Social Media

Image Slider

Menyelipkan Misi dalam Catatan Perjalanan

26 May 2017
Apa teman-teman juga ngeblog seperti saya? Bila iya, apa blognya bertema wisata?

Banyak ya blog yang sekarang temanya khusus tentang wisata. Blog yang sedang teman-teman baca ini pun -Bandung Diary- topik utamanya wisata.

Wisata macam-macam jenisnya, dari kuliner, alam, sampai dengan wisata buku, sejarah, budaya, olahraga, religi, dan masih banyak lagi kategori turunannya.

Kalau disuruh milih kategori yang paling saya sukai, jawabannya dua saja: sejarah dan budaya. Sukanya jalan-jalan sih, kalau tema jalan-jalannya sejarah dan budaya, wuih saya tambah cinta.

Bagi yang hobi menulis, blog adalah salah satu media terkini untuk menuangkan gagasan atau curahan hati. Bonus terbesarnya dari media yang terhubung ke internet kayak blog : kita bisa share ke khalayak umum.

Ya sama, hobi saya menulis juga. Catatan jalan-jalan saya ada di blog. Bila dulu menulis sebatas ruang antara saya dan tulisan sendiri, sekarang ada ruang untuk pembaca. Kita bisa bersuara dan dibaca orang banyak. 


Kenapa Wisata Sejarah dan Budaya?

Di umur saya yang ke 30, setengah hidup saya habis di Indramayu dan Cirebon. Setengahnya lagi di Bandung. Bagian terbaiknya adalah saya bisa melihat dua budaya dari dua sisi.

Sisi yang terlampau cuek ala orang pesisir dan sisi yang kelewat halus ala orang gunung. Dua budaya ditempa alam, hasilnya beda-beda. Bila tidak mengenalnya memang lebih mudah berprasangka, tapi kalau sudah tahu dalam-dalamnya, alamak indahnya perbedaan ini. Hihihi.

Terus gimana caranya mengenal dua budaya itu? Ya turun ke jalan. Temui banyak orang, kenalan dengan beragam orang, baca sejarahnya, makan menu khasnya, dan datangi situs-situs legendarisnya.

Mengenal sejarah Bandung sudah lebih sering saya lakukan. Maklumlah posisi di Bandung, ya paling gampang jelajah daerah sendiri saja. Mencari tahu di mana titik pertama kota Bandung, membaca sejarah perkebunan yang menyangga ekonomi perkotaan, mengenal kehidupan menak-menak Priangan (termasuk Bandung), dan masih banyak lagi.

Makin banyak tahu, kian penasaran saja rasanya. Pertanyaan yang terjawab menggiring saya pada pertanyaan lain.

Ke kota lain sih gimana? Masa Bandung aja.


Tergantung kondisi tabungan. Hehehe. Yaiyalah traveling juga butuh biaya. Makanya paling gampang jelajah kota sendiri, biayanya bisa diminimalkan :D hihihi.

Saya usahain paling tidak satu kali dalam satu tahun menyempatkan diri melihat budaya lain di kota lain. Termasuk kota asal muasal saya.

Awal tahun ini saya pergi ke Cirebon. Satu kali kunjungan masih kurang, dua kali menggenapkan. Di antara seporsi Empal Gentong dan Nasi Jamblang yang nikmat, saya singgah ke masjid-masjid kuno dan berjalan kaki dari Kampung Arab sampai Keraton Kanoman.

Berbekal buku-buku yang saya baca sebelum berangkat, saya menyusun rute kunjungan. Walau saya sadar baru secuil saja yang saya ketahui, tapi bisa mengenal lebih dekat sejarah dan kehidupan religi di Cirebon rasanya menyenangkan.

Ketemu orang yang beda budaya tuh jadi tahu dan paham kalau, misalnya nih kenapa orang sunda kebanyakan (terutama yang di pegunungan) super ramah dan senang senyum, kenapa orang di pesisir cenderung cuek dan kalau ngomong langsung ke poinnya, kenapa orang di Timur tidak makan beras, kenapa di Aceh Islamnya kental, dan lain-lain dan masih banyak lagi. 


