Pasteur di Bandung sebelum ada Jalan Layang Pasupati. Mirip banget 99%. Rumah-rumah kuno di tepi jalan. Taman kecil sepanjang jalan di bagian tengah. Jalan rayanya terbagi dua dipisah taman. Pohon palem raja di sepanjang pinggir jalan. Duh jatuh cinta saya mah sama jalan Ijen.
4. Makanan jalanannya enak-enak.

Ini kota-kota adem begini memang jadi kecintaan.
Bandung difavoritkan Jakarta.
Malang juga disukai Surabaya.

Tapi...Malang kalau gak hati-hati dalam perencanaan kota, nasibnya bisa sama kayak Bandung. Macet menggila. Kawasan Batu itu tuh ya serupa Lembang. Tempat wisatanya banyak. Tapi ya gimana ya, saya aja datang ke Jatim Park 2 dan itu teh menyenangkan banget.

Cukup gak sih tempat wisata 1-2 aja. Gak usah ada Jatim Park 3, 4, 5, dst, dll, dsb. Maksudnya apa ya bikin banyak tempat wisata? memecah keramaian? mendatangkan uang lebih banyak? membuka lapangan kerja lebih hwedan sehingga warga lokal terpenuhi pendapatannya?

Kok saya merasa ada yang salah ya. Gak di Bandung, gak di Malang...

Sesampainya di Bandung, beberapa hari kemudian saya nonton berita di televisi. Walikota Malang ditangkap KPK...

Di Sudut-sudut Antik Kotagede

11 April 2018
Dalam tubuh saya mengalir darah Pantura, Indramayu dan Cirebon. Ketika saya sampai di Kotagede, Yogyakarta, agak aneh geli sendiri rasanya. Karena Kotagede yang dahulunya kerajaan Mataram ini pernah mencaplok kawasan nenek moyang saya. Bergiliran dengan kerajaan Pajajaran, Mataram menguasai  Cirebon jauh sebelum Belanda datang. Sampai pada akhirnya Belanda yang menjajah kita semua. 

Mungkin begini ya rasanya orang Indonesia yang berkunjung ke negara Belanda. Hahaha perumpamaan yang gak terlalu tepat sih tapi ya kira-kira begitu lah. 

Masih lekat dalam ingatan, saya pernah berkunjung ke Yogyakarta untuk pertama kali -selama 10 hari- di tahun 2007. Umur saya 22 tahun waktu itu. Lama tak bersua dengan Kota Pelajar, bulan Juni di tahun 2015 saya kembali ke Yogyakarta. 

Wajah Yogyakarta sekarang banyak berubah. Yhaaa serupa Bandung lah. Lebih riuh, makin padat. Tapi tidak dengan rindu saya padanya yang masih sama sejak terakhir kali saya meninggalkannya. Masih sama segitu-gitu aja. Hehe. 

Berada di Yogyakarta, saya berlibur bersama dua orang lainnya, anak (nabilkubil) dan suami (indra). Satu tempat yang sudah kami niatkan untuk kunjungi namanya adalah Kotagede. 

Di sana kami bertiga hendak menikmati segelas es dawet di Warung Sido Semi, melongok makam-makam Raja Mataram, dan menyusuri bangunan antik sepanjang Kotagede.





Ke Jogja, saya dan Indra membawa bekal peta perjalanan buatan Emile Leushuis. Karena kami gak berencana belanja atau wisata kuliner, tujuannya satu: gedung-gedung kuno di Kotagede.

Kotagede pernah menjadi sentranya kerajinan dan perdagangan. Wilayah ini merupakan pusat kota Mataram. Banyak jejak pemukiman bangsawan yang pernah atau masih tinggal di sini. 

Mengingat statusnya, ini kawasan berarti tua banget. Sudah ada sejak Sultan Agung masih hidup. Sekitar 5 abad lalu.

Berbekal sebuah peta yang kami fotokopi dari buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia yang ditulis oleh ahli geografi dan pemandu wisata Emile Leushuis, kami menapaki satu demi satu gedung bersejarah di Kotagede. 

Perjalanan di Kotagede kami mulai pukul sembilan pagi. Cuaca masih segar meski panasnya sudah begitu terasa menggigit. Titik keringat sudah bermunculan. Maklumlah, kami orang gunung. Datang dari Bandung yang suhunya sejuk, ke Yogyakarta yang temperaturnya hangat. 

Belum banyak langkah kaki kami alun sejak Jalan Tegalgendu, beberapa bangunan tua sudah dapat dilihat. 

