Social Media

Menggenggam Matahari Terbit (Bromo Trip Story 1)

20 January 2019
Saya belum cerita tentang perjalanan kami di Bromo.

Saya dan Nabil gak jalan-jalan berdua aja. Kami diajak Farah, teman kuliah saya yang bermukim di Singapura. Dia juga bawa anaknya, dua-duanya.

Saya berangkat dari Bandung, Farah dari Singapura. Kami janjian ketemu di Surabaya. Agak selow, Farah pengen lihat di Jembatan Suramadu. Ke sanalah kami sebentar saja. Menginjak tanah Madura yang tandus. Untuk berfoto. Ya berfoto saja.

Setelah itu barulah tancap gas menuju Bromo via Pasuruan. Aduh jangan ditanya ya perasaan saya gimana lewatin Pasuruan. Pengennya mah turun dari mobil dan moto rumah-rumah tua di sana yang cantik banget! pengennya mah nongkrong dulu di Alun-alun Pasuruan!

Tapi gak bisa :D Sebab sudah pukul dua siang dan Farah yang mengorganisir perjalanan ini. Saya mah tahu beres aja (tengkyu, Far!).

Pendek kata, berbekal googlemap kami menempuh jalan menuju Tosari, lokasi homestay kami berada. Desa Tosari gak jauh dari Bromo. Waktu tempuh dari pintu gerbang taman nasional Bromo Tengger dari homestay cuma 30 menit saja.

Sopir sewaan saya, ia gak tahu jalan menuju Tosari. Kami apalagi.

Satu hal yang tidak kami ketahui, Tosari ini adalah kampung di puncak pegunungan. Hasilnya, dua jam perjalanan kami tempuh dengan perut teraduk-aduk isinya. Sebab jalannya gak ada yang lurus. Tapi berbelok semua. Untunglah saya selamat gak sampai muntah wkwkwkwk. Karena biasanya ketemu jalan kayak gitu mah isi lambung saya keluar semua :D




Bagian terbaik dan terburuk ada di satu jam terakhir mencapai penginapan. Hujan turun. Gak besar, tapi menambah suasana kelam aja. Lampu jalan ada banyak. Rambu jalan lengkap. Kondisi jalan mulus. Dan ada marka jalan.

Hujan masih turun. Pepohonan berderai-derai. Kabut memeluk. Jalanan gak lagi berbelok-belok, tapi menanjak dan menurun tajam.

Sampai di homestay, waduh rasanya lega luar biasa. Pukul 6 sore waktu itu, rasanya seperti jam 8 malam. Bergegas kami masuk kamar, bongkar tas, cari baju ganti, mandi. Lantas makan.

Anak-anak sudah tidur sementara saya dan Farah saling curhat sampai jam 11 malam. Baru deh tidur. Jam 2 sudah bangun lagi bersiap nonton sunrise di Bromo.

Anak-anak ribet gak diajak ke Bromo? Enggak sama sekali.

Jam 3 subuh udah bersiap, jeep menjemput. Seseorang (yang sepertinya warga lokal) berdiri di depan homestay kami. Rupanya jualan topi dan syal. Waduh saya kan kasihan, dini hari dia udah nongkrong depan homestay berharap kami beli barang dagangannya. Mana gak ada yang nginep selain kami.

Saya beli aja dah kupluknya. Gak nawar. Farah protes. Ya gimana dong saya gak biasa nawar-nawaran wkwkwkwk. Kepikiran aja itu si bapak udah berdiri ngarep-ngarep ada yang beli kan. Kupluk harga 25ribu itu udah saya kasih ke sepupunya Nabil sih. Gak kepake kalo di Bandung. Terlalu tebal.


Menuju Bukit, Menyaksikan Matahari Terbit

Bromo jam 4 subuh penuuuuuh banget! Gila. Jeep sepanjang jalan. Manusia di mana-mana. Ini kita ganggu habitat hutan gak sih kok gini amat penuhnya.

