Social Media

Tentang Situs Kuno di Trusmi, Dimuat di Koran Pikiran Rakyat

21 December 2017
Berikut ini karya kedua kami di surat kabar Pikiran Rakyat.



Versi koran digitalnya bisa dibaca di http://epaper.pikiran-rakyat.com/.

Selamat membaca. 

**********

Sinar matahari dosis tinggi tak menyurutkan niat turis-turis domestik berbelanja kain batik. Cuaca panas menyengat, masuk ke toko-toko batik yang berjejer itu lebih menyenangkan sebab bisa menyejukkan diri dengan mesin pendingin udara di dalamnya.

Namun saya urung membeli oleh-oleh khas Cirebon itu. Tujuan saya ke Kampung Batik Trusmi berada agak jauh dari keramaian, menepi ke sisi terjauh Desa Trusmi yang senyap.

Desa Kaliwulu merupakan tetangga dekat Desa Trusmi. Masjid kuno nan keramat bernama Masjid Kaliwulu berada di sekitar perbatasan kedua desa tersebut. Rasa penasaran akan masjid yang antik membawa saya padanya.

Dari mulut Jalan Panembahan Plered yang merupakan gerbang masuk ke Kampung Batik Trusmi, saya kemudikan kendaraan lurus mengikuti Jalan Syekh Datul Kahfi ke Jalan Ki Natagama. Jalan mulai agak lengang. Saya harus berbelok lagi ke kanan dan berakhir tepat di mulut gerbang masjidnya. Jalan menyempit. Kendaran saya parkir dan memutuskan menumpang becak. Tawar menawar harga,  kami sepakat di angka Rp10.000 bolak-balik dari Masjid Kaliwulu.

Menyusuri jalan kecil menuju masjidnya dari dalam becak, saya pikir sebenarnya mudah saja melaluinya dengan berjalan kaki. Mobil pun muat melaju namun akan menyusahkan kendaraan yang lain yang arahnya berbalikan. Kira-kira 1,5 km dari mulut jalan Ki Natagama dan melewati barisan rumah, kami bermuara ke sebuah tempat yang hening. Di situlah Masjid Kaliwulu berada.

 

Kesunyian Masjid Kuno Kaliwulu

Pertama kali yang saya lihat adalah nisan-nisan makam di halaman depan Masjid Kaliwulu. “Ini makam warga di sini,” cerita Pak Sobari, pengemudi becak yang saya tumpangi. Ia berkata lagi “kalau makam di belakang masjid itu makam keramatnya.”

Saya memintanya menunggu sembari saya menjelajahi masjidnya. Sekilas memandang dari luar, masjid yang dipagari tembok bata merah setinggi 1,5 m ini tampak luas. Lebar sisi depannya saja kira-kira 50 meter. Pepohonan besar menaungi makam dan sebagian wilayah masjid. Perasaan sejuk mendekap.

Senang sekali akhirnya saya bisa berada di masjid berumur lebih dari 200 tahun ini. Sayang tahun pendirian masjidnya tidak tercatat, namun pada balok kayu di bagian atas pintu masuk ke ruang utama masjid tercantum informasi dalam bahasa arab tahun perbaikan masjid, yakni tahun 1826. Berarti Masjid Kaliwulu sudah ada sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun sebelumnya.

Masjid Kaliwulu didirikan oleh putra dari Pangeran Panjunan yang mendirikan Masjid Merah Panjunan. Namanya Syekh Abdurrahman. Oleh karenanya Masjid Kaliwulu dikenal juga dengan nama Masjid Keramat Syekh Abdurrahman. Nama Kaliwulu diambil dari sungai di belakang masjid.

Gerbang masuk berbentuk gapura ke masjid ada tiga. Seperti pada umumnya gerbang-gerbang di Cirebon, di sini gerbangnya berwujud gapura dari bata merah.

Tiap bagian di kompleks Masjid Kaliwulu memiliki fungsi dan nama. Wilayah makam keramat dinamakan Pasarean. Tempat sembahyang di luar ruang utama masjid dinamakan Pawestren. Ada pula bangunan Pendhapa (serambi).

Meski sekarang tersedia keran air untuk berwudu, dua sumur masih lestari keberadaannya, terletak di sisi selatan dan utara masjid. Di sebelah pintu masuk ke Pasarean ada kendi ukuran besar untuk berwudu sebelum masuk ke area makam. Saya mencoba membasuh muka dari kendi tersebut. Ah segar sekali airnya dingin.

