Social Media

Dua Jam Makan Siang dan Ngopi di Sragi

07 October 2025

Tiga hari di Pekalongan saya memulainya sendirian di Sragi, 16 km dari pusat kota. Jauh sekali dipikir-pikir untuk apa ke sana. Mungkin di lain waktu saya tidak akan melakukannya lagi bila tanpa bersama siapapun. Makin tua memang makin terasa kalau berjalan sendiri itu rasanya kesepian. 



Padahal di jalan bertemu Mas Badi, driver ojeg online yang santun dan budiman. Bisa saja saya mengajaknya makan siang dan mengobrol agak lama. Tapi mengapa saya tidak melakukannya, ya entahlah! Semakin tua semakin mager bersosialisasi kah? 


Di Sragi ada pabrik gula satu-satunya yang masih beroperasi sejak zaman belanda dulu. Pernah ada 17 pabrik gula di kabupaten Pekalongan, hampir semuanya sudah mati. 


Pergilah saya ke Sragi, sudah sejak lama saya ingin melihat suasana pabrik gula dan rumah-rumah dinasnya. Informasi tentang Sragi saya ketahui dari instagram, dari akunnya Aditya. Makasih, Kang Adit! 



Omah Carkonah adalah tujuan saya di Sragi. Rumah tua yang juga pernah jadi rumah dinas pegawai pabrik gula. Sekarang rumahnya menjadi rumah makan. Saya tiba di sana tepat sebelum waktu sholat jumat. Saya meminta nomor telepon Mas Badi dan memintanya kembali lagi pukul dua siang dan menjemput saya. Ongkosnya saya tanggung PP kali dua. Menumpang bis dan mencari ojeg pangkalan lebih adventurous tapi dengan usia saya dan waktu terbatas lebih baik membayar agak mahal buat Mas Badi. 


Sepertinya memang saya makin menua ada benar ada efek lainnya. Sekelebatan nostalgia saat jalan-jalan juga bermunculan seiring pemandangan yang muncul. Tidak hanya saya menemukan suasana dan pemandangan baru, tapi juga yang lama-lama yang terasa seolah saya pernah di sana. 


Waktu kelas 2 SMA (di Cirebon), saya pernah kerja kelompok di rumah seorang teman di kompleks pabrik gula Tersana Baru. Dari terminal Harjamukti saya menumpang elp bersama Heru, teman sekelompok. Dia berdiri berayun-ayun di pintu elf. Saya duduk tergencet di dekat pintu. Suasana elf di pagi hari selalu ramai penumpang. Tahun 2000 hanya elf satu-satunya angkutan menghubungkan kabupaten ke kota. 


Kami turun di depan komplek pabrik gula dan Rija menjemput. Di Desa Babakan namanya. Dia menuntun kami ke rumahnya yang bentuknya sangat klasik. Rumah ala-ala orang belanda. Saya ternganga, seandainya Rija bisa menjadi saksinya maka ia akan menyatakan melihat saya terbengong-bengong menatap rumahnya dan rumah-rumah tetangganya. 


Karena rumah di sana indah sekali. Halaman berumput agak luas dan berpohon. Rumah tanpa pagar, ada jalan menuju ke teras, di terasnya bisa duduk-duduk memandang jalanan, jendela besar-besar, pintu tinggi-tinggi, langit-langit seperti tak terjangkau. Saya memuji rumahnya sementara Rija terlihat tidak betah. Katanya ada kunti*anak di rumah. 


Hahaha kami tertawa, saya juga sambil menatap langit-langit yang Rija tunjuk di mana kunti itu sering muncul. 


Ayahnya bekerja di PG Tersana Baru dan tahun itu mereka pindah dinas ke Cirebon. Rupanya itulah alasan mengapa Rija menjadi anak baru di sekolah kami. 


Saya kira kenangan itu yang muncul saat saya berada di Sragi. Kenangan bertemu dengan rumah tua rumah dinasnya pegawai pabrik gula Tersana Baru yang teman saya diami. 


Saya masuk ke Omah Carkonah dan menelusurinya sampai ke belakang. Ukuran rumah dan ruang-ruangnya lebih besar daripada rumahnya Rija, saya pikir begitu. Pengunjung terlihat ada banyak. Suara musik mengalun. Pegawainya hilir mudik. 


