Social Media

Image Slider

Showing posts with label Cirebon. Show all posts
Showing posts with label Cirebon. Show all posts

Menginap di Hotel Koening Cirebon yang Oke Juga

28 January 2022

Pernah suatu kali di kota Cirebon saya menginap di hotel Koening. Hotel biasa aja bukan yang fancy. Kupilih karena harganya murah. Sekitar 200.000+++ tanpa sarapan. Waktu itu saya balik ke kota udang ini dalam rangka reuni. 

 

hotel koening cirebon


Lokasi hotelnya di Jalan Tuparev. Bila malam di sekitar hotel banyak jajanan. Jalanan pun ramai, tapi bisingnya gak sampai ke kamar yang saya inapi (di lantai 2, btw).

Dari hotel ke pusat kota mesti dicapai dengan kendaraan. Ini anggapannya pusat kota itu Alun-Alun Kejaksan. Juga kalo kamu cari toko oleh-oleh yang berada di Pasar Pagi dan Pasar Kanoman, maka lokasi hotel ini cukup jauh dari mereka. Naik ojek online nyampe lah 10 menitan ke Pasar Kanoman. Ditambah macet jadi 20 menit bisa kali.

Cirebon sekarang macet deh! terutama di perempatan Tuparev-Wahidin. Dan iya betul, Jalan Tuparev sendiri macet. Ramainya bukan main sih. Di Bandung bisalah mirip Dipati Ukur bawah area Unpad. 

 

hotel koening cirebon


Banyak furnitur tua di lobi hotel. Entah ini dahulunya bekas rumah tua atau emang sengaja dirancang gaya vintage.   

Ini bisa jadi hotel yang cocok buat kamu kalau hanya singgah untuk tidur. Sebab hotelnya bukan dirancang untuk senang-senang di hotel. Menurut saya, Hotel Koening buat anak kecil akan membosankan jika seharian hanya di kamar. Saya sendiri menginap sendirian dan hanya numpang tidur. Hehe.

Kamarnya nyaman walo ranjangnya gak empuk-empuk amat.
AC nyala.
Air gak ada masalah.  
Hot water tersedia.
Amenities ada (sabun mandi, sampo, dan sikat gigi dan pastanya).
Handuk bersih.

Televisi ada tapi gak kunyalakan sebab wifinya kencang. Seingat saya tidak ada channel tivi kabel. Channel televisiinya lokal dan nasional. Sebagai catatan saya menginap di sana tahun 2019 jadi mungkin ada yang berubah. 

 

hotel koening cirebon

hotel koening cirebon


Overall semua yang ada di sini serba cukuplah. Gak ada yang kurang, juga gak berlebih. Kebersihan kamar dan hotelnya juga oke.

Gitu aja ceritanya numpang tidur berbayar di Cirebon.

Terpukau dan Terpukul di Masjid Sang Saka Ratu di Cirebon

05 May 2020
Berada di Masjid Kaliwulu, rasa gak nyaman yang saya rasakan muncul karena hawa gaib. Di Masjid Sang Saka Ratu, perasaan terganggu adanya karena ulah manusia.

Tiap masjid kuno di Cirebon menguarkan rasa kagumku yang levelnya beda-beda. Maksudku, harusnya saya bisa lempeng aja dan biasa aja melihat masjidnya. Namun gak tahu kenapa nih, kalo masuk masjid-masjid kuno ini whoaaaa terpukau aja gitu. Ada rasa kagum, respek, bangga, sekaligus terpukul dan bingung, tumplek tumbleugh!

Akan tetapi, di Masjid Sunan Gunung Jati ini, rasa bingungnya terlampau banyak. Mengapa? Saya ceritakan nanti di bagian akhir tulisan. Saya ceritakan dulu tentang masjid berusia 5 abad ini ya.




Masjid Sang Saka Ratu adalah nama resmi yang tercantum di artikel dan buku-buku sejarah. Nama lain masjidnya ada dua:
- Masjid Dog Jumeneng
- Masjid Syekh Syarif Hidayatullah

Ngomong-ngomong, nama Masjid Sang Saka Ratu tidak saya ketahui dari mana asalnya. Namanya kolosal banget yah. Ada yang tahu mengapa namanya Sang Saka Ratu? 

Sewaktu saya bertanya petunjuk arah masjid ke warga lokal, mereka gak familiar dengan nama-nama tersebut.

Begitu kutanya "di mana Masjid Gunung Jati?" barulah paham maksudku. 

Terpukau Bangunan Masjid Gunung Jati

Masjid ini berlokasi di lereng bukit. Karena itu kontur masjidnya unik: dibangun berjenjang. 

Didirikan tahun 1452 M, mulanya area ini adalah taman. Setelah Pangeran Cakrabuana wafat, barulah areanya berubah jadi makam. Beliau dan Sunan Gunung Jati, dimakamkan di sana.

Ohiya, Pangeran Cakrabuana adalah sosok yang mendirikan Cirebon. Ia putra Prabu Siliwangi. Ya betul, darah kerajaan Pajajaran mengalir di tubuhnya. Gak heran Cirebon ini setengah sunda, setengah jawa. Atau tepatnya bukan sunda dan bukan jawa ya. Hehe. 

Berada di satu kompleks yang sama dengan makam Sunan Gunung Jati dan makam keluarga keraton, lumrah sekali ini masjid ramai pengunjung. Peziarah, tepatnya. Kompleksnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. 

Kami gak sengaja berkunjung ke sana saat kliwonan. Saya baru menyadari hari itu menjelang kliwon setelah berada di masjidnya dan kondisi kompleks tersebut penuh manusia. 

Mencapai masjidnya kami berjalan melewati jalan setapak berupa gang kecil di antara rumah warga. Begitu masuk ke dalamnya barulah terlihat kontur bangunan masjid yang berjenjang.

Ada empat jenjang serambi masjid. Jenjang paling atas, kita sebut saja serambi 1.

Gak ada pembatas antar jenjang serambi kecuali di serambi paling bawah. 

Ohya jenjang di sini maksudnya bukan bangunan bertingkat. Bayangin kue tart  tingkat empat. Nah begitu kira-kira jenjangnya.

Di serambi ke-3 dan ke-4 ada pembatas tembok setinggi satu meter. Tiap jenjang serambinya dihubungkan dengan tangga yang berada tegak lurus dengan pintu masuk masjid.

