Social Media

Image Slider

Bandung adalah Ibu Tiri #Bandung207

30 September 2017
Sore ini saya sudah berada di rumah. Ini hari Sabtu. Capek. Dua bulan ini pekerjaan saya rasanya gak habis-habis. Alhamdulillah tentu saja. Saya masih punya pendapatan.

Seneng banget rasanya sebelum jam 6 sore udah nyampe rumah. Home sweet home.

Dan tau gak sih, otak saya kayak minta jatah istirahat terus menerus. Makin tambah umur, 24 jam berasa sangat kurang.

Terus karena saya suka nulis, saya merasa waktu untuk menulis saya habis untuk bekerja. Menulis untuk orang lain. Isi kepala saya yang ada malah tambah penat. Dan jujur aja, blogging jadi sangat membosankan.

Waktu untuk membaca pun gak ada.

Kali ini saya mau nulis untuk diri sendiri. Mumpung lagi istirahat. Nunggu ngantuk datang. Padahal saya bisa kali nih baca beberapa halaman buku ya. Yayaya kontradiktif pisan urang teh euy.

Jadi, Bandung kan abis ulang tahun ke-207. Saya udah niat dari kapan mau bikin tulisan dalam rangka dirgahayu tersebut. Ealah mana sempat hahahahaha. Pret banget lah.

Sekarang aja deh nulisnya.

Sering saya baca kalimat bunyinya: Bandung heurin ku tangtung. Artinya, Bandung udah sempit banget gara-gara kebanyakan manusia.

Saya ngerasa, manusia itu saya juga sih. 15 tahun lalu, saya yang anak pesisir ini datang ke Bandung untuk kuliah.

Sejak itu saya betah di Bandung. Udaranya sejuk luar biasa karenanya saya suka. Udah gitu orang Bandung kok ya ramah-ramah amat. Makanannya enak.

Enggak. Saya bukan tukang jalan-jalan. Fitrah itu baru muncul di tahun 2005. Empat tahun pertama, saya mah anak rumahan.

Baru deh abis itu penjelajahan dimulai. Gara-gara suatu kejadian di bulan September 2005 sih.

Bertahun-tahun menjelajahi Bandung, saya kok malah makin kangen kampung halaman sendiri. Karena Bandung, saya bisa lihat potensi daerah nun jauh di sana, lima jam dari Bandung.

Kalian tau Tarling gak? Dangdut pantura? Gila sesuatu yang dahulu saya sebut norak, sekarang jadi obat kangen. Baru denger intronya aja, hati saya udah anget rasanya...

Bandung buat saya adalah kota yang menyenangkan. Di sisi lain, ia menumbuhkan cinta saya pada yang lain.

Tapi saya selalu pengennya pulang ke Bandung. Hawa dinginnya yang saya cinta mati.

Saya ini seperti anak angkat yang masih cinta ibu kandungnya namun inginnya pulang ke si ibu tiri.

Selamat ulang tahun, Bandung.


Serunya Weekend di Grand Tjokro Bandung

29 September 2017
Seminggu yang lalu, Bandung Diary diajak Grand Tjokro Bandung berkunjung ke hotelnya. Saya gak sendirian  karena beberapa blogger juga diundang ikut serta. Acaranya dimulai pagi dan berakhir siang hari. Pada acara kali ini saya bawa serta bocah cilik yang cerewetnya tiada akhir, Nabil. 


Saya datang kepagian. Gak masalah sih sebab di lobi hotel terdapat playground corner. Tidak dipungut biaya. Nabil main dulu sepuasnya sampai acara dimulai. 

Sekitar 30 menit kemudian, kami diminta pergi ke restorannya yang berada di lantai dua. Di sana kami menyantap sarapannya yang super festive saking banyaknya menu yang tersajikan. Gila, menu terbanyak yang pernah saya lihat seumur-umur menginap di beberapa hotel di Bandung. Bayangin pagi itu saya makan apa aja: roti cane kari, churros, omelete dan sosisnya, daging ayam panggang, macaroni schotel, mashed potato, sushi, aneka macam pastry, es krim, nasi kuning, aaarrgghhhh ini sarapan atau menu kondangan buanyak bangeeetttt! 