Menulis Catatan Perjalanan, Menulis dengan Misi 4 Pilar

Bagian klimaksnya dari hobi jalan-jalan saya adalah menuangkan kisahnya dalam sebuah catatan. Sebelum menulis, kita pasti mikir dulu dong. Apa sih yang mau ditulis. Pengalaman macam apa yang mau kita sampaikan pada orang lain.

Ada pesan dalam tulisannya gak?
Ada gagasannya gak?
Atau murni mencurahkan hati saja bertutur kesan selama berjalan?

Intinya sih sesekali bolehlah menulis dengan misi secara disengaja.

Misinya apa aja? Ya bisa apa aja: curhat, kampanye politik, promosi produk, membuat citra, mencari uang, pengen terkenal, ya apa aja bebas :D

Misi blog Bandung Diary apa? Nyuruh orang jalan-jalan hahahaha. Ya gampangnya gitu sih. Tapi kalau mau dikerucutkan lagi, misi saya bantuin orang jalan-jalan, gak cuma di Bandung tapi juga di kota lain.

Gak cuma bantuin orang jalan-jalan, saya juga pengen cerita. Pengen memberi tahu orang lain tentang apa yang saya lihat dan apa yang saya rasakan dalam perjalanan. Semacam FOMO lah, sindrom Fear of Missing Out alias saya harus tahu duluan dan orang lain harus tahu dari saya. Ahehehehe milenial speaking *milenial macam apa umurnya 30 tahun hihihi* Ya intinya sih saya seneng cerita dan saya mau ceritain ke orang lain. 

Berhubungan dengan konsep membuat misi dalam tulisan tersebut, saya menemukan hal baru dalam acara Netizen Bandung Ngobrol bareng MPR RI yang berlangsung di Hotel Novotel Bandung. Lucunya sih hal baru ini sebenarnya hal yang lama juga. 

Hal barunya bernama 4 Pilar.
Hal lama bernama menulis dengan misi.

Dalam diskusi bersama MPR RI (20/5/2017) dan para para blogger dari Bandung, saya diajak untuk menulis dengan misi khusus, yakni mensosialisasikan 4 Pilar MPR.


Pesan Persatuan, Pesan 4 Pilar MPR RI

Sebentar. 4 Pilar MPR itu apa?

4 Pilar tuh semacam pegangan kita sebagai warga negara Indonesia. Secara kita ini terbentuk dari ribuan pulau, ratusan bahasa daerah, macam-macam agama. 

Dibangun dari perbedaan, lantas modalnya menyatukan perbedaan itu dengan apa?Dengan 4 Pilar. Apa aja 4 pilar yang dimaksud?

NKRI
Bukan sekadar singkatan, Negara Kesatuan Republik Indonesia artinya beragam suku dan bahasa, Indonesia disatukan oleh tujuan dasar yaitu merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. 

UUD 45
Pedoman dalam kehidupan bernegara.

Pancasila
Ideologi negara Indonesia yang mengakui ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.

Bhineka Tunggal Ika
Semboyan negara Indonesia yang mempertegas keberagaman dalam persatuan.


Kalau dibaca sekilas sebenarnya sederhana banget ya. 4 Pilar itu kan kita pelajari di sekolah dasar. Tapi apa kita sudah benar-benar memaknainya dalam kehidupan sehari-hari? Jangan-jangan cuma teori aja, prakteknya gak ada.

Atau sebaliknya, sebenarnya kita udah praktekin tapi tak tahu kalau kebaikan yang kita lakukan berlandaskan 4 Pilar. 

Kayak saya yang setengah sunda setengah jawa plus muslim juga, ketemu orang batak marganya ginting dan agamanya katolik. Kan benturan budaya lagi tuh. Apa saling marah-memarahi? Saling menghindar karena alasan beda agama doang? Kan enggak. 

Atau misalnya pas saya lagi jalan-jalan ke Cirebon dengan Indra suami saya yang orang sunda. Terus kami sholat Dzuhur di masjid terdekat lokasi kami berkeliaran. Masuk pelataran masjid, banyak orang sedang beristirahat. Bertatap muka dengan mereka, Indra memberi senyum kepada orang-orang yang ia tidak kenal. Orang yang ia beri senyum membalas senyum tidak? Ya tidak :D

Terus kami baper gak karena udah senyumin malah gak dibales senyum? Ya enggak atuh.