Apakah bangunan asli masjidnya adalah serambi paling atas itu? Entahlah. Buat pengunjung seperti saya yang datang semata-mata hendak wisata, butuh pemandu sih emang. Sebab bingung gitu ini teh gimana, ke mana, kenapa 😅

Tiap serambi adalah ruang sholat. Ruang utama sholat laki-laki di tiga serambi teratas. Ruang paling sakral ada di serambi I yang paling atas. Mimbar kuno pun terletak di sana. 

Atap masjid berbentuk tajug tumpang dua. Kalo orang sunda bilangnya bale nyuncung kali yah. Sekarang jarang banget kulihat di Bandung masjid yang atapnya tajug nyuncung begitu. 

Atap di serambi paling atas ditopang 16 tiang kayu. 16 tiang ini terdiri dari 6 sakaguru dan 12 sakarawa. Tiap tiang diameternya kira-kira 30 cm. Begitu kata buku yang kubaca. 

*Sakaguru: tiang peyangga struktur banguna utama. Sakarawa: tiang penyangga struktur bangunan tepi atap.
*Atap tajug: atap bentuk limas, dasarnya persegi dengan satu puncak di tengah.

Indra sholat di serambi utama, yang paling atas itu. Jadi dia bisa lihat saka gurunya. Sungguh dia beruntung! 

Serambi atas dibuka hanya di hari Jumat saja. Seingatku, kami ke sana hari kamis ashar. Tapi Indra bilang itu hari jumat.

Untuk perempuan ruang sholatnya ada di serambi di paling bawah. Ya di sanalah saya berada. Sehabis sholat kutengok-tengok aja kan interior masjidnya. 

Gimana ya jelasinnya. Level dekorasi bangunan di sini level kerajaan gitu. Bahkan ada tangga yang kulihat itu berdekor bunga yang terlihat mewah. 

Kekagumanku pada masjid ini juga jatuh pada pada dekorasi dinding dan pintu. Banyak sekali dekorasi kelopak bunga yang tertanam di dinding. Formasi kelopaknya 4-8. Bunga apa namanya saya gak tahu. Lagi-lagi, saya butuh pemandu di sini...heuheu...





Gak ketinggalan ornamen piring-piring cantik nan antik khas bangunan zaman kerajaan di Cirebon. Ada buanyak sekali ornamennya. 

Masjid ini kalo diperhatikan mewah juga dekorasinya. Makanya kubilang tadi levelnya buat raja-raja. 

Sayangnya lantai masjid berupa keramik putih biasa. Begitu juga atap di serambi bawah. 

Di teras masjid terdapat bedug tua yang asalnya dari abad 16. Saya juga menengok koleksi mushaf Al Quran tulisan tangan yang tersimpan di lemari kaca. Konon usianya ratusan tahun.

Sama dengan situs sakral religius lainnya di Indonesia, di sini juga ada sumur keramat. Saya hanya melihat satu sumur saja dan enggan menghampiri sumur lainnya. Sebab terlalu hiruk pikuk suasananya. Kubaca pada buku panduan, ada empat sumur keramat di kompleks ini.


pintu ini masuk masjid yang cakep banget.
tambahan atap seng itu ganggu pemandangan masjid, tapi butuh untuk menghalau air hujan dan panas, mungkin


Pengalaman Gak Enak di Masjid Gunung Jati

Ongkos parkir Rp10.000. Tak apa. Masih wajar. Tiket masuk Rp5.000, oke gak apa. 

Masjidnya berada di tengah pemukiman padat. Menuju ke pintu masjidnya saja, kamu harus jalan berbelok-belok menelusuri gang kecil. Melewati rumah penduduk, warung-warung kelontong, dan...barisan pengemis.

Ya betul. Barisan pengemis duduk di tepi jalan gang itulah yang membuatku bingung.  

Sambil berjalan kaki dengan posisi membungkukan badan tanda permisi, kuhitung jumlah mereka. 

Satu...
Dua...
Lima...
Tujuh...
Sepuluh...

Berbelok gangnya, masih ada pengemisnya. 

Empat belas...
Tujuh belas...
Dua puluh...
Tiga puluh...

Aduh jantung saya menyusut memikirkan betapa menyedihkannya pemandangan tersebut.

Empat puluh? hampir.

EMPAT PULUH ENAM ORANG DUDUK BERSILA NUNGGU SUMBANGAN. 

Bayangkan kamu jalan kaki masuk gang. Lalu di sisi kiri kamu nih ada 46 orang ibu dan bapak duduk berjajar. Di depan mereka ada baskom kecil warna-warni buat wadah uang. 

Saat kuceritakan ini pada seorang teman, ia tertawa. Apakah aku membayar mereka sekaligus dengan uang lima puluh ribuan dan kembaliannya Rp4000?

Baru kulihat pemandangan pengemis dengan formasi yang terorganisir begitu.

Apa yang harus saya rasakan saat memandang itu semua? Risih, terganggu, sedih, marah? 

Kamu tahu apa yang paling ironis dari itu semua? Saat kubaca pengumuman donasi masjid di papan pengumuman. Jumlahnya mencapai angka...TIGA RATUS JUTA.

Dikemanakan tiga ratus juta, mengapa harus ada pengemis sebegitu banyak dan terkoordinir begitu rapi. Mengapa mereka harus jadi bagian dari sistem wisata ziarah yang seharusnya agung, sakral, dan kudus ini? 

Pemandangan tersebut hanya terjadi saat kliwonan atau tiap hari? begitu tanyaku dalam hati. Kacau sekali. 

Saat berjalan kembali melewati 46 pengemis itu, perasaan gak nyaman mulai memuncak. Inginnya bergegas kembali ke parkiran. Lalu pergi. 

Kami membawa kamera DSLR, tapi kamera itu diam saja dalam tas. Kami pikir saat itu tidaklah bijak memotret dengan kamera model 'serius'. Petugas patroli di mana-mana. Ratusan (atau ribuan tepatnya) orang berjejalan di semua sudut kompleks. 

Terlintas sih keinginan saya untuk kembali ke situs Gunung Jati ini di hari biasa, bukan kliwon. Namun, sepulang dari sana rasanya saya gak mau balik lagi. 

Di parkiran saat kami bersiap pulang, mesin mobil baru menyala dan kami didekati banyak ibu-ibu berperawakan sehat. Kalung di leher. Anting-antingnya menggantung di kedua telinganya. Entah emas betulan atau bohongan. Mereka meminta-minta. Anak-anak seliweran menadahkan tangan meniru orang dewasa di sekitarnya. Pada ngapain? Mengemis juga.

Lalu seorang mas-mas bertubuh tegap mengetok jendela mobil kami. Tahu ia minta apa? uang parkir. Sudahlah kami berdamai dengan situasi saja. Kami cuma orang asing di sana.