Untunglah sehabis makan-makan tanpa akhir ini kami beranjak ke lantai enam dan berjalan kaki mengikuti sesi hotel tour. 

Oke. Setelah mencicipi gimana sih rasanya jadi tamu di Grand Tjokro Bandung, berikut ini hasil laporan pandangan mata dan hati saya :D 

Seperti biasa kayak resensi penginapan yang lain, saya mulai dari :

ROOM

Kamar yang saya lihat tipenya Junior Suite yang luas kamarnya 9x4 m. Pemandangan jendela kamar mengarah ke jalan Cihampelas. 

Dari penampakannya kamar ini terlihat berkelas dan super simpel. Interior kamarnya semacam penganut konsep 'less is more'.

Sebenarnya itu tipe kamar yang termasuk mewah. Di bawah tipe Junior Suite ada tipe kamar Premiere, Deluxe, dan Superior.  

sori bednya berantakan :D anak-anak nih pada loncat-loncatan di situ heuheu



Lantainya berhampar permadani. Empuk sudah pasti. Warna di kamar cuma dua macam, cokelat tanah dan putih. Aksen motif warna ada pada permadani dan kain di ranjangnya. 

Ngomong-ngomong ranjangnya empuk sekaliii. Ukurannya king alias lebar sangat! Dan bantalnya tahu gak ada berapa: EMPAT! Hahahaha, ini belum termasuk cussionnya dua buah.

Kebersihan mah sudah pasti baik. 

Di kamar mandi tersedia bathtub (saya cek di Agoda, Superio dan Deluxe mah hanya shower aja). Amenitiesnya super lengkap, sampe sewing kit dan sisir juga tersedia. Ya namanya juga hotel bintang empat. Hehehe. Ukuran kamar mandinya pun lumayan luas alias gak riweuh nyenggol sana-sini.


FOOD

Dari makanan yang saya coba, rasa yang paling menonjol adalah daging panggangnya. Waktu itu saya lihat ada tiga macam daging panggangnya deh, beda bumbu gitu. Saya pilih yang berbumbu barbekyu. 

Tips saya kalau teman-teman menginap di Grand Tjokro Bandung adalah: jangan melewatkan jam makan pagi euy dan usahakan gak makan nasi deh, supaya ruang di perut cukup untuk menampung menu-menu non-nasi yang uhuuuyyyy banyak pilihannya! 

Rasa makanannya selain si daging panggang enak juga kok. Ini kalau kalian bawa anak pun mereka bakal seneng banget karena.... (drumm roll!).... ada es krimnya juga! Saya gak lagi ngomongin es krim yang satu skup vanila atau cokelat gitu ya. Satu freezernya dipajang, pilihannya banyak! Hahahaha. 

 

SERVICE

Gak bisa saya ceritakan banyak-banyak karena saya belum berinteraksi banyak dengan para pegawainya. So far so good. Begitu masuk hotelnya mereka sudah menyapa saya. Bahkan menawari untuk ikut serta cooking class bikin pizza :) 


LOCATION

Ini nih yang suka jadi bahan pikiran kita-kita kalau menginap. Hotelnya strategis gak? Menurut saya nih yang orang Bandung, Grand Tjokro Bandung lokasinya bagus. Dia berada di Jalan Cihampelas. 

Biasanya turis-turis pada ke mana kalau traveling di Bandung. Setahu saya pasti ke Lembang, Dago, Cihampelas, dan tentu saja kawasan Asia Afrika. Semua lokasi itu tuh terhubung dengan Cihampelas. Apalagi ke Lembang, kalau gak macet mah 40 menit juga sampai. Tapi bila macet mah ya jangan ditanya heuheuheu. 


