Social Media

Setapak Demi Setapak ke Curug Malela dan Cerita di Dalamnya

02 August 2016
Dalam perjalanan jauh ditempuh dengan berjalan kaki, usaha satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah bersabar. Melangkah setapak demi setapak, tak tahunya sudah sampai di tujuan.

Dalam perjalanan model begini biasanya saya memikirkan banyak hal. Kecuali kalau ada teman ngobrol selama di jalan. Ya ujung-ujungnya membicarakan hal-hal yang tidak akan kami bicarakan jika situasinya berbeda. Pembicaraan yang sentimentil.

Dipikir-pikir perjalanan berjalan kaki jarak jauh itu memang melankolis. Seperti perjalanan saya di Curug Malela.

Menuju Curug Malela saya termasuk orang-orang yang mengekor di belakang. Terkadang berjalan sendiri, tapi ada kalanya berbarengan dengan teman-teman yang lain. 




Saya bertemu Pak Harnaka yang wajahnya selalu bahagia ketika melihat kupu-kupu atau capung. Seperti saya, Pak Naka juga memotret dengan kamera ponsel. Saya berbekal Android, ia menggunakan IOS. Kalau kamu pernah bertemu dengan orang-orang yang membuat kamu merasa dunia ini indah dan baik-baik saja, ya kira-kira begitu kesan saya terhadap Bapak yang satu ini dan istrinya. Happy terus bawaannya. 

Juga ada Ayu Kuke yang berjalan tak kalah santainya dengan saya dan membidik banyak hal dengan kameranya. Tak heran jika besok-besok hari saya akan ditag foto-foto keren olehnya di Facebook atau Instagram. Beberapa kali saya meminta bantuannya untuk memotret saya dengan latar pemandangan perbukitan, langit, dan awan.

Jadi begini, tiap kali pergi jalan-jalan biasanya saya sudah menyeleksi orang yang akan saya mintai tolong memotret saya. Males kan kalau fotonya miring atau wajah saya jadi buram hahaha. Kuke adalah orang yang dapat saya andalkan urusan moto memoto (muka saya) :D

Perlu saya sebutkan juga di sini bahwa saya menemukan anak kecil yang melesat ke sana ke mari dengan entengnya lalu ia mogok ketika lapar. Wira namanya, atau Jenderal Wira, begitu Kuke menjulukinya. Anak yang masih kelas 1 SD ini seperti tak ada lelahnya. Membuat saya merasa setua orang berumur 100 tahun saja. Dalam perjalanan dengan kontur menukik, dia masih gesit macam kambing gunung. Sedikit lagi mencapai titik perjalanan pulang saya melihat Wira tergolek kecapekan di punggung ayahnya. Di rumah Abah Karma, pos istirahat kami, Wira beraksi lagi. Macam gawai yang baru dicharge saja. 

Juga ada Ismi. Perempuan pendiam yang jarang terdengar suaranya. Ia berjalan seperti melayang, seperti tidak kecapekan. Terkadang wajahnya tersenyum dan tertawa, juga nampak sedang berpikir entah apa.

Ada pula Kang Budi, yang sepanjang jalan (terutama di dalam truk) tak pernah kehabisan cerita. Energinya selalu sama sejak berangkat hingga pulang.

Di Geotrek Curug Malela, saya bertemu lagi dengan Teh Mima. Kang Budi dan Teh Mima adalah teman perjalanan saya waktu di Jatigede. Wajah Teh Mima masih sama dengan tahun lalu saat saya berkenalan dengannya. Wajah-wajah senyum dan bahagia gitu. Sama kayak Pak Naka. 

Dua orang yang terakhir ini wajib saya sebut.

Pertama. Bapak T. Bachtiar. Kami menyapanya dengan sebutan yang mudah saja, Pak Bach. Beliau adalah orang yang memandu Geotrek ke Curug Malela. Dengan latar belakang ilmunya yang tingginya melebihi gunung-gunung mana pun di di dunia, Pak Bach adalah orang-orang yang diperbolehkan untuk jumawa dan merasa istimewa. Di manapun tempatnya, apapun situasinya. Tapi kakek-kakek muda yang satu ini memang berbeda. Pak Bach lucu banget, sabar banget, rendah hati banget. Perjalanan geotrek itu jadi semacam trip anak TK. Kami anak TK-nya, Pak Bachtiar guru TK-nya :D Guru TK yang menyenangkan!

Kedua. Budi Brahmantyo. Geolog yang rendah hati. Penjelasannya lugas dan sederhana. Orangnya selalu terlihat fit. Tegap dan penuh optimisme. Darinya saya tahu asal usul sebongkah batu dan kisah mula sebuah air terjun terbentuk. 

