Social Media

Image Slider

Buku Adalah Medium Kita Bercakap-Cakap dan Bertemu

18 October 2025

Empat pemilik toko buku dan perpustakaan di bandung duduk bersama dan membicarakan kabar tentang bagaimana apresiasi buku yang terjadi pada tokonya masing-masing. 



Di Perpustakaan Ajip Rosidi Sabtu 11 Oktober 2025 acara obrolan itu berlangsung, dalam rangka Festival Bukan Jumaahan Akbar, sebuah acara tahunan dari kajian rutin di Kedai Jante bernama Bukan Jumaahan. 


Keempatnya adalah Deni Rachman, pendiri Lawang Buku dan pemilik Toko Buku Bandung, Galuh Pangestri dari TB. Pelagia, Reiza Harits dari The Room 19 dan Tri Joko Her Riadi sebagai pendirinya perpustakaan Bunga di Tembok. 


Tahun 2025 di Bandung pergerakan perbukuan makin semarak jumlahnya. Ada kafe-kafe yang menyediakan buku-buku. Ada toko buku yang menjual makanan minuman. Ada perpustakaan berbayar dan gratis bermunculan. 


Deni merupakan pedagang buku paling senior yang duduk dalam bangku obrolan tersebut. Berjualan buku telah ia jalani lebih dari 15 tahun. Tokonya berada di Jalan Garut no. 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi. 


Ayah tiga anak ini meyakini bahwa tidaklah penting orang harus membeli di toko buku, "yang penting ramein, biarkan orang duduk berteduh, jadikan tempat buku sebagai tempat nongkrong," katanya.


Secara rutin kini di halaman Perpustakaan Ajip Rosidi berlangsung Pasar Minggu. Lawang Buku ikut serta. Kedatangan orang-orang dalam event pasar kaget tersebut turut serta meramaikan tokonya. 


Reiza memulai The Room 19 di tahun 2023 bersama dua temannya Alia dan Edo. Mereka menyewa sebuah ruang di lantai dua ruko di Jalan Dipati Ukur.


Perpustakaan indie berbayar ini diminati banyak mahasiswa, posisinya berada strategis di antara kampus-kampus bandung utara. 


Lulusan Unpad ini mengatakan bahwa pembaca membutuhkan interaksi dengan toko/perpustakaan. Karena itu The Room 19 membawa kebaruan dari segi tema, kurasi buku, kolaborasi membuat kegiatan seperti journaling, nonton, atau creative workshop lainnya. 


"Kunci meningkatkan keinginan orang membaca adalah membuat interaksi yang aman dan dua arah, bukan hanya menyodorkan buku," jelasnya lagi. 



Galuh sepakat dan menambahkan "pengunjung bukan cuma konsumen, karena yang berharga adalah percakapan dan pertemuan yang ada di dalam toko/perpustakaannya." 


Puncak apresiasi dari pembaca, menurut Galuh, adalah munculnya pemikir atau intelektual baru dari kalangan pembaca.


Pelagia juga beberapa kali menyelenggarakan diskusi yang narasumbernya berasal dari pembaca. Salah satu acara diskusi menarik yang pernah saya hadiri di Pelagia berjudul Mencari Cinta di Masa Pergerakan. Sebuah presentasi hasil penelitian seorang guru SMA boarding school yang juga lulusan sejarah Unpad, Ismi Indriani. 


Saya sendiri sering berkunjung ke Pelagia karena lokasinya searah dengan halte bis yang saya tumpangi pulang. Bila ada satu hal yang harus saya acungi jempol dari Pelagia, maka itu adalah kemampuannya memberi akses pada pembaca untuk mendapat buku yang kita inginkan. Di sana banyak buku yang tidak disegel sehingga kita bisa membacanya terlebih dahulu. 


Joko dari Bunga Di Tembok (BDT) adalah eks wartawan Pikiran Rakyat yang banyak meliput kegiatan literasi di Bandung. BDT perpustakaan berlokasi di Pasir Luyu, agak selatan kota Bandung. 


Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak berada di bawah atap yang sama. 