Orang Sunda mah di mana-mana memang defaultnya senyum melulu, tapi orang Cirebon gak selalu sih. Ada alasan kenapa kayak gitu. Kalau dijembrengin satu-satu alasannya secara sejarah dan budaya ya panjang. Tapi intinya sih perbedaan kayak gitu harusnya gak mesti jadi ribut lah. Beda budaya aja. 

MPR dengan formula 4 Pilar memberi payung terhadap perbedaan di negeri ini. Jadi gak usah takut merasa orang lain berbeda dengan kamu. Negara ini gak homogen kok.

Pesan itu yang MPR RI ingin sosialisasikan pada masyarakat secara luas. Bahwa perbedaan itu bukan masalah. Negara ini gak dibangun dari satu agama yang itu-itu aja, suku yang itu-itu aja, dan daerah yang itu-itu aja.

Dalam diskusi yang sebelumnya telah berlangsung di Makassar, Solo, Palembang, dan Yogyakarta, MPR meminta kepada para blogger untuk meneruskan estafet pesan 4 Pilar ini dalam tulisan.

Pulang ke rumah saya membuka dapur blog dan membaca tulisan sendiri berulang-ulang. Bukan cuma blog, saya juga membaca ulang caption foto-foto dan status di akun media sosial @bandungdiary.

Tulisan saya tentang perjalanan di Yogyakarta, Cirebon, Sukabumi, Surabaya, Purwakarta, dan lain-lainnya termasuk catatan perjalanan di Bandung sendiri.

Apa saya sudah menulis dengan misi 4 Pilar tanpa sengaja? Apa saya menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan rasa cinta pada negeri ini dalam tulisan tersebut?

Bila terasa belum, saatnya sekarang menulis dengan misi memasukkan nilai-nilai 4 Pilar. Bila terasa sudah, ah apa iya? Sekarang waktunya menulis dengan misi sengaja memberi pesan baik kepada pembaca terhadap negeri yang saya pijak. Sebagai pembaca, tugas teman-teman meneruskan pesan tersebut pada orang-orang di lingkungan sekitar. 

Selain melalui bidang seni dan budaya, menarik juga MPR RI turun dan sosialisasi langsung kepada warganya, yaitu kami warga pelaku digital (blogger). 

Apa MPR RI juga turun ke sekolah-sekolah termasuk ke jalan langsung menemui warganya secara acak, seperti misalnya di Car Free Day? Kayaknya dampak sosialiasinya bakal lebih banyak dan langsung bila dilakukan demikian. Saran teman saya Hilman Mulya Nugraha dalam diskusi Netizen Bandung Ngobrol bareng MPR RI juga sangat aplikatif: bagaimana bila MPR RI memiliki akun media sosial yang dikelola secara atraktif dan komunikatif. 

Bukan hanya blog, media sosial juga jadi corong menyebarluaskan 4 Pilar. Kalau informasi dari media resmi MPR RI jenisnya share-able dan retweet-able (ya kira-kira kayak akun GNFI yang mana favorit saya -Good News From Indonesia-) sosialisasi 4 Pilar jauh lebih mudah dan dijamin banyak yang share dan baca. Iya kayaknya akun GNFI itu udah paling cocok kalau mau dijadikan studi banding oleh tim digitalnya MPR RI.  

Yak, siap berbagi peran menyuarakan 4 Pilar? Saya siap! 



Teks : Nurul Ulu
Foto: Indra Yudha, Nurul Ulu

Blogging Story: Saat Harus Menginap dan Meresensi Sebuah Hotel dan Saya Sakit

24 May 2017
Ada banyak cerita dari dunia blogging saya bersama blog yang saya tumbuhkan: Bandung Diary. Kalau orang perhatiin ngeblog itu asyik-asyik saja, wah tunggu cerita saya yang satu ini. Hahaha. Pedih sekaligus seruuuuu!

Suatu kali di awal tahun 2016, seorang markom hotel bintang empat di Bandung menghubungi saya. Ia meminta saya menginap di hotel tempatnya bekerja. Bukan saja menginap, saya dimintanya meresensi dalam blog di hari yang sama dengan saya menginap.


Cek tanggal, ah mudah saja. Saya sanggupi permintaannya. 