Lagipula Cihampelas itu seru juga untuk dijelajahi. Ada mall favorit saya (karena toiletnya selalu bersih, pedestrian walknya bagus, dan pelopor mall dengan mushola bersih dan sangat layak pakai: CiWalk. 

Belum lagi SkyWalk Cihampelas, jalan layang yang membentang sekitar 500m khusus untuk pejalan kaki. Di Indonesia yang kayak gini cuma ada di Bandung. Masih kurang? belanja sandang dan oleh-oleh Bandung bisa banget di Cihampelas. 

Masih kurang juga? nyari kafe-kafe lucu tinggal loncat (saking deketnya hehehe) ke kawasan Ciumbuleuit. Saya rekomendasikan kafe bernama Kiputih Satu yang manis dan gak bikin mata pusing karena dekorasinya yang sederhana tapi buagus banget. Ada juga Lereng Anteng, Paradesa, Warung Sombar, dan burger enak-enak di Brother John and Sons, Garage 107, dan yang lagi hits nih namanya Kalpa Tree.

Mau ke Dago pun deket. Intinya sih Jalan Cihampelas ini termasuk jalan utama di Bandung dan terhubung dengan jalan-jalan hits lainnya. Superb!  


FASILITAS

Saya udah cerita ya di awal tulisan bahwa di lobi hotel tersedia playground untuk anak-anak. 

Lumayan seru mainnya. Ada mobil-mobilan, puzzle, boneka, dan beberapa mainan yang berhubungan sensorik anak-anak. 

Abis itu kami ke Rooftop Garden yang ternyata bisa disewa untuk wedding party. Ruangannya outdoor dan indoor. Buat merayakan ulang tahun juga bisa nih. 

Gak cuma itu, sebagai hotel berbintang empat, Grand Tjokro juga menyediakan gym, spa dan kolam renang dua buah: untuk orang dewasa dan untuk anak-anak. Ohiya, airnya gak hangat yak. Dan di akhir acara hotel-tour ini kami berenang ramai-ramai. Hehehe. Seru! 


Kolam renangnya ada di rooftop. Di dekat kolam renang ada playground juga. Puas-puasin main!


WEEKEND SERU DI GRAND TJOKRO BANDUNG

The joy is not over yet. Sebelum berenang, kami makan-makan lagi dong. Uniknya makanan yang kami santap adalah buatan sendiri alias hasil karya anak sendiri :D 

Di restorannya Grand Tjokro Bandung yang bernama Street Grill and Friends, kami ikutan kelas memasak menu pizza!

Bahan-bahan sudah tersedia. Kami tinggal mencampur aneka bahan sesuai panduan chef. 

Supreme Pizza yang kami buat ini merupakan menu best sellernya Street Grill and Friends. Bahan-bahannya gampang aja, tapi kok saya bikin sendiri di rumah hasilnya beda jauh ya hahaha. Ah ya bahannya beda kali nih. 

 

Ini bukan cooking class yang pertama Nabil dan saya ikutin. Walo begitu, setiap kelas memasak yang kami ikuti bersama selalu seru-seru! Termasuk cooking class di Grand Tjokro Bandung ini nih. Ditambah ini pertama kalinya kami masak pizza barengan hehehehe. Menguleni adonan pizza aja drama banget karena saya nuangin terlalu banyak air heuheuheu. Drama berakhir setelah chef resto yang lincah dan cekatan membantu kami :D 

Yah kotor-kotor dikit gak masalah, udah pake apron yang warna-warni juga sih. Hehehe. 

Pizzanya bikin sendiri dan kami makan sendiri. Yummy enak banget! Habis sekejap mata saja hahaha. Delapan iris gede-gede, cukup untuk bekal makan siang. 

Resto Street Grill and Friends bukan hanya menyediakan cooking class, tapi juga available untuk arisan, perayaan ulang tahun, reuni, dan acara sejenisnya. Dan khusus untuk acara kayak cooking class ini nih diselenggarakan di akhir minggu. Seru ya.