Ia menceritakan bahwa perpustakaan BDT merupakan sebuah usaha menemukan irisan antara buku, literasi, dan persoalan kita. "Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak adalah dua kaki yang berjalan. Jurnalismenya Bandung Bergerak, literasinya Bunga Di Tembok." 


Contoh apresiasi terjadi di perpustakaan Bunga Di Tembok adalah lahirnya sebuah klab buku, cerita Joko. "Sekarang klab bukunya sudah ke mana-mana kegiatannya bukan cuma di perpus BDT," ceritanya lagi. 



Muncul pertanyaan dari hadirin. Apakah membuat toko buku atau perpustakaan itu rekomendid? Apa tip-tipnya kalau kita mau bikin toko buku? 


Galuh menjawab selama ada ruang sendiri tanpa sewa bikin saja toko bukunya "jangan overthinking," ucapnya yakin. 


Reiza menjawab mantap dan pendek "berjejaring" yang juga diamini Joko. 


"Bunga Di Tembok banyak ditolong sama teman-teman & komunitas, kami juga membuat konsep sewa rak. Hal yang gak terduga akan muncul sepanjang jalan, memulai satu hal artinya membuka diri dgn 100 hal lainnya," cerita Joko lagi. 


Pertanyaan menarik lainnya muncul dan harus saya sertakan di sini. Apa bedanya apresiasi buku dulu dan sekarang? sayang konteks waktunya tidak disebutkan oleh penanya, tapi bisa dikerucutkan jadi: dulu (sebelum gempura era digital) dan sekarang (media sosial jadi makanan sehari-hari). 


Di masa kini, kata Deni, akses mencetak karya lebih besar. Siapa saja bisa melahirkan karya apapun. 


"Buku itu seperti spiral, tidak linear. Penting ada terobosan yang menembus batas, seperti merespon buku dengan tarian yang pernah dilakukan Teh Galuh, misalnya," katanya lagi. 


Joko menuturkan saat ini banyak ruang fisik yang melahirkan banyak komunitas. Media sosial berperan dalam menghubungkan banyak orang dengan gagasannya. 


Reiza menjelaskan tentang kolaborasi The Room 19 yang cukup sering dilakukan. 


Galuh berpendapat sekaligus memberi usul. Menurutnya justru di era seperti ini seharusnya tidak cuma ada workshop cara menulis. "Sudah ada banyak tutorial cara menulis, yang kurang itu tata kelolanya. Siapa publishingnya, distributornya, cara jualnya. Kita perlu workshop-workshop yang sifatnya teknis," ucap ibu dua anak yang juga seniman tari ini. 


Dalam diskusi juga beberapa kali mencuat topik penyitaan buku milik aktivis oleh kepolisian yang terjadi di bulan September. 


Deni menjelaskan bahwa proses penyitaan buku oleh aparat tidak sesuai hukum yang berlalu. "Bukan gitu caranya, karena menyita buku harus lewat pengadilan," jelas Deni berapi-api. 


Galuh menyambut semangat "nah itu, kita butuh workshop-workshop seperti itu yang harusnya kita buat. Seperti gimana sih alur penyitaan buku yang seharusnya," katanya lagi. 


Sayang sekali acara diskusi ini hanya berlangsung dua jam. Andaikan bisa diperpanjang jadi empat jam. Saya pun hendak bertanya pada mereka, apa saja buku terakhir yang mereka baca dan meminta rekomendasi bukunya.

Hampir Asar di Masjid Ar-Raudhoh Pekalongan

09 October 2025

Di masjid Ar-Raudhoh saya hendak salat, penjaga masjid mengatakan tidak ada mukena di sini. “Gak apa-apa saya bawa mukena, Pak,” begitu jawab saya polos. Yang tidak saya ketahui adalah masjid tersebut merupakan masjidnya umat keturunan arab dan saya sedang berada di jantungnya kawasan arab di Pekalongan. Tidak ada perempuan salat di sana. Dalam arti: hanya laki-laki yang beribadah di masjidnya. 


masjid ar-raudhoh pekalongan

Untungnya saya belum salat di sana. Karena memang belum azan asar. Saya pikir bisa nih sambil nunggu azan yang 20 menitan lagi menjelang. Memang begitulah penyakitnya manusia masa kini: foto-foto sampai hapenya muntah. 