Pendek cerita saya tinggal berangkat. Hotelnya di Bandung juga kok jadi gak jauh-jauh amat dari rumah. Tinggal berangkat, eh pagi harinya suami saya sakit. Alamak. Dia kan fotografer untuk blog saya. Kalau dia sakit, gak bisa ikut, siapa yang motoin? 

Saya lah siapa lagi huhuhuhu. Sebelum berangkat saya dibriefing singkat dulu cara motret. Setelan kamera (DSLR) udah suami saya siapin jadi saya tinggal jepret! jepret! 

Segan membatalkan acara, saya meninggalkan suami saya yang sakit dan anak di rumah. Hati ini gak enak banget harus pergi dengan kondisi suami kayak gitu. Ya gimana lagi huhuhu. 

Sesampainya di hotel saya langsung diajak makan siang. Nyammmnyammmmm enak. Untuk sesaat lupa dengan yang ada di rumah :D 

Check in ke kamar di lantai 15, saya buka pintu kamar dan whuaaaaa bagus sekali kamarnya. Bukan cuma luasnya yang lebih dari cukup untuk bernapas (hahaha lebay :D) tapi juga jendelanya yang segede satu dindingnya. Waks!


Bandung sedang agak mendung. Berada di kamar sebesar itu sendirian, saya teringat dengan mereka yang ada di rumah dan seharusnya ada bersama saya. Sedih... huhuhu. 

Tapi waktunya bekerja di depan mata. Saya segera ambil kamera dan mulai memotret. 

Waktu yang kosong sebelum jadwal wawancara dengan manajer hotelnya, saya menemani seorang teman berjalan hingga ke Jalan Braga. Hotel saya menginap ada di Jalan Merdeka. Jarak bolak-balik Jalan Merdeka - Jalan Braga kira-kira 1,5 km. 

Abis jalan-jalan, saya kembali ke kamar dan....kepala pusing dan perut mual! Alamak dua kali! Ada apa ini. Dalam hati berdebar-debar mengucap doa: jangan sakit...jangan sakit...

Terus saya sakit. Hahahaha.

Minum air putih yang banyak, saya paksakan mengikuti jadwal acara sampai pukul 11 malam. Dari wawancara hingga makan malam bersama yang acaranya heboh banget alias pesta till you drop, saya masih memotret. Badan gak jelas rasanya, berulang kali saya mengucapkan kalimat ini pada diri sendiri: ngapain saya teh ada di sini, pengen tidur! pengen pulang! 

Tapi...ah yasudahlah...


Malamnya tak bisa tidur. Demam tinggi, saya terus-menerus menghajar demam dengan minum air putih. Ada kali tuh buang air kecil lebih dari 10x. Sampai subuh menjelang, demam mereda. Saya tidur seperti kerbau kekenyangan. 

Keesokan harinya saya bangun dengan kondisi badan lelah. Makan pagi saja berjalan dengan langkah gontai seperti dua kaki terantai di ranjang. Tapi gak tega rasanya memperlihatkan raut wajah orang sakit di hadapan mba-mba markom baik hati itu. Adrenaline rush memang ajaib, saat harus berhadapan dengan klien mah saya berasa sehat hihihi. 

Dari sarapan hingga makan siang, saya masih memotret. Baru setelah jam 12 siang saya pulang usai mengetik resensi hotel dan mengunggahnya ke blog. Ah walau sakit kepala saya sudah reda, tapi harus mengetik dan edit foto sekaligus itu kayak mules sakit perut berulang-ulang tapi air keran di kamar mandi mati. Eugh hahaha.

Sebelum pulang, mbak markom memberi saya kompensasi resensi dengan sejumah rupiah. 

Drama banget. Senangnya karena berakhir dengan bayaran yang menyenangkan. Ditambah beberapa hari sesudahnya mba markom mengirim saya pesan di aplikasi chat. Bosnya menyukai hasil foto saya. Wah nikmat mana lagi yang harus saya syukuri: sedang sakit, pekerjaan diapresasi, dibayar sepadan. Uhuhuhuhu saya terharu.

Saya gak mau ini terulang lagi. Mesti sakit saat harus bekerja, meninggalkan orang kesayangan di rumah dalam kondisi sakit juga.