RATE

Grand Tjokro Bandung tersedia di hampir semua web dan aplikasi booking online. Harganya dimulai dari 600ribuan. 

Memesan online di web Grand Tjokro juga bisa, cek ke web http://www.grandtjokro.com/. Harganya saya perhatikan cukup bersaing. Belum lagi kalau ada kode promo, lumayan diskonan :D 

Sering-sering cek atau sekalian aktifin notifikasi Grand Tjokro Bandung deh di Instagram, nama akunnya @grandtjokrobandung.

Bila ingin staycation di Bandung, Grand Tjokro Bandung adalah pilihan tepat. Sempurna untuk pejalan tipe keluarga atau bagi yang ingin ajak jalan-jalan keluarga besarnya. Wifi ada di seantero kamar dan penjuru hotel, gratis. 

Bagian seru lainnya adalah beberapa fasilitas bisa dinikmati pengunjung yang tidak menginap di hotel Grand Tjokro. Kayak kolam renang, biayanya 100K. Lalu cooking class juga dapat diikuti tamu yang gak nginep, biayanya 100K juga. 


Grand Tjokro Bandung

Jl. Cihampelas no. 211-217 Bandung
Facebook Fanpage : Grand Tjokro
 





Teks: Nurul Ulu
Foto: Nurul Ulu

Masjid Kaliwulu: Situs Kuno Di Balik Batik-batik Trusmi

07 September 2017
Sinar matahari dosis tinggi tak menyurutkan niat turis-turis domestik berbelanja kain batik. Mumpung masih jam 9 pagi. Cuaca panas menyengat, masuk ke toko-toko batik yang berjejer itu lebih menyenangkan sebab bisa menyejukkan diri dengan mesin pendingin udara di dalamnya. 

Namun saya dan Indra urung membeli oleh-oleh khas Cirebon di Trusmi. Tujuan kami di Kampung Batik Trusmi berada agak jauh dari keramaian, menepi ke sisi terjauh Desa Trusmi yang senyap.

Desa Kaliwulu merupakan tetangga dekat Desa Trusmi. Masjid kuno nan keramat bernama Masjid Kaliwulu berada di sekitar perbatasan kedua desa tersebut. Rasa penasaran akan masjid yang antik membawa saya padanya.



Dari mulut Jalan Panembahan Plered yang merupakan gerbang masuk ke Kampung Batik Trusmi, Indra kemudikan kendaraan lurus saja mengikuti Jalan Syekh Datul Kahfi menuju Jalan Ki Natagama.  Terima kasih Googlemap :D 

Jalan mulai agak lengang dan menyempit. Kendaraan diparkir dan kami memutuskan menumpang becak. Tawar menawar harga, sepakat di angka Rp10.000 bolak-balik ke dan dari Masjid Kaliwulu.

Menyusuri jalan kecil menuju masjidnya dari dalam becak, saya pikir sebenarnya mudah saja melaluinya dengan berjalan kaki. Tapi anu lho, panasnya luar biasa. Padahal baru jam 9 pagi saja. 

Kira-kira 1,5 km dari mulut jalan Ki Natagama dan melewati barisan rumah, kami bermuara ke sebuah tempat yang hening. Di situlah Masjid Kaliwulu berada.

Kesunyian Masjid Kuno Kaliwulu

Becak berhenti di dekat makam-makam warga yang jadi halaman depan Masjid Kaliwulu. "Makam keramat ada di belakang masjidnya," ucap Pak Sobari - tukang becak- tanpa saya tanya. Dia pikir saya mau ziarah kali ya :D 

Saya memintanya menunggu sembari saya menjelajahi masjidnya. Sepi sekali suasana masjidnya. Pohon besar-besar dan hamparan nisan membuatnya lebih temaram. 

Sekilas memandang dari luar, masjid yang dipagari tembok bata merah setinggi 1,5 m ini tampak luas. Lebar sisi depannya saja kira-kira 50 meter. Pepohonan rindang menaungi makam dan sebagian wilayah masjid. Perasaan sejuk mendekap.



