Social Media

Image Slider

Buku Adalah Medium Kita Bercakap-Cakap dan Bertemu

18 October 2025

Empat pemilik toko buku dan perpustakaan di bandung duduk bersama dan membicarakan kabar tentang bagaimana apresiasi buku yang terjadi pada tokonya masing-masing. 



Di Perpustakaan Ajip Rosidi Sabtu 11 Oktober 2025 acara obrolan itu berlangsung, dalam rangka Festival Bukan Jumaahan Akbar, sebuah acara tahunan dari kajian rutin di Kedai Jante bernama Bukan Jumaahan. 


Keempatnya adalah Deni Rachman, pendiri Lawang Buku dan pemilik Toko Buku Bandung, Galuh Pangestri dari TB. Pelagia, Reiza Harits dari The Room 19 dan Tri Joko Her Riadi sebagai pendirinya perpustakaan Bunga di Tembok. 


Tahun 2025 di Bandung pergerakan perbukuan makin semarak jumlahnya. Ada kafe-kafe yang menyediakan buku-buku. Ada toko buku yang menjual makanan minuman. Ada perpustakaan berbayar dan gratis bermunculan. 


Deni merupakan pedagang buku paling senior yang duduk dalam bangku obrolan tersebut. Berjualan buku telah ia jalani lebih dari 15 tahun. Tokonya berada di Jalan Garut no. 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi. 


Ayah tiga anak ini meyakini bahwa tidaklah penting orang harus membeli di toko buku, "yang penting ramein, biarkan orang duduk berteduh, jadikan tempat buku sebagai tempat nongkrong," katanya.


Secara rutin kini di halaman Perpustakaan Ajip Rosidi berlangsung Pasar Minggu. Lawang Buku ikut serta. Kedatangan orang-orang dalam event pasar kaget tersebut turut serta meramaikan tokonya. 


Reiza memulai The Room 19 di tahun 2023 bersama dua temannya Alia dan Edo. Mereka menyewa sebuah ruang di lantai dua ruko di Jalan Dipati Ukur.


Perpustakaan indie berbayar ini diminati banyak mahasiswa, posisinya berada strategis di antara kampus-kampus bandung utara. 


Lulusan Unpad ini mengatakan bahwa pembaca membutuhkan interaksi dengan toko/perpustakaan. Karena itu The Room 19 membawa kebaruan dari segi tema, kurasi buku, kolaborasi membuat kegiatan seperti journaling, nonton, atau creative workshop lainnya. 


"Kunci meningkatkan keinginan orang membaca adalah membuat interaksi yang aman dan dua arah, bukan hanya menyodorkan buku," jelasnya lagi. 



Galuh sepakat dan menambahkan "pengunjung bukan cuma konsumen, karena yang berharga adalah percakapan dan pertemuan yang ada di dalam toko/perpustakaannya." 


Puncak apresiasi dari pembaca, menurut Galuh, adalah munculnya pemikir atau intelektual baru dari kalangan pembaca.


Pelagia juga beberapa kali menyelenggarakan diskusi yang narasumbernya berasal dari pembaca. Salah satu acara diskusi menarik yang pernah saya hadiri di Pelagia berjudul Mencari Cinta di Masa Pergerakan. Sebuah presentasi hasil penelitian seorang guru SMA boarding school yang juga lulusan sejarah Unpad, Ismi Indriani. 


Saya sendiri sering berkunjung ke Pelagia karena lokasinya searah dengan halte bis yang saya tumpangi pulang. Bila ada satu hal yang harus saya acungi jempol dari Pelagia, maka itu adalah kemampuannya memberi akses pada pembaca untuk mendapat buku yang kita inginkan. Di sana banyak buku yang tidak disegel sehingga kita bisa membacanya terlebih dahulu. 


Joko dari Bunga Di Tembok (BDT) adalah eks wartawan Pikiran Rakyat yang banyak meliput kegiatan literasi di Bandung. BDT perpustakaan berlokasi di Pasir Luyu, agak selatan kota Bandung. 


Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak berada di bawah atap yang sama. 


Ia menceritakan bahwa perpustakaan BDT merupakan sebuah usaha menemukan irisan antara buku, literasi, dan persoalan kita. "Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak adalah dua kaki yang berjalan. Jurnalismenya Bandung Bergerak, literasinya Bunga Di Tembok." 


Contoh apresiasi terjadi di perpustakaan Bunga Di Tembok adalah lahirnya sebuah klab buku, cerita Joko. "Sekarang klab bukunya sudah ke mana-mana kegiatannya bukan cuma di perpus BDT," ceritanya lagi. 



Muncul pertanyaan dari hadirin. Apakah membuat toko buku atau perpustakaan itu rekomendid? Apa tip-tipnya kalau kita mau bikin toko buku? 


Galuh menjawab selama ada ruang sendiri tanpa sewa bikin saja toko bukunya "jangan overthinking," ucapnya yakin. 


Reiza menjawab mantap dan pendek "berjejaring" yang juga diamini Joko. 


"Bunga Di Tembok banyak ditolong sama teman-teman & komunitas, kami juga membuat konsep sewa rak. Hal yang gak terduga akan muncul sepanjang jalan, memulai satu hal artinya membuka diri dgn 100 hal lainnya," cerita Joko lagi. 


Pertanyaan menarik lainnya muncul dan harus saya sertakan di sini. Apa bedanya apresiasi buku dulu dan sekarang? sayang konteks waktunya tidak disebutkan oleh penanya, tapi bisa dikerucutkan jadi: dulu (sebelum gempura era digital) dan sekarang (media sosial jadi makanan sehari-hari). 


Di masa kini, kata Deni, akses mencetak karya lebih besar. Siapa saja bisa melahirkan karya apapun. 


"Buku itu seperti spiral, tidak linear. Penting ada terobosan yang menembus batas, seperti merespon buku dengan tarian yang pernah dilakukan Teh Galuh, misalnya," katanya lagi. 


Joko menuturkan saat ini banyak ruang fisik yang melahirkan banyak komunitas. Media sosial berperan dalam menghubungkan banyak orang dengan gagasannya. 