Tapi dipikir-pikir sih, gak rame kali kalau pekerjaan kita semulus jalan tol di Jerman. Kalau ada cerita kayak gini kan jadi seru ya ingatnya. Lebih berkesan. Waktu mengalami sendiri sih rasanya tertekan. Begitu badai sudah berlalu, rasanya bangga pada diri sendiri dan supporting system saya.

Sebagai bonus saya juga berasa kayak dikasih pelajaran oleh Tuhan, tentang tidak menilai-nilai yang kelihatan enaknya saja. Blogging adalah dunia yang mengasyikkan selama empat tahun belakangan ini. Tapi setiap hal yang enak-enak, ada kompensasinya. Hal yang terlihat mudah pun ada perjuangannya. 

Ada yang punya cerita seru juga seputar dunia bloggingnya? Cerita terbaiknya apa aja ayo diceritain dan diikutsertakan dalam lomba Best Blogger Moments dari Warung Blogger!

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun ke-6 tahun Warung Blogger. 


Cerita Dari Sebuah Rumah Tua di Jalan Hata

14 May 2017
Pada sebuah rumah tua di Jalan Hata yang senyap, yang entah berapa tahun umur rumahnya. Jendelanya besar-besar. Lantainya seperti marble berwarna hitam putih keabu-abuan. Kursi dan meja yang jompo, membisu di sudut-sudut ruang. Kalau bisa bicara, mereka punya segudang cerita yang datangnya sejak zaman kolonial.
 
 
 

Cerita tentang tiga pemuda asal Italia, yang menambatkan hatinya di Hindia Belanda. Tiga Ursone bersaudara datang ke Bandung. Gemar bermain musik, mereka kerap menerima panggilan di hotel-hotel dan restoran tempat orang-orang Belanda berpesta. Tiga Ursone kerasan tinggal di tanah priangan.

Lantas mereka berpikir untuk menetap di Bandung lebih serius. Bermain musik adalah hobi, Ursone butuh pendapatan yang kekal untuk menyambung nyawa di tanah Jawa.

Selanjutnya yang terjadi, mereka membeli sapi. Memilih Lembang sebagai tempat peternakan, beternak sapi perah adalah bisnis yang mereka tekuni. Bisnis melejit, pesaing sedikit.

Tiga Ursone jadi juragan. Membeli tanah, membeli rumah. Berpesta pora sekaligus berderma.

Dua Ursone tidak menikah hingga akhir hayat. Satu Ursone jatuh cinta pada wanita lokal dari sebuah kampung di belakang Jalan Braga, Nyi Oekri namanya. Tak punya anak, mereka mengadopsi anak perempuan.

Sebuah pabrik cokelat didirikan Ursone. Mafalda nama pabriknya. Iya, serupa nama anak perempuannya.  

Ursone wafat, makamnya yang indah seperti istana ada di Taman Pemakaman Pandu.

Perkenalan saya dengan sejarah Ursone hanya selintas saja. Pengetahuan saya terhadap mereka hanya sepotong-sepotong. Tenggelam di antara ketenaran juragan teh di Malabar, yakni Bosscha. Buku yang saya baca hanya itu-itu saja nampaknya :D

Sampai saya mengikuti acara bertajuk Jelajah Cipaganti buatan komunitas Heritage Lover dan Lembang Heritage. Bersama mereka, saya dan teman-teman lainnya diajak bertemu muka dengan keluarga yang istimewa. Keluarga Ursone. Tepatnya keluarga Pietro Antonio Ursone.

Sampai di mana tadi saya cerita tentang Ursone? Oh, Mafalda ya.

Mafalda menikah. Mafalda punya anak. Anaknya Mafalda menikah dan punya anak juga.

Nah, dengan anak dari anaknya Mafalda ini kami berbincang. Ronnie Nouma namanya, cicit Ursone. Melihat paras wajahnya Om Ronnie, ada gurat garis yang tak biasa. Bukan lazimnya wajah orang Indonesia. Perawakannya tinggi, di atas 1,75 m.

Aom Ronnie tak banyak bercerita. Beliau senangnya bercanda gurau. Sang Menantu , Muhammad Taufik, yang berdiri di samping Ursone menggantikan beliau bicara, mewakili kisah Ursone.

“Dulu rumah kami di sini ada 11, semua susu yang datang dari Lembang ditampung dulu di sini di Jalan Hata.”

Edan 11 rumaaaaahhhhhh? Jerit saya dalam hati hahahahahaha.

