Social Media

Image Slider

Cerita Dari Walking Tour di Cicalengka

15 August 2023

Coba bayangin ada acara seperti itu di kabupaten: walking tour di Cicalengka. Namanya juga penasaran, saya daftar sekaligus buat empat orang. Saya ajakin orang-orang di rumah ayo ikut yuk! Mumpung soalnya. Dalam bayangan saya mungkin tur jalan kakinya berlangsung satu kali, yang kedua kalinya akan selang beberapa bulan mendatang atau entah kapan. 


cicalengka historical trip

 

Tentang Cicalengka hanya pahlawan pendidikan Dewi Sartika yang saya ketahui dari buku biografinya. Usai tur berjudul Aloen-Aloen Tjitjalengka (25/6/2023) ini saya tahu kalau di masa kolonialnya Cicalengka pernah menjadi ibukota kabupaten.

Beberapa tokoh penting pernah bermukim dan melintasinya. Ada Djuanda, Soekarno, arsitek terkenal Wolff Wchoemaker, dan Umar Wirahadikusumah.

Ir. H. Djuanda adalah perdana menteri Republik Indonesia dan inisiator Deklarasi Djuanda yang mengubah sistem ketatalautan dan zona teritorial Indonesia. Namanya abadi menjadi nama jalan yang populer dengan nama Dago, taman hutan raya, bandara, dan kita dapat melihat wajahnya dalam lembar uang 50.000.


Djuanda kecil menempuh pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School, sekolah dasar warga eropa dan bangsawan) yang kini menjadi SMPN 1 Cicalengka. Masa remajanya bolak-balik naik turun di Stasiun Cicalengka - Stasiun Bandung demi bersekolah di HBS (SMA 3). Ayah Djuanda sendiri guru di HIS (sekolah belanda untuk bumiputra) yang sekarang berfungsi sebagai SDN VIII Cicalengka.

Dalam tur jalan kaki Cicalengka ini kami diajak melihat kedua bangunan fisik sekolah tersebut. Yaitu SMPN 1 di Jl Dipati Ukur dan SDN VIII di alamat Jalan Raya Barat. 

 

cicalengka historical trip

cicalengka historical trip

 

Kedua bangunan itu masih menyisakan bagian kunonya. Terlihat skala ruangnya berbeda jauh. Bangunan SMP 1 bekas sekolah dasar eropa lebih megah dan tinggi. Jendela dan pintunya besar-besar. Lokasinya tepat di depan Alun-Alun. Sedangkan SDN VIII yang dahulu sekolah khusus pribumi bangunannya lebih kecil begitupun jendelanya. Lokasinya agak menjauh dari Alun-Alun.

Dari situ saja terlihat perbedaan sekolah kolonial dan sekolah pribumi. Sebuah perbandingan menarik, status sosial sejarahnya masih bisa saya lihat berkat kondisi fisik bangunan yang masih ada.

Tur berlangsung sekitar dua jam saja. Menurut saya waktunya sudah ideal. Saat saya mengikuti walking tour di kota Yogyakarta, durasinya dua jam juga.

Meskipun hanya dua jam, ada banyak bangunan tua yang kami lihat secara fisik dan secara gaib. Hehe melihatnya dengan mata batin karena bangunannya memang tidak ada. Sudah berganti rupanya. Seperti bangunan sekolah agama yang bersebelahan dengan kantor kecamatan. Juga penjara yang kini menjadi gudang pegadaian.

Bumi Kapungkur adalah situs kuno paling berkesan buat saya. Bentuknya rumah tinggal bergaya arsitektur artdeco (bulat-bulat bentuknya dan banyak dekorasi rumah). Warga mempercayai rumah tersebut sebagai rumah keluarga Dewi Sartika.

Cicalengka berjarak 32 km dari Alun-Alun Bandung dan identik dengan pahlawan Dewi Sartika yang pernah bermukim di rumah pamannya patih cicalengka. Di sanalah jiwa aktivisnya tumbuh. Saat orangtuanya bebas dari pengasingan dan kembali ke Bandung, Dewi turut pulang dan membawa angin perubahan dalam pendidikan perempuan.