Sungguh mengenaskan hal-hal yang gak islami terjadi justru di situs yang seharusnya paling islami. 

Begitulah. Pengen gak pengen balik lagi ke Masjid ini tuh...masjidnya indah, tapi...

Terlepas dari pengalaman tersebut, apakah saya rekomendasikan situs kuno ini untuk dikunjungi? YA TENTU SAJA :)




Oya, karantina covid-19 membuatku menulis catatan lama ini. Penelusuran saya akan masjid-masjid kuno di Cirebon ini sudah lama berlalu. Beberapa masjid pernah saya tulis di blog. Nah sekarang saya tulis satu masjid lainnya yang populer di kalangan peziarah Walisanga, yaitu Sang Saka Ratu.

Toko Oleh-oleh di Cirebon: Toko Monas, Super Duper Highly Recommended!

26 February 2019
Oleh-oleh Cirebon apa aja sih? Ini kita lagi ngobrolin makanan aja ya. Kalo pakaian mah ke Trusmi udah paling bener. Kainnya bagus-bagus dari yang kelas murah sampai batik tulis.

Tapi kalo toko oleh-oleh khusus makanan di Cirebon, di mana belinya?




Ke TOKO MONAS aja.

Percaya deh, sebagai lulusan sekolah negeri di Cirebon (apa hubungannya wkwkwk), saya amat sangat merekomendasikan Toko Monas.

Ibu mertua saya jago banget masaknya. Dia asli orang Bandung dan cinta banget sama Toko Monas. Kalo ke Cirebon, pasti belanja di sana. Gak mau dia belanja di tempat lain.

Apa yang bikin tokonya rekomended? Barangnya lengkap, bagus, dan murah!

Wait. Coba aja bandingin sama toko sejenis, saya udah dan Toko Monas ini emang harganya paling okeeee :D

Terus, belinya apa di Toko Monas?

Beli Apa di Toko Monas

  1. Terasi, ada banget. Pilih aja mau yang mana. Bilang ke cicinya, pilihin terasi yang bagus yang mana. 
  2. Emping dong pastinya. Emping gurih dan Emping manis. Ada semua! 
  3. Kecap. Kecap mana aja asal produksi Jatiwangi, Majalengka, dan Indramayu enak semua. Coba pilih Cap Matahari. 
  4. Jambal Roti gak boleh ketinggalan. Pilih yang paling mahal. Hahaha.
  5. Bekasem ya tolong ini aduhhhhh gak ada Bekasem seenak itu yang made in Cirebon! Pilih Bekasem Japuh dan Bekasem Jambal. Saya sendiri doyan banget sama Bekasem Japuh. 
  6. Kerupuk udang! Pilih kerupuk yang bentuknya stik. Sebab gak ada di mana pun selain di Cirebon. Merek mah apa aja, bagus semua kok. Saya biasa pake merek Indrasari. 
  7. Ebi. PARAH DI SINI EBINYA TERBAIIIKKKKK! Kalo kamu doyan masak, pasti ngerti maksudnya. Ebinya pilih yang paling mahal. Seons 45ribu. Gak tahu nih sekarang berapa. Satu ons tuh udah banyak banget.
  8. Bumbu instan Empal Gentong. Pernah nyobain dan masih enak buatan tetangga saya hahahaha. Tapi buat pilihan kepepet, bisa kok beli di sini. Ntar di rumah, kamu tambahahin lagi bumbu-bumbunya biar mantap rasanya. 
  9. Udah nih, bebas milih mau apalagi. Sirop? ada di sini. Tapi saya saranin beli di Kopyor 4848 aja di Jl. Karanggetas. 
Saya biasa belanja 8 produk di atas dan boyong ke Bandung sebagai stok makanan.

maapkan ini warna Jambal Roti setelah saya edit kok jadi gini ya :D aslinya mah gak gini da heuheu

Sebagai informasi tambahan, kalo kamu belanja pagi-pagi, di depan Toko Monas ada mbok-mbok udah tuaaaa banget. Beliau jualan asam jawa. Unik banget karena asem jawanya macem-macem. 

Ada asem jawa yang masih nempel ke tangkai, asem muda, asem tua, asem jawa yang gak berbiji, dan asem jawa yang berbiji. Sama satu lagi, saya lupa asem jawanya gimana tuh bentuknya :D Saya pernah ke sana jam 10, si mbok udah gak ada. 

Dan informasi bonus nih, Toko Monas memproduksi mie. Ho oh bikin mie sendiri. Saya pernah beli dan saya lupa saya pernah beli, pas buka kulkas, mienya udah basi. Udah lebih dari dua minggu. LOL. Sayang banget! Lain kali ke Toko Monas, saya bakal beli mienya lagi. 

Pasar Kanoman ini memang gudangnya bahan pangan terbaik. Bahkan ulekannya aja bagus-bagus lho kalo beli di sini. Murah pula. Pake batu kali bukan batu semen. 

Di mana Toko Monas

Persis di sebelah Pasar Kanoman. Pake googlemap ajalah biar gampang. Posisinya tuh pas banget bangunan terakhir sebelon masuk ke pasar inti Kanomannya. 

Kalo kamu berdiri menghadap gerbang ke jalan Keraton Kanoman, nah Toko Monas ada di sebelah kanan. 

Buka gak tahu jam berapa, mestinya jam 6 udah buka sih :D Kayaknya jam 7 pagi deh bukanya. Tutup jam 5 sore. 

Buka setiap hari. 

Gimana, cukup gak infonya nih? Cukup ya. Saya sering buka jastip kalo mudik nih, beli banyak buat dijual lagi di Bandung. Belinya di mana? Di Toko Monas dong :) 


Tiga Malam di Hotel Sidodadi Cirebon

13 December 2018
Aslinya sih rencana kami menginap di Hotel Sidodadi hanya semalam. Ternyata ada urusan kerjaan di Cirebon yang gak beres dalam sehari. Ditambah hotelnya oke juga. Jadilah kami perpanjang tidurnya dua malam, gak mau pindah hotel. 

Tulisan jalan-jalan di Cirebonnya sendiri ada di artikel yang lain. Cek ke kategori Outside Bandung ya. 

