Social Media

Cerita Dari Sebuah Rumah Tua di Jalan Hata

14 May 2017
Pada sebuah rumah tua di Jalan Hata yang senyap, yang entah berapa tahun umur rumahnya. Jendelanya besar-besar. Lantainya seperti marble berwarna hitam putih keabu-abuan. Kursi dan meja yang jompo, membisu di sudut-sudut ruang. Kalau bisa bicara, mereka punya segudang cerita yang datangnya sejak zaman kolonial.
 
 
 

Cerita tentang tiga pemuda asal Italia, yang menambatkan hatinya di Hindia Belanda. Tiga Ursone bersaudara datang ke Bandung. Gemar bermain musik, mereka kerap menerima panggilan di hotel-hotel dan restoran tempat orang-orang Belanda berpesta. Tiga Ursone kerasan tinggal di tanah priangan.

Lantas mereka berpikir untuk menetap di Bandung lebih serius. Bermain musik adalah hobi, Ursone butuh pendapatan yang kekal untuk menyambung nyawa di tanah Jawa.

Selanjutnya yang terjadi, mereka membeli sapi. Memilih Lembang sebagai tempat peternakan, beternak sapi perah adalah bisnis yang mereka tekuni. Bisnis melejit, pesaing sedikit.

Tiga Ursone jadi juragan. Membeli tanah, membeli rumah. Berpesta pora sekaligus berderma.

Dua Ursone tidak menikah hingga akhir hayat. Satu Ursone jatuh cinta pada wanita lokal dari sebuah kampung di belakang Jalan Braga, Nyi Oekri namanya. Tak punya anak, mereka mengadopsi anak perempuan.

Sebuah pabrik cokelat didirikan Ursone. Mafalda nama pabriknya. Iya, serupa nama anak perempuannya.  

Ursone wafat, makamnya yang indah seperti istana ada di Taman Pemakaman Pandu.

Perkenalan saya dengan sejarah Ursone hanya selintas saja. Pengetahuan saya terhadap mereka hanya sepotong-sepotong. Tenggelam di antara ketenaran juragan teh di Malabar, yakni Bosscha. Buku yang saya baca hanya itu-itu saja nampaknya :D

Sampai saya mengikuti acara bertajuk Jelajah Cipaganti buatan komunitas Heritage Lover dan Lembang Heritage. Bersama mereka, saya dan teman-teman lainnya diajak bertemu muka dengan keluarga yang istimewa. Keluarga Ursone. Tepatnya keluarga Pietro Antonio Ursone.

Sampai di mana tadi saya cerita tentang Ursone? Oh, Mafalda ya.

Mafalda menikah. Mafalda punya anak. Anaknya Mafalda menikah dan punya anak juga.

Nah, dengan anak dari anaknya Mafalda ini kami berbincang. Ronnie Nouma namanya, cicit Ursone. Melihat paras wajahnya Om Ronnie, ada gurat garis yang tak biasa. Bukan lazimnya wajah orang Indonesia. Perawakannya tinggi, di atas 1,75 m.

Aom Ronnie tak banyak bercerita. Beliau senangnya bercanda gurau. Sang Menantu , Muhammad Taufik, yang berdiri di samping Ursone menggantikan beliau bicara, mewakili kisah Ursone.

“Dulu rumah kami di sini ada 11, semua susu yang datang dari Lembang ditampung dulu di sini di Jalan Hata.”

Edan 11 rumaaaaahhhhhh? Jerit saya dalam hati hahahahahaha.

“Sekarang rumahnya tinggal 1 yang ini,” maksudnya rumah yang kami masuki.

“Bapak trauma. Pernah ngurusin tanah Ursone di Dago, gak taunya malah beliau yang dipenjara. Abis itu bapak gak mau ngurus tanah ursone lagi,” ungkap menantunya Aom Ronnie.  


Kang Taufik menggiring kami ke sebuah kamar. Di sana ia membuka koper. Foto-foto lama berhamburan dari dalam kopernya, kebanyakan hitam putih warnanya.

Saya melihat sebuah foto hitam putih. Tiga orang duduk dalam foto tersebut: P. A Ursone, Nyi Oekri, dan Mafalda. Duduk di kursi (sepertinya) tamu. Foto diambil di ruangan tempat saya berdiri. Saya pegang fotonya dan membayangkan pindah ke masa itu.