Rumah patih yang pernah didiami Dewi Sartika bukanlah Bumi Kapungkur, melainkan berada di kompleks sekolah SMP 1 di Alun-Alun. Tur jalan kaki ini meluruskan fakta yang kabur tersebut. 

 

 cicalengka historical trip

cicalengka historical trip


Sofia Riyanti, pemilik rumahnya, mengatakan penghuni rumah merupakan generasi ke-4. Tentang apakah betul Bumi Kapungkur rumah keluarga Dewi Sartika, Sofia mengatakan hal sebaliknya. “Rumah kami bukan rumah keluarga Ibu Dewi Sartika.”

Sofia melanjutkan cerita, saat itu buyutnya, H. M Samsudi, menikah dengan anak pertama camat Cicalengka. Samsudi merantau dari Palembang dan berprofesi pedagang akar wangi dan ulat sutera. Setelah menikah ia menetap di Cicalengka dan bermukim di rumah yang dibangun tahun 1928 itu.

Obrolan tentang profesi Samsudi terdengar menarik, yaitu usaha ulat sutera dan akarwangi. “Memang pernah ada bisnis benang ulat sutera di Cicalengka tapi hasil panen ulatnya tidak terlalu bagus”, kata Ibu Sofia. “Kecil-kecil ulatnya sehingga usaha tersebut tidak berlangsung lama juga,” ujarnya lagi.

Bila berpatokan ke Jalan Dewi Sartika lokasi Bumi Kapungkur di sebelah utara. Di masa kini rumahnya bersanding padat dengan rumah-rumah lainnya, juga di seberangnya arah selatan. Saya mengintip di sedikit di belakang rumah-rumah itu dan terdapat areal pesawahan yang luas dan indah. Sistem pesawahannya terasering.

Saat itu pukul sembilan pagi dan sinar matahari sedang cantik-cantiknya menyentuh pucuk-pucuk padi pesawahan. Saya membayangkan diri menjadi Samsudi dan ngopi-ngopi di teras rumahnya, menghadap pemandangan itu semua di tahun 1930. Betapa indahnya.

Saya pikir akan menarik bila tur Cicalengka mampir sebentar melihat pemandangan pesawahan itu. Cerita nostalgia sejarahnya akan bulat karena relevan dengan kejadian masa kini, yaitu tentang mata pencaharian warga Cicalengka dan kondisi areal pesawahannya.

Sebelum tur dimulai saya sempet bertanya profesi warga Cicalengka mayoritas apa. “Kebanyakan buruh tani, buruh pabrik, dan buruh harian lepas” jawab Nurul Maria Sisilia ketua pelaksana tur jalan kaki Cicalengka.

Saat ini terhitung jumlah penduduk Cicalengka 122.991 (bandungkabs.bps.go.id). Dilansir dari sumber yang sama, pekerjaan warga terbanyak adalah buruh harian lepas, wiraswata, dan pekerja swasta. Sementara komoditas pertaniannya yang utama adalah jagung, cengkeh, dan tembakau. 

 

cicalengka historical trip  cicalengka historical trip

 

Cicalengka menjadi lumbung pertanian dan perkebunan di masa kolonial. Tanaman kopi, teh, dan kina dibudidayakan. Rencana pemerintah belanda memindahkan pusat kepemimpinan dan militer ke kawasan Bandung melahirkan infrastruktur kereta api dan Stasiun Cicalengka.


Stasiun Cicalengka yang mulai beroperasi tahun 1884 ini menjadi jantungnya mobilisasi perekonomian karena mengangkut hasil bumi dari perkebunan ke kota Bandung dan Batavia (Jakarta). Saat ini bangunan utama stasiun yang bersejarah terancam dibongkar berkaitan dengan pembangunan infrastruktur kereta api cepat. 

 

Di stasiun yang sama pula tahun 1929 calon presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, turun dari kereta asal Yogyakarta dan melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju penjara Banceuy. Soekarno saat itu dianggap salah satu tokoh penggerak kemerdekaan dan kemunculannya sebagai tahanan pemerintah kolonial di stasiun Bandung akan memicu keributan. Oleh karena itu beliau berhenti di Stasiun Cicalengka alih-alih Stasiun Bandung. 