Reiza menjelaskan tentang kolaborasi The Room 19 yang cukup sering dilakukan. 


Galuh berpendapat sekaligus memberi usul. Menurutnya justru di era seperti ini seharusnya tidak cuma ada workshop cara menulis. "Sudah ada banyak tutorial cara menulis, yang kurang itu tata kelolanya. Siapa publishingnya, distributornya, cara jualnya. Kita perlu workshop-workshop yang sifatnya teknis," ucap ibu dua anak yang juga seniman tari ini. 


Dalam diskusi juga beberapa kali mencuat topik penyitaan buku milik aktivis oleh kepolisian yang terjadi di bulan September. 


Deni menjelaskan bahwa proses penyitaan buku oleh aparat tidak sesuai hukum yang berlalu. "Bukan gitu caranya, karena menyita buku harus lewat pengadilan," jelas Deni berapi-api. 


Galuh menyambut semangat "nah itu, kita butuh workshop-workshop seperti itu yang harusnya kita buat. Seperti gimana sih alur penyitaan buku yang seharusnya," katanya lagi. 


Sayang sekali acara diskusi ini hanya berlangsung dua jam. Andaikan bisa diperpanjang jadi empat jam. Saya pun hendak bertanya pada mereka, apa saja buku terakhir yang mereka baca dan meminta rekomendasi bukunya.

Bersama Cerita Bandung, Berjalan Kaki ke Gunung Padang Cianjur

10 May 2025

Harus sih cerita ini di mana-mana dan kepada siapa saja, bahwa saya berhasil tiba di gunung padang cianjur melalui rute hiking dan trekking yang levelnya intermediate, di umur 40 tahun, dengan terseok-seok dan selamat. 



Rasa-rasanya saya termasuk rajin olahraga. Setidaknya berjalan kaki. Akan tetapi saat diterjunkan di perbukitan cianjur dan hiking 8 km tubuh ini berasa sempoyongan, malu kalau pingsan jadi saya menguatkan diri sendiri saat menempuh perjalanan tersebut. Lol. Capek. 


Trip ke gunung padang cianjur (22/02/2025) saya ikuti bersama geng Cerita Bandung. Mereka membuat tur jalan kaki merambah hutan, sungai, perbukitan, bahkan kaki-kaki gunung dalam tajuk #JalaninAja. 


Meski berulang kali saya mengikuti tur jalan kaki Cerita Bandung, tapi ini pertama kali saya mendaftar tur bertema petualangan mereka. Tentu saja demografi profil peserta tur mayoritas muda mudi cekas berotot super. Langkah kaki mereka lebar dan gagah-gagah. 


Ada juga saya perhatikan tiga peserta yang lebih tua, tapi mereka tidak kalah cekasnya dengan yang berusia muda. Gokil. 



Bila ada peserta tur yang termasuk kategori jompo maka itu adalah saya: berjalan selalu di urutan paling belakang.


Bahkan dengan belagunya saya tidak merasa butuh tongkat bantuan menopang badan, semacam trekking pole. Uwie, rekan perjalanan terbaik, berhasil meyakinkan dan memberi saya tongkat yang terbuat dari batang pohon entah apa. Terima kasih, Uwie! Sepertinya ia sengaja berjalan paling belakang buat menemani saya, bukan karena dia sama jomponya dengan saya. 


Kami tidak menaiki ratusan anak tangga gunung padang cianjur yang legendaris itu. Melainkan hiking dan trekking, masuk dari jalan belakang, melalui perbukitan dan perkampungan tembus jalan masuknya langsung ke undakan ke-5 gunung padang. 


Normalnya bila kamu mengunjungi situs kuno ini adalah bayar tiket di depan, naik tangga batu ratusan jumlahnya mungkin hanya 15 menit durasinya kalau stamina kamu bagus, dan ketemu dengan undakan ke-1. Ada lima undakan di gunung padang cianjur. 


Rute jalan kaki menuju Gunung Padang Cianjur bersama Cerita Bandung sangat berbeda dengan rute yang saya tempuh dulu di tahun 2007 dan 2010 (bisa baca di sini). Jalan kakinya 8 km terasa seperti 20 km. Waktu tempuh tiga jam. Satu jam terakhir konturnya tanjakan tanpa henti. 



Saya berjalan kaki membelah perkebunan teh, menyisir rumah warga di pedalaman kampung Ciukir, menyebrang kali (harfiah di sungai, bukan lewat jembatan), menapak di pematang sawah, masuk leuweung, dan tanjakan demi tanjakan yang bikin jantung merosot. 


Selama di jalan saya mengutuk diri sendiri mengapa sign-in dalam tur ini. Hahaha. Berat badan dan kenyamanan kota membuat saya menjadi manusia urban yang menyebalkan: terpisah dari tanah berbatu, berjarak dengan jalan rerumputan, kesakitan saat lengan bersentuhan ranting-ranting pohon teh, takut dengan jalanan terjal bukit, dan khawatir tisoledat di rute menurun. 


Pada waktu itu saya pikir selamanya saya akan memilih tur jalan kaki di kota saja yang ada alfamartnya dan ada gojeknya. Memang di momen-momen traveling seperti ini kita bisa mengenal diri sendiri dan boundaries-nya.


Tapi apakah iya saya menyesali perjalanan ini? Mengapa saya mau datang lagi ke Gunung Padang Cianjur untuk yang ke-3 kalinya?


Terjawab sudah saat menginjakkan kaki di Gunung Padang Cianjur yang sangat memukau pemandangannya. Saya menepuk pundak diri sendiri. Terima kasih membawa saya pada perjalanan ini, Lu. Tidak menyesal. The beauty of gunung padang cianjur dan nostalgia berjarak 15 tahun meluluhkan rasa lelah dan pegal-pegal. 


