Social Media

Image Slider

Buku-Buku Sejarah Bandung: Romantisme Belaka atau Kritik Terhadap Penindasan?

23 January 2023

Perkebunan priangan memasok banyak uang ke kantong pemerintahan Belanda di masa kolonial. Bagi pribumi sebaliknya, kehadiran perkebunan komersial tersebut memberi penderitaan. Sistem tanam paksa menjadikan tanaman kopi sebagai kutukan. 

 

Diskusi buku di kedai jante bandung


Namun dari hasil perkebunan Bandung berkembang. Tadinya hutan belantara menjadi kota besar. Jalur transportasi dan komunikasi dibuat dan roda perekonomian berputar cepat, hingga Bandung hampir menjadi ibukota Hindia Belanda.

Perjalanan sejarah Bandung di masa kejayaan perkebunan priangan itu dapat kita baca dalam buku Pesona Sejarah Bandung yang ditulis Ryzki Wiryawan. Buku ini merupakan buku berbabak.

Saya membaca kedua bukunya dan menurutku ini buku yang jenius. Limpahan datanya lengkap dan kronologis rentetan peristiwa sejarahnya ditulis teratur dan ringan. Cocok dibaca sebagai acuan bagi pelajar, mahasiswa-mahasiswi, pemandu perjalanan, peneliti, pecinta sejarah, maupun warga kayak saya pada umumnya.

Babak pertama bukunya terbit tahun 2020 dibuka dengan judul Bandung Hingga Awal Abad 20. Babak kedua rilis tahun 2022 bertajuk Perkebunan di Priangan. Ryzki mengatakan buku Pesona Sejarah Bandung akan terbit sebanyak enam jilid dan tiap jilidnya mempelihatkan babak sejarah Bandung yang berbeda-beda.

Dalam diskusi buku #KajianJumaahan di Kedai Jante pada jumat malam 20/01/2023, Teh Nurul Sisilia secara jeli membahas topik kopi dan teh. Sehingga obrolan buku Pesona Sejarah Bandung mengerucut pada nasib perkebunan di masa kini dan budaya minum air teh dan kopi. 

 

diskusi buku kedai jante bandung
suasana di Kedai Jante, Jl Garut 2


Dalam buku Pesona Sejarah Bandung disebutkan kopi adalah kutukan dan teh merupakan anugerah, sebaliknya hari ini di tahun 2023 tanaman kopi adalah anugerah dan daun teh itu kutukan.

Salah satu pengunjung diskusi, Sopian, mengatakan harga kopi perkilogram mencapai angka Rp16.000. Sementara teh harga perkilogramnya hanya Rp2.200, belum lagi dipotong upah petik buruh teh sebanyak Rp600/kg. “Perkebunan yang ada di buku ini sekarang banyak yang tinggal kenangan,” katanya lagi. Perkebunan teh hari ini memang jumlahnya sedikit dibandingkan di tahun-tahun lampau.  

Lantas bagaimana caranya agar kondisi perkebunan teh kembali bangkit dan mengulang kembali era kejayaannya? Ryzki menjawab “perkebunan dikelola pihak swasta, bukan pemerintah.”

 

Ryzki Wiryawan Pesona Sejarah Bandung
Ryzki Wiryawan penulis buku Pesona Sejarah Bandung


Rifat, wartawan Detik.com dan penulis Atep Kurnia yang hadir ikut bercerita bahwa di masa kecilnya minum teh adalah kebiasaan di kampungnya sehari-hari. Kang Atep bilang bekal air minumnya saat dulu menggembala embe adalah air teh. Sementara Rifat mengatakan “kalo di tempat saya, air putih biasanya dijadiin air doa,” ujar Rifat.

Air doa yang dimaksud adalah air yang dibacakan ayat suci Alquran dan berbagai doa oleh orang pintar atau ulama, ditujukan untuk mengobati penyakit. Saya dan keluarga masih mempercayai praktik minum air doa ini.

Dalam praktik sehari-hari di Bandung, saya sering melihat air putih dijadikan air untuk kesembuhan. Air kopi disajikan sebagai menu pleasure di kafe-kafe, uniknya kopi juga disuguhi sebagai bagian dari ritual sesajen. Dan air teh sebagai air minum sehari-hari warga pada umumnya.

 

diskusi buku kedai jante bandung
(ki-ka) Ryzki, Hilal peserta diskusi, dan Nurul Sisila

 
Penutup obrolan diskusinya pun menarik, buku-buku sejarah seperti ini apakah hanya mengandung romantisme belaka ataukah memberi pembacanya insight akan penindasan imperialisme? Menurut saya sih keduanya. Ada buku-buku bertema nostalgia seperti buku yang disusun oleh Katam Sudarsono, misalnya. Namun ada juga buku yang menunjukkan ketimpangan sosial dan politik seperti dalam bukunya Ryzki ini.