Bila cari kota buat dijelajahi di musim liburan besok, pergi ke Cirebon aja. Bandung pasti macet berat :D Lagipula menurut saya mah kota udang ini seru buat dieksplor, dia teh termasuk kawasan wisata Indonesia yang unik. Cocok buat orang-orang metropolis yang garing kayak kita. Wkwkwk apeu atuh metropolis :D

Seriusan deh ini. Kalau teman-teman ada kesempatan jalan-jalan di Cirebon, menginaplah di Hotel Sidodadi. Gak ada kolam renang sih. Juga ini hotel lama. Tapi ini nih yang saya sering temukan di hotel lama: ruangan kamarnya luas, makanannya enak-enak ala rumahan, dan pegawainya baik-baik amat! Bersih mah ya sudah pasti atuh. 



review Hotel Sidodadi


Urusan check in cepat dan praktis. Standar lah cuma cek KTP doang. Deposit gak ada. Jadi kita mulai dari mana nih bahas hotelnya? Kayak biasa aja ya dari kamar tidur. Let's go!

ROOM

Kalau gak salah ingat, saya pesan kamar termurah. Kamar superior. Bednya twin. Karena itu yang ada pas saya pesan di Pegipegi. Masalahnya harga termurah ada di aplikasi itu. 

Dan kamarnya luas banget! pake ada kursi ala teras segala. Satu meja dua kursi gitu. Kalau kamar itu dikontrakin mah cocok buat yang baru menikah atau punya anak satu :D  

Ranjangnya okelah, gak empuk banget tapi juga gak keras. Disediakan bantal aja dua biji. Ada saluran tivi kabel, ada AC (wajib ini kalau ke Cirebon, carilah kamar yang ada ACnya), lantai marmer. Nyamanlah. 

Penerangan aja yang rada gimana gitu menurut saya. Warnanya kuning, setelannya untuk tidur enak. Bukan untuk membaca. Wifi gimana? Ada tapi kurang kenceng.

Ada jendela gak? Ada banget!



review Hotel Sidodadi

review Hotel Sidodadi


Terus ke kamar mandi. Lumayan bersih kamar mandinya. Agak usang sih karena hotel senior. Tapi masih okelah. No complaint. Air hangatnya lancar, amenitiesnya standar. 

Overall kamar tidur dan kamar mandi memuaskan. 


LOCATION

Di jantung kota Cirebon. Di Jalan Siliwangi. Dari stasiun kereta api mah tinggal jalan aja dikit. Langsung deh ketemu hotelnya. Kalau dari terminal bis mah iya jauh. 

Angkot yang seliweran di depan hotel pun ada banyak. Tinggal pilih mau ke mana. Sekarang di Cirebon sudah ada ojek online. 

Jika mencari tempat makan, nah ini agak jalan dulu. Naik angkot aja ding. Pergilah ke Jalan Siliwangi arah Pasar Pagi. Atau ke Jalan Kartini cari mall. Sebenernya di sebelah hotel ada restoran sih. Ada warteg sih. Menurut saya mah makanannya oke juga. Kami makan dua kali di sana soalnya, di warteg itu khekhekhekhe :D 

Hotel Sidodadi gak jauh dari tempat wisata. Ke keraton dekat, ke mall-mall andalan Cirebon pun 'tinggal loncat'. Hehe. Hotelnya juga sepelemparan batu dari Alun-alun Kejaksan, bila malam hari banyak yang jualan makanan di sana. 


FOOD

Wah ini mah enak euy! Sarapannya oke-oke banget rasanya. Kesannya yang masak adalah bibi atau paman kita yang jago masak. Menunya pun tradisional. Bukan yang canggih-canggih.

Menu terdiri dari menu prasmanan, roti-rotian, buah-buahan, dan dessert berupa puding. Minumnya standar sih kayak teh, kopi, dan ada jus jeruk. 


review Hotel Sidodadi

review Hotel Sidodadi


Terus restorannya guede banget. Luas dengan jendela besar-besar. Cermin raksasa. Meja makan bulat dengan taplak motif Mega Mendung dan kursi makan yang tipenya kayak kursi santai-santai di balkon. Wah rasanya seperti ada di tahun 80-90an. Jadul dibungkus kemewahan! 

Pada masanya Hotel Sidodadi ini hotel termahal kali ya ahahahaha :D 


SERVICE

Kebanyakan pegawai yang saya temui bapak-bapak. Seragamnya batik. Ada juga perempuannya tapi gak lihat ada banyak. Semuanya baik banget. Baik karena emang alaminya begitu ya bukan baik karena disuruh bosnya :D 

Kenapa ya hotel-hotel lama begini tuh punya sentuhan berbeda dengan hotel masa kini. Gak cuma dari penampakan bangunan dan namanya (Sidodadi, bagus banget namanya!), tapi juga resepsionisnya, orang-orangnya, perabotannya, suasananya. Semuanya terkesan selow banget. Kalem gitu. 

Saya sih suka, gak ada tuh efek horor atau sendu-sendu gimana gitu. Yang ada malah kebawa tenang.  Seneng banget! Kayak menginap di rumah paman. Tapi berbayar :D 

Di dalam hotel banyak pohon. Dia kan hotelnya bukan satu bangunan menclok, tapi ada taman besar di bagian tengah. Sekalian tempat parkir mobil sih. Tiap kamar menghadap ke arah taman tersebut. Ada banyak pohon di tepi-tepi taman. Ada juga perosotan dan ayunan. Sederhana aja sih sebenernya mah. Tapi ya itu, karena sederhana rasanya jadi kayak selow abis. 


review Hotel Sidodadi


HARGA

Waks udah lupa lagi berapa detailnya. Yang pasti mah 250ribuan/malam. Waktu saya pesan di aplikasi Pegipegi, emang yang termurah di sana. Ada diskonan :D 

Beberapa kali saya booking hotel via Pegipegi emang oke. Perhatiin program Promonya untuk dapetin harga termurah. Cek promo tuh buat saya udah default tiap buka Pegipegi. Hahaha. 

Tapi ada juga beberapa alasan lain bikin saya pesan kamar hotel mulu di Pegipegi. Apa aja? 



review pegipegi



Pepepoin Bila Memesan Kamar Hotel


Setiap booking kamar hotel di Pegipegi, kita dapat poin. Bisa dikumpulin tuh buat dituker sama diskonan hotel. Anggep aja kayak tabungan. Tapi Pepepoin gak akan kamu dapetin kalau kamu booking pake kode promo. 

Pepepoin akan masuk ke akun kita bila sudah lewat tujuh haris sejak kita check out dari hotelnya. 1 pepepoin = Rp25

Proses Pemesanan yang Gak Ribet

Wah ini mah penting banget. Gak pake ribet! Ntar buka aplikasi Pegipegi. Pilih Hotel. Abis itu masukin tanggal mau nginep dan checkoutnya, masukin jumlah orang, jumlah kamar. Search!