Lho kenapa saya malah mengabsen orang satu per satu ini hahahaha. Ayo kembali ke Curug Malela. 

Perjalanan ke Curug Malela ini adalah open trip yang terbuka untuk umum. Dilakukan pada hari Sabtu (30/7/2016), tripnya berjudul Geotrek Curug Malela. Diadakan oleh operator bernama Mata Bumi, tema geotrek menjadikannya berbeda dengan trip-trip umum lainnya. 

Jika sebuah perjalanan ditujukan untuk menyegarkan hidup kita yang membosankan, kalau di geotrek tujuannya bukan itu saja. Geotrek memuat penjelajahan dengan konten ilmu pengetahuan.

Dua pemandu Mata Bumi adalah Budi Brahmantyo dan Titi Bachtiar. Pak Budi geolog. Pak Bachtiar merupakan geograf.  Keduanya bagaikan batman dan robin. Nakula dan Sadewa.

Keduanya produktif menulis buku dan artikel di media cetak di tema-tema seputar kebumian. Mereka sangat aktif mengkampanyekan ilmu-ilmu bumi untuk orang umum kayak saya. Kamu browsing saja namanya di Google, pasti banyak bermunculan artikel-artikel karyanya dan berita tentang mereka berdua. 


Geotrek Curug Malela


Geotrek ke Curug Malela ini adalah yang kedua kalinya Mata Bumi adakan. Yang pertama adalah 6 tahun lalu, tahun 2010.

Curug Malela berlokasi di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat. Dari Bandung kami mencapainya dengan kendaraan tangguh, Truk Tentara, selama 3 jam saja. Setelah itu kami lanjutkan dengan berjalan kaki 1 jam (dan 2 jam ketika pulangnya, nanjak gak putus-putus jadi sedikit jalan banyak istirahatnya :D). 

Bukan perjalanan yang mudah. Terguncang-guncang di dalam truk, kepala saya jadi agak pengar. Turun dari truk seharusnya saya masuk kamar dan tidur cantik. Hahaha. Tapi tidak bisa tentu saja. Segelas teh hangat yang disediakan  di Rumah Abah Karma menghilangkan pengar saya. Juga potongan tempe dan sambalnya yang aduhai itu. 

Makan sudah, streching sudah. Trekking ke Curug Malela dimulai. Berbekal tempe dan ikan nila di dalam perut dan dua botol air minum, dari titik di rumah Abah Karma saya mengarungi perbukitan itu dengan pelan-pelan saja. 


Difoto Pak Bachtiar


Pak Bachtiar mengatakan bahwa Malela berasal dari bahasa Kawi. Artinya Baja.

Baja dalam arti (curug) Malela adalah metafora. Sebuah ekspresi kekaguman yang mengaitkan kemegahan dinding tebing dan kekuatan air terjun dengan Baja. Mengingat baja adalah benda yang kuat, tebal, dan berdaya tangguh. Begitu kesan orang dahulu terhadap air terjun ini makanya mereka menjulukinya Curug Malela. 

Bukan hanya Curug yang bernama Curug Malela. Ada juga Jukut (rumput) Malela untuk menggambarkan ukuran rumput yang tingginya lebih dari rumput biasanya. Lalu ada Keusik (pasir) Malela untuk mengungkapkan hamparan pasir yang berkilauan, bukan pasir standar gitu. Masih ada lagi, Cadas (batu) Malela yang menggambarkan batu yang tebal dan besar.

Kalau Hercules dan Rambo lahir di Tatar Parahyangan, mungkin orang Sunda akan memberi nama Malela untuk mereka. Hercules Malela dan Rambo Malela :D

Bagi saya Curug Malela adalah air terjun termegah yang pernah saya lihat secara langsung. Bukan dari layar televisi, juga bukan foto di majalah penjelajahan.

Saya sampai harus ambil posisi paling strategis untuk duduk diam beberapa menit dan hanya memandangnya, merekamnya kuat-kuat dalam ingatan. Indah sekali. Terpukau saya dibuatnya. Tiba-tiba jadi kangen Indra. Tahu kan credo 'ingin berbagi suka dengan orang yang kita sayang', ya begitu kira-kira perasaan saya waktu lihat Curug Malela :)

Ngomong-ngomong usai puas memandang lekat Curug Malela, saya turun ke sungainya. Seperti biasa kalau bertemu air terjun saya pasti menyapanya dengan mencelupkan kedua tangan terlebih dahulu ke dalam airnya. Semacam ritual berkenalan. Segar sekali airnya. Ingatan saya tentang 4 jam menujunya rontok tak berbekas.