Menilik masjid dari halaman depan, ada beberapa atap yang menandakan tiap bangunan di kompleks masjid memiliki atapnya sendiri. Bangunan masjid semuanya beratap genteng, sementara makam Syekh Abdurrahman beratap sirap.

Bangunan utama masjid beratap tumpang dua dan pada pucuk masjid terpasang Memolo (ukiran), bukan kubah masjid seperti pada umumnya. Memolo ini ukiran yang unik. Saya perhatikan banyak bangunan di Cirebon (bukan hanya masjid) yang memasang Memolo di pucuk atap bangunannya.

Saya minta izin pada pengurus masjid untuk memasuki ruang utama masjid, bagian asli dari masjidnya. Namun ia menolak. Saya hanya bisa menginjakkan kaki di ruang tengah masjid yang merupakan gabungan dari bangunan lama dan baru.

Berdiri menghadap Paduraksa (dinding gapura dengan atap) suasana temaram dan dingin menyergap bulu kuduk saya. Sepi tak ada lagi pengunjung lain. Sebelum masuk ke ruang tengah ini saya berpapasan dengan dua orang yang hilir mudik di luar pintu makam Syekh Abdurrakhman yang dikeramatkan. “Mau kliwonan, Mba”, tutur salah seorang laki-laki umur 15 tahunan. Saya cek kalender online. Rupanya kedatangan saya pada hari kamis itu menjelang hari yang istimewa. Ah mana saya tahu kalau esok hari jumat kliwon.

Bila pernah mengunjungi Masjid Merah Panjunan yang di dindingnya unik karena ada piring-piring tertanam di dalamnya, maka pemandangan yang hampir sama bisa dilihat di Masjid Kaliwulu. Hanya saja warna dindingnya putih. Ruang utama masjid dipisahkan Paduraksa sehingga tempat saya berdiri itu dahulu merupakan teras masjidnya.

Di dalam ruang utama terlihat tiang-tiang kayu yang masih kokoh. Sayang saya tidak dapat menghitung tiangnya ada berapa. Dari buku berjudul Masjid Kuno Cirebon tulisan Dr. Eng Bambang Setia Budi Dkk, di dalam ruang utama masjid terdapat empat sakaguru dan delapan sakarawa. Dari total 12 tiang di ruang utama, terdapat satu tiang penuh ukiran. Sayang sekali saya belum berkesempatan untuk melihat tiang dengan ukiran yang konon indah sekali tersebut.

Sementara di luar ruang utama tempat saya berdiri, saya melihat ada empat tiang sakarawa. Satu dari empat tiang tersebut dibungkus kain putih. Tiga tiang yang saya lihat bersih tanpa ukiran. Bagian bawah tiang disangga umpak batu.

Terdapat dua pintu dengan atap rendah di sisi utara dan selatan. Pintunya tertutup karena sudah ada pintu baru yang lebar dan bentuknya modern. Di dekat pintu-pintu kuno itu lah terdapat sumur untuk berwudu.

Sungguh masjid yang indah. Walau sudah ditambah ruang-ruang baru, tapi keasliannya masih terjaga.

Rumah-rumah Kuno di Jalan Trusmi

Keluar dari Masjid Kaliwulu, saya bertolak ke arah Jalan Trusmi. Jalan utama di Kampung Batik Trusmi adalah Jalan Syekh Datul Kahfi. Selain Jalan Panembahan dan Jalan Syekh Datul Kahfi, ada juga Jalan Trusmi. Di sepanjang ketiga jalan tersebut berjejer toko-toko batik.

Trusmi bukanlah nama produk atau merek. Trusmi adalah nama desa. Kampung Batik Trusmi merupakan sentra industri batik di Cirebon. Secara tepat lokasinya ada di Kecamatan Plered, sekitar 6-8 km dari pusat kota Cirebon.

Alih-alih membeli batik seperti yang sudah pernah saya lakukan sebelumnya, saya ingin mencoba pengalaman lain di sini.

Berjalan santai saja menyisir sebagian ruas Jalan Trusmi sepanjang 1km. Kendaran saya parkir di Alun-alun Trusmi. Berjalan kaki membuat saya dapat melihat lebih dekat. Baru sekarang saya perhatikan kalau di sisi Jalan Trusmi banyak rumah-rumah antik nan cantik dengan detail dekorasi yang menawan.





Pukul 11 menuju jam makan siang. Matahari mulai meninggi, panas Cirebon sudah menyalak sejak pukul 10 tadi pagi di Masjid Kaliwulu. Siang makin terang, saya berjalan di sisi jalan yang agak teduh. Sayangnya tidak ada banyak pepohonan di sini.