Jeep sewaan parkir di bawah dan kami berjalan hingga kaki bukit. Setengah lima subuh, kami sudah duduk nyaman di sebuah puncak. Entah puncak apa, kami ikuti aja orang-orang berjalan.

Terdengar suara bayi, anak-anak menangis (anak orang bukan anak kami). Hingga pukul lima, makin berjejalan. Nabil kedinginan dan mulai merengek. Kami berpelukan. Saya juga mengigil apalagi anak kecil.

Lantas, gelombang manusia masih berdatangan. Semua orang ingin duduk di posisi paling depan. Saya pikir posisi kami sudah strategis. Sampai datang lagi turis lainnya dan berdiri di depan kami.

Menikmati pemandangan matahari terbit ini seperti pertandingan saja. Semua turis berlomba-lomba ingin paling dekat, ingin berfoto paling bagus, daaaan lain-lain. Menyebalkan. Saya bagaimana? Masih berdiri di posisi yang sama dan terhalang punggung orang lain.

Ada juga yang naik ke pagar. Naik ya, bukan duduk tapi di pagar itu mereka berdiri. BERDIRI. Wong edan manusia-manusia ini. Banal sekali.

Farah minta difotokan. Saya juga memotret diri sendiri. Gelap bergulir agak terang, saya turun mencari titik strategis memotret sunrisenya. Dapat memang. Tapi malahan muncul rasa terharu. Indah sekali pemandangannya. Satu menit kemudian baru saya foto.

Setelah itu ya sudah pemandangannya tinggal dinikmati tanpa kamera. Tapi masih susah duduk bersantai menikmatinya. Sebab orang-orang masih berdiri. Bila saya duduk, hanya lutut dan bokong yang nampak. Hahaha.

Saya harus cari uang lebih banyak. Niat kaya raya akhirnya satu aja: menggenggam matahari yang sedang terbit untuk diri sendiri, saya bungkus, saya bawa pulang. Kalo mau lihat lagi, tinggal buka aja bungkusnya.

Tertawa juga saya saat pikiran tersebut melintas. Sebab apa bedanya saya dengan mereka, sama-sama ingin menggenggam matahari untuk diri sendiri.

Kenapa ya manusia ini. Kejar-kejaran dengan alam. Tinggal duduk aja dinikmati suasananya. Kenapa harus berebutan, mengacung-acungkan tongkat swafoto seperti mencolok-colok langit. Monyet-monyet di hutan Bromo geleng-geleng kepala lihat kita.

Ada di sana menonton kebanalan manusia memang kesal. Tapi di satu sisi, panorama matahari terbit ini juga magis sekali. Matahari lahir di antara perbukitan. Kabut yang tadinya tebal, pelan menipis seperti selendang, ya memang bagai selendang. Sejauh mata memandang cuma bukit, savana, kabut, dan berkas matahari. Wah indahnya luar biasa. Membuat kamu merasa kecil dan gak berarti apa-apa.




Pukul enam langit sudah terang benderang. Barulah terlihat sebanyak apa manusia di sana. Banyak sekali hahaha. Ini apa, CiWalk atau Taman Nasional?

Ada warung, ada kamar mandi. Turis dimanjakan. Lapar tinggal jajan. Pengen pipis ada tempatnya. Taman Nasional Bromo Tengger ini beneran wisata kesukaan banyak orang.

Lima mangkuk mie rebus habis. Lima jagung bakar tandas. Farah bergegas, katanya ayo cepat. Kasihan sopir jeep udah nunggu. Tujuan berikutnya: Bukit Teletubbies katanya.

Hah? Bukit apa?




(bersambung)
1 comment on "Menggenggam Matahari Terbit (Bromo Trip Story 1)"
  1. aku kesana dari pasuruan juga, maghrib di Bromo. sepi. pas turun, mual parah...blaarrr ahahha

    ReplyDelete