Makanan di sini tersaji prasmanan. Mbak-mbak Omah Carkonah mengatakan garang asamnya best seller. Namun mulut saya sedang enggan mengunyah daging apapun. Saya ambil piring dan memilih menu nasi, lodeh, dan tempe mendoan. Minumnya harus yang segar jadi es asem jawa saja. 


Duduk menghadap jendela paling besar saya menyantap makan siang. Enak juga. Menu yang ratingnya 8 dari 10. Memuaskan kalau menyantap makanan enak yang kita pilih sendiri tanpa rekomendasi siapa-siapa. 


Makanan habis saya minta izin memotret. Boleh, kata pegawainya. 


Terdiri dari tiga kamar besar, satu ruang tamu, dua teras, satu garasi, dan dua ruangan lainnya, Omah Carkonah sangatlah luas! Belum lagi halaman depan dan belakang. Secara keseluruhan rumahnya memang tua tapi pintu, jendela, dan ornamen di teras sepertinya sudah mengalami perubahan. Tidak nampak seklasik itu soalnya. 


Saya berpindah ke rumah sebelah yang berfungsi sebagai coffeeshop: Teman Semeja. Di sini lebih sedikit pengunjung dan ruangannya banyak kosong, hawa rumah kolonial lebih terasa. Juga saya rasakan angker atau saya memang penakut, jadi saya duduk di teras saja menunggu pesanan datang. 



Namanya juga kofisop, karyawannya anak-anak muda berpakaian hitam. Lengkap dengan mbak-mbak cantik sebagai barista.  Pemandangan skena di Sragi siang itu saya lihat di Teman Semeja.  


Dua rumah dinas pabrik gula Sragi inilah yang mengalami perubahan fungsi. Rumah-rumah sebelahnya ada yang kosong dan ada juga yang masih berpenghuni. 


Saya berjalan menyusuri sepotong Sragi dan melihat pabrik gula dari luar. Asap cerobong pabrik sedang bekerja. Rupanya saya datang di saat pabriknya sedang giling tebu. 


Mas Badi -driver ojeg online- cerita kalau pabrik gula tersebut hanya aktif kalau panen tebu. “Cuma lima bulan aja, mbak” katanya.


Terus sisa tujuh bulan ngapain, Mas? 

Ya pabriknya kosong saja, Mbak. Sambil nunggu panen tebu yang berikutnya.


Saya tanyakan kembali padanya apakah ia bekerja di pabrik gula juga, sebab Mas Badi memberitahu kalau rumahnya berlokasi di Sragi dekat pabrik gula. 


“Enggak, kalo kepingin kerja di pabrik gula mesti orangtuanya pegawai juga di sana,” jawabnya lagi. 


Oh gitu, baru saya ketahui fakta tersebut. 



Saya meninggalkan Sragi yang (sangat) panas cuacanya. Truk-truk pengangkut tebu hilir mudik melindas jalanan dan debunya. Luar biasa sibuk sekali. Motor Mas Badi beberapa kali berpapasan dan menyalip truknya. Bagaimana sibuknya jalanan Sragi dan jalanan pantura di masa lalu saat pabrik gula sedang jaya-jayanya ya! 


Tidak hanya pabrik gula yang ada di Sragi, ada juga pabrik konveksi dan entah apalagi. Saya melihat setidaknya ada lima pabrik di antara pesawahan luas dan pepohonan pinggir jalan itu. 


Dari Sragi saya meminta Mas Badi mengarahkan motor ke kota. Saya turun di depan masjid Ar-Raudhah, hanya beberapa meter saja dari Binumar, penginapan yang saya booking kamarnya tiga hari dua malam di Pekalongan. 


Mas Badi, matur nuwun ya. Saya betulan sangat berterima kasih padanya karena mau mengantar jemput dari kota-kabupaten-kota. Ia pun dengan santun mengatakan yang sama. Katanya jangan segan-segan mengontak lagi kalau butuh bantuan. Saya cek ratingnya di aplikasi, pantas layanannya mantap. Ratingnya 5.0. 


Sore itu saya tidur di kamar hotel, Pekalongan hari pertama selesai. 


Post Comment
Post a Comment