November 2022 saya ikutan tur berkunjung ke pabrik cerutu Taru Martani di Jogjakarta. Penyelenggaranya Alon Mlampah yang dimotori Kang Munadi dan Mba Tikya. Di sana mereka memberitahuku rencana trip berikutnya ke Parakan. “Hah Parakan?” tanyaku retoris. Nah saat itulah saya aktifkan notifikasi instagram Alon Mlampah. Parakan sebabnya!
Parakan sudah saya tandai sejak membaca tulisannya Halim Santoso dan artikelnya jurnalis Silvia Galikano. Gak ambisius merasa harus ke sana, tapi keinginan dalam hatiku sih ada terus. Syukurlah berjodoh di bulan Maret 2023. Selama pandemi saya pikir hidup berhenti dan semua keinginan gak akan terkabul. Namun saya masih hidup, pandemi usai, dan semua kemungkinan itu bisa kembali terwujud.
Sesampainya saya di Parakan memanglah terlihat bangunan tuanya cantik dari tepi jalan. Namun pemandangan klasik yang kulihat di balik pintu mungil dan di balik tembok-tembok tinggi lebih mengagumkan dan membuatku agak tercekat. Pintu masuknya kecil, di dalam pintunya astaga rumahnya gede-gede sekali.
Di sini saya melongok rumah-rumah yang dibangun dari uang tembakau, uang opium, uang vanili, uang gambir!
Beruntungnya saya bergabung dalam perjalanan bersama Alon Mlampah ini. Bila berjalan sendiri pasti akan kesulitan terhadap akses masuk bangunan-bangunan tua yang tertutup itu.
Kulihat beberapa rumah tionghoa peranakan yang kuno dan klenteng, berkunjung ke bekas stasiun kereta api dan bekas bioskop tua. Lalu kami menengok pembuatan kue bolu cukil kering penganan khasnya Parakan.
Saya bahkan membeli obat gosok buat mengobati memar dari Mas Dani yang menguasai bela diri kungfu dan menghuni rumah tua bernama Omah Tjandie. Ramuannya homemade dan harganya Rp15.000 saja!
Berada dalam perjalanan ini saya sejujurnya kalap bukan main. Dalam waktu setengah hari, apa yang saya harus lakukan: moto? menyimak pemandunya? bengong memandang semua sudut antiknya? atau bagaimana?
Mengingat jarak Parakan dari Bandung yang tidak dekat, saya seperti orang bodoh yang takut kehilangan banyak momen waktu berada di sana. Takutnya itu pengalaman pertama dan terakhir saya ke Parakan. Betapa bodohnya. Padahal saya sedang berada di sana dan seharusnya menikmati saja waktu yang sedang kujalani. Ketololanku ini memanglah!
Ingin kulakukan semuanya sekaligus, seperti memotret sambil menyimak cerita Mas Bayu pemandu trip dari PIPPA (Pusat Informasi Pariwisata Parakan). Sayangnya itu gak mungkin. Akhirnya saya lebih banyak motret daripada menyimaknya. Sering kali saya ketinggalan di belakang rombongan karena ingin moto tanpa seliweran teman-teman masuk ke frame.
Sayang sekali tapi ya sudah, akan ada waktu lainnya saya kembali ke Parakan. Belum sempat saya cobain dawetnya Parakan yang dijual siang mentrang tapi semangkoknya hangat itu. Aneh kan dawet tapi hangat.
Sekarang saya bersyukur aja dulu atas keistimewaan waktu dan rezeki yang membuatku bisa berada di Parakan hari minggu 12 Maret 2023.
I left my heart in Parakan sebagai manifestasi agar keinginan saya kembali ke sana dapat terwujud.
Post Comment
Post a Comment