Social Media

#photographytalk 1 : Pegang-Kamera Adalah Kunci

20 September 2016
Baca tulisan sebelumnya: #photographytalk

Memotret adalah hobi yang lahir sejak saya mengenal kamera digital versi pocket. Saat pertama kali benda itu saya lihat di kampus dulu, kamera digital merupakan benda yang tidak terjangkau untuk saya. Lalu saya kenalan dengan kamera DSLR dan menganggap benda ini istimewa banget. Mau fotonya bagus ya pake DSLR. 

Di tahun 2009 saya mengenal cewek bernama Kuke. Di saat hobi saya baru sampai di senang-lihat-kamera, Kuke sudah menjalani hobi fotografinya dengan serius. Kameranya pocket aja kok. Di setiap pertemuan saya dengan Kuke, dia gak berhenti memotret. Dia rajin unggah ke media sosial dan jadilah album-album foto cerita, tiap foto di albumnya tersusun secara kronologis dan diberi judul. Foto-fotonya juga rapi, bukan habis motret lalu langsung diunggah. Terlihat dari foto-fotonya kalau dia pilih foto-foto terbaik dan dirapikan. Jadi kalau kamu lihat album foto saya dan tiap foto terjalin secara berurutan dan sudah rapi, nah saya contek itu dari Kuke :D 

Kuke adalah orang yang mematahkan mantra saya: kalau fotonya mau bagus motretnya pake DSLR. Salah besar. Kamera pocket juga bisa bagus kok.




Di waktu yang sama saya bertemu Indra. Orang yang gak pernah upload foto-fotonya ke media sosial. Sama kayak Kuke, Indra juga gak pernah berhenti motret. Bedanya, kamera Indra adalah DSLR. Bukan buat gaya tapi buat kerja. Perbedaan lainnya, Indra sangat jarang mengunggah karya fotonya ke media sosial. Dia simpan saja di harddisknya. Baginya photography is like fishing. Catching the fish is more exciting than eating it. Indra dan fotonya adalah dunia yang sunyi. Kecuali kamu kenal dia dan minta difotoin, kamu gak akan tahu kalau Indra bisa memotret :D 

Waktu kami putuskan berkolaborasi tugas saya dulu memberi kata pengantar untuk foto-foto yang Indra yang potret. 

Terus suatu hari saya bilang sama Indra kalau saya mau belajar moto. Dia gak melarang atau bilang saya gak bisa. Dia ngajarin saya motret, sabar banget ngajarinnya. Tapi di satu sisi juga kejam banget :D 

Hasil foto jepretan saya di era sebelum tahun 2015 itu jelek luar biasa. Komposisi kacrut, ketajaman kendor, dan yang paling utama adalah gak ada cerita dalam foto saya. Saya pengen gaya foto saya terlihat artsy, tapi hasilnya norak. Namun Indra gak nyuruh saya berhenti motret. Sebaliknya dia malah menyarankan saya motret terus, do not stop, katanya. Kuncinya cuma satu yang saya lakukan waktu itu: gunakan kamera yang sama terus-terusan. 

Suatu kali dia ngajarin saya teknis kamera karena saya daftar jadi relawan foto di Kelas Inspirasi. Ceritanya belajar motret tapi ngebut gitu lah hahaha. Belajar shutter lah, diafragma lah, apperture lah, ISO lah, noise lah, dan sejenisnya. Otak saya menggendut dan menyadari bahwa hasil foto saya esok hari akan lebih berbobot dengan ilmu yang saya dapat itu. Well, besoknya saya lupa lagi itu semua hahahaha. Otak saya mengempis dan foto saya sama aja hasilnya. Kacrut. 

Terus Indra nyuruh saya baca buku dan majalah fotografi. So i did. Hasilnya? Saya putuskan gak belajar teknis kamera. Saya memilh mempertajam rasa. Saya juga tonton video tutorial di yutub dan tentu saja mengamati foto-foto di Instagram. Abis itu sering-sering moto dan saya minta Indra kasih tahu saya apa yang salah dengan fotonya.

Memang Leica gak pernah failed. Hasselblad juga gak pernah jelek hasil fotonya tuh. Kamera seharga 50 juta gak pernah gagal. Tapi kebanyakan dari kita ini apa punya uang untuk membeli kamera semahal itu? 

Ada harga memang ada rupa. Ada kamera produksi, ada kamera konsumsi. Kamu mau motret untuk produksi, wajib cari kamera termahal yang bisa kamu beli. Ada klien yang harus kamu puaskan. Kamu motret sebatas untuk konsumsi, kamera terbaik adalah kamera yang kamu punya saat ini. 

Kuke pernah menyarankan kalau punya kamera, baca juga buku manualnya. Kenali semua fitur-fiturnya. Baca dulu sebelum praktek itu sangat amat penting baginya. Dulu waktu dia masih motret dengan kamera pocket, banyak yang gak ngeuh kalau foto-fotonya dihasilkan dari kamera pocket saja. Termasuk saya. Bukankah memang demikian adanya, kita mengira foto yang bagus dihasilkan dari kamera yang bagus. Dan kamera bagus itu kita pikir adalah DSLR (dan mirrorless). Ternyata enggak.  

Ada banyak cara menyiasati kualitas sebuah foto dengan kamera yang kita punya. Mahal atau kamera sekelas entry level sekalipun, do not stop taking pictures, belajar, dan hilangkan label-label pengen artsy. Lakukan karena kamu suka, bukan ingin terlihat keren. Sepengamatan saya, belajar merendahkan hati saat memotret menghasilkan foto yang lebih enak dilihat. Lebih sejuk dipandang. Kalau istilah teman saya Kuke bilang sih, 'gak meninggikan dinding'. 