Udah deh tinggal pilih yang tercocok untuk kalian. Sssst...jangan lupa cek dulu ada promo hotel apaan, lumayan kalau dapat diskonan hahaha. Etapi ingat ya, kode promo dipake, kalian gak dapat pepepoin.

Proses pembayaran di Pegipegi pun mudah banget! Sok mau bayar pake apa ada semua fiturnya. Mbanking, bayar di minimarket, transfer. Ada semua.

Terus ceritanya gak jadi nginep nih. Mau refund. Susah gak? kagaaaakkk :)

Refund di Pegipegi

Untuk refund ntar teman-teman cek di email konfirmasi pemesanan kamar hotel. Kalian juga bisa lihat di metode pembayaran. Di sana tercantum informasi mengenai peraturan Refund dan besaran biaya pembatalan. Kan suka ada hotel yang ngecharge biaya pembatalan. Ntar cek di bagian kanan bawah, khusus di bagian 'syarat dan ketentuan pemesanan'.

Nanti pemberitahuan cancelation masuk ke email kita. Butuh waktu sekitar 14 hari untuk refundnya, gak bisa langsung ateuh :D Kecuali kalian booking pake kartu kredit sih, biasanya ada ketentuan khususnya kalo berkenaan dengan kartu kredit.


Rekomendasi jalan-jalan ke Cirebon, bisa teman-teman baca di sini. Selamat liburan, selamat jalan-jalan :) 

Masjid Kaliwulu: Situs Kuno Di Balik Batik-batik Trusmi

07 September 2017
Sinar matahari dosis tinggi tak menyurutkan niat turis-turis domestik berbelanja kain batik. Mumpung masih jam 9 pagi. Cuaca panas menyengat, masuk ke toko-toko batik yang berjejer itu lebih menyenangkan sebab bisa menyejukkan diri dengan mesin pendingin udara di dalamnya. 

Namun saya dan Indra urung membeli oleh-oleh khas Cirebon di Trusmi. Tujuan kami di Kampung Batik Trusmi berada agak jauh dari keramaian, menepi ke sisi terjauh Desa Trusmi yang senyap.

Desa Kaliwulu merupakan tetangga dekat Desa Trusmi. Masjid kuno nan keramat bernama Masjid Kaliwulu berada di sekitar perbatasan kedua desa tersebut. Rasa penasaran akan masjid yang antik membawa saya padanya.



Dari mulut Jalan Panembahan Plered yang merupakan gerbang masuk ke Kampung Batik Trusmi, Indra kemudikan kendaraan lurus saja mengikuti Jalan Syekh Datul Kahfi menuju Jalan Ki Natagama.  Terima kasih Googlemap :D 

Jalan mulai agak lengang dan menyempit. Kendaraan diparkir dan kami memutuskan menumpang becak. Tawar menawar harga, sepakat di angka Rp10.000 bolak-balik ke dan dari Masjid Kaliwulu.

Menyusuri jalan kecil menuju masjidnya dari dalam becak, saya pikir sebenarnya mudah saja melaluinya dengan berjalan kaki. Tapi anu lho, panasnya luar biasa. Padahal baru jam 9 pagi saja. 

Kira-kira 1,5 km dari mulut jalan Ki Natagama dan melewati barisan rumah, kami bermuara ke sebuah tempat yang hening. Di situlah Masjid Kaliwulu berada.

Kesunyian Masjid Kuno Kaliwulu

Becak berhenti di dekat makam-makam warga yang jadi halaman depan Masjid Kaliwulu. "Makam keramat ada di belakang masjidnya," ucap Pak Sobari - tukang becak- tanpa saya tanya. Dia pikir saya mau ziarah kali ya :D 

Saya memintanya menunggu sembari saya menjelajahi masjidnya. Sepi sekali suasana masjidnya. Pohon besar-besar dan hamparan nisan membuatnya lebih temaram. 

Sekilas memandang dari luar, masjid yang dipagari tembok bata merah setinggi 1,5 m ini tampak luas. Lebar sisi depannya saja kira-kira 50 meter. Pepohonan rindang menaungi makam dan sebagian wilayah masjid. Perasaan sejuk mendekap.



Dari beberapa literatur yang saya baca di internet, masjid ini disebut berumur lebih dari 200 tahun ini. Sayangnya tahun pendirian masjid tidak tercatat pada badan masjid. Namun terdapat balok kayu di bagian atas pintu masuk ke ruang utama masjid yang mencantumkan informasi dalam huruf arab tahun perbaikan masjid, yakni tahun 1826. 

Masjid Kaliwulu didirikan oleh putra dari Pangeran Panjunan yang mendirikan Masjid Merah Panjunan. Namanya Syekh Abdurrahman. Oleh karenanya Masjid Kaliwulu dikenal juga dengan nama Masjid Keramat Syekh Abdurrahman. Nama Kaliwulu diambil dari sungai di belakang masjid. Lagipula pelafalan Kaliwulu lebih mudah diucapkan sih. 


Baca juga: Menelusuri Rumah Kuno di Cirebon


Ada tiga pintu gerbang masuk ke Masjid Kaliwulu. Seperti pada umumnya gerbang-gerbang di Cirebon, di sini gerbangnya berwujud gapura dari bata merah.

Menilik masjid dari halaman depannya, saya bisa lihat ada beberapa atap. Pada bangunan masjid semuanya beratap genteng. Sementara bangunan makam Syekh Abdurrahman beratap sirap. Di bangunan utama masjid atapnya tumpang dua. Pada pucuk masjidnya terdapat Memolo (ukiran). 

Tiap bagian di kompleks Masjid Kaliwulu memiliki fungsi dan nama. Wilayah makam keramat dinamakan Pasarean. Tempat sembahyang di luar ruang utama masjid dinamakan Pawestren. Ada pula bangunan Pendhapa (serambi). 

Meski sekarang tersedia keran air untuk berwudu, dua sumur masih lestari keberadaannya, terletak di sisi selatan dan utara masjid. Di sebelah pintu masuk ke Pasarean ada kendi ukuran besar untuk berwudu sebelum masuk ke area makam. Saya membasuh muka dari kendi tersebut. Ah segar sekali, airnya dingin terasa sejuk.

Saya minta izin pada pengurus masjid untuk memasuki ruang utama masjid, bagian asli dari masjidnya. Namun ia menolak. Saya hanya bisa menginjakkan kaki di ruang tengah masjid yang merupakan gabungan dari bangunan lama dan baru, yaitu Pawestren dan Pendhapa.

