Social Media

Dicabut Dari Akarnya

22 November 2019
September lalu saya singgah ke Gedung Naskah. Sudah sejak lama saya pengen masuk museum tersebut. Baru September lalu kesampaian. Begitu ikonik tempat ini, mengapa sekolah saya dulu gak pernah bawa murid-muridnya ke Gedung Naskah ya?


Pertemuan-pertemuan dengan objek yang dulu dekat denganku, melahirkan pertanyaan.

Kenapa sekolah gak pernah mengenalkan saya dengan keraton-keraton di Cirebon?

Mengapa nenek dan orang tua saya tidak mengenalkan saya dengan sistem pertanian di Karangampel?

Kenapa saya gak bisa berenang, bukankan saya anak pantai? Rumah saya hanya 5 km dari bibir pantai!

Mengapa saya buta tentang laut jawa?

Dahulu saya menertawakan Sintren, kok bisa!

Topeng Cirebon begitu eksotis, mengapa saya tidak menguasai tariannya?

Kakek pedagang bako, saya ingin tahu lebih banyak tentang bako, di mana mencari informasinya?

Jadi ingat. Teman saya suatu kali mengemukakan pendapat. Ia berkata saya berasal dari kalangan keluarga mampu. Dijauhkannya kami dari pekerjaan-pekerjaan 'kuli'. Pekerjaan yang dimaksud adalah petani, nelayan.

Kami dimasukkan ke jalur pendidikan formal. Ayah saya bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Begitu juga ibuku.

Nenek saya, bos paren. Kakek saya, pedagang bako. Kenapa mereka gak mendidik ayah saya dan merancangnya untuk meneruskan dinasti pesawahan dan bakonya?

Namun saya rasa kita semua mengalami hal yang sama. Kaya atau biasa-biasa aja. Saya bisa sebutkan teman-teman saya yang profesi orang tuanya petani dan nelayan, tapi mereka sama butanya seperti saya. Buta terhadap budaya lokal.

Pernah gak sih kamu merasa dekat dengan sesuuatu yang kamu sendiri gak kenal mereka itu apa.

Kenapa...kenapa...kenapa...

Pernah suatu kali saya sampai membeli buku saku tentang sistem pertanian ala orang jawa. Pranata Mangsa judulnya. Haha. Lucu.

Saya ini bagai pohon kersen yang dicabut sampai akar-akarnya. Gak ngerti apa-apa tentang kampung halaman sendiri. Lebih fasih cerita tentang Bandung. Sedih. Heuheu.



Post Comment
Post a Comment