T Bachtiar, penulis dan geolog yang memberi kata pengantar dalam buku Pesona Sejarah Bandung, Perkebunan di Priangan, menulis begini: kehadiran buku ini sesungguhnya merupakan kritik yang amat keras dengan cara yang amat lembut.

Di Javaco Beli Kopi Arabika dan Memotretnya dari Jalan Kebon Jati

15 January 2023

Kesal juga kalo foto jepretan kita digunakan orang lain tanpa seizin kita. Namun hal-hal kayak gini sudah lumrah terjadi. Zaman digital namanya juga. Gak apa-apa sih gak permisi kepada pemilik fotonya, tapi cantumkan nama pemilik dan linknya wajib deh kayaknya. Iya gak?

Untuk itulah saya datang ke Toko Kopi Javaco di Kebon Jati. Sengaja saya datang ke sana untuk buat tutorial motret kopi Javaco di depan tokonya. Foto milik saya yang anglenya di seberang toko itulah yang terbanyak direpost dan diambil akun-akun travel. Gak banyak sampai puluhan kali kok, hanya 6x kayakya ada. Hahaha enam kali aja udah ganjen bikin tulisan di blog begini kenapa ya? 

 

kopi javaco bandung


Saya posting tutorial motret Javaco di Kebon Jati tiada lain dalam rangka menyindir mereka yang posting foto Javaco milik saya tanpa permisi. Namun entahlah apakah sindirannya diterima pelaku. Hehe.

Pada malas atau gimana sih? Motretnya gampang banget padahal nih. Saya mulai ya tutorialnya.

1. Datangi Toko Kopi Javaco di Jalan Kebon Jati 69 Bandung. Jangan malas terus modal save picture atau capture foto orang. Ayo keluar rumah, keluar kantor, dan datang ke tokonya. Buka pukul 9 pagi. Tutupnya jam 2 siang. Tidak ada plang nama toko. Hari minggu tutup.

2. Beli kopinya. Jangan minta gratisan, apalagi ditukar dengan exposure instagram dan tiktok. Gak. Jangan. Selalulah beli di tempat-tempat seperti ini.

Ada Arabica, Robusta, dan Melange. Kopi Javaco yang Melange kalo gak salah campuran antara robusta dan arabica (cmiiw). Semua kopi di sini level gilingnya medium alias giling kasar. Jadi menyeduh kopinya harus dengan air ngagolak pisan (air panas mendidih).

Kita bisa beli 1 ons paling sedikit.
1 ons arabica Rp17.000

 

kopi javaco bandung


3. Untuk memotret kopi di Javaco di depan tokonya belilah kemasan 250 gram atau 500 gram agar volume kemasannya cocok dengan tangan kita dan ukuran bangunan toko. Kan ceritanya mau motret di seberang tokonya nih. Kemasan kopinya kita pegang dan latar fotonya adalah bangunan toko Javaco.  

Saya pernah beli 1 ons, 250 gram, dan 500 gram. Tercocok kemasannya bila ingin memotret si kopi berlatar bangunan tokonya dari seberang jalan adalah 500 gram.

4. Waspada saat memotret. Mengingat lokasi kita berada di pinggir jalan raya yang ramai. Khawatirnya kita terserempet kendaraan, menghalangi pengguna jalan, dan kena jambret.

Ajak teman saja dan minta ia menemani. Kita sibuk berfoto dan dia menjaga kita. Beuh dijaga-jaga segala baik pisan kalo ada teman begini yah hehe.

5. Selalu ada kendaraan parkir tepat di seberang Javaco. Sementara menurutku angle terbaik motret kopi Javaco dengan latar bangunan tokonya yang antik adalah tegak lurus dengan bangunannya.

Jadi antara nunggu jalanan kosong banget (berkat lampu merah di perempatan kebonjati-gardujati-pasir kaliki) atau motret dari samping.

Semoga beruntung dapat titik tepat di seberang dan di hadapan toko Javaco ya.


kopi javaco bandung

 

6. Udah fotonya? oke cek dulu barangkali kurang banyak pilihan foto. Kalau sudah okelah bisa cabut. Hehe.

Gitu aja. Gampil ya! Tulisan lama Kopi Javaco yang pernah saya tulis tahun 2016 bisa dibaca di sini yah.

Bye, Javaco!

Bye juga kamu yang suka posting-posting foto milik orang lain dan gak cantumin photo creditnya.