Pukul dua siang, sinar matahari bengkok. Meski langit kelabu sejak pagi hari, tapi di gunung padang langit sebagian membiru. Awan bergumpalan. Angin berhembus pelan, anginnya menyisip ke sela-sela kerudung dan pakaian saya. Suara daun bergesekan. Mulut burung-burung berkicau. Semua yang saya dengar, lihat, dan rasakan di sana sangat menyentuh kalbu. Indah sekali. 


Ada beberapa orang seliweran, selain kami. Namun rasa tentram menyusup ke sanubari meski kamu tahu kamu tidak sendirian di sana. 



Pukul lima pagi saya memulai trip ini di Stasiun Bandung, jam tiga sore saya bersandar di rerumputan menatap langit dan membasuh wajah dengan energi gunung padang yang tidak kasat mata. Betul-betul terasa sebagai puncaknya perjalanan. Pukul empat sore kami harus beranjak kembali ke Stasiun Lampegan. 


Tahun 2011 muncul desas-desus gunung padang cianjur yang disebut situs kuno terbesar di dunia. Bagi saya ini situs yang menarik dan ya sudah berhenti di situ saja. Fakta bombastisnya yang viral -dan masih diperdebatkan itu- tidak berpengaruh terlalu signifikan secara pribadi. 


Namun karena perhatian dari pemerintah, peneliti, bahkan liputannya juga tayang di serial dokumenter Netflix, Gunung Padang Cianjur memanglah terawat pemeliharaannya. Berbeda sekali kondisinya di tahun 2007, saya harus ketok-ketok pintu rumah kuncennya, meminta izin naik ke gunung padang. Sekarang? saya itung ada enam pemandu yang siap sedia di pintu loket. Ya, bahkan ada pintu loketnya! 


Kekaguman saya ada pada pemandangan bukit ini dan energi yang entah bagaimana membuat saya merasa tentram dan sentosa hanya dengan berdiri/duduk/berbaring di sana. Semua bebatuan heksagonal bergelimpangan secara teratur, dikelilingi pepohonan. Perbukitan dan Gunung Pangrango bisa terlihat.  Indah sekali. 




Gunung Padang Cianjur terdiri dari lima undakan. Tiap undakan menandakan lima ruang.  Undakan ke-5 adalah yang tertinggi, ada bebatuan yang ditancapkan menyerupai nisan, entah itu makam ataukah bebatuan yang sengaja disimpan dengan formasi tertentu agar terlihat sakral. 


Di undakan ke-2 ada pohon kemenyan yang dilingkari tali. Tidak jauh darinya ada sesajen. Ada papan larangan berbunyi dilarang memakai alas kaki saat menginjakkan batu di sekeliling pohon tersebut. Begitulah kepercayaannya. 


Namun terlepas dari kesakralannya, kita bisa duduk bersantai di sini. Melepas lelah, membebaskan diri sendiri dari penat, mengisi tangki udara bersih ke paru-paru, atau membayangkan bagaimana kehidupan kuno berlangsung di gunung padang, sebelum kembali ke kota dengan terbengong-bengong dan terguncang, kembali pada kehidupan yang padat pekerjaan dan tayangan di layar kaca ponsel, tanpa henti. 




dokumentasi:

Foto 1-2-6 dokumentasi Cerita Bandung

Foto 3-4-5 dokumentasi pribadi

Bengong di Bis Metro Jabar Trans

10 April 2025

Tempat terenak buat bengong adalah kamar mandi, kamar tidur, bangku kereta api, dan kursi bis. 



Hampir tiga tahun saya berstatus penumpang tetapnya bis umum bernama Metro Jabar Trans (MJT). Sebelumnya kami sebut dia Teman Bus. Warga kabupaten menyederhanakan nama bisnya menjadi Bis Tayo, merujuk pada tokoh kartun Tayo The Little Bus favoritnya anak-anak. Ongkos bis tidak pernah berubah, Rp4.900 saja jauh dekat. Pembayarannya juga masih sama, via QRIS atau tap in kartu. 


Dan entah sudah berapa banyak saya menulis cerita pengalaman menumpang bis MJT di feed instagram. Dari mulai yang paling klise tapi penting: kondisi halte. 


Hanya sedikit halte dalam koridor bis 3D yang saya tumpangi, layak disebut halte. Mereka adalah halte:

Merdeka

Alun-Alun

Terusan Buahbatu

Podomoro Park


Saya sebut layak karena di halte ada bangku, haltenya berbentuk halte ada atap buat berteduh dari panas dan hujan. Ada rambu-rambu lalu lintas. 


Total halte ada 30. Tidak sampai lima halte yang kondisinya layak. Mayoritas halte bis MJT tidak berbentuk dan hanya dapat kita lihat dengan mata batin. 


Becanda. Ada kok bisa kelihatan sediiiikit. Pertanda haltenya dari rambu-rambu halte, itu saja. Komunitas Transport For Bandung (FDTB) membantu dengan memasang poster kecil gambar rute bis dan nama halte. Yha! begitu saja. 


Kata warga sih "begitu juga udah untung". Sedih. 


Untuk memudahkan mencari halte kita bisa menggunakan aplikasi Mitra Darat. Saya mengandalkan aplikasi ini untuk tracking bis. Kebantu banget deh beneran, serasa quantum leap warga kabupaten menikmati layanan transportasi umum seperti ini. Makasih ya siapapun yang ngide bis Metro Jabar Trans di kementrian perhubungan dan dinas-dinas pemerintah. Gitu atuh beneran kerjanya kerasa sama kami rakyat yang bayar pajak. 


Terlepas dari sarana haltenya, bis MJT sangatlah menolong. Bisnya nyaman, bersih, dan dapat diandalkan. Banyak atau kosong penumpang bisnya tetap berjalan, dari subuh pukul lima hingga sembilan malam. Terutama lagi bagi perempuan seperti saya, menumpang bis MJT terasa aman. Sejauh ini di dalam bisnya saya aman tidur, aman baca, aman nonton (di hape, menggunakan earphone), dan tentu saja aman bengong. 


Di Sukabumi Beberapa Malam

06 February 2025

Dari Stasiun Sukabumi ke hotel di Jalan Siliwangi jaraknya hanya 1,4 km. Kita jalan kaki? tanya saya pada Indra. Iya, jalan kaki, katanya semangat. 