Sebelum masuk ke Pendhapa, saya berpapasan dengan dua orang yang hilir mudik di luar pintu makam Syekh Abdurrakhman yang dikeramatkan. “Mau kliwonan, Mba”, tutur salah seorang laki-laki muda, mungkin umurnnya 15 tahunan. Saya cek kalender online. Rupanya kedatangan saya pada hari kamis itu menjelang hari yang istimewa. Ah mana saya tahu kalau malam nanti malam jumat kliwon...heuheu. 


Di Dalam Pendhapa

Dari buku berjudul Masjid Kuno Cirebon tulisan Dr. Eng Bambang Setia Budi Dkk disebutkan, di dalam ruang utama masjid terdapat empat sakaguru dan delapan sakarawa. Dari total 12 tiang di ruang utama, terdapat satu tiang penuh ukiran. Sayang sekali saya belum berkesempatan untuk melihat tiang dengan ukiran yang konon indah sekali tersebut.

Sebelum masuk masjid kami berwudhu dulu. Formalitas aja sih, tapi Indra emang udah niat mau sholat katanya. 

Kami menginjakkan kaki terlebih dahulu di Pawastren. Lantainya keramik zaman sekarang yang membosankan itu lho :D Tapi kalau tengadahkan kepala lihat atap/langit-langitnya, whuidih masih kayu malang melintang. Belum lagi ada kaca-kaca patri sebagai dekorasi. Pawastren ini memang bangunan baru sih, fungsinya menampung tambahan umat utamanya kaum perempuan. 

Habis itu kami masuk ke Pendhapa dan menahan napas barang sedetik dua detik sebab terpesona dinding Paduraksa yang terlihat kokoh, gagah, dan luar biasa cantik. 



Bila pernah mengunjungi Masjid Merah Panjunan yang di dindingnya unik karena ada piring-piring tertanam di dalamnya, maka seperti itu lah pemandangan yang kami saksikan di dalam Pendhapa Masjid Kaliwulu. Hanya saja di sini warna dindingnya putih. Piring-piringnya pun kebanyakan polos tak ada gambar seperti di Masjid Panjunan. 

Ruang utama masjid dengan Pendhapa, dipisahkan Paduraksa. Tempat di mana saya dan Indra berdiri itu dahulu merupakan teras masjidnya. Saya dan Indra menyentuh dindingnya, meraba piringnya. Ah begini kali nih rasanya ada di lorong waktu :)

Kami juga mengintip-intip ke ruang utama dari celah pintu. Ah ingin masuk ke dalamnya tapi mana bisa. Pintu kayunya dikunci dan juga tidak dapat izin dari pengurus masjid. 

Ya sudah mengintip juga sudah cukup. 



Memendarkan pandangan ke sekeliling ruang Pendhapa, saya melihat ada empat tiang sakarawa. Satu dari empat tiang tersebut dibungkus kain putih. Tiga tiang bersih tanpa ukiran. Bagian bawah tiang disangga umpak batu. Tiang terbungkus kain putih adalah tiang yang umurnya sudah tuaaaaa sekali. 

Entah apa alasannya kenapa dibungkus kain putih. Mungkin dikeramatkan. Bisa jadi juga untuk melindungi tiang kuno tersebut dari kerusakan. Tapi saya lebih yakin alasan keramat itu sih.

Pada bagian pendhapa terdapat dua pintu antik nan mungil beratap rendah di sisi utara dan selatan. Pintunya tertutup karena sudah ada pintu pengganti yang normalnya kita lihat sekarang lah bentuknya. Di sisi pintu-pintu kuno itu lah terdapat sumur untuk berwudhu.

Nah di Pendhapa ini lah muncul perasaan takut yang merayap ke punggung dan leher saya. Ditambah pula saya mengintip-intip ruang utama dari celah pintu. Ugh senyapnya luar biasa. Minim cahaya, temaram menambah kesan angkernya. 

Indra menyempatkan sholat dhuha. Saya enggak. Hanya duduk memandang keindahan dinding dan paduraksa sambil kipas-kipas muka. Juga sambil mengenang tempo dulu suasananya bagaimana. Usai sholat dan merasa cukup melihat Pendhapa, kami keluar dan saya dengan santainya masuk ke ruang sumur. 

Sebenarnya ruang sumurnya terbuka sih, sumurnya ditutup dinding warna merah setinggi 165 m tanpa atap dan pas masuk gak langsung ketemu sumurnya, sedikit berkelok lah baru ketemu sumurnya. Dan di sini lah hawa horor itu menjadi-jadi, terasa begitu kuat. 

Perasaan aneh yang 'gelap' dan horor ini terbawa hingga ke rumah, bahkan saat saya di Bandung pun rasa merindingnya masih melekat, seperti ada beban menempel di pundak.  

Beberapa kali mengunjungi situs kuno, tapi gak semua dari tempat itu meninggalkan hawa yang angker meski tempatnya emang menyeramkan. Masjid Kaliwulu ini beda banget auranya, perasaan yang sama pernah saya alami di situs Gunung Padang Ciwidey. Perasaan angkernya terbawa hingga ke rumah berhari-hari lamanya.


Kalo diperhatiin dari fotonya sih kayak yang biasa aja ya gak ada yang bikin merinding. Mesti ke sana langsung deh. Hawa mah tak terlihat. Enaknya dirasakan sendiri.

Gak apa-apa sih, namanya juga tempat keramat dan kuno. Terlepas dari aura tak sedap yang bikin gelisah, Masjid Kaliwulu ini sungguh masjid yang indah. Walau sudah ditambah ruang-ruang baru, tapi keasliannya masih terjaga dan saya menyukainya. 

Dan juga nama masjidnya mirip nama saya, ulu = wulu. Ehehehe maksa :D 

Bila datang ke Cirebon, ayo datangi situs-situs kunonya. Pengalaman wisata yang sungguh berbeda bila dibandingkan dengan berbelanja benda-benda atau swafoto belaka. Yang ini namanya belanja pengalaman, gak bisa dibeli dengan uang. 



Bila Ingin ke Masjid Kaliwulu

1. Masjid Kaliwulu, paling mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi. Namun bila menggunakan transportasi umum pun tak masalah. Buka aplikasi Googlemap untuk penunjuk jalan.