Street Food dan Kipas Anginnya

13 January 2023

Sejak Bandungdiary punya akun di TikTok dan bikin postingan video di sana, saya rekam banyak sekali video kipas angin di berbagai tempat yang saya datangi. 


Awalnya tujuanku merekam benda itu buat footage aja sih, tapi lama-kelamaan saya menjadikannya kewajiban. Sebab hampir di semua tempat yang saya datangi, yang tidak ber-AC, ada kipas anginnya. Terutama tempat makan ala-ala makanan jalanan gitu. 




Saya perhatikan merek kipas angin terbanyak adalah Cosmos. Diikuti Sanex. Kuitung pake feeling aja. Makin mewah tempatnya makin mahal kipas anginnya, semacam Krisbow gitulah mereknya. 


Saya masih ingat video kipas angin pertama yang saya rekam berlokasi di Batagor Isan Jl. Moh Toha. Saat itu saya butuh transisi video yang bendanya berputar karena saya merekam video sedang mengaduk minuman. Supaya nyambung saya tandem dengan video kipas angin. Cocok kan yah, video ngaduk minuman dan kipas angin yang sedang berputar. Wkwk. 


Nyambung-nyambungin yang saya bayangkan belum tentu sama kesatuannya dengan yang orang lain lihat. Yha memang, tidak mengapa. 


Sejak momen di Batagor Isan itulah saya berkata pada diri sendiri saya akan merekam kipas angin yang banyak.


Saya menulis di instagram bahwa semoga tahun 2023 ini ada banyak video kipas angin yang bisa kurekam. Tentu saja maknanya lebih dari sekadar rekam-rekam aja. Sebab untuk melakukan itu semua saya harus dalam kondisi sehat. Masih hidup, tubuh fit, dan ada uang. 

 

 


Semoga tahun 2023 saya bisa rekam kipas angin gak hanya di Bandung. Tapi juga lintas kota dan lintas negara. Seperti halnya tahun 2022, saya bertemu kipas angin di Jogjakarta dan Cilacap. 


Temanku bilang ini namanya filosofi kipas angin. Hahaha mungkin juga tapi seperti kata Pramoedya: hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya.

Beli Obat Sakit Lambung di Babah Kuya

07 January 2023

Kalau sakit lambung kambuh, saya bergegas beli jamu di Babah Kuya. Awalnya sih iseng aja coba jamu buat mengobati sakit maagh. Saya membelinya di Babah Kuya Hijau. Wah ternyata cocok sekali, kondisi lambung saya membaik sejak mengonsumsi jamunya. Udah deh saya jadi langganan mereka. 

 

 toko babah kuya pasar baru bandung


Toko Babah Kuya berlokasi di belakang Pasar Baru kota Bandung. Begitu masuk tokonya udah menguar wangi-wangian jamu. Wanginya kayak di rumah orang yang udah sepuh gitu sih. 


Di Pasar Baru ini ada dua toko Babah Kuya dan mereka bersebelahan. Satu toko warnanya hijau dan berukuran besar. Mudah dilihat. Toko satunya lagi warna cat kuning dan berukuran lebih kecil. 


Entahlah apa yang terjadi sehingga ada dua toko dan nampaknya kedua toko tersebut tidak akur. Tokonya sendiri udah tuaaa banget. Udah seumur dengan kota Bandung, kota ini kan resmi berdiri tahun 1810. Nah tahun-tahun segitulah Babah Kuya udah ada. 


Namun mengetahui penyebab mengapa tokonya ada dua bukanlah urusan saya, sebab saya mau beli obat aja di Toko Babah Kuya. Saya pun membeli bergantian di kedua toko tersebut. Meskipun obat sakit lambung yang kubeli di Toko Babah Kuya kuning lebih murah tapi saya tetap menggilirnya.

 

 beli jamu di toko babah kuya


Satu ons obat lambung Rp25.000. Obatnya sudah berbentuk jamu. 


Di Babah Kuya ada banyak simplisia. Simplisia ini bahan alami yang telah dikeringkan. Kalo diperhatiin simplisia di Babah Kuya yang terlihat adalah simplisia nabati: batang, akar, daun, kulit buah, bunga, biji. Gak tahu yang kalo simplisia hewani ada atau enggak. Hehe.


Kalo kamu atau keluargamu ada penyakit apa saja coba deh datangi toko Babah Kuya, tanyakan pada cici dan kokonya semacam konsultasi kecil-kecilan. Nanti mereka akan rekomendasikan obatnya. Namun menurut saya sih kalo penyakitnya akut dan parah, baiknya konsultasi ke dokter dulu yah. Khawatirnya kamu ada alergi bahan tertentu sih. 