“Sekarang rumahnya tinggal 1 yang ini,” maksudnya rumah yang kami masuki.

“Bapak trauma. Pernah ngurusin tanah Ursone di Dago, gak taunya malah beliau yang dipenjara. Abis itu bapak gak mau ngurus tanah ursone lagi,” ungkap menantunya Aom Ronnie.  


Kang Taufik menggiring kami ke sebuah kamar. Di sana ia membuka koper. Foto-foto lama berhamburan dari dalam kopernya, kebanyakan hitam putih warnanya.

Saya melihat sebuah foto hitam putih. Tiga orang duduk dalam foto tersebut: P. A Ursone, Nyi Oekri, dan Mafalda. Duduk di kursi (sepertinya) tamu. Foto diambil di ruangan tempat saya berdiri. Saya pegang fotonya dan membayangkan pindah ke masa itu.

Diceritakan oleh anak (menantu) Om Ronnie tentang kehidupan mereka kini. Apa yang mereka alami, ketidakadilan macam apa yang harus mereka hadapi sejak pemerintah menasionalisasikan semua asetnya. Perusahaan yang Ursone dirikan menjadi satu dari banyak perusahaan milik orang nonindonesia yang dinasionalisasikan. Asetnya diambil pemerintah. Puncak kejayaan memang selalu ada masanya ya, yang keluarga Ursone alami memang pahit sekali.

Ironisnya, Ursone menikah dengan orang Indonesia. Perusahaan, rumah, dan tanahnya banyak yang diatasnamakan Nyi Oerki, saking sayangnya sama sang Istri. Tapi tetep aja ya walau atas nama orang Indonesia, tetap aja dinasionalisasikan. 

Menurut saya mah Ursone adalah orang-orang yang jadi korban sistem. Saat Pemerintah Kolonial menduduki Hindia Belanda, orang-orang kayak Ursone (menurut saya) mempunyai kemudahan untuk memiliki usaha. Minimal izin usaha dan urusan jual beli tanah. Begitu Indonesia merdeka, mereka jadi korban amukan. Dianggap sebagai bagian dari kolonialisme, asetnya diambil 'paksa', pabrik  cokelatnya dibakar.

Serba salah ya.

Saya gak tahu kalau ada di posisi mereka mesti gimana. Keturunan pertamanya yang tinggal di Indonesia mengalami masa kejayaan, namun setiap hujan pun ada redanya. Keturunan berikutnya harus mengurai benang kusut akibat sistem yang berganti-ganti dan berantakan. 

Beranjak pulang dari rumah tua di Jalan Hata, saya termasuk yang paling akhir keluar. Dari jalan saya memandangi lagi rumahnya. Di dalam Jalan Hata, tak sangka ada legenda.

Panjang sejarah keluarga Ursone, saya melongok keluarga saya sendiri, apa kabar sejarahnya? Siapa leluhur saya? Apa pekerjaannya? Di mana tinggalnya? Dari mana asalnya?

Terkadang saya iri pada mereka yang punya kesempatan untuk mencatat silsilah keluarga dan mampu cerita riwayat keluarga. Apalagi melengkapi sejarah dengan koleksi foto-foto. Akan tetapi saya dan keluarga memang rakyat biasa, kaya raya banget enggak, miskin juga saya gak tahu. Nasib rakyat biasa pada dahulu memang berada pada level yang kira-kira begini: kerja-aja-yang-penting-bisa-makan-tidak- kelaparan.


Yha. Mungkin sih.









Jelajah Masjid Antik di Bandung: Masjid Cipaganti

12 May 2017
Di tepi jalan yang langganan macetnya itu ada masjid antik. Di Jalan Cipaganti, nama masjidnya Masjid Cipaganti. Gampang ya namanya. Nyantol ke nama daerah, jadi nama masjid adalah identitas masjidnya itu sendiri. 


Turnya diadakan oleh Heritage Lover. Malia pemandunya. Kata Malia, pejabat lokal yang (berinisiatif) membangun Masjid Cipaganti adalah menak sekaligus bupati Bandung bernama Raden Tg Hassan Soemadipraja. Arsitek masjidnya Wolff Schoemaker. Arsitek yang popular di Bandung saat itu, gurunya Soekarno di THS (sekarang ITB).