Otw Hotel


Yang tidak kami ketahui adalah kontur jalanan di kota tersebut nanjak (tanpa mudun). Bila di Bandung bayangkan berjalan kaki dari Gandok ke Siliwangi dan teruskan ke kampus Unpar di Ciumbuleuit. Sambil gendong ransel bekal nginap dua malam tiga hari. 


Keluar stasiun kereta api kami bertemu dengan Jalan Stasiun Timur yang astaganaga tanjakannya! Masih belum cukup kami berjodoh dengan Jalan Gudang yang masih nanjak juga. Hwarakadah! 


Napas mau putus rasanya tapi kami seperti kerasukan semangat pasukan galia jadi maju terus pantang pesan taksi online. 


Tiba di kamar hotel kami langsung terjun ke kasur. Semaput. 


Kalau kamu berpikir anjirlah segitu doang kayak mau mati, maka katakan hal yang sama pada dirimu sendiri saat kamu berusia paruh baya nanti yang baru aja selesai melakukan perjalanan dari pukul 8 pagi sampai 5 sore: naik bis, naik kereta, naik angkot, naik kereta, jalan kaki pake nanjak. Modyar.



Makan Malamnya


Makan-makan di sukabumi kami mampirnya ke restoran makanan chinese sebelah hotel. Rumah Makan Haroemsari namanya. Halal jadi kami sikat ayolah. 


Kami pilih menu ayam jahe, ifumi, dan kwetiaw. Hamdalah enak-enak semua khas masakan tionghoa yang beraroma bawang putih dan citarasa saos tiramnya. Hehe. 





Jajan Oleh-Oleh


Buat oleh-oleh kami belanja penganan tersohor ala sukabumi: mochi. 


Tentang kenapa mochi jadi kuliner khasnya saya pun tidak tahu. Yang pasti orang-orang keturunan tionghoa yang meracik makanan ini, begitupun tokonya milik mereka juga. Mulanya saya pergi ke toko mochi 39 yang cenah toko tua permochian di sukabumi. 


Sayang stok mochi mereka habis. Belum jam 12 siang loh padahal. Ternyata kita harus order dulu pagi harinya, gokil sih mochi limited judulnya. 


Jadi kami belanja ke toko Mochi A Yani. Bungkus mochi kacang aja seperti biasa. Enak gak? Enaaakkkk! hehe



Sekitar Stasiun Sukabumi


Setelah membungkus dua kotak mochi di Toko Mochi A Yani saya hanya perlu berjalan lima menit menuju Toko Nyonya. Menuju ke sana saya harus sebrangi satu perempatan jalan yang sibuk, angkot-angkot warna merah muda seliweran. Kota Sukabumi agak panas siang itu. 




Awalnya saya kira Toko Nyonya adalah toko kelontong, semacam toko serba ada. Saya akan masuk ke tokonya dan beli minuman botol di sana! Demikian rencananya. 


Sampailah saya di lokasi tujuan. Kulihat-lihat dan terbengong. Toko Nyonya bukan toko kelontong melainkan toko yang menjual pakaian dalam perempuan. 


Membeli pakaian dalam menurutku tidak bisa dilakukan secara spontan. Harus ada persiapan. Harus ada niat dari rumah. Jadi siang itu saya putuskan melihat tokonya dari luar saja. Besok-besok jika ada kesempatan ke Sukabumi lagi saya pasti sudah persiapkan diri belanja kutang atau celana dalam di Toko Nyonya.


Tahun 2025 dan seterusnya kami akan lebih sering jalan-jalan di Sukabumi. Ya sepertinya bakal begitu. 




Tulisan lainnya tentang Sukabumi

Menginap di Tanakita 

Menumpang kereta api dari Cipatat Bandung ke Sukabumi

Geotrek Dua Hari Tiga Malam di Ciletuh

Sore-Sore di Kotagede Makan Gudeg Krecek

15 January 2025

Tur jalan kaki di Kotagede selesai pukul 17.30. Kupikir daripada kembali ke penginapan lebih baik saya cari makan dulu. Ke arah Pasar Legi saya berjalan dan berhenti di sana menyantap makan malam lezat bernama gudeg krecek. 




Makan malam yang nikmat. Duduknya menghadap bangunan pasar. Langit menghitam, magrib sudah menjelang. Selesai makan saya beranjak jalan kaki lagi sambil memotret bangunan tua di pinggir jalan. 


Terakhir kali saya menyisir jalanan kotagede di tahun 2016. Sudah berlalu terlalu lama. 


Saya mencari satu pintu tua diantara jalanan tersebut, yang pernah saya jadikan latar berfoto. Meski agak ragu apakah bakal menemukannya karena hari sudah gelap dan tidak yakin otak saya akan mengingatnya. 


Ternyata ingat. Bahkan warna cat pintunya masih sama. Hijau tua. Tapi agaknya jalanan aspal mengalami peninggian. Mungkin diaspal beberapa kali, entahlah. Di gedung pintu tersebut berada ada spanduk bertuliskan DIJUAL. 




Sembilan tahun lalu saya menggendong nabil di punggung. Indra berada di seberang jalan dan memotret kami berdua. Saya memandang pintu itu dari seberang dan membayangkan berada di sana bersama nabil. Memang betul waktu terbangnya cepat sekali padahal hari demi hari dan tahun demi tahun berlalunya bukankah lama. 


Sedikit berjalan lagi saya bertemu toko buku Natan. Sayang tokonya baru tutup, waktu sudah menunjukkan pukul hampir 19.00 sedangkan tokonya tutup saat magrib. 


Tahun 2022 saya pernah berkunjung ke toko tersebut siang-siang di hari jumat yang mendung. Niatnya mau mampir lagi, apa daya kemalaman. 



Saya berjalan lagi sebentar. Tanggung. Ada toko es kelapa muda, saya jajan dulu satu butir. Seperti di bandung, trotoar di sini sama buruknya. Tidak dirancang buat pejalan kaki.   