Dari beberapa literatur yang saya baca di internet, masjid ini disebut berumur lebih dari 200 tahun ini. Sayangnya tahun pendirian masjid tidak tercatat pada badan masjid. Namun terdapat balok kayu di bagian atas pintu masuk ke ruang utama masjid yang mencantumkan informasi dalam huruf arab tahun perbaikan masjid, yakni tahun 1826. 

Masjid Kaliwulu didirikan oleh putra dari Pangeran Panjunan yang mendirikan Masjid Merah Panjunan. Namanya Syekh Abdurrahman. Oleh karenanya Masjid Kaliwulu dikenal juga dengan nama Masjid Keramat Syekh Abdurrahman. Nama Kaliwulu diambil dari sungai di belakang masjid. Lagipula pelafalan Kaliwulu lebih mudah diucapkan sih. 


Baca juga: Menelusuri Rumah Kuno di Cirebon


Ada tiga pintu gerbang masuk ke Masjid Kaliwulu. Seperti pada umumnya gerbang-gerbang di Cirebon, di sini gerbangnya berwujud gapura dari bata merah.

Menilik masjid dari halaman depannya, saya bisa lihat ada beberapa atap. Pada bangunan masjid semuanya beratap genteng. Sementara bangunan makam Syekh Abdurrahman beratap sirap. Di bangunan utama masjid atapnya tumpang dua. Pada pucuk masjidnya terdapat Memolo (ukiran). 

Tiap bagian di kompleks Masjid Kaliwulu memiliki fungsi dan nama. Wilayah makam keramat dinamakan Pasarean. Tempat sembahyang di luar ruang utama masjid dinamakan Pawestren. Ada pula bangunan Pendhapa (serambi). 

Meski sekarang tersedia keran air untuk berwudu, dua sumur masih lestari keberadaannya, terletak di sisi selatan dan utara masjid. Di sebelah pintu masuk ke Pasarean ada kendi ukuran besar untuk berwudu sebelum masuk ke area makam. Saya membasuh muka dari kendi tersebut. Ah segar sekali, airnya dingin terasa sejuk.

Saya minta izin pada pengurus masjid untuk memasuki ruang utama masjid, bagian asli dari masjidnya. Namun ia menolak. Saya hanya bisa menginjakkan kaki di ruang tengah masjid yang merupakan gabungan dari bangunan lama dan baru, yaitu Pawestren dan Pendhapa.

Sebelum masuk ke Pendhapa, saya berpapasan dengan dua orang yang hilir mudik di luar pintu makam Syekh Abdurrakhman yang dikeramatkan. “Mau kliwonan, Mba”, tutur salah seorang laki-laki muda, mungkin umurnnya 15 tahunan. Saya cek kalender online. Rupanya kedatangan saya pada hari kamis itu menjelang hari yang istimewa. Ah mana saya tahu kalau malam nanti malam jumat kliwon...heuheu. 


Di Dalam Pendhapa

Dari buku berjudul Masjid Kuno Cirebon tulisan Dr. Eng Bambang Setia Budi Dkk disebutkan, di dalam ruang utama masjid terdapat empat sakaguru dan delapan sakarawa. Dari total 12 tiang di ruang utama, terdapat satu tiang penuh ukiran. Sayang sekali saya belum berkesempatan untuk melihat tiang dengan ukiran yang konon indah sekali tersebut.

Sebelum masuk masjid kami berwudhu dulu. Formalitas aja sih, tapi Indra emang udah niat mau sholat katanya. 

Kami menginjakkan kaki terlebih dahulu di Pawastren. Lantainya keramik zaman sekarang yang membosankan itu lho :D Tapi kalau tengadahkan kepala lihat atap/langit-langitnya, whuidih masih kayu malang melintang. Belum lagi ada kaca-kaca patri sebagai dekorasi. Pawastren ini memang bangunan baru sih, fungsinya menampung tambahan umat utamanya kaum perempuan. 