Berdasarkan buku yang saya baca, itu rumah tua Rumah Kalang namanya. Orang Kalang asalnya dari zaman Majapahit yang ada campuran etnis Bali. Ini saya baca di internet aja sih asal-usulnya. Orang Kalang ini profesinya saudagar. Kaya raya pula. Cerita menarik tentang orang Kalang bisa kamu baca di sini ya. 

Bangunan di Kotagede gaya arsitekturnya ala kolonial campur jawa. Itu rumah-rumah di tepi jalan. Kalau kamu masuk ke gang-gang kecil, nah baru kelihatan rumah-rumah tradisionalnya. Ada sih bangunan modern, tapi ada juga yang bentuknya masih joglo. 

Dapat memasuki sebuah bangunan tua menjadi pengalaman yang saya tunggu-tunggu. Di toko perhiasan silver bernama Silver Anshor saya melakukannya. Wah indah sekali gedungnya. Warna bangunan putih, lantainya masih model tempo dulu, interiornya yang megah, dan pilar-pilar gedungnya mencirikan pemiliknya yang berasal dari kaum bangsawan. Kebanyakan gedung-gedung kuno di Kotagede cat dindingnya berwarna putih. Warna yang sama dengan bangunan sejenis di Eropa, khususnya Belanda. 




Dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu gedung ke gedung yang lain, Kotagede sungguh memikat. Saya tidak melihat ada bangunan komersil yang lebih tinggi dari rumah-rumah (kuno) di sini. Kelestariannya cukup terjaga (bila dibanding Bandung). 

Di tengah perjalanan kami mampir ke suatu warung sederhana. Seorang teman -sebelum kami berangkat ke Kotagede- menyarankan begini: kalau ke Kotagede harus jajan Kipo! 

Di warung tersebut saya hendak menunaikan pesan dari teman. Tugas mulia bernama makan Kipo! 

Oala ternyata bentuknya sangat kecil sekali. Sebesar ibu jari. Tak terbayang sebelumnya bahwa Kipo adalah kue yang ukurannya mini. Warnanya hijau. Terbuat dari tepung beras dan pada bagian dalamnya campuran gula merah dan kelapa parut. Kipo serupa dengan kue Dadar Gulung. Konon Kipo adalah kue yang dahulu menjadi suguhan di Keraton. 



Kipo sudah habis. Istirahat cukup. Energi sudah kembali. Perjalanan kembali dilanjut. 

Kali ini kami memasuki gang kecil, menyelami Kotagede lebih dalam, mengenalnya lebih dekat. Bahkan di dalam ruang yang lebih sempit semacam gang, Kotagede memiliki pemandangan yang sama seksinya dengan panorama yang kami lihat di pinggir jalan raya. Bahkan ada gedung tua yang megah di dalam gang. Rumah Rudi Pesik, misalnya. Juga ada beberapa rumah tradisional Jawa, yaitu Joglo, dan rumah-rumah sederhana yang kuno dan apik. 

Saya melihat pintu rumah antik terbuka. Sungguh menggoda untuk saya ketok pintunya dan ngobrol dengan penghuninya. Suara ibu-ibu terdengar sedang bicara. Medok dan merdu. Saya intip dari jendela, mereka kayak lagi asyik masak begitu. 



Warung Sido Semi yang saya tuju tutup sudah. Tutup selama-lamanya. Tetangganya berkata demikian. Waduh sayang uhuhuhu....

Ya sudah kami berjalan saja ke Pasar Legi. Dan sudah terlalu siang untuk belanja atau jajan. Uhuhuhuhu. Rencananya mau melongok isi pasar. Tapi pasarnya kayak udah agak sepi. Agak menyesal juga saya langsung tinggalin pasarnya. Lebih baik saya masuk saja dulu mana tahu di dalam pasar bagaimana pemandangannya.

Pasar Legi Kotagede sudah ada sejak abad 16.

Kami berbelok saja ke Makam Raja-raja Mataram. Menapaki Gerbang Paduraksa rasanya terasa begitu syahdu. Ini pertama kalinya saya mengunjungi makam Raja-raja Mataram. 

Sinar matahari meredup. Langit berawan. Angin semilir di kompleks pemakaman tersebut menyambut kami bertiga. Jalur jalan pelancong dan peziarah di makam ini sangat berkelok. Jalan lurus - ketemu tembok - belok kiri - lurus - belok kanan - lurus. Serupa adat orang Jawa yang kalau sedang bicara terdengar berputar-putar. Cara orang membangun sebuah tempat konon persis sama dengan adat budaya cara berpikirnya. 