Bagaimanapun, saya minta izin berfoto pada penjaga masjid dan ia membolehkan. 


Masjid Ar-Raudhoh tidak seperti bangunan masjid. Dia nampak seperti rumah. Bila pun disebut tempat ibadah muslim, cocoknya jadi musola. Bangunannya pun klasik. Bila melihatnya kita tahu bangunan tersebut bukan berasal dari tahun 80an, tapi lebih tua lagi. 


Pada fasad bangunan masjid tertulis dalam huruf arab: Masjid Ar-Raudhoh 1352 H. Berarti masjid ini sudah ada sejak tahun masehi 1933. Hampir satu abad lalu. 


Terdiri dari dua bangunan rumah dan banyak jendela besar-besar dengan daun jendelanya yang bisa dibuka tutup ke luar. Beberapa jendela ada kaca patrinya. Warna masjid ini krem keputihan. Tidak ada warna menonjol selain karpet masjid. 


Ternyata betul masjid ini dahulunya rumah daru seorang habib bernama Ali bin Ahmad Al-Athas. Namun tidak saya ketahui profesi beliau, apakah pendakwah yang juga pedagang seperti sebagaimana pada umumnya orang-orang keturunan arab. 



Masjidnya kosong tidak ada orang. Saya memotret dengan leluasa. Sampai muncul satu orang masuk ke halaman masjid dan parkir motor. Seorang laki-laki, mengenakan sarung dan kopiah haji. 


Saya melihatnya, begitu pun dia. Dia tersenyum, saya juga. Dari matanya saya menangkap ada kesan aneh melihat saya di sana, orang asing perempuan di masjid. Saya menilik wajahnya, ada garis-garis keturunan arab di sana. 

Dia duduk dan bertanya asal saya dari mana. 


Bandung, Pak. Jawab saya berusaha ramah. 


Yang tidak saya duga adalah pertanyaan dia berikutnya. “Udah nikah, Mbak?”


Hah? kaget juga ditanya langsung demikian. 


“Suaminya di mana, Mbak?” tanyanya lagi. 

“Nginepnya di mana?”

“Ke sini sama siapa?”


Saya tidak melihat ia bermaksud buruk. Sepertinya hanya ingin bertanya saja. Saya menjawab tanpa memberinya informasi terlalu rinci. 


Azan asar akan berkumandang dalam waktu dekat. Perasaan saya mengatakan sebaiknya saya segera pergi saja. "Salat di kamar hotel saja," bisik saya dalam hati. Saya pamit padanya dan berterima kasih pada penjaga masjid. 


Ada beberapa tukang becak bergantian mengambil air dari sumur dan menawarkan jasa becaknya. Iya makasih, Pak. Saya tolak halus. 


Di sisi kiri depan masjid ada sumur, tempat berwudu, dan tiga kamar mandi. Becak terparkir di dekat pintu masjid dan seorang tukang becak tertidur di sana. 



Di kamar hotel saya browsing tentang masjidnya dan menyadari bahwa saya memang bodoh. Masjid Ar-Raudhoh sepertinya khusus  untuk umat laki-laki. Mungkin perempuan bisa salat di sana tapi hanya orang-orang polos dan tidak paham seperti saya yang ‘berani’ salat di sana. 


Pantas saja saya perhatikan tidak saja tidak ada mukena, tapi juga tidak ada area khusus salat bagi perempuan. 


Mungkin kulturnya mereka begitu. Pantas saja orang yang berbincang sebentar dengan saya di masjid itu seperti ada yang aneh dalam pandangannya saat melihat saya. Mungkin kalau keanehan bisa bicara ia akan mengatakan: loh kok ada perempuan di sini?


Saya sedang tidak menyalahkan siapapun selain diri saya sendiri karena tidak tahu apa-apa. 