Jadi apa istimewanya rancangan Wolff Schoemaker di Masjid Cipaganti ini? 


Biasanya rancangan dia ada ukiran bergaya artdeco, di sini kayaknya gak ada. Terus gak mungkin kan dia pasang ornamen Kala seperti ciri khasnya sebab yang dia rancang ini kan tempat ibadah umat islam. 

Satu-satunya yang khas Eropa dari bangunan ini adalah lokasinya yang tusuk sate bila dilihat dari Jalan Sastra (perpotongan Jalan Cihampelas-Jalan Cipaganti).

Orang timur menganggap posisi tusuk sate gak terlalu bagus. Tapi buat orang Eropa justru estetik. Melihat Masjid Cipaganti dari Jalan Sastra terlihat indahnya. Jalan Sastra dan Cipaganti tepi jalannya pepohonan. Bila kamu berdiri di ujung Jalan Sastra - Cihampelas, terlihat pohon-pohon ini membingkai masjid. Tapi itu dulu sih waktu Jalan Sastra belum jadi parkiran motor kayak sekarang...

Coba aja datang pagi-pagi ke Jalan Sastra yang masih sepi dan berdiri di dekat jalan Cihampelas. Lihat ke arah masjid. Framing masjidnya bagus sekali.

FYI, tanah untuk masjid merupakan wakaf dari Bupati Hassan dan sebagian lagi wakaf dari keluarga Ursone. Hah kok bisa Ursone yang katolik itu nyumbangin tanah untuk masjid?

Pertama, karena di belakang masjid ada pabrik cokelat milik Mafalda, anaknya P. A Ursone dan Nyi Oekri.

Kedua, Nyi Oekri istrinya P. A Ursone kan muslim. Ada andil dari beliau agar Ursone mau menyumbangkan tanah untuk pembangunan masjid.

Ketiga, Ursone emang filantropis sih. Mereka juga nyumbangin tanah untuk pembangunan peneropongan bintang Bosscha.

Keempat, tanahnya Ursone ada buanyak sekaleeeee. Nyumbangin tanah untuk masjid cipaganti buat mereka kayak buang garam di laut.

Luas masjid di tahun 1934 hanya 19X15 m. Masih ada tuh ruangannya. 

Masjid Cipaganti terdiri dari satu lantai saja dengan ruang utama di bagian tengah. Bagian utara dan selatan dari ruang tengah ini adalah ruang tambahan yang dibangun tahun 65.

Ruang utama di bagian tengah adalah ruang aslinya. Ruang berumur 83 tahun.

Pintu masuk masjid yang asli ada di bagian tengah. Pintunya mah udah modern sih. Pintu masuk masjidnya pun sekarang dari sisi selatan dan utara. Pintu di bagian tengah ini gak tahu kapan dibukanya. Mungkin pas sholat Id atau sejenisnya ya. 

Pintu masuk dahulu dari bagian depan. Pas masuk masjid, ada dinding setinggi 1,70 meter yang membuat kita harus berbelok dikit agak ke kanan atau ke kiri baru deh masuk ruang utama.

Gaya pintu berlapis kayak gitu mirip-mirip yang saya lihat di pintu masuk keraton dan masjid mataram kuno di Kotagede. Ada pintu di dalam pintu. Kenapa ya, kenapa gak bisa jalan lurus aja masuk terus nyampe gitu. Kenapa harus dibelok-belokin dulu. Itu bagian dari keindahan atau mencerminkan pola pikir kita yang bertele-tele, senang bicara berputar-putar dulu baru nyatain maksudnya?

Dindingnya berpola. Polanya unik dan tercantum tulisan arabnya. Bukan bahasa sunda dalam bahasa arab, tapi emang bahasa arab. Mungkin salah satu penggalan dari ayat suci Alquran atau doa.

Masuk ke masjid ada tiang utama berjumlah empat. Sakaguru tersebut berbentuk segi empat dan memiliki ukiran di bagian atas dan bawah tiang. Ukirannya gak jelas gambar apa, mungkin bunga ya. Bentuknya kayak sulur-sulur gitu sih.

Semua tiang dicat warna abu-abu. Ada ukiran di tiangnya, ukirannya juga di cat warna emas dan hijau.