2. Selain ojek, pilihan menumpang becak bisa jadi keasyikan tersendiri. Dari pusat kota Cirebon ke Plered menaiki angkot. Berhenti di Plered, tinggal dipilih ojek atau becak yang ingin ditumpangi. Sekarang di Cirebon ada Gojek dan Grab sih. Tapi kayaknya bakal repot pas pesen mereka dari Kaliwulunya. 

3. Belajar menggunakan bahasa lokal. Tak usah banyak kosakata, cukuplah kata ‘terima kasih’ dalam bahasa cirebonan.

4. Setiap masjid ada kuncennya. Pastikan meminta izin dahulu sebelum memotret, apalagi bila menggunakan kamera DSLR.

5. Berhubung tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat ibadah sekaligus tempat yang dikeramatkan, pakaian yang kita kenakan harus sopan dan berperilaku lah santun.




Teks : Ulu
Foto : Indra Yudha, Nurul Ulu

Menelusuri Rumah Kuno di Kampung Arab Cirebon, Dimuat di Koran Pikiran Rakyat

04 April 2017
Berikut ini karya kami (Indra dan Ulu). Tulisan saya tentang Cirebon dimuat pada surat kabar Pikiran Rakyat 12 Maret 2017. Sebenarnya saya mau ambil format korannya sih, ada format digitalnya gitu. Tapi mesti login ke websitenya Pikiran Rakyat (http://epaper.pikiran-rakyat.com/). Dan registernya susah sekaleeeeee. Saya coba beberapa hari ini gagal mulu. 



photo credit: T Bachtiar
Ah ya udah saya unggah tulisan awal sebelum diedit redaksi Pikiran Rakyat. Ya lumayan sih gak banyak juga yang diedit. Silakan dibaca. Tiga dari foto yang Indra jepret di bawah ini tayang juga dalam korannya. Untuk melihat foto lebih banyak, baca tulisan sebelumnya ya. Linknya di sini


******************************

Awal tahun 2017 saya datang ke Cirebon. Lawatan kali ini saya niatkan untuk melihat rumah-rumah kuno di Kota Udang tersebut. Dengan waktu yang terbatas, sebelum pergi saya riset data dan menyalin sebuah peta menyusuri kawasan bersejarah di Cirebon.  




Peta yang saya salin berasal dari buku berjudul Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia, tulisan Emile Leushuis seorang geograf Belanda. Awalnya buku travel historical guide ini diterbitkan dalam bahasa Belanda. Tahun 2014 bukunya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Dalam peta tercantum titik keberangkatan di Keraton Kasepuhan. Saya memutuskan putar rute dengan memulai perjalanan di sekitar kawasan Panjunan.


Berderet Rumah Kuno di Panjunan Kampung Arab

Kawasan Panjunan adalah kampung arab. Sebagai kota pelabuhan yang pernah mashyur, banyak orang dari Mediterania dan Cina berdatangan ke Cirebon untuk urusan bisnis dan agama. Ada yang hinggah sebentar lalu pergi berlayar, tidak sedikit pula yang menetap dan bermukim di Cirebon.

Baru saja masuk ke mulut jalan Panjunan, langung terhampar pemandangan sebuah rumah tua yang  mewah. Terasnya luas dan pilar-pilar rumahnya terlihat perkasa. Meski nampak renta, rumahnya dalam kondisi sehat. Masih ada penghuni yang merawatnya.

Kembali berjalan, saya berulang-ulang takjub dengan rumah-rumah kuno yang saya temui. Hampir semua arsitekturnya belum pernah saya lihat di kampung halaman saya di Bandung.

Bukan hanya unik, beberapa rumah warna catnya mencolok mata. Didominasi warna hijau, merah, dan kuning, juga ukuran rumah yang mirip istana hingga ke rumah yang tipenya mungil, Panjunan adalah surganya rumah-rumah antik.

Seperti pada umumnya rumah kuno, jendela dan pintu rumah ukurannya tinggi dan besar. Jendelanya berbuku-buku, tapi ada juga jendela polos tanpa motif dan tekstur, bahkan yang berkaca patri masih banyak. Di bagian atas pintu dan jendela terdapat kerawang (ventilasi) dengan pola yang berbeda-beda dan cantik.  

Hampir tiap rumah memiliki teras dan 2-3 anak tangga di depan pintunya. Tidak semua rumah berpagar, hanya rumah-rumah besar saja yang dipagari.





Masih di Jalan Panjunan, kedua kaki saya pacu menuju sebuah masjid bersejarah: Masjid Panjunan, populer dengan nama Masjid Merah Panjunan.

“Panjunan asal katanya Jun, artinya tukang keramik,” ujar kuncen masjid Panjunan. Bapak Kuncen nampak semangat sekali ingin bercerita. Ceritanya berhamburan dari silsilah Sunan Gunung Jati, piring-piring yang menancap di dinding, hingga kisah Syarif Abdurakhman yang dijuluki Pangeran Panjunan yang berasal dari Baghdad, Irak.

Sebelum VOC datang, Cirebon termasuk kawasan tersibuk di Hindia Belanda. Di abad 16, Cirebon bukan saja menjadi kota pelabuhan terpenting tapi juga menjalin kerja sama dengan Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah dan memiliki hubungan kekerabatan dengan raja-raja di Demak dan Banten. Ketenaran dan peran Cirebon di bidang perdagangan dunia di masa lalu ibarat Singapura di masa kini.

“Orang-orang yang dibawa Pangeran Panjunan itu cikal bakal kampung arab di sini”, tutur Pak Kuncen lagi. Lamunan saya tentang pelabuhan Cirebon pecah.

Bagi saya Masjid Merah Panjunan merupakan masjid yang unik. Masjid yang dibangun tahun 1480 ini bercitarasa nusantara. Gerbang masuknya berbentuk gapura seperti yang kita temui di candi-candi di Jawa Timur. Atapnya bertingkat terbuat dari sirap dengan ornamen gada di puncak atap. Bangunan masjidnya berbentuk limasan dengan dinding warna merah bata.  





Menurut cerita Pak Kuncen yang mukanya kerab-araban ini, dahulu orang arab yang tinggal di Panjunan hampir semuanya berprofesi sebagai pengrajin keramik. Keramik yang dibuat berasal bahan tanah liat. Sayang jejak pengrajin keramik sudah tidak ada di Panjunan. Saya beranjak ke Gang Pasewan.

Arsitektur rumah di Gang Pasewan berbeda dengan rumah-rumah di Jalan Panjunan. Bila di Jalan Panjunan terlihat seperti rumah hunian, di gang Pasewan rumah-rumahnya lebih mirip tempat berdagang dan gudang. Serambi atap rumahnya menjulur ke sisi jalan.

