Social Media

Image Slider

Orang Lokal di Bandung yang Macet dan Surabi Imut yang Gendut

28 April 2013
Diary ini tentang Malam minggu di Surabi Imut yang sudah tidak lagi imut tapi obesitas alias gendut, namun sehat secara keuangan bagi pemiliknya :D

Semalam saya keluar rumah, bersama suami dan anak juga adik saya. Kalau gak salah seusai adzan Isya. Berarti saat itu pukul setengah delapan malam.

Jarak dari rumah saya ke pusat kota hanya beberapa menit saja. Karena dekat, kami putuskan jalan kaki. Dengan berjalan kaki jarak tempuhnya menjadi hampir 30 menit. Kami bukan berjalan kaki di pinggir jalan raya Setiabudi ya, melainkan masuk ke jalan-jalan kecil dan kampus UPI.

Tujuan kami adalah Surabi Setiabudi.
Kata adik saya, surabinya punya rasa yang lezat dan ukurannya lebih besar daripada Surabi Imut yang ada di sebrangnya itu.

Tidak ada gejala yang menunjukkan hiruk pikuk pada saat kami berjalan kaki. Ada banyak pohon besar di kampus UPI, hanya segelintir orang saja yang berpapasan dengan kami. Beberapa ruas jalan di kampus malah gulita.

Dari area kampus UPI, kami menembus kawasan Gerlong. Suasana mulai ramai. Saya sudah tahu bahwa kami sedang menjelang keramaian. Malam minggu gitu loh.

Namun saya tidak menyangka bakal seramai itu. Hingar bingar. Pusing kepala saya. Asap rokok bertebaran mengotori udara Bandung. Musik bertalu. Kendaran dimana-mana baik yang parkir maupun yang terkena macet. Ugh pengap sekali rasanya Bandungku ini.

Kami berempat berunding. Surabi Setiabudi terlalu penuh orang dan asap rokok. Saya menolak masuk kesitu, juga suami saya. Ada sedikit keluarga yang juga sedang makan-makan disitu. Tidak enak dilihat. Maksud saya, ada percampuran area antara keluarga (ada anak kecil) dengan muda-mudi yang sedang senang-senang. Saya rasa mereka sedang berada di tempat yang benar tapi waktu yang salah.

Seperti kami.
Malam minggu di Bandung sebaiknya di rumah saja.

Alhasil kami memasuki Surabi Imut. Suasananya tidak kalah ramai namun lebih beradab. Kami naik ke lantai dua dan secara kebetulan ada satu 'hot spot' yang kosong. Kami pesan makanan dan meminta pelayan membersihkan meja yang amburadul karena baru saja beberapa orang makan disitu. Pelayannya cantik berambut panjang dan sama sekali tidak mengucapkan kata 'maaf' dan 'terima kasih' pada kami. Hanya 'Oh' saja. Tuh, Surabi Imut, benerin pelayanannya.

Saya pesan pisang bakar keju susu.
Suami saya milih Pempek.
Adik saya pesan dua surabi 'modern' sekaligus.

Sejujurnya harga makanan di Surabi Imut terlampau mahal untuk kami yang orang lokal ini. Pisang bakarnya 6ribu. Nampak murah, ya? Sejujurnya dengan porsi yang dihidangkan, harganya jadi terlampau mahal buat saya. Tapi nama (merek) Surabi Imut tidak lantas membuatnya bersalah karena memasang harga tersebut. Walau begitu, saya masih merasa itu diatas harga rata-rata.

Beberapa harga makanan 'kampung' dengan rasa modern harganya sudah harga turis. Suasananya juga seperti 'terpaksa menikmati daripada gak ada'. Tidak ada kenyamanan dan kehangatan yang Bandung banget. Semua serba komersil saya rasa.

Tidak menyalahkan Surabi Imut.
Saya menyayangkan Bandung yang kewalahan menghadapi ini.
Atau mungkin... saya, orang lokal, yang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan ini ya...

Roti Berkote, Emang Ada?

26 April 2013
Salah satu kawasan favorit saya di Bandung adalah Pecinan. Dahulu ketika Belanda masih menduduki Bandung, mereka membagi Bandung jadi dua area: utara dan selatan. Utara untuk bule-bule dan antek-anteknya, selatan untuk kaum pribumi. Untuk kaum bermata sipit dan berkulit putih (Ting Hoa), mereka tinggal di kawasan yang sekarang berpusat di Pasar Baru. 