Habis itu kami masuk ke Pendhapa dan menahan napas barang sedetik dua detik sebab terpesona dinding Paduraksa yang terlihat kokoh, gagah, dan luar biasa cantik. 



Bila pernah mengunjungi Masjid Merah Panjunan yang di dindingnya unik karena ada piring-piring tertanam di dalamnya, maka seperti itu lah pemandangan yang kami saksikan di dalam Pendhapa Masjid Kaliwulu. Hanya saja di sini warna dindingnya putih. Piring-piringnya pun kebanyakan polos tak ada gambar seperti di Masjid Panjunan. 

Ruang utama masjid dengan Pendhapa, dipisahkan Paduraksa. Tempat di mana saya dan Indra berdiri itu dahulu merupakan teras masjidnya. Saya dan Indra menyentuh dindingnya, meraba piringnya. Ah begini kali nih rasanya ada di lorong waktu :)

Kami juga mengintip-intip ke ruang utama dari celah pintu. Ah ingin masuk ke dalamnya tapi mana bisa. Pintu kayunya dikunci dan juga tidak dapat izin dari pengurus masjid. 

Ya sudah mengintip juga sudah cukup. 



Memendarkan pandangan ke sekeliling ruang Pendhapa, saya melihat ada empat tiang sakarawa. Satu dari empat tiang tersebut dibungkus kain putih. Tiga tiang bersih tanpa ukiran. Bagian bawah tiang disangga umpak batu. Tiang terbungkus kain putih adalah tiang yang umurnya sudah tuaaaaa sekali. 

Entah apa alasannya kenapa dibungkus kain putih. Mungkin dikeramatkan. Bisa jadi juga untuk melindungi tiang kuno tersebut dari kerusakan. Tapi saya lebih yakin alasan keramat itu sih.

Pada bagian pendhapa terdapat dua pintu antik nan mungil beratap rendah di sisi utara dan selatan. Pintunya tertutup karena sudah ada pintu pengganti yang normalnya kita lihat sekarang lah bentuknya. Di sisi pintu-pintu kuno itu lah terdapat sumur untuk berwudhu.

Nah di Pendhapa ini lah muncul perasaan takut yang merayap ke punggung dan leher saya. Ditambah pula saya mengintip-intip ruang utama dari celah pintu. Ugh senyapnya luar biasa. Minim cahaya, temaram menambah kesan angkernya. 

Indra menyempatkan sholat dhuha. Saya enggak. Hanya duduk memandang keindahan dinding dan paduraksa sambil kipas-kipas muka. Juga sambil mengenang tempo dulu suasananya bagaimana. Usai sholat dan merasa cukup melihat Pendhapa, kami keluar dan saya dengan santainya masuk ke ruang sumur. 

Sebenarnya ruang sumurnya terbuka sih, sumurnya ditutup dinding warna merah setinggi 165 m tanpa atap dan pas masuk gak langsung ketemu sumurnya, sedikit berkelok lah baru ketemu sumurnya. Dan di sini lah hawa horor itu menjadi-jadi, terasa begitu kuat. 

Perasaan aneh yang 'gelap' dan horor ini terbawa hingga ke rumah, bahkan saat saya di Bandung pun rasa merindingnya masih melekat, seperti ada beban menempel di pundak.  

Beberapa kali mengunjungi situs kuno, tapi gak semua dari tempat itu meninggalkan hawa yang angker meski tempatnya emang menyeramkan. Masjid Kaliwulu ini beda banget auranya, perasaan yang sama pernah saya alami di situs Gunung Padang Ciwidey. Perasaan angkernya terbawa hingga ke rumah berhari-hari lamanya.


Kalo diperhatiin dari fotonya sih kayak yang biasa aja ya gak ada yang bikin merinding. Mesti ke sana langsung deh. Hawa mah tak terlihat. Enaknya dirasakan sendiri.