Dan ini tahun 2016 bulan ke sembilan. Foto saya sekarang dibanding foto jepretan di dua tahun ke belakang jauh mendingan. Ada lah peningkatan. Masih jelek ya pasti, tapi lebih rapi mah iya. Satu hal yang saya rasakan sih sekarang foto saya lebih puguh hasilnya. Puguh dalam bahasa Indonesia artinya lebih jelas, lebih terarah, lebih rapi.

Sekarang saya sadar kalau dalam belajar memotret, kamera bukan kunci. Memegang kamera adalah kuncinya. Membiasakan diri memegang kamera, memotret terus-terusan, adalah kunci. Ala karena biasa. 

Foto lagi, foto lagi, foto lagi dan foto lagi. Henri Cartier-Bresson, rajanya Street Photography pernah mengatakan: your first 10.000 photography are your worst. 

Jangan berhenti karena kamera kamu murahan. Jangan menunda karena kamera kamu butut. Pegang kameranya dan mulailah memotret.




Teks : Nurul Ulu
Foto : Indra Yudha
18 comments on "#photographytalk 1 : Pegang-Kamera Adalah Kunci"
  1. Hwaaa akupun. Aku rasa, masa kebangkitanku soal motret itu juni 2016. Bwakkaa...baru banget.

    ReplyDelete
  2. Sepertinya saya lebih ke tipe Indra deh, yang senang motret tapi nggak suka upload ke medsos. Foto2 kebanyakan disimpan sendiri dan hanya bbrp aja yg ditaro di IG dan FB. Ga tau kenapa, hehehe.

    ReplyDelete
  3. Kalo saya suka memotret sejak ada Instagram, hehehe anaknya kekinian bgt

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya IG emang sakti amat ya, gara2 IG Mirrorless Fujifilm laris maniiisss.

      Delete
  4. Saya belajar kacau banget, karena suka mikir kenapa hasilnya jelek. Belajar teknis sana sini ada mereka yang mengharamkan noise, saya down. Sampe akhirnya parmadi memberikan mantra : Jangan takut iso tinggi. Mantranya bekerja, saya ga takut noise dan mau motret lagi.
    Yang paling mudah sekaligus sulit adalah belajar menajamkan rasa pasti. Dan saya percaya banget, alat apapun tergantung pda tangan siapa dia hinggap, jadi alat bukan dewa memang.
    Jadi suka jadi alasan kuat utk menepis ngiler kamera terbaru dengan fitur yang keren ehhehe
    Duh ini comment panjang amat, maap yak 🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Curhat yeuuhh :P Moto mah moto aja, Yas. Kalau udah moto untuk klien mah ya harus menguasai teknik motret ya. Kalau saya masih moto untuk hobi aja jadi gak merasakan tekanan harus jago moto hehehehe.

      Delete
  5. pengen bisa motret bagus tapi ga bede motret kalau kemana-mana bawa kamera...tapi harus ya kalau pengen bisa moto

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan perkara bisa moto atau enggak, Mba Rina. Lha ya gimana mau motret kalau bawa kameranya aja udah gak pede :D

      Delete
  6. haha...pas baca bagian kamera yg mahal jd inget seseorang pernah bilang, lo mau motret kayak gimana pun kalau saingan sama kamera harga 30 juta ke atas tetep aja kalah. Bohong kalau dibilang tergantung man behind camera. Xaxaxa...

    ReplyDelete
    Replies
    1. yaelah, teh vina. saingan foto buat apa :D foto aja dengan kamera yang kita punya. bagus enggaknya, itu urusan yang berbeda dan kamera yang mahal bukan satu-satunya alat yg bisa menangkap rasa dalam sebuah foto :D

      Delete
  7. Sip. *belajar moto lagi*

    Maksudnya ini gimana Mbak: Sepengamatan saya, belajar merendahkan hati saat memotret menghasilkan foto yang lebih enak dilihat. Lebih sejuk dipandang. Kalau istilah teman saya Kuke bilang sih, 'gak meninggikan dinding'.

    Yang meninggi tuh yang kayak gimana, hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maksudnya jangan sombong :D Pake kamera serendah-rendahnya hati bukan setinggi-tingginya dagu kita mendongak. Heuheuheu.

      Delete
  8. Saya setuju dengan pendapat di postingan ini. Memang sih semakin mahal kamera, kualitas yang dihasilkan juga gak bohong. Tapi saya juga suka sebel kalau udah ada yang kekeuh melihat bagus dan jelek hanya dari apa kamera yang dipegang. Karena saya juga berprinsip gimana orangnya itu, sih :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener, Mba Chi. Intinya sih manusia gak akan pernah terpuaskan. Pake aja kamera yang ada hehehe :D

      Delete
  9. Saya belum kenal Indra,belum pernah ngobrol dengan dia, tapi membaca tulisan di atas, saya "rasa" saya akan klop ngobrol dengan dia. Bagi saya, yang paling membahagiakan dalam fotografi itu adalah pada saat memotretnya, dan bukan pada saat mengunggahnya ke media sosial atau di mana pun di internet, yang paling memuaskan adalah pada saat saya "merasakan" obyek yang saya potret, pada momen itu, bukan ketika banyak jempol menari di bawah foto saya. Kalau orang senang melihat hasil foto saya, itu mah bonus kebahagiaan, karena sudah membuat orang senang, bukan karena foto saya keren.
    Saya hidup untuk kebahagiaan diri saya, dan kenapa saya cinta fotografi, karena merekam dunia dan mengabadikan detilnya dengan lensa kamera itu membuat hati saya merasa kaya. Bukannya itu kebahagiaan?

    "Lakukan karena kamu suka, bukan ingin terlihat keren", nah itu, dalam hal apapun itu. Sukses selalu ya Ulu....

    ReplyDelete