Azan isya terdengar. Barulah saya pesan ojeg online, waktunya pulang, sori maksudnya kembali lagi ke penginapan.Kapan-kapan saya datang lagi ke Kotagede tapi tidak sendirian. 


 

Buku Kopi Dalam Kebudayaan Orang Sunda: Kopi Tutung, Sesajen, Tembang, dan Pantun

07 January 2025

Buku ini mengupas kopi dalam kehidupan sehari-hari dan pengaruhnya terhadap orang sunda. Menarik sekali membaca fakta perkopian ini. Dalam segelas air hitam kecoklatan ini ada cerita panjang dari era kolonialisme hingga zamannya anak skena. 



Atep Kurnia pada buku Kopi Dalam Kebudayaan Orang Sunda membahas kopi dari segala macam tinjauan sejarah. Ada kopi sebagai minuman. Juga ada kopi sebagai sesajen. Kopi adalah warna. Pun juga ada pembahasan tentang istilah 'ngopi' yang ternyata tidak sesimpel itu. 


Buku ini juga membedah kopi sebagai nama kawasan, seni pantun dan tembang, kopi sebagai rasa, dan tentu saja kopi sebagai sejarah imperialisme belanda. 


Pada kopi sebagai warna kita akan ketemu istilah seperti:

Wungu kopi, mendekati warna tanah

Kopi tutung, coklat tua


Penulis yakin (data based) kita lebih dahulu menggunakan istilah kopi tutung ketimbang menyebut istilah 'warna coklat'. 


Jenis tulisan dalam buku ini deskriptif semua dan pendek-pendek. Satu cerita terdiri dari 2-3 halaman.  Penulis menyertakan kesimpulan di akhir paragraf tiap bab. Bertabur data karenanya banyak kutipan.


Namun dalam buku ini tidak menyebut mengapa istilah ngopi ala orang bandung berbeda dengan ngopi ala orang sunda lainnya. 


Ngopi di bandung artinya nongkrong sambil menyantap makanan ringan, minumnya bukan cuma kopi, bisa saja air teh atau susu, atau apa saja. Di bandung kita bisa jajan di Ijan (warung susu murni) dan menyebutnya sebagai ngopi. Kita bisa nongkrong makan surabi dan minumnya teh hangat dan menyebutnya sebagai ngopi juga. 


Sedangkan di kota priangan lain (subang, purwakarta, bogor, sukabumi, tasik, ciamis, dan bbrp kota lain), ngopi adalah kegiatan yang harfiah, artinya sesuai nama: ngopi, minum kopi. 


Iya gak sih? Atau gimana nih di daerahmu, 'ngopi' artinya apa, beda gak dengan budaya ngopi ala warga bandung?


Kopi dalam Kebudayaan Sunda adalah buku ringan (tipis 147 halaman) dan konotatif (informasinya menarik dan tidak terasa berat). Menyenangkan bacanya. 


Ditulis oleh Atep Kurnia, buku ini merupakan karya cetaknya yang ke-4 di tahun 2022 saja. Tulisan Atep tentang sejarah dan budaya bisa kita baca di berbagai situs online, salah satunya @bandungbergerak.id. 


Cocok dibaca untuk para pemandu wisata, barista, anak skena, traveler kopi, traveler senja. Hehe. Bacaan ringan jadi sebetulnya cocok untuk siapa saja termasuk anak SD sekalipun. Buku-buku karya Atep Kurnia ukurannya selalu compact, praktis dibaca, membahas tema ringan dan data-based. Untuk perkenalan sejarah bandung, buku-bukunya layak baca dan koleksi, imho.  


Buku bisa dibeli langsung pada penulisnya di instagram @atepkurnia2020 atau pesan ke penerbit @penerbitlayung.

Obrolan Makan Siang Bersama Tante Wiwin di Gang Kimto

18 October 2024

Pengalaman paling berkesan di Tegal adalah makan siang di kantin Lima Sari yang berlokasi di Gang Kimto. Kami berkenalan dengan pemilik sekaligus koki yang memasakkan kami nasi goreng yancho dan mie ayam: Tante Wiwin. Ia juga menaruh kipas angin tambahan supaya kami tidak kepanasan. 



 

kantin lima sari tegal

 

Mulanya saya dan Retna hendak menuju Nasi Lengko Lumayan di Gang Kimto. Dari stasiun kereta googlemap menuntun kami ke sana. Namun yang tidak kami ketahui, kami berjalan memutar masuk ke belakang jalan utama dan membelah pasar. 


Saat mulai mempertanyakan apakah kami ini kesasar, ketemulah gang yang dimaksud dan saya langsung kalap bersukacita.



 

Karena sepanjang gang tersebut ada banyak rumah tua. Kira-kira mirip di Kauman Jogjakarta. Rupanya kami masuk ke Gang Kimto dari arah belakang. Bukan mulut gang bagian depan.

 

Saya foto jendela tua. Retna memotret pintunya. Kami berusaha tidak berisik dan tidak mengganggu. Gangnya sempit. Sesekali motor dan pejalan kaki lewat. 

 

kantin lima sari tegal


Kami bertemu sebuah rumah tua yang juga kantin bernama Lima Sari. Saya putuskan makan siang di situ saja. Retna setuju. Suasana yang hening dan dikelilingi rumah tua menambah kesan makan siang yang istimewa.


Tante Wiwin menyambut ramah turis-turis basah kuyup ini, maksudnya saya dan Retna yang berkeringat banyak. "Darimana?" tanyanya. Kami menyebut nama Bandung dan ia menyambar "ohhh Bandung! Bandung tuh enak tapi sayang jalannya sempit! macet!" kami tertawa. Tanda perkenalan yang baik. 


Saat menyantap mie ayam, suara ‘dug—dug-dug’ dari tembok sebelah terdengar keras, rapi, bertempo, dan gagah. Suaranya berlangsung agak lama, bertalu-talu sepanjang kami berada di sana 1,5 jam. Suara apakah itu, tanya saya pada Tante Wiwin. 