Meski dimiliki orang-orang arab, rumah di sini dihuni orang orang cina. Pasewan berasal dari kata ‘sewa’. Dahulu orang arab menyewakan rumahnya kepada orang cina. Gang Pasewan ini pendek saja jarak tempuhnya, sekitar 200 m.


Melintas di Kawasan Cina dan Bangunan Kolonial

Keluar dari Pasewan, saya masuk ke Jalan Pasuketan. Di sinilah kampung arab memudar, bangunan tionghoa dan bergaya kolonial memenuhi jalanan.  Sementara itu matahari Cirebon sudah membelalak dan air minum perbekalan saya ludes. Mencari warung, saya istirahat sebentar untuk berteduh dan membeli satu botol teh dingin.

Di Pasuketan saya melihat dua bangunan kolonial yang besar-besar. Satu terawat, satunya lagi seperti mati suri. Bangunan Belanda yang dibangun tahun 1920 itu kondisinya terawat dan menjadi kantor bank Mandiri.

Dari Jalan Pasuketan saya menyebrang jalan menuju Jalan Banteng. Terdapat sebuah bangunan maha besar dan panjang yang jadi primadona warga Cirebon sebagai latar swafoto. Gedung BAT namanya. Gedung yang pertama digunakan tahun 1924 ini merupakan pabrik sekaligus kantor rokok BAT (British American Tobacco). Siapapun yang melewati Jalan Banteng dan sekitarnya pasti menyadari betapa ‘raksasa’nya gedung yang sekarang kosong ini.

Abad 18 orang-orang cina memegang peranan penting di Cirebon. Meski dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah kolonial, warga tionghoa di Cirebon bertambah jumlahnya dan berperan besar dalam urusan perdagangan. Mulanya mereka dipaksa pemerintah kolonial untuk bermukim di Jalan Pasuketan, Jl. Lemah Wungkuk, dan Jalan Talang saja.

Puas menatap gedung BAT, saya berbelok ke Jalan Talang. Terdapat tulisan petuah di pintu klentengnya. Sungguh sangat relevan petuahnya dengan fenomena hoax saat ini.  





Fakta menarik tentang Klenteng Talang adalah selain usianya yang sangat tua –dibangun abad 15- klenteng ini awalnya berfungsi sebagai pondokan dan tempat ibadah umat muslim tionghoa.

Saya melanjutkan perjalanan ke Jalan Kebumen dan Jalan Yos Sudarso. Berturut-turut saya memandang kagum gedung khas kolonial: bangunan SMPN 14 dan 16 (awal abad 20), kantor bermenara Gedung Pt. Cipta Niaga , Gereja Protestan tertua di Cirebon (1770), Gereja protestan St. Yosep yang dibangun oleh pastor sekaligus pemilik pabrik gula di tahun 1878, kantor Bank Indonesia (1919-1921), Kantor Pos Indonesia (1906), juga rumah-rumah hunian.

Jika membaca buku-buku yang memuat informasi sejarah, kisah dibalik bangunan kuno memang tidak seindah penampakan gedungnya. Ada tanam paksa, ada kerja paksa, ada pajak yang terlalu tinggi, ada monopoli perdagangan, dan hal lain yang kejam-kejam. Namun mengapresiasi kecantikan warisan bangunannya menurut saya bukan hal yang salah.

Sudah lewat pukul 1 siang, Cirebon sudah terlalu panas, hampir 3,5 km jarak berjalan kaki dan becak, saya kelelahan dan perut kelaparan. Saya putuskan berhenti berjalan dan menumpang becak.

Dari dalam becak saya kembali melewati beberapa tempat yang tadi saya telusuri, sempat pula terkantuk-kantuk ditiup angin pantai, dan berakhir dengan mata terbelalak akibat diklakson mobil di depan kami. Becak yang saya tumpangi melawan arah rupanya, saya pura-pura sibuk mengecek hp saja. Pengalaman yang menyenangkan dapat melihat-lihat bangunan kuno di Cirebon!


Jalan-jalan Wisata Bangunan Kuno, Kenapa Tidak?

Berkunjung ke luar kota, hampir semua kegiatannya saya jadwalkan dengan berwisata heritage dan wisata kuliner. Wisata heritage ada dua macamnya: budaya dan sejarah (cultural) dan alam (natural). Ada wisata budaya ke kampung adat dan masuk ke luar hutan larangan, misalnya. Ada pula wisata kuliner dan mengunjungi bangunan bersejarah.





Sayangnya belum banyak operator wisata bangunan bersejarah di kota-kota di Indonesia. Kalau pun ada biasanya berbasis komunitas, bukan operator bisnis tur.

Berikut ini hal-hal yang biasanya saya lakukan bila hendak menelusuri jalur sejarah sebuah kota dan melihat-lihat warisan bangunan kunonya:
  1. Riset data dari buku
  2. Browsing di internet, mencari data sekaligus komunitas sejarah di kota yang ingin kita kunjungi. Kontak dan meminta kesediaan mereka untuk menemani perjalanan kita. Ditemani warga lokal dapat membantu kita mencari informasi dari pemilik rumah dan warga sekitar, juga memberi rasa aman dan keleluasaan dalam memotret
  3. Bila anggaran terbatas, lakukan saja sendiri. Bila ingin menyusuri sejarah kota Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Malang, dan Surabaya, saya merekomendasikan Buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia (penulis Emile Leuhuis, penerbit Ombak).  Dalam bukunya terdapat peta dan uraian
  4. Buat perkiraan waktu perjalanan: durasi berjalan, jarak tempuh, transportasi, pemilihan waktu



Menyusuri areal perkotaan sendirian dan beramai-ramai beda sensasinya. Tingkat keamanannya juga berbeda. Bila penampilan kita terlalu menonjol khawatirnya kita disasar jadi korban pencopetan, penjambretan, pemalakan, dan sejenisnya. Berikut ini tip agar kita dapat melebur bersama warga kota yang kita kunjungi:
  1. Gunakan pakaian sewajarnya dengan warna yang natural
  2. Tidak menggunakan perhiasan dan peralatan elektronik berlebihan
  3. Bersikap wajar, membumi, dan ramah kepada warga sekitar
  4. Kurangi swafoto berlebihan
  5. Minta izin bila ingin berfoto
  6. Selalu bawa uang receh untuk keperluan tak terduga, misal buang air kecil di WC umum berbayar, membayar ongkos becak, membeli air minum dan jajan di warung keci

Teks : Nurul Ulu Wachdiyyah
Foto: Indra Yudha Andriawan