 

 

cicalengka historical trip


Di akhir tur kami dituntun ke kantor kecamatan. Di sana ada pertunjukan musik keroncong dan pameran foto Cicalengka tempo dulu, durasi acaranya bertambah. Ada juga kuisnya dan saya berhasil mendapatkan satu tas selempang kecil warna hitam bertuliskan “Tjitjalengka Historical Trip”. Duh senangnya!

Tur jalan kaki yang sangat menarik. Pendaftarannya melalui instragram mereka di nama akun @tjitjalengka.historical. 


Senang saya bisa tahu lebih banyak dari hari-hari kemarin. Bahwa di Cicalengka ada banyak tokoh penting yang bermukim di sana itu juga fakta menarik. 


Jadi ingat buku perjalanan Sigit Susanto berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Dia tinggal di Swiss dan sering jalan-jalan ke negara-negara tetangga. Minatnya pada sastra dan politik. Karenanya dia bertandang ke kota-kota pelosok kecil menyusuri jejak para tokoh panutannya. Bisa ya di sana keberadaan para tokoh itu diabadikan dan jadi situs wisata; rumahnya, makamnya, sampai warung kopi tempatnya nongkrong. 

 

Bila saja Cicalengka bernasib seperti desa-desa di eropa itu, waduh betapa bergairahnya wisata (sejarah) di Bandung.


Terima kasih kepada Tjitjalengka Historical Trip yang meriset dan merancang perjalanan singkat tersebut. Benar-benar gerakan progresif buatan anak kabupaten. Sesuai taglinenya tur jalan kaki ini, hari itu saya melihat sejarah besar di kota kecil. 



cicalengka historical trip




Menginap Seribu Malam di Mulih Ka Desa

08 August 2023

Hanya satu malam saja kok. Keinginan awalnya saya dan indra mau cari pemandangan yang segar-segar. Udaranya sejuk dan banyak pohon. Di bandung tempat kami tinggal juga banyak pohonnya tapi di sana kami cari uang dan bertahan hidup. Sehingga stres adanya. Lalu ketemulah dengan penginapan Mulih Ka Desa di Garut.


 nginep di mulih ka desa garut

 

Impresi pertama saya terhadap penginapannya gak terlalu bagus. Apalagi waktu masuk ke bungalownya. Seperti sudah lama kosong tempatnya. Saya pikir saat itu “wah kok begini aja ya”. Di kamar mandi ada banyak nyamuk kebon berhamburan. Saat itu saya tahu harus segera cari warung dan beli obat nyamuk.

Airnya lancar tidak ada masalah. Air panasnya pun mantap sekali! Ada televisi tabung dan kami tidak nonton. Entah ada wifi atau tidak, saya tidak bertanya.

Indra seperti biasa terlihat rileks dan damai. Dia langsung suka tempatnya.

Kami bersantai di kamar hingga sore hari. Mendung di luar dan rasanya malas sekali keluar kamar. Namun indra bilang lihat pemandangan sore yuk. Ya sudah hayuk, kataku.

Di luar hawanya dingin bukan main. Namun dingin segar khas gunung. Saya kenakan jaket. Khawatir masuk angin. Kami kelilingi tempatnya dan itulah saat-saat saya mulai jatuh cinta pada tempatnya.

Memang tempatnya terlihat lama kosong, tapi masih terurus. Banyak kembang yang terpotong rapi. Jalan setapak tanah yang organik tidak terlalu dibuat-buat alaminya. Beberapa lampu di sudut menyala warna kuning.

Ada tiga saung di tepi danau. Satu saungnya ada pengunjung sedang makan-makan. Saya berfoto.

Angin bertiup kencang, pepohonan bergoyang dahannya. Daun-daun seperti hendak berjatuhan tapi tidak. Ada pohon besar di sana, pohon karet, kata indra. Banyak sekali pohon yang saya lihat.  