Jadi jangan tanyakan pada saya ada racikan obat apa saja di Babah Kuya. Silakan tanyakan langsung di tokonya yah. Kalo obat sakit lambung sih udah kujawab di atas yah. 

 

beli jamu di toko babah kuya


Kehalalan produknya tidak saya ketahui, buatku sih selama masih diracik dari simplisia nabati masih halal kali yah? 


Toko Babah Kuya buka senin-sabtu. Pagi sampai sore. Entah jam berapa. Datang saja sekitar pukul 09.00, bila sore datang sebelum jam 4. Alamatnya google aja. Pembayarannya bisa transfer dan bisa tunai. 


Babah Kuya melayani pembelian online. Sejak pandemi pun saya perhatikan mereka menyediakan nomor wa untuk pembeli jarak jauh. 


Gitu aja. Warga Bandung silakan datangi langsung tokonya dan belanja obat herbal di Babah Kuya. 

 

babah kuya pasar baru bandung

Gang-Gangan Menyaksikan Sisa Bongpai di Badran

03 January 2023

Hari sabtu 19/11/2022 adalah hari terakhir saya berada di Jogja. Pagi-pagi check out dari penginapan dan saya meluncur ke Stasiun Tugu. Padahal kereta api datang pukul 11, saya sudah bergegas mau ke mana memangnya? Mau ketemu dengan Gang-Gangan! 

 

gang-gangan bongpai di badran


Janjian bertemu orang baru adalah kegiatan di luar zona nyaman saya yang terbiasa sendirian. Namun Shinta dari Gang-Gangan beberapa kali mengirimiku pesan di instagram. Mulai dari chat berbunyi “sungguh kita harus ketemu” sampai “mba, plis plis plis berkabar kalau ke jogja suatu saat nanti ya”. Sebuah sikap ekstrovert yang gak masuk dalam keseharian saya yang ambivert. 

Namun dengan Shinta berbeda. Memanglah gigih sekali orangnya, persisten dan melankolis. Saya merasa nyaman kepadanya meski ketemu juga belum. Jadi saya memberanikan diri mengontak Shinta duluan dan memberitahunya bahwa saya berada di Jogja. Kami bertemu dan ia mengenalkan saya pada teman-temannya.

Baik sampai mana tadi? Gang-Gangan.

Saya dan Shinta janjian di pintu parkir barat Stasiun Tugu. Ada Risna dan Anisa bergabung. Di hari sebelumnya saya telah bertemu Risna dalam tur di pabrik cerutu Taru Martani bersama Alon Mlampah.

Shinta, Risna, dan Anisa membuat Gang-Gangan, sebuah kelompok pengarsip gang. Di Jogja mereka berjalan kaki menyusuri gang-gang dan merekamnya. Arsip itu mereka simpan di akun instagram @gang-gang.an.

Pagi itu mereka mengajakku ke Badran, wilayah perkampungan dekat Stasiun Tugu yang popular sebagai kampung preman. Spesies preman asal Badran ditakuti seantero Jogja. “Tapi kampung ini sekarang dibuat ramah anak, mbak,” ujar Risna.

Namun bukan Badran yang bertransisi sebagai kampung ramah anaknya yang pagi itu kulihat di sana. Melainkan Badran bekas lokasi kompleks pemakaman tionghoa di Jogja.

Badran terdiri dari beberapa gang dan RW. Wilayahnya di pinggir sungai winongo. Rumah-rumah di mulut gang seperti biasa wujudnya agak besar. Makin dalam masuk gangnya rumahnya makin mengecil dan padat. Kutemui ada beberapa lapangan. Ada juga kompleks makam warga. 

 

gang-gangan bongpai di badran


Di era kolonial Badran adalah kompleks makam orang-orang tionghoa. Entah lokasi pemakamannya pindah ke mana, dalam proses pindah-pindah itulah jejak batu nisan di Badran berceceran. Jenazahnya dipindah, sementara itu batu nisannya tertinggal.

Batu nisan makam tionghoa ini bernama Bongpai (cmiiw). Gang-Gangan ke Badran tujuan utamanya mengajakku melihat jejak bongpai.

Mengejutkan sekali karena kulihat ada banyak bongpai di Badran! batu nisan ini tertancap di jalanan gang, di tembok-tembok gang, dan tertanam begitu saja di lapangan permukaan tanah. Secara kasual bongpai menjadi bagian dari keseharian warga. Mereka memperlakukannya sebagai batu biasa.