 

kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal


Ibu-ibu bersuara lembut ini cerita bahwa ibunya pedagang bakso sejak tahun 1969. Produksi baksonya rumahan dan ia lakukan sendiri. Tante Wiwin dan ibunya masih tinggal serumah. Kantin dan produksi baksonya bersebelahan. Suara yang kami dengar adalah suara pisau golok mencincang daging sapi dan ikan dari balik dinding. 



 

“Maksudnya ibunya Tante Wiwin yang cincang daging? sendiri?” tanya saya memastikan. 



 

"Iya, ibu saya masih cincang daging sapinya sendiri," katanya lagi. "Umurnya 84 tahun, tangannya kuat wong kalau nonton tv sambil olahraga barbel,” Tante Wiwin cerita sambil memperagakan adegan angkat barbel ke atas kepala dan bawah. 



 

kantin lima sari tegal

 

“Gak pake mesin aja, Tante? kayak blender kan ada yang khusus buat daging," tanya saya sambil elus-elus lengan saya yang berlemak itu. 

 

Ibunya Tante Wiwin tidak mau mencincang dengan blender/chopper karena dagingnya nanti akan berair. “Gak bagus buat adonan bakso,” ucapnya. 



 

Saya bertanya lagi. Kalau boleh tahu berapa berat barbel yang digunakan ibunya Tante Wiwin. “Ah paling sekiloan aja,” jawabnya. Ia menambahkan “jualan baksonya juga sehari sekarang paling banyak lima kilo.” 


 

Saya dan Retna berpandangan. Sepertinya di Bandung nanti kita harus rajin olahraga barbel, Na. Retna setuju. Mungkin angkat barbelnya sambil nonton drakor atau skroling reels. 



 

kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal


Berarti sudah 55 tahun mereka berdagang bakso. Sudah puluhan tahun juga ibunya Tante Wiwin olahraga angkat beban -sambil nonton tv- agar kekuatan otot tangannya terbangun dan sanggup mencincang daging sapi sendiri. Walah betapa ini fakta yang menakjubkan. 



 

Saat pamit pada Tante Wiwin, kami mengintip-ngintip ke jendela sebelah. Di sanalah ada sosok perempuan sedang berjalan perlahan, agak bungkuk, tersenyum pada kami, dan sedang siap-siap mau mencincang daging sapi entah batch cincangan yang ke berapa. 



Tiba-tiba saya berpikir ulang tentang konsep pensiun dini.

Kereta Tiba Pukul Lima di Stasiun Tegal

16 October 2024

Dari Cirebon kami menumpang kereta api pagi ke Stasiun Tegal. Pukul 10.41 kami tiba di tujuan dan wow terbengong-bengong memandang interior arsitektur bangunan stasiunnya, cantik sekali! 

 

 


Berjodoh juga saya dengan kota ini. Seperti Cirebon, ketinggian Tegal dari permukaan air laut hanya 4 m. Dengan begitu saya pun sudah siap menghadapi hawa panasnya, dengan payung!

Namun sebelum menginjakkan kaki keluar stasiun, saya dan Retna melihat-lihat bangunan utama stasiunnya. Walah indah sekali. Bangunan utama berbentuk kubus. 

 

Di dinding timur dan barat ada dekorasi kaca patri. Pada dinding bagian barat ada satu kaca patri besar melengkung. Semua orang diarahkan langsung masuk ke gate tiket atau duduk di ruang sebelah. Kami memandang interior Stasiun Tegal itu dengan berdiri. 

Mungkin hanya petugas tiket dan punggung kitalah yang akan menyaksikan betapa menawannya dinding barat tersebut. Sebab gate keberangkatan membuat penumpang berdiri membelakangi dinding tersebut.

 

Orang-orang pun hanya mondar-mandir dari sayap kiri gedung ke kanan dan sebaliknya. Jadi teman-teman, bila nanti ada kesempatan mengunjungi Tegal melalui jalur kereta api, tengoklah sebentar keindahan interior arsitekturnya itu. Luar biasa cakepnya.

Karena dinding berkaca patri di pintu masuk itu mengarah ke barat, kalau cahaya senja meluap-luap tentu terbayang bagaimana bayangan dan berkasnya jatuh ke dalam gedung stasiun. Sewaktu saya di sana matahari sorenya tidak terlalu berkilau, sore yang kelabu. Padahal siang harinya panas mentrang. 

 


atap stasiun tegal

Walau demikian saya kebagian sedikit berkas cahaya suci itu dan kamera hp android megap-megap memotretnya. Sedangkan mata saya  menangkap keindahan senja di Stasiun Tegal itu dengan manis.


Bagian atap stasiun tidak kalah manisnya. Atapnya menjulang tinggi dan terbuat dari susunan balok kayu. Mirip tumpangsari. Jujur saja itulah langit-langit bangunan stasiun tercantik yang pernah saya lihat. Saya beruntung bisa menyaksikan itu semua.  

Stasiun Tegal dibangun tahun 1885. Beda setahun dengan umurnya Stasiun Bandung. Tapi umur kota beda jauh. Umur kota tegal 444 tahun sedangkan kota bandung masih anak-anak yakni 214 tahun. Info lain-lainnya tentang stasiun ini bisa teman-teman baca di wikipedia. Namun ada satu fakta menarik yang saya temukan waktu googling arsitek bangunan Stasiun Tegal: Henri Maclaine Pont.

Maclaine Pont adalah juga arsiteknya bangunan ikonik nan cantik di Bandung bernama Aula Barat dan Aula Timur ITB. Menarik sekali sebagai orang bandung saya bisa terhubung dengan kota tegal karena ada jejak arsitek kolonial yang sama, selain warteg dan teh pocinya itu. Hehe. 

 

stasiun tegal


Retna dan saya memotret habis-habisan bangunan Stasiun Tegal. Namun saat berfoto di luar saya tidak bisa berkutik. Mataharinya serasa di atas kepala. Payung masih saya simpan dalam tas. Temperatur saat itu 34 derajat celsius. Pukul 11 siang. Panas ngabetrak!