Saya raba ukirannya, buah craftmanship tempo dulu. Ukiran tiang ada di bagian atas dan bawah.

Saya ajak Indra ikutan jelajah masjid, lumayan dia dan ilmu arsiteknya bisa nerangin walo gak menyeluruh. Menurut Indra, langit-langit masjidnya bisa jadi dipasang tahun 60an. Masjid yang dulu atapnya mengecurut tinggi. Di bagian atas ada bukaan sebagai jalan masuknya cahaya matahari sebagai penerang (karena dulu belum ada listrik dan lampu kayak sekarang) dan sirkulasi udara.

Tempat imam dan mimbarnya juga baru, gak tahu mimbar yang dahulu bagaimana bentuknya. 

Lokasi wudhu tidak diceritakan ada di mana. Dahulu bisa jadi airnya dari sumur sumur yang berada di dekat dinding utara dan selatan masjid.

Bila melihat masjid dari luar, bisa pandangi atapnya yang masih bersirap. Pucuk masjid bukan kubah tapi bentuknya bulan sabit warna kuning. Saya gak tahu apa bentuknya yang dulu begitu.

Di dalam Masjid Cipaganti sekitar 30 menit saja.  Lihat-lihat, foto-foto. Abis itu kami ke Jalan Hata, saya ceritain di tulisan berikutnya ya perihal rumah kuno di Jalan Hata. 

Mampir-mampir ke masjid ini lah kalo lewat Cipaganti. Menyenangkan masjidnya. Berlantai satu saja. Lumayan bersih walo tempat wudhu dan kamar mandi perempuannya kekecilan. Juga menurut saya mah area tersebut masih harus disikat dan dikasi pewangi ameh teu hangseur. 

plakat bangunan
pola dindingnya bagus
bagus ya dekorasinya, unik



plakat bangunan




Teks: Ulu
Foto : Ulu

24 Jam di Garut: Berendam Air Hangat dan Bandung – Garut via Kamojang

09 May 2017
Gak sengaja kami menginap di Garut. Ini kayak rezeki nomplok banget lah! Jalanan yang lengang dari Bandung ke Garut, cuaca yang sendu akibat gerimis dan kabut, dan seporsi sop iga yang lezat. Garut dalam semalam itu meninggalkan kesan yang mendalam.

Dua minggu yang penuh stres di Bandung berguguran sudah! Berkat Garut tentu saja. Kami berendam di air hangat alami, air hangat dari Gunung Guntur. Tidur malam itu rasanya lebih nyenyak dari biasanya.

Kami menginap di danau Dariza Resort. Ditraktir kakaknya Indra nih (makasih banget, Teh :D). Hotel kecil di Cipanas yang gak kecil-kecil amat ketang. Ada kolam renang segala mah atuh tidak kecil kan. Kamarnya berbentuk cottage. Ada bathtubnya jadi bisa berendam sepuasnya buligir tanpa risih hahaha.

Cabut dari hotel setelah makan-berenang-makan, kami pulang ke Bandung via Kamojang. Terus ya pemandangannya dari Samarang sampai Kamojang itu CANTIK SEKALIIIIII!

Pengen saya sih parkir buat nonton pemandangan, tapi gak ada ruang buat mobil menepi. Keren pisan lah Kamojang, bisa lihat Garut dan Bandung sekaligus dari situ.

Wangi hutannya juga amboi sejuknya. Di Kamojang kami berhenti sebentar dan jajan mie rebus di warung-warung nonpermanen. Pemandangan yang terlihat hutan aja kalo dari tempat kami makan. 
 
Makan mie rebus sambil lihat hutan di seberangnya, waduh senangnya hati ini rasanya tentram.

Terus kami lewatin situsnya Indonesia Power. Banyak pipa-pipa gede, pabrik geothermal, dan perkantoran Indonesia Power. Lalu kami ngelewatin Jembatan Kuning yang epik banget karena pemandangan dari jembatan ini ke arah Bandung luar biasa megah. Jembatan ini jalur baru menggantikan tanjakan curam terjal bernama Tanjakan Monteng.

So yeah di Garut itu ya kami makan enak, tidur enak, berkendaraan enak, semua-muanya enak. Namanya juga liburan heuheu.

Garut is definetely an awesome short getaway from Bandung! Fotonya dikit ajah, diambil dengan kamera smartphone.