Tentu saja makam seorang raja berbeda dengan makam orang-orang kebanyakan. Tempat yang saya kunjungi itu sangat mewah, bukan hanya gapuranya tinggi-tinggi dan megah, tapi juga ada tempat pemandian bernama Sendang Seliran. Sungguh ini kompleks pemakaman yang luas, sakral, dan eksotik. 

Berada di kompleks Makam Raja Mataram saya harus melewati pintu-pintu (gapura) berukuran besar dan pepohonan beringin. Makamnya sendiri tidak boleh dilihat sembarangan. Butuh orang dengan status tertentu untuk melihat langsung makam para Raja Mataram. 

Waktu saya ke sana sih sepi banget. Karena bukan hari akhir pekan dan hari libur. Saya gak merasa ada yang angker di sini. Tiap sudutnya cantik dan tradisional. Di pintu masuk gapura agak terganggu pemandangan jemuran warga sih. 

Rencananya kami ingin beristirahat lagi di Masjid Besar Mataram, sayang masjidnya ditutup karena renovasi. Kami beranjak keluar dari kompleks tersebut. Matahari kembali terang dan panas. Aneh sekali. Di dalam kompleks pemakaman Raja Mataram tadi rasanya sangat sejuuuuk banget. 


Kembali ke luar masuk gang, kami sempat tersesat. Tapi tak sulit keluar dari labirin gang-gang Kotagede. Papan nama jalan terpancang rapi. Penduduk lokal pun selalu menjawab ramah jika kami tanya. 

Dua jam sudah berlalu sejak jam makan siang berlaku. Kami sudah berada di Kotagede sejak jam 9 pagi. 

Pukul dua siang perjalanan di Kotagede kami akhiri. Restoran atau warung makan menjadi destinasi kami berikutnya. Memesan taksi, kami putuskan kembali ke pusat kota. 

Dari dalam taksi kami kembali menyusuri jalanan Kotagede, kembali melewati Jalan Tegalgendu. Saya menyaksikan lagi bangunan-bangunan yang kami saksikan dari dalam jendela kendaraan, sekilas rasanya seperti sedang me-review perjalanan yang kami lakukan dari tadi pagi. Mengkaji ulang dan merekam baik-baik pemandangan dan rasa Kotagede. 

Setelah delapan tahun akhirnya saya bisa bertemu lagi denganmu, Yogyakarta. Di Kotagede, saya menuntaskan rindu itu. Semoga kita bersua lagi ya. Masih ada sudut-sudut Yogyakarta yang ingin saya saksikan, sudut yang sama, sudut-sudut kota yang tradisonal dan bersahaja (kecuali bangunan miliknya Keraton dan Raja-raja Mataram :D). 

Disclaimer: tulisan ini adalah tulisan lama yang saya buat di tahun 2016. Saya perbaiki tulisannya dan saya unggah ulang per bulan April 2018 ini. 





Teks : Nurul Ulu W
Foto : Indra Yudha

Blitar dan Wajah Asing Soekarno

02 April 2018
Tumbuh besar di negeri ini tanpa membaca kutipan-kutipan dari presiden pertama Republik Indonesia agak mustahil. Terutama kalau kamu berhasil duduk hingga ke bangku perkuliahan. Sebagai tambahan: apalagi bila kamu tinggal di Bandung. 

Bandung dan Soekarno bagai roti dengan selainya. Sayur dengan garamnya. Di mana saja jejak Soekarno di Bandung?

Merantau ke Bandung untuk bersekolah, Soekarno ngekos di sebuah rumah jalan Ciateul. Rumah yang mempertemukannya dgn istri ke-2: Inggit Garnasih. (Tulisan pendek saya tentang Inggit Garnasih bisa dibaca di sini). 

Sekolah di HBS (sekarang ITB), Soekarno adalah angkatan pertama jurusan Arsitekturnya ITB. Bersama gurunya, Schoemaker, ia ikut merancang Hotel Preanger.

Beberapa rumah di Malabar, Kebon Kalapa, Kaca-kaca Wetan hasil rancangannya. Vokal terhadap pemerintah kolonial, ia diadili di Landraad (sekarang Gedung Indonesia Menggugat), divonis hukuman Soekarno masuk penjara Banceuy dan Sukamiskin.  

Presiden RI pertama itu bahkan turun tangan merombak rupa Masjid Agung Bandung demi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955.

Iya betul, dia menunjuk Bandung jadi tempat berlangsungnya KAA 1955 yang legendaris itu. 

Banyak kota yang Soekarno taburi jejaknya di Indonesia, tapi saya kira tidak seintim di Bandung. 

Lalu saya ke Blitar, kota  di mana Soekarno berasal dan bermuara. Di kota mungil ini saya mendapati wajah Soekarno yang berbeda. Soekarno di balik panggung kebesarannya. Wajah Soekarno yang...asing.