Rumah-rumah kuno di Cirebon beragam bentuk arsitekturnya. Bukan saja kental dengan arsitektur gaya kolonial, ada pula saya lihat tiga rumah bergaya seperti Rumah Joglo yang pernah saya foto di Kotagede Yogyakarta.

Semua rumah (selain yang bentuknya Joglo) berdinding warna putih. Bagian depan rumah dirancang sebagai toko, karena itu teras rumah dibuat melebar dan pintunya memanjang (pintu lipat). Sebagian besar warna pintunya kuning, ada juga yang putih dan warna krem.

Sayang sekali hanya sedikit rumah-rumah tua sekaligus toko kain batik yang buka, kebanyakan tutup. Entah tutup sementara atau seterusnya dan mereka punya toko baru yang lebih modern bangunannya.

Kebanyakan pengunjung berkendara dan menumpang becak. Warga lokal hilir mudik beraktivitas dengan kendaraan motor dan sepeda.

Trusmi sendiri merupakan nama seorang legenda. Pada mulanya ia bernama Pangeran Cakrabuana dan seiring waktu namanya menjadi Ki Buyut Trusmi. Dia lah orang yang memberikan tahta keratonnya kepada Sunan Gunung Jati lalu pindah ke Desa Trusmi dalam rangka menyebarkan agama Islam di tahun 1470.

Masjid Trusmi

Makam Ki Buyut berada di kompleks Kabuyutan Trusmi. Dalam kompleks ini terdapat juga masjid kuno. Namun bila dibanding Masjid Kaliwulu yang masih orisinil, bagian dalam Masjid Trusmi sudah banyak yang berubah dan ruang utama (asli) masjidnya dibuka saat jam sholat.

Saya sengaja mampir ke Masjid Trusmi pada jam adzan Dhuzur. Ruang utama dibuka bila waktu sholat tiba. Ruang utama khusus untuk laki-laki, beruntung saya dapat melihatnya meski dari ruang yang berbeda karena saya perempuan. Mengintip ruang utama saya perhatikan ada empat sakaguru (tiang) yang berukir.





Salah satu yang  unik pada masjid yang didirikan tahun 1481 ini adalah beberapa bangunannya beratap rumbia (jerami). Bangunan utama masjidnya sendiri beratap sirap. Pucuk bangunan ada Memolo. Setiap empat tahun sekali di bulan rajab, diselenggarakan tradisi Memayu. Memayu adalah kegiatan mengganti atap sirap masjid yang dilakukan gotong royong oleh penduduk setempat.

Bagian lain yang menarik adalah gapura (pintu) masuk ke masjid. Ada dua gapura, Gapura Wetan dan Gapura Kulon. Saya masuk dari Gapura Kulon. Pintu gapura terbuat dari kayu dengan ukiran flora dan fauna. Masuk melalui gapura ini saya harus merundukkan kepala. Bukan cuma gapura yang unik, tegelnya pun apik.

Letaknya yang berada di jantung Kampung Batik Trusmi membuat masjid ini ramai pengunjung dan warga lokal. Pencahayaan ruangannya pun lebih terang dibanding Masjid Kaliwulu. Di sini tidak ada Paduraksa dengan piring-piring yang tertancap di dalamnya. 

Transportasi ke Desa Trusmi

Tempat yang saya tuju, utamanya Masjid Kaliwulu, paling mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi. Namun bila menggunakan transportasi umum pun tak masalah.

Selain ojek, pilihan menumpang becak bisa jadi keasyikan tersendiri. Dari pusat kota Cirebon ke Plered menaiki angkot. Berhenti di Plered, tinggal dipilih ojek atau becak yang ingin ditumpangi.

Belajar menggunakan bahasa lokal. Tak usah banyak kosakata, cukuplah kata ‘terima kasih’ dalam bahasa cirebonan.

Setiap masjid ada kuncennya. Pastikan meminta izin dahulu sebelum memotret, apalagi bila menggunakan kamera DSLR.

Berhubung tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat ibadah sekaligus tempat yang dikeramatkan, pakaian yang kita kenakan harus sopan dan berperilaku santun.

Idealnya waktu berkunjung ke masjid lakukan di pagi hari. Bila terlalu sore khawatir terlalu gelap dan merepotkan untuk berfoto.


Menyusuri Trusmi dengan jalan kaki seperti yang saya lakukan lebih nyaman dilakukan sore hari usai sengatan sinar mahatari mereda. Bisa juga pagi sekitar pukul 07.00 – 09.00.

Berikut ini rumah-rumah kuno di sepanjang Jl. Trusmi. 










Teks : Ulu
Foto : Indra, Ulu