Social Media

Hampir Asar di Masjid Ar-Raudhoh Pekalongan

09 October 2025

Di masjid Ar-Raudhoh saya hendak salat, penjaga masjid mengatakan tidak ada mukena di sini. “Gak apa-apa saya bawa mukena, Pak,” begitu jawab saya polos. Yang tidak saya ketahui adalah masjid tersebut merupakan masjidnya umat keturunan arab dan saya sedang berada di jantungnya kawasan arab di Pekalongan. Tidak ada perempuan salat di sana. Dalam arti: hanya laki-laki yang beribadah di masjidnya. 


masjid ar-raudhoh pekalongan

Untungnya saya belum salat di sana. Karena memang belum azan asar. Saya pikir bisa nih sambil nunggu azan yang 20 menitan lagi menjelang. Memang begitulah penyakitnya manusia masa kini: foto-foto sampai hapenya muntah. 


Bagaimanapun, saya minta izin berfoto pada penjaga masjid dan ia membolehkan. 


Masjid Ar-Raudhoh tidak seperti bangunan masjid. Dia nampak seperti rumah. Bila pun disebut tempat ibadah muslim, cocoknya jadi musola. Bangunannya pun klasik. Bila melihatnya kita tahu bangunan tersebut bukan berasal dari tahun 80an, tapi lebih tua lagi. 


Pada fasad bangunan masjid tertulis dalam huruf arab: Masjid Ar-Raudhoh 1352 H. Berarti masjid ini sudah ada sejak tahun masehi 1933. Hampir satu abad lalu. 


Terdiri dari dua bangunan rumah dan banyak jendela besar-besar dengan daun jendelanya yang bisa dibuka tutup ke luar. Beberapa jendela ada kaca patrinya. Warna masjid ini krem keputihan. Tidak ada warna menonjol selain karpet masjid. 


Ternyata betul masjid ini dahulunya rumah daru seorang habib bernama Ali bin Ahmad Al-Athas. Namun tidak saya ketahui profesi beliau, apakah pendakwah yang juga pedagang seperti sebagaimana pada umumnya orang-orang keturunan arab. 



Masjidnya kosong tidak ada orang. Saya memotret dengan leluasa. Sampai muncul satu orang masuk ke halaman masjid dan parkir motor. Seorang laki-laki, mengenakan sarung dan kopiah haji. 


Saya melihatnya, begitu pun dia. Dia tersenyum, saya juga. Dari matanya saya menangkap ada kesan aneh melihat saya di sana, orang asing perempuan di masjid. Saya menilik wajahnya, ada garis-garis keturunan arab di sana. 

Dia duduk dan bertanya asal saya dari mana. 


Bandung, Pak. Jawab saya berusaha ramah. 


Yang tidak saya duga adalah pertanyaan dia berikutnya. “Udah nikah, Mbak?”


Hah? kaget juga ditanya langsung demikian. 


“Suaminya di mana, Mbak?” tanyanya lagi. 

“Nginepnya di mana?”

“Ke sini sama siapa?”


Saya tidak melihat ia bermaksud buruk. Sepertinya hanya ingin bertanya saja. Saya menjawab tanpa memberinya informasi terlalu rinci. 


Azan asar akan berkumandang dalam waktu dekat. Perasaan saya mengatakan sebaiknya saya segera pergi saja. "Salat di kamar hotel saja," bisik saya dalam hati. Saya pamit padanya dan berterima kasih pada penjaga masjid. 


Ada beberapa tukang becak bergantian mengambil air dari sumur dan menawarkan jasa becaknya. Iya makasih, Pak. Saya tolak halus. 


Di sisi kiri depan masjid ada sumur, tempat berwudu, dan tiga kamar mandi. Becak terparkir di dekat pintu masjid dan seorang tukang becak tertidur di sana. 



Di kamar hotel saya browsing tentang masjidnya dan menyadari bahwa saya memang bodoh. Masjid Ar-Raudhoh sepertinya khusus  untuk umat laki-laki. Mungkin perempuan bisa salat di sana tapi hanya orang-orang polos dan tidak paham seperti saya yang ‘berani’ salat di sana. 


Pantas saja saya perhatikan tidak saja tidak ada mukena, tapi juga tidak ada area khusus salat bagi perempuan. 


Mungkin kulturnya mereka begitu. Pantas saja orang yang berbincang sebentar dengan saya di masjid itu seperti ada yang aneh dalam pandangannya saat melihat saya. Mungkin kalau keanehan bisa bicara ia akan mengatakan: loh kok ada perempuan di sini?


Saya sedang tidak menyalahkan siapapun selain diri saya sendiri karena tidak tahu apa-apa. 

Post Comment
Post a Comment