Social Media

Image Slider

Makan Ramen di Pasar Cihapit

31 May 2022

Berdua dengan Indra, saya pergi ke Cihapit. Mau makan ramen di sana. Gara-gara apa ya saya tahu ramen ini, instagram deh kayaknya. 

 

Kami parkir motor di Jalan Cihapit, kira-kira abis sholat isya waktu itu. Lalu berjalan ke dalam pasar via jalan belakang. Indra meragukan, beneran jam segini masih buka? tanyanya. Ayo aja, jawabku. Kita ke Rama Ramen!

 

rama ramen pasar cihapit
 

Pasarnya sih rada gelap ya. Remang-remang gitu. Sepertinya bila datang sendiri saya sudah mundur duluan balik ke tempat parkir. Hehe. 

 

Tidak sulit mencari Rama Ramen tujuanku itu. Sat set sat set aja ikuti labirin kios. Nah ketemu. 

 

Sayangnya wiraniaga bilang stok ramennya habis bila untuk dua porsi. "Gimana kalo satu porsi dibagi dua?" katanya. Saya dan Indra berpandangan saling mengucap setuju tanpa bicara. 

 

Langsung aja kami ambil posisi duduk. Indra sih udah nancap duduknya, saya berdiri lagi dan berfoto untuk instagramnya @bandungdiary. Gak lama-lama, dua porsi mini Rama Ramen terhidang di depan hidung kami. 

 

rama ramen
 

Saya pesan curry ramen dan miso ramen. Keduanya enak. Ramen kan gitu yah kuahnya halus aja. Saya suka, Indra juga. Namun menurut saya, si kuahnya baru terasa meledak rasanya setelah saya santap bersamaan dengan tambahan sambal yang baru dibuat oleh wiraniaganya. Semacam acar sambal (?) terdiri dari potongan bawang, cabe rawit, dan minyak. 

 

Lalu menurut  kami jagoannya adalah baso goreng. Menu add on di sana. Bila berkunjung ke Rama Ramen, pesanlah baso gorengnya dan minta sambal cabe rawitnya ya. Kurasa memang alaminya kuah ramen itu tidak meledak-ledak rasanya, jadi bukannya tidak enak, justru enak. Cuma lidah saya aja yang condong ke cabe dan bawang yang ikut dikunyah. Hehe. 

 

Suasana pasar tradisional sangat berpengaruh dalam menambah pengalaman santap di Rama Ramen. Beda kerasanya memang. Meski saya datang malam hari saat kebanyakan kios pasar sudah tutup, tetap aja terasa beda. Karena bulan Ramadan aja sih bukanya malam hari. Saya lihat jadwal regulernya buka sampai magrib aja. 


rama ramen pasar cihapit

 

Saya akan balik lagi ke sana, saat terang hari biar kerasa nih bedanya bagaimana. Hehe. 

 

Harganya rada mahal menurut saya mah. Seporsi mini itu 32.000. Porsi reguler 55.000. Bolehlah buat jajan buat pleasure. 

 

Rame Ramen (ig @rama.ramen)

Buka Selasa - Minggu

10.00-18.00 di Pasar Cihapit

Mudik After Three Years

24 May 2022

Mudik gak sama lagi artinya. Rumah tujuan saya sudah kosong. Ibu pulang kampung ke tanah kelahirannya. Ayah meninggal. Adik-adik sudah lepas landas alias sudah pada bekerja, tidak bermukim di rumah.


Dulu mudik ketemu orang tua. Kini mudik tujuannya untuk bertemu kerabat. Memperpanjang nama keluarga. 

 

 

Sepanjang usia hingga tahun 2018 mudik adalah ritual hari raya. Sekarang? agak garing terasanya. Tidak ada ketegangan berburu tiket mudik. Tidak ada huru hara membeli oleh-oleh. Tidak ada pertanyaan, "rencana kapan mudiknya?". Juga tidak ada ritual ngepak pakaian.

 

Garing. Persis seperti yang orang-orang selalu bilang: seperti kanebo kering. 


Namun tahun ini berbeda. Ibuku mengajak mudik dalam rangka urusan keluarga. Kami berangkat semua. Semuanya. Hanya kurang satu personel yang masih berjibaku di tanah Sumatera. Tiga hari dua malam trip keluarga ini berjalan, tentu saja ada dramanya. 


Kami menginap di hotel. Aneh betul ada rumah, yang mana besar ukurannya, tapi kami semua tidur di bangunan dan ranjang yang asing. Toh bagaimana lagi, rumah induk sudah kosong. Tidak ada lagi ranjang tempat saya dahulu mengompol sewaktu kelas 5 SD. Yap, fakta memalukan yang sudahlah bodo amat. Hehe. 


 

Rumah induk itu bernama Rumah Karangampel, rumah tanpa nama sebetulnya tapi saya beri nama saja di sini. Dua pohon mangga besar menaungi halaman depan, tampak (dan memang) adem jadinya. Pohon mangga ini berumur sama dengan rumahnya. 32 tahun. Mangga Cengkir dan Mangga Harumanis. 


Bagaimana menjelaskan sensasi yang saya alami saat saya kembali masuk ke dalam rumah yang kosong ini ya. Rasanya dalam hati ikut kosong juga. Kamar tidur apalagi. 


Kamar di mana saya membaca surat cinta dari kakak kelas. Tempat saya belajar dan menulis, mendengar berbagai kaset dari Spice Girls, Rhoma Irama, SO7, dan The Beatles. Lokasi ternyaman untuk membaca. Tempat yang membuat saya 'asyik sendiri'. Itulah yang terasa paling, paling apa ya, paling melangut.


Di ruang tamu sudah tidak ada sofa. Hanya tersisa satu lemari raksasa yang menua. Sudut-sudutnya patah, pintu rak copot. 


Di ruang meja makan lebih hampa lagi. Kosong semua. Ada lampu kuno menggantung miring. Rak sepatu debunya tebal. Kursi-kursi antik yang terlalu besar ukurannya buat orang-orang yang rumahnya milenial seperti saya, tidak terangkut. 


Saya foto semua titik di rumah ini, dari pintu gerbang sampai kamar belakang. Semuanya. 


Berada di sana dan menelan berbagai memori yang melintas tidak membuat saya sedih. Justru saat harus kembali ke Bandung terasa mulai sedihnya. 


Bukannya saya ingin tinggal lagi sana, saya sudah tidak kerasan dengan cuaca pantura yang panasnya tajam. Hanya saja, berada di rumah itu membuatku merasa tua dan hampa. Dan agaknya menyedihkan juga saya tidak menyukai udara panas di Karangampel sementara udara ini yang ikut membesarkan saya. 

 

 


Pengalaman dengan Karangampel membuatku teringat novel berjudul Semasa. 


Di halaman 101 dalam novel tersebut Bibi Sari berkata: hidup memang seperti itu, kamu melepaskan sesuatu, lalu memulai sesuatu. Rumah ini, bagaimanapun, ya benda mati. Yang hidup itu kenangan di dalamnya, juga alasan-alasanannya berdiri. Semua kedekatan emosional yang muncul darinya, juga terhadapnya, itu tidak akan lepas, tidak akan hilang. Aku akan memegangnya terus-menerus, memeluknya di hatiku, sampai kapan pun.