 

nginep di mulih ka desa garut


Di restoran saya bertanya pada bapa-bapa yang duduk berjaga di sana. Ada pohon apa saja di sini, Pak? Dia menjawab antusias. Ada pohon nangka, rambutan, kayu putih, matoa, pisang, ki acret, mahoni, dan beberapa nama lainnya termasuk kembang-kembangan yang saya tidak ingat namanya. “Terus itu teh pohon karet,” katanya sambil menunjuk pohon yang dimaksud.

Tuh kan betul pohon karet, ucap indra.

Kami kembali ke kamar setelah membungkus dua obat nyamuk. Bapa-bapa tadi sempat cerita bahwa dinas kehutanan melarang pengambilan kayu hutan. Sementara Mulih Ka Desa punya ciri khas makanan yang dimasak di atas tungku. Untuk keperluan tungku mereka harus punya kayu bakar. Masalahnya penggunaan kayu bakar itu sudah dilarang.

Pantas saja saya lihat di depan tiap bungalow ada tungku. Namun tungkunya kosong. Bapa tersebut memberitahu bahwa sebelumnya tiap kamar dibekali satu ceret (ketel besar) berisi air minum. Ceretnya disimpan di atas tungku tersebut.

Sekarang saya paham mengapa ada banyak nyamuk merdeka di bungalow. Tidak ada lagi asap kayu bakar di Mulih Ka Desa.

Ditambah kasus pandemi, Mulih Ka Desa sekarang sedang dalam pemulihan. Baru buka lagi dan sedang dalam usaha bangkit kembali.

Malam itu saya tidur nyenyak. Ranjangnya besar dan luas, size kingbed. Ada suara-suara pohon ditimpa angin sehingga bunyinya agak horor. Namun indra meyakinkan saya itu betulan suara kayu-kayu pohon.

Sementara itu para nyamuk tewas dihantam obat nyamuk bakar. 

 

nginep di mulih ka desa garut
sore di mulih ka desa


nginep di mulih ka desa garut
pagi-pagi di mulih ka desa


 

Pagi datang dan saya buka pintu kamar selebar mungkin. Sayang sekali kalau saya tiduran saja. Kami jalan-jalan keliling penginapan dan jatuh cinta lagi. Hawanya segar murni bersih. Gunung Cikuray terlihat jelas. Pepohonan yang kemarin sore seperti orang ngamuk, pagi itu nampak kalem. Pagi yang mesra di Mulih Ka Desa.

Saya hirup udara banyak-banyak! Kalau bisa saya bungkus udaranya dan bawa ke Bandung. Terasa sekali bersihnya!

Saat matahari muncul di sela-sela pepohonan berkasnya masuk dan jatuh ke rumput, saya jatuh cinta lagi dengan panorama Mulih Ka Desa. Benar-benar cocok namanya: pulang ke desa.

Kami sarapan di saung. Ya Tuhan makanan Mulih Ka Desa enak semua! Rasanya segar dan gurih. Harusnya malam tadi saya pesan makan di restorannya saja bukannya pesan makan online dari restoran lain. Saya benar-benar tidak tahu bahwa masakan Mulih Ka Desa seenak itu. Bahkan makan siang pun saya santap di sana dan ya Tuhan enak sekali! Nila bakar dan tumis oncom genjer itu sangat memabukkan!

Sampai di mana tadi? saung ya?

 

nginep di mulih ka desa garut

nginep di mulih ka desa garut


Kami nongkrong di saung selama tiga jam. Bengong melihat danau dangkal dan ikan-ikan gemuknya. Ngobrolin tentang rencana punya kebon dan balong. Menghitung-hitung mengenai kemungkinan pindah ke kampung. Dan hal-hal penuh impian lainnya yang ada fananya tapi kami harap terjadi. Kami juga tertawa-tawa membicarakan kelakuan teman dan keluarga yang kocak.

Ah betapa damainya suasana dari tempat kami duduk lesehan di saung itu. Dan perasaan jatuh cinta saya makin bulat.

Sehingga saya putuskan akan kembali ke Mulih Ka Desa. Entah kapan tapi begitu saya bertandang lagi ke Garut, Mulih Ka Desa sudah masuk kantong wajib kunjungan.


nginep di mulih ka desa garut
tumis oncom genjer yang nikmat!