Gak apa-apa sih, namanya juga tempat keramat dan kuno. Terlepas dari aura tak sedap yang bikin gelisah, Masjid Kaliwulu ini sungguh masjid yang indah. Walau sudah ditambah ruang-ruang baru, tapi keasliannya masih terjaga dan saya menyukainya. 

Dan juga nama masjidnya mirip nama saya, ulu = wulu. Ehehehe maksa :D 

Bila datang ke Cirebon, ayo datangi situs-situs kunonya. Pengalaman wisata yang sungguh berbeda bila dibandingkan dengan berbelanja benda-benda atau swafoto belaka. Yang ini namanya belanja pengalaman, gak bisa dibeli dengan uang. 



Bila Ingin ke Masjid Kaliwulu

1. Masjid Kaliwulu, paling mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi. Namun bila menggunakan transportasi umum pun tak masalah. Buka aplikasi Googlemap untuk penunjuk jalan.

2. Selain ojek, pilihan menumpang becak bisa jadi keasyikan tersendiri. Dari pusat kota Cirebon ke Plered menaiki angkot. Berhenti di Plered, tinggal dipilih ojek atau becak yang ingin ditumpangi. Sekarang di Cirebon ada Gojek dan Grab sih. Tapi kayaknya bakal repot pas pesen mereka dari Kaliwulunya. 

3. Belajar menggunakan bahasa lokal. Tak usah banyak kosakata, cukuplah kata ‘terima kasih’ dalam bahasa cirebonan.

4. Setiap masjid ada kuncennya. Pastikan meminta izin dahulu sebelum memotret, apalagi bila menggunakan kamera DSLR.

5. Berhubung tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat ibadah sekaligus tempat yang dikeramatkan, pakaian yang kita kenakan harus sopan dan berperilaku lah santun.




Teks : Ulu
Foto : Indra Yudha, Nurul Ulu

Sebab Efek Rumah Kaca Adalah Cinta Lama

04 September 2017
Efek Rumah Kaca adalah cinta sejak tahun 2007. Seneng bangetngetnget saya bisa dengar mereka secara langsung, semalam di Teater Terbuka Dago Tea House (3/9/2017) dalam Konser Sepenggal Rindu. Beruntung saya bisa hadir di sana yang vibe penontonnya cakep, soundnya bagus, dan latar panggungnya apik banget! 


Saya datang satu jam lebih awal sebelum pintu gerbang dibuka. Antisipasi antrean masuk pintu gerbang. Dua temen saya nonton, Unis dan Akbar, datangnya pas jam 6 sore. Kami sempet terpisah tapi ketemu lagi dan duduk bareng pas konsernya mau dimulai.  
 
Dago Tea House juaranya sih buat konser atau gigs musik. Ruang akustiknya bagus dan vibenya sejuk karena namanya juga Dago Atas gitu. 
 
Ditambah waktu konser si tata suaranya apik. Malamnya pun cerah. Di dalam tas saya sudah berbekal jaket jaga-jaga kalau hawa terlalu dingin. Juga ada jas hujan untuk penangkal kebasahan kalau turun hujan. Keduanya tidak terpakai. Udaranya dingin tapi tidak menusuk. Rembulan aja menggantung-gantung di atas kepala kami dan langitnya bersih hanya saja gak berbintang.

Benar-benar malam itu salah satu malam terbaik yang pernah saya alami. Cakep semuanya.

Kata Mayang, temen lama yang panitia acara, jumlah penonton ada seribu. Kapasitas tempat memuat 1800 orang. Tapi Omunium, orgasinator acara, gak mau jual tiket banyak-banyak. "Biar penonton bisa menikmati acaranya sih," kata Mayang. Waaagh makasih, Omunium!

Dan itu tuh tiketnya udah sold out! Si Mayang cerita dia minta tiket tambahan ke bos dan mau dia jual 300K di jalan Dago. Sinting. Hahaha. Bosnya gak mau. 1000 orang is 1000 orang!