Dua Jam Makan Siang dan Ngopi di Sragi

07 October 2025

Tiga hari di Pekalongan saya memulainya sendirian di Sragi, 16 km dari pusat kota. Jauh sekali dipikir-pikir untuk apa ke sana. Mungkin di lain waktu saya tidak akan melakukannya lagi bila tanpa bersama siapapun. Makin tua memang makin terasa kalau berjalan sendiri itu rasanya kesepian. 



Padahal di jalan bertemu Mas Badi, driver ojeg online yang santun dan budiman. Bisa saja saya mengajaknya makan siang dan mengobrol agak lama. Tapi mengapa saya tidak melakukannya, ya entahlah! Semakin tua semakin mager bersosialisasi kah? 


Di Sragi ada pabrik gula satu-satunya yang masih beroperasi sejak zaman belanda dulu. Pernah ada 17 pabrik gula di kabupaten Pekalongan, hampir semuanya sudah mati. 


Pergilah saya ke Sragi, sudah sejak lama saya ingin melihat suasana pabrik gula dan rumah-rumah dinasnya. Informasi tentang Sragi saya ketahui dari instagram, dari akunnya Aditya. Makasih, Kang Adit! 



Omah Carkonah adalah tujuan saya di Sragi. Rumah tua yang juga pernah jadi rumah dinas pegawai pabrik gula. Sekarang rumahnya menjadi rumah makan. Saya tiba di sana tepat sebelum waktu sholat jumat. Saya meminta nomor telepon Mas Badi dan memintanya kembali lagi pukul dua siang dan menjemput saya. Ongkosnya saya tanggung PP kali dua. Menumpang bis dan mencari ojeg pangkalan lebih adventurous tapi dengan usia saya dan waktu terbatas lebih baik membayar agak mahal buat Mas Badi. 


Sepertinya memang saya makin menua ada benar ada efek lainnya. Sekelebatan nostalgia saat jalan-jalan juga bermunculan seiring pemandangan yang muncul. Tidak hanya saya menemukan suasana dan pemandangan baru, tapi juga yang lama-lama yang terasa seolah saya pernah di sana. 


Waktu kelas 2 SMA (di Cirebon), saya pernah kerja kelompok di rumah seorang teman di kompleks pabrik gula Tersana Baru. Dari terminal Harjamukti saya menumpang elp bersama Heru, teman sekelompok. Dia berdiri berayun-ayun di pintu elf. Saya duduk tergencet di dekat pintu. Suasana elf di pagi hari selalu ramai penumpang. Tahun 2000 hanya elf satu-satunya angkutan menghubungkan kabupaten ke kota. 


Kami turun di depan komplek pabrik gula dan Rija menjemput. Di Desa Babakan namanya. Dia menuntun kami ke rumahnya yang bentuknya sangat klasik. Rumah ala-ala orang belanda. Saya ternganga, seandainya Rija bisa menjadi saksinya maka ia akan menyatakan melihat saya terbengong-bengong menatap rumahnya dan rumah-rumah tetangganya. 


Karena rumah di sana indah sekali. Halaman berumput agak luas dan berpohon. Rumah tanpa pagar, ada jalan menuju ke teras, di terasnya bisa duduk-duduk memandang jalanan, jendela besar-besar, pintu tinggi-tinggi, langit-langit seperti tak terjangkau. Saya memuji rumahnya sementara Rija terlihat tidak betah. Katanya ada kunti*anak di rumah. 


Hahaha kami tertawa, saya juga sambil menatap langit-langit yang Rija tunjuk di mana kunti itu sering muncul. 


Ayahnya bekerja di PG Tersana Baru dan tahun itu mereka pindah dinas ke Cirebon. Rupanya itulah alasan mengapa Rija menjadi anak baru di sekolah kami. 


Saya kira kenangan itu yang muncul saat saya berada di Sragi. Kenangan bertemu dengan rumah tua rumah dinasnya pegawai pabrik gula Tersana Baru yang teman saya diami. 


Saya masuk ke Omah Carkonah dan menelusurinya sampai ke belakang. Ukuran rumah dan ruang-ruangnya lebih besar daripada rumahnya Rija, saya pikir begitu. Pengunjung terlihat ada banyak. Suara musik mengalun. Pegawainya hilir mudik. 