Wajah Soekarno di Blitar


Bila menyebut Blitar, langsung teringat Soekarno sebab di semua buku disebut Blitar sebagai kota kelahirannya. Bisa jadi ada museum yang berhubungan dengan Soekarno di sana, kata saya dalam hati. 

Terpekur di internet  beberapa menit, saya cari tahu wisata sejarah sekitar stasiun Blitar. Biar gak usah jauh-jauh jalan-jalannya, cuma punya waktu empat jam di Blitar. 

Hasil pencarian tentang Blitar dan wisata sekitar stasiun kereta api membawa saya pada satu tulisan sekaligus berkenalan dengan warga Blitar yang juga penulis tulisan tersebut, bernama Pandu Aji. Tulisannya tentang 6 Tempat Wisata Dekat Stasiun Blitar bisa dibaca di sini. 

Tidak cuma berkenalan, saya juga meminta tolong Pandu menemani ke beberapa tempat sekitar stasiun Blitar. Ia menyanggupi. 

Ngobrol dengan Pandu seperti ketemu teman lama saja, padahal baru kenalan. Seporsi soto daging dan es teh manis yang kami tandaskan sepertinya ikut andil dalam mencairkan suasana. Makanan memang gak pernah salah. Khekhekhe. 

Hanya tersisa tiga jam di Blitar, Pandu mengajak saya ke Makam Bung Karno dan Istana Gebang.


Berkunjung ke Makam Bung Karno


Makam Bung Karno memuat beberapa bangunan. Selain bangunan utamanya yaitu pendopo yang memayungi makam Soekarno, ada juga museum dan perpustakaan. 


Perpustakaan saya lewatkan saja. Gak bisa cepat-cepat kalau menyusuri buku-buku mah. Pandu menuturkan "perpustakaan ini isinya buku-buku yang dibaca Soekarno. Buku langka. Cuma warga Blitar yang boleh pinjam, soalnya mesti pake KTP kota Blitar untuk pinjam buku di sini." 

Istimewa juga ya jadi warga kota Blitar :) 

Beranjak ke museum, wah ramai sekali di pintu masuk sampai susah bergerak. Pengunjung berdatangan di hari Rabu. Dominan kaum manula pula. Kata Pandu, mereka itu orang-orang yang hendak berziarah ke makam Soekarno. 

Koleksi museumnya terdiri dari banyak lukisan wajah Soekarno. Beberapa barang pribadi Soekarno (peti dan keris). Juga ada foto-foto sejak ia kecil hingga akhir hayat. Iya saya melihat banyak foto semasa ia di Bandung.

Patung dan lukisan menjadi latar favorit untuk berfoto. Saya ikutan foto juga dong. Bukan saya deng tapi Nabil. 

Di Makam Bung Karno, saya tidak masuk hingga bertemu nisannya. Terlalu penuh, banyak yang berziarah dan khusyuk berdoa. Kami berdiri di luar pendopo saja. Melihat-lihat suasana, memotret pendopo. 

Di sini saya baru menyadari wajah Soekarno yang dikultuskan. 

Saya sendiri gak menyukai sosoknya sedemikian rupa. Tidak seperti walikota saya itu (yes, Ridwan Kamil). Pidato-pidatonya yang bergelora, kecintaannya pada seni dan wanita cantik, dan kecerdasannya membangun hubungan setara dengan negara maju sungguh mengagumkan.

Namun Soekarno terbuai kekuasaan juga. Lupa berhenti dan memberi tongkat estafetnya pada negarawan yang lain.


Di Istana Gebang, Rumah Masa Kecil Bung Karno


Lalu di Istana Gebang, saya gak merasakan semangat Soekarno sama sekali. Ya wajar saja sebenarnya mah. Karena apa? Begini. 


Istana Gebang merupakan rumah keluarga Soekarno.  Dibeli ayahnya dari pejabat kolonial di tahun 1917 sewaktu ia mengajar di Blitar. 

Pernah dimiliki kakaknya Soekarno dan hendak dijual karena biaya mengurus rumah yang tidak murah, pemerintah membelinya. Ketimbang rumah tersebut dibeli orang lain dan diubah jadi tempat yang gak ada hubungannya dengan Soekarno kan. 

Apakah di rumah ini Soekarno lahir? gak tahu.

Apakah ini rumah masa kecilnya Soekarno? Iya (menjelaskan statusnya adalah bangsawan, rumah ini pada zamannya -termasuk zaman sekarang- sangatlah luas dan megah. Halamannya saja seperti luas lapangan sepakbola. Bila ditotal, laham Istana Gebang ada 1,8 hektar. 