Diceritakan oleh anak (menantu) Om Ronnie tentang kehidupan mereka kini. Apa yang mereka alami, ketidakadilan macam apa yang harus mereka hadapi sejak pemerintah menasionalisasikan semua asetnya. Perusahaan yang Ursone dirikan menjadi satu dari banyak perusahaan milik orang nonindonesia yang dinasionalisasikan. Asetnya diambil pemerintah. Puncak kejayaan memang selalu ada masanya ya, yang keluarga Ursone alami memang pahit sekali.

Ironisnya, Ursone menikah dengan orang Indonesia. Perusahaan, rumah, dan tanahnya banyak yang diatasnamakan Nyi Oerki, saking sayangnya sama sang Istri. Tapi tetep aja ya walau atas nama orang Indonesia, tetap aja dinasionalisasikan. 

Menurut saya mah Ursone adalah orang-orang yang jadi korban sistem. Saat Pemerintah Kolonial menduduki Hindia Belanda, orang-orang kayak Ursone (menurut saya) mempunyai kemudahan untuk memiliki usaha. Minimal izin usaha dan urusan jual beli tanah. Begitu Indonesia merdeka, mereka jadi korban amukan. Dianggap sebagai bagian dari kolonialisme, asetnya diambil 'paksa', pabrik  cokelatnya dibakar.

Serba salah ya.

Saya gak tahu kalau ada di posisi mereka mesti gimana. Keturunan pertamanya yang tinggal di Indonesia mengalami masa kejayaan, namun setiap hujan pun ada redanya. Keturunan berikutnya harus mengurai benang kusut akibat sistem yang berganti-ganti dan berantakan. 

Beranjak pulang dari rumah tua di Jalan Hata, saya termasuk yang paling akhir keluar. Dari jalan saya memandangi lagi rumahnya. Di dalam Jalan Hata, tak sangka ada legenda.

Panjang sejarah keluarga Ursone, saya melongok keluarga saya sendiri, apa kabar sejarahnya? Siapa leluhur saya? Apa pekerjaannya? Di mana tinggalnya? Dari mana asalnya?

Terkadang saya iri pada mereka yang punya kesempatan untuk mencatat silsilah keluarga dan mampu cerita riwayat keluarga. Apalagi melengkapi sejarah dengan koleksi foto-foto. Akan tetapi saya dan keluarga memang rakyat biasa, kaya raya banget enggak, miskin juga saya gak tahu. Nasib rakyat biasa pada dahulu memang berada pada level yang kira-kira begini: kerja-aja-yang-penting-bisa-makan-tidak- kelaparan.


Yha. Mungkin sih.









9 comments on "Cerita Dari Sebuah Rumah Tua di Jalan Hata"
  1. Saya juga jadi berpikir yang sama, seandainya sejarah keluarga saya bisa dicatatkan mungkin punya cerita sendiri yang bisa diceritakan untuk anak cucu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, saya sendiri penasaran cerita leluhur saya kayak gimana. Penasaran banget.

      Delete
  2. Kalimat terkhir setuju banget, gda bukti sejarah apa apa

    ReplyDelete
  3. Seperti apapun, ada baiknya slogan 'jas merah' tetap dipakai. Jangan melupakan sejarah. Pengalaman para pendahulu pasti bisa diambil hikmahnya.

    Ngomong-ngomong, foto-foto itu tidak diletakkan di album khusus? Sayang sekali dong. Seharusnya dirawat tuh biar awet :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Koleksinya banyak sekali, nampaknya mah begitu. Jadi ya overload foto-fotonya. Tapi emang lebih rapi kalo ditaro di album foto ya.

      Delete
  4. Saya juga gak tau persis sejarah keluarga Lu. Paling mentok sampai cerita kakek aja yang dulu bekerja cari makan sebagai penjual peci hitam di pasar. Yang kalau punya rezeki uang buat beli telur. 1 telur di masak, hasilnya dipotong-potong buat dimakan 5 anaknya. Bayangin 1 telur dadar buat 5 anak.
    Bener, andai setiap keluarga mencatat sejarahnya silsilahnya bakalan menarik ya.
    Seneng banget sama bangunan tua macam ini. Adem.

    ReplyDelete
  5. Kesadaran akan family tree memang belum jadi kebiasaan yang jamak untik orang Indonesia pada umumnya. Masih inget siapa kakek-neneknya aja udah bagus hehehe. Mungkin ini ada kaitannya dengan kebiasaan dokumentasi bangsa kita yang masih minim ya?

    ReplyDelete
  6. Yah kalo sistem sih sampe sekarang juga masih brantakan haha. Untung saya ada darah ningrat jawa dan masih tercatat sehingga tidak ikut kena nasionalisasi. Tapi tetap kisruh karna orang jaman dulu anaknya bisa 7-8 orang

    ReplyDelete