Dari Bandung ke Tegal pergi - pulang satu hari:
1. Naik shuttle Bhinneka jurusan kota Cirebon pukul 6.15
2. Di Cirebon, naik gojek ke Stasiun Prujakan
3. Beli tiket goshow ke Tegal, Rp35.000
4. Menumpang KA Kaligung pukul 9.10
5. Sampai di Tegal pukul 10.41
6. Kembali ke Stasiun Tegal naik KA Airlangga tujuan Cirebon pukul lima sore
7. Turun di Stasiun Prujakan pukul 18.45
8. Naik gojek ke pool travel/shuttle
9. Otw ke Bandung naik shuttle Bhinneka pukul 19.30
10. Sampai di Bandung 21.30

 

stasiun tegal sore hari
stasiun tegal kala senja


Jam keberangkatan dan kepulangan bisa berubah tergantung jadwal kereta api yang sewaktu-waktu bisa berubah juga. Namun bila teman-teman ada rencana trip ke Tegal sebagaimana saya, maka bisa contek jadwal di atas. Kalau ketemu shortcut Bandung-Tegal yang lebih cepat juga boleh dibagikan infonya di komen.

Pergi pulang satu hari memang melelahkan. Idealnya menginap dan menikmati Tegal seluas-luasnya. Namun tidak semua orang memiliki keistimewaan yang ideal itu. Waktu tidak banyak, budget tidak berlebih. Adanya segitu ya dinikmati dan dijalani saja yang ada. Tujuh jam di Tegal bagi saya sendiri sangat terasa nikmatnya.

Jadi jalan-jalan ke Tegal kan? Jadilah hayuk!

Tujuh Jam Melancong di Sekitar Alun-Alun Tegal

15 October 2024

Hanya tujuh jam saja kami mubeng-mubeng 13.000 langkah sekitar stasiun kereta api dan alun-alun. Menu utama plesiran yang saya dan Retna lakukan adalah melihat rumah-rumah kuno kota Tegal.

jalan-jalan di alun-alun tegal
photo courtesy: Retna


Jalanan Tegal lengang.  Meski hawa terik matahari langsung membantai kami sejak keluar dari pintu stasiun rasanya hati ikut kebawa lega karena kondisi trafik yang tenang. Kira-kira pukul 11 siang waktu kami menapaki trotoar jalan.
 

Enak ya gak macet, pikir kami. Lalu kesadaran itu datang, bahwa sepertinya kami saja yang jalan-jalan di siang bolong nan terik. Bahkan di Bandung pun saya akan berpikir hal yang sama sebagaimana warga Tegal: ngapain siang-siang panas-panas keliaran di jalan.

Namun semangat turis beda. Kami rela berjalan kaki jauh dan panas-panasan. Bagaimana lagi. Kalau sudah cinta pasti senang hati melakukannya. Kata Alberto Camus "cinta adalah keinginan yang menyengsarakan tapi jangan berpikir kalau cinta tidak berguna". 

Dan tentang panasnya Tegal saya tidak bisa bercerita banyak. Luar biasa. Orang Bandung darah murni seperti Indra, suami saya, pasti akan kalang kabut dibuatnya. Kalau darah campuran ala saya dan Retna masih sanggup menghadapinya tanpa lolongan keluh kesah.

Retna merupakan teman yang saya kenal di tur jalan kaki kota parakan tahun 2023. Ia juga menginisiasi grup jalan-jalan santai di Bandung bernama Mapah Sareng. Hamdalah dalam trip tegal ini saya berjodoh dengannya dan dia banyak memotret saya (dari belakang). Mungkin retna bisa nyambi dari profesi apotekernya dengan merintis usaha fotografi traveling. Ada bakat motret soalnya. Semua foto yang ada dalam artikel ini dijepret olehnya. Makasih banyak, Retna!

 

 

Berkat bantuan teman lainnya pula tujuan perjalanan ke tegal ini jadi konkrit. Saya mencontek hampir semua lokasi tujuan berdasarkan foto-foto di instagram Aditya Indi. Makasih ya, Kang Adit! Postingan tentang rumah tua dan kota-kota kecil yang paling banyak saya save post di media sosial pasti dari feednya beliau. Bantuannya sangat detail sampai-sampai mengirim link googlemap. Dengan mudah saya membuat perkiraan waktu dan jarak antar lokasi.

Pada prakteknya ada beberapa tujuan yang kami lewat. Seperti nasi lengko gang kimto dan kue tempel yang berada di Jl. HOS Cokroaminoto. Semua lokasi tujuan ini kami sambangi berjalan kaki, sesuai urutan.

  1. Stasiun Tegal
  2. Gedung SCS yang antik, berada di seberang stasiun kereta api
  3. Gedung menara air
  4. Makan siang di Kantin Lima Sari di gang kimto
  5. Toko kue Pia Ny. Liao
  6. Kelenteng Tek Hay Kiong
  7. Kedai teh Baharia
  8. Jajan kue tempel seketemunya di pinggir jalan
  9. Kembali ke Stasiun Tegal


Wajah kota tegal sepertinya sedang berbenah. Proses revitalisasi stasiun oleh KAI menyambut kedatangan kami di Tegal. Saya lihat di foto stasiun sebelum renovasi, ada pohon besar yang menaungi area depan stasiun. Sepertinya pepohonan tersebut ditebang. Moga-moga nanti ada ditanam pohon lagi ya. 

Trotoar jalan dari stasiun ke arah alun-alun bisa dibilang mewah. Lumayan nyaman dan leluasa bagi pejalan kaki karena lebar, tapi level ketinggian trotoar dari permukaan jalan terlalu tinggi. 

 

Terlihat ada ruang terbuka hijau di Taman Pancasila dan lahan alun-alun. Pemerintah Tegal merevitalisasi kawasan tersebut sejak tahun 2019 dan rampung pada 2021.

Saat saya menyusuri gang kimto dan beberapa gang lain terlihat di tengah jalannya ada jalur (selokan) air ditutup batu beton. Batunya dibolongi ventilasi (apa ya istilahnya?).