Mesti diakui bahwa kawasan bisnis ini berantakan, tidak bersih, dan apa ya...semacam abandoned gitu. Agak-agak kumuh. Diantara berantakannya itu ada beberapa bangunan yang masih berusaha untuk terus hidup. Saya suka bangunan-bangunan tua di kawasan Pecinan. Bentuk bangunannya berbeda dengan rumah yang pernah saya tinggali. Jadi saya penasaran bagaimana rupa bangunan Pecinan itu didalamnya. Pintu dan jendelanya kalau bisa ngomong mau saya ajak ngobrol. Apa yang mereka lihat di Bandung tahun 20an? Siapa saja penghuninya di Bandung tahun 30an? Dimana orang-orang nongkrong pada masa itu? :D

Cibadak adalah salah satu kawasan Pecinan (ini menurut saya sih :D). Di jalan ini ada beberapa gang kecil yang menghubungkan Jalan Cibadak dengan Jalan raya lainnya. Nah gang paling pertama yang bisa kamu temukan di Jalan Sudirman terhubung dengan Jalan Cibadak.

Kenapa saya ngomongin gang ini?
Karena ada tukang jualan roti yang lezat sekali rotinya!
Bukan cuma lezat pastinya, porsinya juga tebal. Gendut.
Meski demikian, harganya juga mahal euy :D
Tapi ada pilihan kok kalau gak mau yang mahal mah.

Gang Kote namanya. Penjual roti itu menamakan rotinya Roti 234, orang-orang mengenalnya dengan nama Roti Gang Kote. Mereka memproduksi rotinya sendiri. Entah dimana proses pembuatan rotinya. Mereka menjual roti tawar dan roti kadet.

Bentuk rotinya sama seperti roti pada umumnya. Bedanya, roti 234 ini teksturnya empuk sekali. Ukurannya, seperti yang sudah saya ceritakan diawal: tebal. Mantap. Belum pernah saya makan roti dengan isian setebal ini. Beneran!

Akang-akang yang jualan rotinya tidak segan-segan menumpahkan taburan apapun didalam rotinya. Kalau selai, ya selainya banyak. Kalau kornet ya kornetnya melimpah. Kalau keju ya kejunya dipotong tidak kecil juga tidak tipis melainkan banyak. Oooh. Ini favoritku: Keju!

Harganya (untuk saya) mahal tapi sepadan rasa pastinya. Saya gak terlalu sering beli roti kote ini. Tidak terlalu sering bertemu bikin makin kangen toh :D bayangkan betapa saya nunggu-nunggu roti kote ini dan bayangkan juga rasanya di mulut waktu gigitan pertamanya. Uh enak banget! 

Ada tiga paket harga: biasa, spesial, dan super. Sebaiknya beli yang spesial saja. Harganya beda tipis dengan paket yang biasa. Kalau ambil yang biasa, terlalu sayang di ukuran rotinya lebih terasa mahalnya saja :D 

Saya suka beli roti isi keju susu, Rp 30.000 dapat 12 potong. Tebal-tebal. Ya rotinya ya kejunya.  Makan satu atau dua potong juga sudah kenyang. 

Kapan-kapan main ke Bandung atau sedang kebetulan lewat Cibadak, liat-liat gangnya, siapa tahu berjodoh dengan Gang Kote. 

What Is Bandung Diary?

Bandung Diary adalah blog mengenai kota tempat saya tinggal, Bandung. Ada tempat-tempat seru, jalan-jalan, review tempat makan, ulasan tentang hotel, dan banyak lagi. Kuliner dan belanja murah merupakan dua hal yang orang luar Bandung paling tahu. Sesungguhnya kami punya buanyak sekali keseruan lainnya selain makan enak dan belanja.

Saya, Ulu, yang menulis.
Suami saya, Indra Yudha, yang memoto.
Terkadang saya juga memajang foto hasil jepretan sendiri dan teman-teman di sini. 

12 tahun menetap di Bandung, banyak sukanya banyak dukanya. 
Saya bagikan yang suka-sukanya saja dulu disini :)

Menurut saya Bandung itu unik. Tempat tumbuh kembang bisnis, bisa. Buat Rekreasi, apalagi. Sebagai tempat belajar, wah cocok juga. 


Meski tidak sesejuk dan sedingin dulu, saya akui Bandung masih membuat saya betah karena kegiatan dan orang-orang yang ada di dalamnya. Sekaligus juga geleng-geleng kepala karena kota ini ya banyak ketidakbagusannya juga kok. 

Selamat menikmati Bandung. Jangan buang sampah sembarangan ya. Pesen-pesen hotel ke saya aja, lebih murah dari si Agoda :)

Mau ngundang saya makan, main, jalan-jalan, nyobain produk, minta review, pasang iklan di sini juga bisa. Kita obrolin di bandungdiary@gmail.com. Tarif bersahabat, adil buat semua, dan semoga kita bisa awet temanan :) hihihi