Social Media

Oeroeg Adalah Kita

10 June 2019
Begitu bukunya saya tamatkan, saya langsung merasa Oeroeg adalah kita. Apa yang dialami tokoh dalam novelnya kita lalui juga. Saya sebut saja pengalaman tersebut: adulthood sucks dan bahwa hidup itu gak hitam putih warnanya.




Oeroeg adalah novel yang terbit tahun 1948. Ditulis seorang Belanda, Hella S. Haasse. Ceritanya gini.

Dua anak kecil bersahabat, dia adalah orang Belanda dan pribumi. Latarnya di Kebon Jati, Sukabumi. Tahunnya 1930-1940an.
 
Tokoh utama tidak bernama. Disebut 'aku' adalah si Belanda. Sahabatnya bernama Oeroeg, si Pribumi. Hubungan keduanya dimulai sejak masih kanak-kanak. Orangtuanya Oeroeg bekerja di rumah si Aku sebagai jongos. Pada zaman itu si Aku adalah majikan. 
 
Mereka tinggal di rumah yang sama, alhasil mereka mainnya barengan terus toh seumuran juga. Kayak kakak adik aja gitu, hanya saja bedanya di warna kulit dan status sosial. 
 
Oh wait. Bukan 'hanya' dong namanya?
 
Ya justru itu. Saat mereka masih kanak-kanak, mereka gak tahu ada batasan seperti itu. Main aja dan bersahabat aja tanpa mikirin kalo si Aku adalah majikan berkulit putih anaknya si Bos. 
 
Mereka berdua lempeng aja, khas anak-anak yang polos dan murni. Padahal dalam keseharian mereka bersama terlihat jelas siapa majikan dan siapa anak jongos. Si Aku menggunakan kemeja, Oeroeg bertelanjang dada.

Periode perkawanan mereka dimulai pada umur 6 tahun. Berlanjut hingga usia mereka 17 tahun. Di umur-umur masanya pencarian jati diri itulah, hubungan si Aku dan Oeroeg merenggang. Menuju usia adulthood mereka menemukan perbedaan, pagar tinggi yang berdiri di antara mereka. 

Si Aku berdiri di kutub kolonial. 
Oeroeg jadi pejuang. 
 
Ceritanya bergulir makin getir sejak itu. Bagaimana cerita dua orang sahabat ini menjadi lawan membuat saya ikut bersedih. Si Aku terlihat inginnya berkawan saja tapi bagaimana mungkin, pemerintah Belanda ingin menduduki kembali Indonesia pada Agresi Militer usai Soekarna-Hatta proklamasi. 
 
Oeroeg melihat orang-orang Belanda sebagai musuh. Apalagi ia melihat sendiri perlakuan orangtua Si Aku pada orangtuanya. Dalam buku ini Oeroeg dewasa terlihat penuh amarah dan dendam.

Menurutku novel ini bertutur dengan indah sekali. Tidak bertele-tele tapi sendu. Bila diperhatikan kalimatnya panjang-panjang. Namun membacanya tidak membuat lelah sama sekali. Sebaliknya, tiap kata merangsang emosi.

Bagian yang saya suka ialah penggambaran Kebon Jati yang terasa begitu tenang, begitu damai. Desa yang permai. Air sungai mengalir bening. Desa tertutup hutan. Telaga dengan air hitam pekat dengan akar-akar tumbuhan di dalamnya yang menjerat. Penulisnya kurasa seperti sedang nostalgia. Hella S Haasse adalah penulis Belanda kelahiran Indonesia.

Ada halaman yang saya bolak-balik bacanya. Bagian di mana si Aku menyadari bahwa masa kecilnya berlalu sudah. Saya sendiri yang membacanya terbawa emosional. Si Aku berpikir seperti sedang mengucap selamat tinggal pada masa-masa terbaik dan ajaib. 
 
Saat kepiting dan capung yang beragam warnanya dan memikat, namun tak lagi menggelitik fantasi, saat itulah kita bukan lagi kanak-kanak. Begitu kata si Aku.

Ada di halaman 82-84.  Begini tertulisnya:

"Dunia ajaib tempat kami berperan sebagai pahlawan dan penjelajah telah lenyap. Gua-gua temaram tak lebih dari tempat berbayang di bawah dedaunan yang tergantung rendah di tepi sungai.
 
Daerah perburuan di dataran tinggi dan jeram yang tak bisa dilewati hanyalah sungai gunung sempit yang beriak melalui dasar kerikil dan bongkahan-bongkahan batu yang lebih besar."

Si Aku sadar kalo dia bukan lagi anak kecil. Dia mengucap selamat tinggal pada periode masa kecil itu. Bagian itulah yang saya baca dan memberi kesan paling menyesakkan. Saya juga pernah ada di sana, di masa kanak-kanak itu. Tuturan si Aku berasa ditujukan buat saya dan anak kecil yang pernah ada di dalam diri saya.

Lantas bagaimana nasib Si Aku dan Oeroeg saat bertemu lagi di usia dewasa setelah terpisah banyak tahun sebelumnya? Yah ini hal menyesakkan lainnya. Di sini mulai kelihatan kalau hidup itu gak hanya hitam putih namanya. Bukan tentang 'kamu yang salah, aku yang benar'. 
 
Namun dalam peperangan, apalagi konteksnya perang nih dalam novel ini, sepertinya warna yang kelihatan oleh Oeroeg hanya hitam dan putih.

Novelnya tipis kok bisa baca sekali duduk jarak Banjaran - Tegalega jam 5 sore. Hehe. 
 
Penulisnya secara apik menghubungkan latar Telaga Hideung di waktu mereka kanak-kanak dan pada usia mereka dewasa. Itulah lokasi mereka bertemu kembali di usia dewasa. Lokasi yang juga penuh luka batin buat Oeroeg di masa kecil. 
 
Konflik dalam novel ini alurnya brilian dan dramatis sekaligus. Cakep sekali penulisnya naro plot cerita secara rapi dan secara tepat di satu halaman menusuk-nusuk sanubari pembaca.
 
Novel Oeroeg memberi kesan mendalam bagi saya. Melihat Oeroeg, saya menemukan diri saya padanya. Memperhatikan Si Aku, saya juga berasa ada cermin di sana.

Novel 144 halaman ini isinya gemuk dan membuat kita rontok.
Post Comment
Post a Comment