Di Gang Kimto kami ngobrol dengan Tante Wiwin, pemilik kantin Lima Sari. Saya bertanya padanya tentang jalan gang yang terbilang cukup mewah karena permukaan jalannya dari batu. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya jalan gang berupa tanah. Sekarang di gang-gang kota tegal wajib ada selokan di tengahnya. Namun proyek infrastruktur jalan gang ini membuat level jalan lebih tinggi dan selevel dengan pintu rumah warga. “Sekarang suka kecium bau juga dari selokannya,” kata Tante Wiwin.

pecinan tegal
photo courtesy: Retna

 

Sepertinya ada perbaikan sarana infrastruktur cukup masif di Tegal ya. Saya googling beritanya dan munculah artikel tentang revitalisasi kawasan alun-alun dan sekitarnya. Biaya perbaikan aspal di alun-alun 4 milyar, ongkos perbaikan trotoar di Jl Ahmad Yani yang disebut malioboronya kota tegal habis 9 milyar.

Mungkin saya beruntung kebagian wajah kota yang sudah layak kondisinya bagi pejalan kaki ini. Namun karena keterbatasan waktu (juga karena googlemap mengarahkan kami ke jalan-jalan kecil), kami tidak melihat alun-alun dari dekat.  

Terlepas dari infrastukturnya, berjalan di kota tegal cukup menyenangkan. Meski kepanasan tapi kalau ketemu tempat teduh terasa ademnya. Di ruang tamu toko pia Ny. Liao kami agak lama duduk-duduk di sana. Angin dari luar masuk ke rumah dan semriwing nikmat sekali. Dan pia sari buahnya sangat enak!

Juga di kedai teh artisan Baharia. Saya dan Retna nongkrong dan ngobrol sambil minum teh dingin. Kami duduk di teras. 

 

Langit sore yang biru, angin berhembus, suara daun bergesekan, warga sesekali lewat mengayuh sepeda berlatar tembok gedung tua ala pecinan, ada burung-burung walet terdengar kicaunya. Yang pasti suasana healingnya terasa sekali. Baharia buka pukul 3 sore dan kami satu-satunya pengunjung saat itu.

 

pecinan tegal
photo courtesy: Retna


Namun kami harus beranjak pulang.

Kereta api Airlangga membawa kami kembali ke kota cirebon. Saat kereta berangkat saya menatap jendela dan mengucapkan sampai jumpa lagi pada tegal.

Siapa tahu bisa berjumpa lagi karena saya ingin kembali ke sana, mengajak indra, nabil, dan unis. Tentu saja nanti akan menginap satu malam di Tegal, saya belum mencicipi tradisi minum teh poci ala tegal yang tersohor itu. Hunting buku bekas di pasar alun-alun. Juga belum menyantap nasi lengko, soto tauco, dan sate kambingnya yang aduhai konon lezat.

Tegal, sampai ketemu lagi ya!



*Tulisan tentang makan siang di kantin Lima Sari di Gang Kimto dapat dibaca di sini dan tulisan tentang cakepnya interior arsitektur stasiun tegal dapat dibaca di sini

Bermalam Minggu di Yoghurt Cisangkuy

07 October 2024

Pukul lima sore motor kami meluncur dari rumah ke arah pusat kota Bandung yang macet di hari sabtu. Tujuan saya hanya semangkuk baso malang di Jalan Burangrang. 



Jalan Burangrang padat luar biasa di titik restoran baso yang saya tuju. Keramaian berasal dari Bakso Tjap Haji yang berada persis sebrang-sebrangan dengan resto baso langganan saya, Bakso Malang Enggal. 

Memang yang satu itu situs kuliner fenomenal di Bandung sejak pandemi sampai kini, ya maksud saya Tjap Haji itu. Parkirannya selalu ramai. Luar biasa. 

Saya dan indra menyantap baso langganan saja. Sudah lama tidak makan malam di sini. Pengunjungnya belum ramai. Juga harganya makin mahal. Berdua bayarnya sekitar tujuh puluh ribuan. 

Syukurlah rasanya masih enak. Kami makan tanpa bicara. Mungkin sedang lapar-laparnya. 

Setelah kenyang barulah saling ngobrol. Tentang video-video tiktok yang saya bookmark, juga lucunya video dari facebook yang indra save. Zaman apa ini, tema obrolannya video viral kok bisa. Bisa ternyata. Haha. 

Beranjak ke Jalan Sancang kami salat magrib. Wangi semerbak bunga di halaman parkirnya nikmat sekali. "Bunga apa sih?" tanyaku pada Indra. Dia menunjuk pohonnya tapi tidak tahu namanya. 

Malam masih pagi. "Muter-muter aja dulu yuk ke mana gitu," kata Indra. 

Menuju utara kami terhimpit macet di Dago dan Dipati Ukur. Gila macetnya bikin mual. 

Ke Yoghurt Cisangkuy kami putuskan bersarang sebentar. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Emang masih buka restonya?" kutanya lagi. Masih ternyata, tutupnya pukul 21.00

Jalan Cisangkuy juga padat orang-orang. Bila dahulu hanya ada resto Yoghurt Cisangkuy, sekarang berderet-deret tempat kuliner di sana, yang bintang empat sampai kaki lima. Metet! 

Bangku-bangku di Yoghurt Cisangkuy tidak terlalu penuh. Saya pesan yoghurt dan sedikit camilan. "Sudah berapa abad kita gak makan di sini ya?" kami berdua tertawa getir, waktu cepat terbangnya dan kita makin tua. 

Juga agak syok saat bayar di kasir. Rp113.000 untuk dua gelas yoghurt, sepotong cheesecake jadul, sepotong bolu tape, dan empat potong kue kastangel. 

Namun suasana restonya menyenangkan. Kami duduk di bangku kayu dan ngobrol sampai restonya tutup. 


Ritual pulang ke rumah selalu sama: cek googlemap mencari rute jalan yang lengang. Malam minggu pukul sembilan macet Bandung sedang menyala. Dibutuhkan bantuan peta digital agar tidak terjebak dalam pusaran silau macetnya