Istana Gebang terbuka untuk umum sejak pukul 7 pagi. Tutup jam 5 sore.

Kedatangan saya persis sebelum tempatnya mendekati jam tutup. Terdiri dari beberapa kamar dan perabotan mewah, memang ini rumah layak disebut istana. Foto-foto dan lukisan Soekarno dan keluarganya terpajang.

Pandu bilang pengunjung yang ziarah ke makam juga mampir ke Istana Gebang. Wah pikir saya menarik juga. Mereka rupanya antusias dengan peninggalan sejarah non-makam rupanya. 

Tapi pikiran tersebut musnah sih karena di bagian belakang rumah ada sumur. Air sumurnya ini ramai-ramai diminum dan diwadahin buat dibawa pulang oleh para peziarah. Oh ternyata tujuan utamanya ke sumur itu. 

Ada apa orang Indonesia dengan sumur-sumur ini ya...bisa jadi tesis penelitian skripsi dengan judul: Korelasi dan Perspektif Orang Indonesia terhadap Sumur Dalam Kehidupan Spiritualisme.

Menyusuri Istana Gebang, saya jadi pengen cepat-cepat baca buku sejarahnya Soekarno. Tahun berapa sih beliau meninggalkan Blitar dan pergi ke Surabaya? Kenapa di otak saya, Soekarno hanya menumpang lahir di Blitar dan 'dipaksa' dimakamkan di Blitar tapi sebenarnya ia lebih dekat dengan Surabaya (sebab ayah keduanya, HOS Tjokroaminoto berasal dan tinggal di Surabaya dan kayaknya dia lebih dekat dengan Tjokroaminoto ketimbang keluarganya di Blitar).

Atau jangan-jangan benar ya yang menulis tempat kelahiran Soekarno itu di Surabaya? :D

Sedekat apa Soekarno dengan keluarganya di Blitar? Bila Soekarno membangun Jakarta, Surabaya, termasuk Bandung, apa pernah terpikir olehnya untuk melambungkan nama Blitar lebih dari sekadar status kota kelahirannya, kota yang jadi akarnya itu? Atau jangan-jangan Soekarno itu aslinya memang arek Suroboyo...




(teks: Ulu, foto: Ulu, Pandu)

Matahari Terbit di Bromo, Ada Wajah Ayah di Sana

01 April 2018
Sejak ayah saya wafat empat tahun lalu, perasaan sentimentil saya makin parah kambuhnya begitu lihat pemandangan alam yang epik, mahaluas, dan tentu saja indah. 

Lihat matahari terbit, 
lekuk bulan purnama yang cerah, 
langit penuh bintang, 
garis kuning mentari terbenam, 
pucuk-pucuk pegunungan, 
pantai yang menawan dengan suara ombak yang berdesir, 
barisan pepohonan Asem dengan latar pesawahan membentang, 
dalam seporsi Nasi Lengko Pagongan dan semangkuk Gombyang Panorama... 

Di semua keindahan yang memukau itu saya melihat wajah ayah saya.


Kenapa bisa begitu, saya juga kurang tahu. Saya pikir orang-orang baik yang meninggal, mereka ditempatkan di tempat-tempat terbaik, terindah. Di sanalah ayah saya berada. 

Sejauh apapun jarak yang saya tempuh untuk menjangkaunya, rasanya gak pernah sampai benar-benar dekat. Ayah saya ada nun jauh di seberang sana. Selalu bersebrangan dengan saya, dipisah lembah, lautan, dan pegunungan juga angkasa. 

Jadi sewaktu hari itu, Sabtu 10 Maret 2018, saya ada di Bromo dan menyaksikan keagungan matahari terbit yang luar biasa menawan, saya nangis. Agak susah menahan air mata agar gak bercucuran seperti air di Curug Cimahi kala musim hujan, karena malu juga atuh banyak orang di sekitar saya :D 

Mata basah sebab rasanya ada ayah saya di ujung sana. Seolah-olah kami sedang saling memandang saja. Tidak terjangkau tapi saling berhubungan.

Untuk beberapa menit, saya lupa dengan kebisingan orang-orang yang berswafoto di sisi kanan dan kiri. Saya mencari titik penglihatan matahari yang gak tertutup kamera orang lain atau tubuh orang lain. Simpan kamera di saku celana dan menyerap semua energi yang saya tatap pagi itu. Syahdu, indah, magis, dan mengharukan. 

Untuk apa mencari-cari pemandangan yang maha indah, ternyata empat tahun belakangan alasannya baru saya temukan. Untuk 'bertemu' ayah saya.