Harga tiketnya 75K aja. Terhitung murah buat saya mah demi nonton ERK. Mana tempatnya asyik gitu.

Dan senangnya lagi nontonnya gak kehalangin kepala/badan penonton lain. Ampiteater sih namanya juga. Ditambah penontonnya tertib-tertib. Gak ada serobot tempat atau gencet-gencetan. Masuknya rapi, milih tempat duduk juga gak kayak anak kecil rebutan permen atau ibu-ibu rebutan antrian di Alfamart. 

Ya palingan pas tiga lagu terakhir sih penonton yang duduk di barisan depan maju mendekat dan naik ke panggung dan beberapa dari mereka berswafoto. Swafoto dan (nampaknya) rekam instastoriesnya dengan latar si Cholil lagi nyanyi. Gak cewek gak cowok, hayoh weh swafoto/video. Untuk sejenak, menjadi penonton konsernya Ayu Tingting dan Efek Rumah Kaca jadi terasa sama aja. Smartphone emang bikin kita jadi banal. Heugh. 

Saya gak banyak rekam konsernya, baik dalam bentuk foto dan video. Pengen menikmati suasananya. Pengen ikutan nyanyi keras-keras tapi gak dimarahin orang (karena saya tahu suara saya jelek :D). Pengen menyalurkan perasaan yang sama tentang lagunya barengan dengan Efek Rumah Kaca-nya. Pengen merasakan apa kalau denger Cholil nyanyi langsung darah saya sama mendidihnya waktu denger Mosi Tidak Percaya dan lagu Merah, juga Biru. Pengen dipuas-puasin tanpa terganggu gadget. Sekaligus menghormati penonton yang ada di belakang saya.

Efek Rumah Kaca barangkali di album barunya nanti mau bikin lagu tentang kelakuan orang-orang dan smartphonenya yang banal itu? 

Secara keseluruhan konsernya menyenangkan. Mestakung. Bahkan saya merasa baik-baik saja saat penonton di samping saya ini -selama 3,5 jam acara berlangsung- merokok 10 batang (ini hiperbolis amat ya :D Hahaha. Bah teu paduli lah sebanyak apa dia ngudud yang penting saya bisa nyanyi bareng Efek Rumah Kaca. Toh tempatnya juga ruang terbuka jadi asap rokoknya bertebaran ke angkasa.

Dan semua orang ikut nyanyi bareng si Cholil. Saya juga lah :D

Tenggorokan saya kering. Sepanjang konser ikut nyanyi. Kecuali dua lagu: Putih dan Jingga. Sedih ternyata kalau denger langsung. Gak bisa gak nahan air mata. Tercekat. Jadi teringat-ingat orang terdekat yang udah gak ada, terutama ayah saya.


Kayaknya hampir semua lagu di album Sinestesia keluar. Dari album Kamar Gelap dan Efek Rumah Kaca hanya 5-7 lagu yang dinyanyikan. Cmiiw.

Salah satu lagu favorit saya gak keluar. Dia adalah Jangan Bakar Buku. 

Ah ya gak apa-apa. Senggaknya Melankolia, Jingga, dan Di Udara juga Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa semalam berkumandang.

Begitu juga dengan Sebelah Mata. Saya ngarep-ngarep ada Adrian tiba-tiba masuk ke panggung pada waktu komposisi tersebut dilantunkan. Tapi gak ada, gak apa-apa. Saya bisa ikut nyanyiin lagu ini, dengan mata berkaca-kaca :')

Dan jujur aja gak semua liriknya Efek Rumah Kaca saya ingat. Mana kosakatanya rumit-rumit :D Untunglah ada layar besar di panggung dan menampilkan lirik-lirik dari lagu yang ERK bawain. Jadi ajah ikut nyanyinya enakeun. Kayak karaoke.

Sampai di rumah, saya masih denger ERK dari playlist di laptop dan smartphone. Sepertinya bakal begini terus sampai banyak hari di depan. 

Terima kasih, Efek Rumah Kaca
Terima kasih, Omunium