Social Media

Rumah Rajeg Ijo

19 October 2019
Saya gak pernah merasa perlu moto rumah ini. Sampai saya ada di sana, di hari pemakaman nenek saya. Saat itu saya pikir, bagaimana nasib rumah ini setelah Emak (panggilanku pada nenekku) wafat. 

Saya memotonya di hari yang sama, setelah nenek saya dimakamkan. Agak menyesal mengapa tidak memotret sudut-sudut rumah lebih banyak. Namun yah, beginilah.




Ini dia Rumah Rajeg Ijo, yang dahulu tegelnya warna kuning ukuran 20x20cm.

Lima tahun pertama dalam hidup saya, tinggalnya di rumah rajeg ijo. Dikasih nama demikian karena ragejnya emang ijo.

Dalam bahasa jawa panturanya jawa barat, rajeg artinya pagar. Ijo tahu kan artinya apa? hijau. Rumah dengan pagar berwarna hijau.

Itu rumah bukan hanya kami sebagai keluarga yang menamainya demikian. Namun, para tetangga dan siapa sajalah yang lewat depan rumah, menjuluki rumah kami begitu.

Rumah tersebut, menurut cerita paman saya, dibangun tahun 50. Saya kira, itulah rumah terbaik yang pernah saya diami. Nomor dua, setelah rumah orang tua saya di gang dua selatan. 

Rumah rajeg ijo ini legendaris.

Desain rumahnya klasik. Bukan rumah kolonial, tapi rumah ala-ala yang desainnya transisi gitu kali ya. Disebut jengki, bukan. Gaya kolonial juga bukan. 

Di jendela kamar depan, bagian luarnya ada kanopi melengkung. Cantik banget deh kalo dipandang.

Jendela rumah terdiri dua lapis. Jendela luar dari kayu berbuku-buku. Jendela dalam kayu juga tapi setengahnya ada kaca patri. Belum tirainya nih. Belum lagi teralisnya. Banyak amat ya jendela doang. Hahaha.



Jadi gini filosofi jendelanya.

Tirainya hanya setengah tinggi jendela. Kalo mau privasi rapat, tutup semua jenedelanya (ini kalo malam).

Kalo pengen menyepi di siang hari, buka jendela luar, tutup jendela kaca patri.

Bila kepanasan tapi gak pengen terlalu terbuka privasinya, buka semua jendela tapi tirai dibentangkan. Angin masuk masuk semliwir. 

Seru ya jendela doang tapi dirancang sedemikian intim dengan penghuni rumahnya.

Saya sudah cerita terasnya belum? Aduh cakep nian teras rumah rajeg ijo ini. Dulu, sebelum direnovasi.

Di teras ada yang namanya Buk. Semacam tempat duduk pagar. Cukup nangkring di Buk aja kalo mau nongkrong. Duduknya menghadap jalan (rumah rajeg ijo di pinggir jalan raya besar) atau menghadap rumah. Emak naro kursi tambahan buat Midang, istilah lokal buat 'nongkrong santai di depan rumah'.

Nongkrong di teras rumah biasanya kami lakukan sore hari. Saat kegiatan intensitasnya turun. Ayah saya kalo midang nih, cuma pake sarung, gak pake baju. Di sana, biasa banget cowok-cowok gak pake baju alias telanjang dada. Bau ketek? apa itu bau ketek! Haha.

Karena dari gerbang ke pintu rumah ada halaman yang rada luas, jadi midang tuh gak terganggu suasana jalanan sih.

Di halaman itu dulu banyak tanaman berbunga-bunga kemarau, namanya juga daerah pesisir. Walo begitu, bunganya cantik-cantik amat. Ada pohon kertas bougenvile. Satu lagi bunga merah muda. Lupa namanya. Juga bunga-bunga yang bentuknya kayak ulet warna merah.

Oke, kita pindah ke dalam.

Seingat saya, perabotan di rumah rajeg ijo sangatlah klasik. Bahkan sebelum emak wafat, perabotannya masih apik terjaga semua.

Ciri khas perabotan di rumah keluarga kami adalah: sebuah kursi santai. Terbuat dari rotan.

Ada tiga kamar tidur di rumah. Dua kamar yang tiap ranjangnya masih besi berkelambu. Terakhir kali saya tidur menginap di rumah ini di tahun 2015. Kami tidur di kamar depan. Saya gak tahu itu malam terakhir saya melihat langsung wajah emak. Setahun setelah malam itu, emak wafat.

Rumah rajeg ijo memanjang bentuknya. Kayak bentuk manusia aja dari ujung kepala sampe ujung kaki, semua ada urutannya.

Halaman depan
Halaman samping
Halaman belakang
Teras
Ruang tamu
Kamar tidur
Ruang keluarga
Ruang makan
Tempat sholat
Gudang
Dapur bersih
Dapur kotor
Sumur
Kamar mandi

Nenek saya pengusaha paren. Dulu saya mikir buat apa rumah kok lahannya luas amat. Ternyata untuk menjemur paren dan naro karung-karung gemuk. 

Kakek saya? Pedagang bako.

Rumah itulah cikal bakal darah pantura saya. Rumah di daerah berhawa panas anehnya di rumah terasa adem saja. Rumah yang membentuk logat saya. 17 tahun kutinggal di Bandung, logat sunda saya masih hancur. Logat jawa? kurang medhok katanya. Haha.

Setengah jawa setengah sunda, yang saya rasakan saya bukan keduanya. Saya orang Karangampel.











Note: terima kasih Hernadi Tanzil yang membuat saya kepikiran bikin tulisan ini.
3 comments on "Rumah Rajeg Ijo"
  1. Masa kecil kita seringkali membentuk apa yg diminati di masa dewasa. Makanya kusebenernya tanpa sadar penasaran, kenapa ulu minat pisan sama bangunan2 tua. Dan di cerita yg ini ktemu jawabannya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Whahah iyaya, teh. gak sadar saya juga. aneh ya. hahaha

      Delete