Melongok menu-menu tradisi di delapan kota di Indonesia,
empat orang di Parti Gastronomi mencatat, merekam, dan memasak. Hasil akhirnya:
literasi kuliner yang ringan. Menyenangkan untuk disimak, nikmat disantap.
Empat orang gemar masak dan doyan makan membentuk perkumpulan.
Parti Gastronomi itulah namanya.
Mereka adalah Arifin Windarman, Hardian Eko Nurseto, Reyza Ramadhan, dan
Sandiyuda Dananjaya.
Berawal dari kegemaran kuliner kegiatan Parti
Gastronomi berkembang jadi aktivitas literasi. Mulanya hanya menggemari, kini
eksplorasi. Berupa Telusurasa, Masak Akhir Pekan, Party Lab, dan Open Table. Di
Telusurasa lahir proyek bernama Delicious Rot.
Di Delicious Rot, keempatnya mencari rasa berdasarkan kegemaran
serupa, yaitu makanan. Namun yang satu ini sangatlah unik, mereka mencari-cari makanan fermentasi.
![]() |
pinjam foto dari @parti_gastronomi |
Delicious Rot merupakan rangkaian acara Bandung Design
Biennale 2019. Acaranya tersaji dalam bentuk food tasting, pameran, dan screening
film dokumenter. Pemutaran film berdurasi 50 menit ini berlangsung pada Sabtu
(12/10/2019) di House of The Sun.
Sedangkan pamerannya diselenggarakan 12-26 Oktober 2019 di lokasi
yang sama, Jl Karang Tinggal no 24 Bandung. Di sanalah pengunjung dapat melihat
karya fotografi dan delapan makanan fermentasi yang tersimpan dalam toples kaca.
Makanan fermentasi dalam Delicious Rot digambarkan sebagai
benda budaya yang ragam rasa, penuh cerita.
Di Medan mereka eksplor Tauco.
Di Padang berburu Dadiah.
Banjarmasin ada Pakasam.
Melahap Tempoyak di Palembang.
Belanja Ikan Jambrong di Samarinda.
Menyaksikan pembuatan Tempe Mendoan di Purwokerto.
Menyusuri menu pecinan Sawi Asin di Semarang.
Melihat fermentasi perut ikan bernama Bakasang di Manado.
Selain melihat pembuatan makanan fermentasi, keempat orang
di Parti Gastronomi merekonstruksi makanan fermentasi tersebut. Melahirkan produk
kuliner baru. “Tujuannya memberi warna pada makanan setempat dari bahan-baku tempat
tersebut berada,” ucap Hadian Eko Nurseto yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen
antropologi di Universitas Padjadjaran.
Rekonstruksi makanan tersebut bukan dibuat di Bandung.
Melainkan di daerah asal makanan tersebut. Setelah turun ke pasar-pasar
tradisional, mengamati dan berbelanja, mereka mempelajari teknik fermentasi.
Kemudian membuat menu reka ulang.
Terinspirasi Tempoyak di Pasar Kuto di Palembang, Parti
Gastronimi meracik makanan baru bernama Kroket Tempoyak. Pempek dibungkus
adonan kroket. Bila disantap
terasa renyah bagian luar, moist di
bagian dalam. Isiannya adalah tempoyak yang sengaja disiapkan jadi kejutan.
Dalam perjalanan di Semarang, pencarian kuliner khas digali
hingga di Pasar Gang Baru. “Kami menemukan toleransi di Semarang,” ujar Reyza
Ramadhan yang sehari-harinya bekerja di Badan Pangan Dunia (UNFAO). Ia menambahkan “di Pasar Gang Baru ada pedagang
ayam yang pedagangnya ibu-ibu berhijab terus di sebelahnya ada pedagang daging
babi, enci-enci, keturunan tionghoa," di pasar itulah mereka menemukan Sawi Asin.”
Sawi Asin merupakan menu khas Pecinan. Lazimnya ia bersanding
di meja makan dengan seporsi daging babi. Pembuatan Sawi Asin makan waktu 4-5
hari. Sawi direndam air kelapa dan garam. Dibolak-balik itu sawi dalam prosesnya.
Dalam menu reka ulang ala Parti Gastronomi, sawi asin menjelma jadi makanan baru. Tidak
mengubah rasa, hanya menambah komponen bahan baku. Dicampurnya sawi asin dengan
rebung dan udang. Lantas dibungkus kulit kebab yang sengaja dipilih sebagai
resepresentasi komunitas arab di Semarang. Rasanya? Nikmat melenakan.
Kemudian di Manado, mereka menciptakan Rujak Cuka Bakasang.
Makanan yang muaranya Bakasang, fermentasi perut ikan cakalang.
Rujak Cuka Bakasang perpaduan bahan baku tiga daerah: asinan
ala Jakarta, tahu gejrot dari Cirebon. Ditambah cuka gohu nan segar ala Manado.
Semuanya bersatu dalam mulut, dilumerkan saos Bakasang. Bayangkan campuran
aroma yang kuat, asam, pedas, sekaligus manis! Sungguh ramai mematikan.
Purwokerto dan tempe mendoannya menjadi mendoan roll ala
vietnam. Mengamati kuliner di kota kecil di Jawa Tengah ini, ada satu menu
sejuta umat bernama Pecel. Oleh mereka, tempe mendoan dicampur dengan sayuran
pecel. Lantas dibungkus dengan paper rice.
Siap santap setelah mencocolnya ke bumbu pecel khas Purwokerto. Sederhana
memang, siapa sangka tempe dan pecel bersatu bukan beralas daun pisang semata.
Perjalanan TelusurRasa Delicious Rot memberi dampak personal pada
tiap personel Parti Gastronomi. Bahwa makanan bukan sekadar rasa. Namun juga
perjalanan panjang rantai makanan, dari produsennya, pedagang di pasar,
orang-orang yang memasaknya, dan kita yang menyantapnya. Sandiyuda Dananjaya,
chef dan kreator di balik Gang
Nikmat mengatakan “Delicious Rot membuat gua makin kecil aja, gua teh belum ada
apa-apanya. Gua masak harus lebih rajin,” tuturnya.
Sementara Arifin Windarman, desainer produk UNKL347, mengatakan perjalanan Delicious Rot ini mengubah paradigmanya "lu harus eksplor Indonesia, ternyata Indonesia
kaya tuh bener di sini (kuliner),” ujarnya mantap.
Parti Gastronomi dapat teman-teman temui di instagram @parti_gastronomi. Saat ini mereka sudah meluncurkan jurnal Delicious Rot, saya juga pengen beli. Namun harus nabung dulu sebab harganya Rp250.000. Bukan bukunya yang kemahalan, sayanya yang kere! Hahaha. Tunggu ya, saya pasti beli!
![]() |
Pameran Delicous Rot |
Kok menarik sekali sih tentang profil patri gastronomi ini mbak. Apalagi sebut tempoyak palembang haha
ReplyDelete