Jika saya adalah pohon, saya ingin jadi pohon di tepi Curug Malela. Biar bisa lihat curugnya setiap hari. Kalau saya jadi manusia saya pasti bosan lihat curug yang sama. Tapi saya adalah pohon. Pohon tidak pernah bosan. Pohon adalah makhluk tersabar dan terbaik di muka bumi ini. 

Perjalanan pulang kembali ke truk tentara adalah perjalanan panjang. Selangkah demi selangkah melalui jalan yang menanjak, seperti tiada akhirnya. Namun persahabatan yang terjalin di antara tanjakan-tanjakan itu membuat saya bahagia.

Mulai dari ngomongin orang (ahahaha), menyemangati Teh Marlina yang semangatnya turun-naik, curhat isu percintaan (Ismi..ehm...), sampe bahas jenis rumput dan fungsinya. 

Bukan hanya pemandangan Curug Malela saja yang memukau, tapi penjelajahan, ilmu pengetahuan, dan persahabatan yang saya peroleh selama menuju ke sana menggenapi sebuah pengalaman trekking yang menyenangkan. 

Terbaca klise, tapi perjalanan menuju ke curug terbayar lunas pemandangannya. Perjalanan pulang dari curug -meski terseok hahaha- juga tertebus suasana yang hangat sesama peserta.

Lagipula ada beberapa orang yang umurnya jauuuh lebih tua dari saya tapi semangatnya masih membara. Jika Tuhan memberi umur saya panjang, saya ingin jadi seperti Pak Budi, Pak Bachtiar dan seorang peserta berumur 65 tahun yang masih sangat Malela itu. Umur lebih tua, berjalan lebih jauh. Dan tak lupa: rendah hati. 

Mata Bumi di Facebook. 
Titi Bachtiar di Facebook. 
Budi Brahmantyo di Facebook.




Leuwi Datar Gunung Halu, 2 jam menuju pintu gerbang Curug Malela. 
Rumah Abah Karma, tempat makan siang dan istirahat sebelum berangkat ke Curug Malela
Pak Budi, sedang menerangkan asal muasal Curug Malela.
Anak berbaju hijau adalah Wira si Kambing Gunung hohoho :D
Sudah makan, baru foto makanan :D


Kru Mata Bumi menyipkan webbing di titik-titik curam
Curug Malela di kejauhan
Pak Bachtiar dan saya berpose Melak Cangkeng
difoto Ayu Kuke






Pelajaran tentang Curug Malela
Lebar 60 m & tinggi 70 m


Walang Sangit. Dahulu digunakan sebagai pewangi dan penambah rasa untuk Sayur Kacang















Difoto oleh : Ulu
Edit foto: VSCO
Semua foto diambil dengan Lenovo A6000, kecuali foto saya dan Pak bachtiar yang dijepret Kuke.
12 comments on "Setapak Demi Setapak ke Curug Malela dan Cerita di Dalamnya"
  1. Di Bandung mah sepertinya banyak ya EO Geotrek. Aku tahu beberapa soalnya, dan semua dari Bandung.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh gitu? EO Geotrek kayaknya belum banyak. Di Bandung yg saya tahu ada 2, Mba Anne.

      Delete
  2. Ya ampun curug ini.. curig favoritku :D. Aku kesana 2014 kalo ga salah, dan medannya luar biasa super duper melelahkan -_-. Tapi apa yg kita dapet setelahnya bikin semua capek rasanya ilang ^o^. Air terjun paling cantik yg pernah aku liat. Kebetulan aku suka bgt dgn wisata air terjun mbak. Dr yg seram, yg susah medan, yg biasa aja, tp curug malela trmasuk yg tercantik walo medannya terjal, krn aku prnh ngerasain air terjun yg medannya lbh parah lg dr ini, di sibolangit, air terjun dua warna :D.. kirain 2016 ni curug udh di perbaiki rutenya, tp kliatannya dr foto2 masih belum ya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya air terjunnya cantiiiik banget! Jalan menuju ke sana masih jelek, Mba. Tapi ada beberapa bagian yg curam sudah berbentuk tangga. Lumayan membantu :D Ada upaya memperbaiki trek di sana tapi kelihatannya gak niat sih :D ahueheuheuheu

      Delete
  3. hebat, cantik, indah banget yah niagaranya Indonesia ini. Curug Malela emang kereeen yaaa. Moga awet jaya sampe akhir zaman

    ReplyDelete
  4. engga tau kenapa... aku liat artikel ini fokus ke ikan gorengnya..hehehe

    ReplyDelete
  5. Wow curug ini keren banget, cantiiiiiikkk. Jadi pengin kesana bersama anak-anak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo ke sana, Mba! Bawa banyak air minum ya soalnya bakal capek banget, haus banget, apalagi pulangnya :D

      Delete