Makanan di sini tersaji prasmanan. Mbak-mbak Omah Carkonah mengatakan garang asamnya best seller. Namun mulut saya sedang enggan mengunyah daging apapun. Saya ambil piring dan memilih menu nasi, lodeh, dan tempe mendoan. Minumnya harus yang segar jadi es asem jawa saja. 


Duduk menghadap jendela paling besar saya menyantap makan siang. Enak juga. Menu yang ratingnya 8 dari 10. Memuaskan kalau menyantap makanan enak yang kita pilih sendiri tanpa rekomendasi siapa-siapa. 


Makanan habis saya minta izin memotret. Boleh, kata pegawainya. 


Terdiri dari tiga kamar besar, satu ruang tamu, dua teras, satu garasi, dan dua ruangan lainnya, Omah Carkonah sangatlah luas! Belum lagi halaman depan dan belakang. Secara keseluruhan rumahnya memang tua tapi pintu, jendela, dan ornamen di teras sepertinya sudah mengalami perubahan. Tidak nampak seklasik itu soalnya. 


Saya berpindah ke rumah sebelah yang berfungsi sebagai coffeeshop: Teman Semeja. Di sini lebih sedikit pengunjung dan ruangannya banyak kosong, hawa rumah kolonial lebih terasa. Juga saya rasakan angker atau saya memang penakut, jadi saya duduk di teras saja menunggu pesanan datang. 



Namanya juga kofisop, karyawannya anak-anak muda berpakaian hitam. Lengkap dengan mbak-mbak cantik sebagai barista.  Pemandangan skena di Sragi siang itu saya lihat di Teman Semeja.  


Dua rumah dinas pabrik gula Sragi inilah yang mengalami perubahan fungsi. Rumah-rumah sebelahnya ada yang kosong dan ada juga yang masih berpenghuni. 


Saya berjalan menyusuri sepotong Sragi dan melihat pabrik gula dari luar. Asap cerobong pabrik sedang bekerja. Rupanya saya datang di saat pabriknya sedang giling tebu. 


Mas Badi -driver ojeg online- cerita kalau pabrik gula tersebut hanya aktif kalau panen tebu. “Cuma lima bulan aja, mbak” katanya.


Terus sisa tujuh bulan ngapain, Mas? 

Ya pabriknya kosong saja, Mbak. Sambil nunggu panen tebu yang berikutnya.


Saya tanyakan kembali padanya apakah ia bekerja di pabrik gula juga, sebab Mas Badi memberitahu kalau rumahnya berlokasi di Sragi dekat pabrik gula. 


“Enggak, kalo kepingin kerja di pabrik gula mesti orangtuanya pegawai juga di sana,” jawabnya lagi. 


Oh gitu, baru saya ketahui fakta tersebut. 



Saya meninggalkan Sragi yang (sangat) panas cuacanya. Truk-truk pengangkut tebu hilir mudik melindas jalanan dan debunya. Luar biasa sibuk sekali. Motor Mas Badi beberapa kali berpapasan dan menyalip truknya. Bagaimana sibuknya jalanan Sragi dan jalanan pantura di masa lalu saat pabrik gula sedang jaya-jayanya ya! 


Tidak hanya pabrik gula yang ada di Sragi, ada juga pabrik konveksi dan entah apalagi. Saya melihat setidaknya ada lima pabrik di antara pesawahan luas dan pepohonan pinggir jalan itu. 


Dari Sragi saya meminta Mas Badi mengarahkan motor ke kota. Saya turun di depan masjid Ar-Raudhah, hanya beberapa meter saja dari Binumar, penginapan yang saya booking kamarnya tiga hari dua malam di Pekalongan. 


Mas Badi, matur nuwun ya. Saya betulan sangat berterima kasih padanya karena mau mengantar jemput dari kota-kabupaten-kota. Ia pun dengan santun mengatakan yang sama. Katanya jangan segan-segan mengontak lagi kalau butuh bantuan. Saya cek ratingnya di aplikasi, pantas layanannya mantap. Ratingnya 5.0. 


Sore itu saya tidur di kamar hotel, Pekalongan hari pertama selesai.