Kenapa warga menggunakannya sebagai batu-batuan di tembok ya? tanyaku pada Risna. “Kualitas batunya bagus, Mbak,” jawab Risna yang tergabung dalam komunitas Indonesia Graveyard. Jika diperhatikan dan dipegang, bongpai ini memanglah kokoh dan tebal. Bila saya warga Badran memanglah sayang bila disingkirkan batunya, baiknya memang dimanfaatkan saja buat infrastruktur bangunan.

Sepertinya itulah yang dilakukan warga Badran. Bagiku hal yang menarik adalah mereka seperti tidak terganggu dengan keberadaan batu-batu nisan itu. Terlihat tidak ada maksud untuk menyingkirkan sisa bongpai. Warga bahkan tidak membalik permukaan batu nisannya. Dengan demikian saya bisa melihat tulisan berbahasa cina yang terukir pada permukaan batu tersebut.

Unik sekali di tengah kegiatan warga yang bukan etnis tionghoa dan rumah-rumah khas dalam gang ada batu nisan bertuliskan dalam bahasa cina. Pemandangan yang kontras dan solid sekaligus. 


gang-gangan bongpai di badran


Kuitung Bongpainya banyak banget! Jumlahnya lebih dari 15 bongpai Gila seru banget! idk ini kenapa seru tapi memanglah tiap menemukan bongpai saya terpukau terus. Kayak hah, kok bisa, hah beneran, hah kok bisa, wah bagus euy, wah asli sih keren, hah kok bisa!

Saya pernah melakukan hal serupa di Bandung. Berjalan kaki menyusuri sebuah perkampungan tengah kota dalam rangka menyusuri batu nisan ala tionghoa ini. Ada satu bongpai di Babakan Ciamis, dekat Balaikota. Dalam bongpai tersebut tulisannya dalam bahasa latin, bukan bahasa cina.

Di lain waktu saat menyusuri sejarah Dobi di Kebon Kawung saya dipandu Komunitas Aleut dan menyaksikan satu batu nisan yang menjadi alas penggilingan cuci baju oleh warga. Namun si batu nisan ini tergeletak horizontal di lokasi yang tidak bisa kami jangkau, jadi kami melihatnya dari jarak beberapa meter dari bongpai tersebut. Tidak terlihat apapun selain wujud batu aja. 

Jadi saat saya berada di Badran dan terpukau melihat sisa-sisa bongpai di sana kukira itu hal yang wajar, bukan lebay. Mengingat pengalaman saya di Bandung yang demikian tadi saya ceritakan, sementara di Badran semua bongpainya masih berukir tulisan dalam bahasa cina dan saya bisa memegang batunya. Bayangin, megang! Megang bongpai yang asalnya dari zaman belanda begitu coba gimana mungkin saya gak takjub. 

 

gang-gangan bongpai di badran


Shinta cerita dalam bongpai biasanya selain tertera nama orang yang wafat. Lalu ada daftar nama anggota keluarganya yang mengurus pemakaman.

Bila memperhatikan batu nisan dan melihat wujud pemakaman ala tionghoa, kurasa pasti butuh banyak sekali uang untuk mengurus satu makam saja. Karena itulah nama keluarga yang mengurusnya wajib tercantum di bongpai.

Kupikir manusia ini rumit juga, saat hidup butuh biaya, setelah wafat pun masih ada ongkosnya. Tidak hanya kaum tionghoa dan bongpainya, keluarga saya yang etnis sunda pun atau kamu pasti mengalami hal yang sama. Namun nampaknya ongkos makam orang-orang tionghoa pasti mahal, bila kulihat dari bongpainya.

Tidak semua wilayah Badran dapat saya jelajahi. Maklumlah pukul 11 stasiun tugu menanti. Hehe. Kira-kira durasi saya berjalan 2,5 jam.

Sebelum pukul 11 kereta api datang dan saya harus bergegas menuju stasiun. Kami berpamitan di parkiran Stasiun Tugu dan berjanji bertemu lagi. Akan tetapi sebelumnya kami berenam sempat santap Tahu Gimbal Pak Warno. Ditraktir Mba Autine. Makasih, Mba!

 

difoto Risna

 

Terima kasih banyak Shinta, Anisa, dan Risna.

Dalam tur di Badran ini saya bertatap muka dengan Autine dan Radea. Dua orang yang mendiami kawasan jawa timur dan saya mengenali mereka karena foto-foto bangunan tuanya di instagram. Sungguh saya senang sekali bisa gang-gangan dengan mereka semua. Hamdalah makasih ya, Shinta. Bukan hanya saya berjumpa dengannya tapi juga bisa bertemu dengan teman lama-tapi-baru lainnya. Saya beruntung sekali.