Empat pemilik toko buku dan perpustakaan di bandung duduk bersama dan membicarakan kabar tentang bagaimana apresiasi buku yang terjadi pada tokonya masing-masing.
Di Perpustakaan Ajip Rosidi Sabtu 11 Oktober 2025 acara obrolan itu berlangsung, dalam rangka Festival Bukan Jumaahan Akbar, sebuah acara tahunan dari kajian rutin di Kedai Jante bernama Bukan Jumaahan.
Keempatnya adalah Deni Rachman, pendiri Lawang Buku dan pemilik Toko Buku Bandung, Galuh Pangestu dari TB . Pelagia, Reiza Harits dari The Room 19 dan Tri Joko Heriadi sebagai pendirinya perpustakaan Bunga di Tembok.
Tahun 2025 di Bandung pergerakan perbukuan makin semarak jumlahnya. Ada kafe-kafe yang menyediakan buku-buku. Ada toko buku yang menjual makanan minuman. Ada perpustakaan berbayar dan gratis bermunculan.
Deni merupakan pedagang buku paling senior yang duduk dalam bangku obrolan tersebut. Berjualan buku telah ia jalani lebih dari 15 tahun. Tokonya berada di Jalan Garut no. 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi.
Ayah tiga anak ini meyakini bahwa tidaklah penting orang harus membeli di toko buku, "yang penting ramein, biarkan orang duduk berteduh, jadikan tempat buku sebagai tempat nongkrong," katanya.
Secara rutin kini di halaman Perpustakaan Ajip Rosidi berlangsung Pasar Minggu. Lawang Buku ikut serta. Kedatangan orang-orang dalam event pasar kaget tersebut turut serta meramaikan tokonya.
Reiza memulai The Room 19 di tahun 2023 bersama dua temannya Alia dan Edo. Mereka menyewa sebuah ruang di lantai dua ruko di Jalan Dipati Ukur.
Perpustakaan indie berbayar ini diminati banyak mahasiswa, posisinya berada strategis di antara kampus-kampus bandung utara.
Lulusan Unpad ini mengatakan bahwa pembaca membutuhkan interaksi dengan toko/perpustakaan. Karena itu The Room 19 membawa kebaruan dari segi tema, kurasi buku, kolaborasi membuat kegiatan seperti journaling, nonton, atau creative workshop lainnya.
"Kunci meningkatkan keinginan orang membaca adalah membuat interaksi yg aman dan dua arah, bukan hanya menyodorkan buku," jelasnya lagi.
Galuh sepakat dan menambahkan "pengunjung bukan cuma konsumen, karena yang berharga adalah percakapan dan pertemuan yg ada di dalam toko/perpustakaannya."
Puncak apresiasi dari pembaca, menurut Galuh, adalah munculnya pemikir atau intelektual baru dari kalangan pembaca.
Pelagia juga beberapa kali menyelenggarakan diskusi yang narasumbernya berasal dari pembaca. Salah satu acara diskusi menarik yang pernah saya hadiri di Pelagia berjudul Mencari Cinta di Masa Pergerakan. Sebuah presentasi hasil penelitian seorang guru SMA boarding school yang juga lulusan sejarah Unpad, Ismi Indriani.
Saya sendiri sering berkunjung ke Pelagia karena lokasinya searah dengan halte bis yang saya tumpangi pulang. Bila ada satu hal yang harus saya acungi jempol dari Pelagia, maka itu adalah kemampuannya memberi akses pada pembaca untuk mendapat buku yang kita inginkan. Di sana banyak buku yang tidak disegel sehingga kita bisa membacanya terlebih dahulu.
Joko dari Bunga Di Tembok (BDT) adalah eks wartawan Pikiran Rakyat yang banyak meliput kegiatan literasi di Bandung. BDT perpustakaan berlokasi di Pasir Luyu, agak selatan kota Bandung.
Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak berada di bawah atap yang sama.
Ia menceritakan bahwa perpustakaan BDT merupakan sebuah usaha menemukan irisan antara buku, literasi, dan persoalan kita. "Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak adalah dua kaki yang berjalan. Jurnalisme Bandung Bergerak, literasinya Bunga Di Tembok."
Contoh apresiasi terjadi di perpustakaan Bunga Di Tembok adalah lahirnya sebuah klab buku, cerita Joko. "Sekarang klab bukunya sudah ke mana-mana kegiatannya bukan cuma di perpus BDT," ceritanya lagi.
Muncul pertanyaan dari hadirin. Apakah membuat toko buku atau perpustakaan itu rekomendid? Apa tip-tipnya kalau kita mau bikin toko buku?
Galuh menjawab selama ada ruang sendiri tanpa sewa bikin aja toko bukunya "jangan overthinking."
Reiza menjawab mantap dan pendek "berjejaring" yang juga diamini Joko.
"Bunga Di Tembok banyak ditolong sama teman-teman & komunitas, kami juga membuat konsep sewa rak. Hal yang gak terduga akan muncul sepanjang jalan, memulai satu hal artinya membuka diri dgn 100 hal lainnya," cerita Joko lagi.
Pertanyaan menarik lainnya muncul dan harus saya sertakan di sini. Apa bedanya apresiasi buku dulu dan sekarang? sayang konteks waktunya tidak disebutkan oleh penanya, tapi bisa dikerucutkan jadi: dulu (sebelum gempura era digital) dan sekarang (media sosial jadi makanan sehari-hari).
Di masa kini, kata Deni, akses mencetak karya lebih besar. Siapa saja bisa melahirkan karya apapun.
"Buku itu seperti spiral, tidak linear. Penting ada terobosan yang menembus batas, seperti merespon buku dengan tarian yang pernah dilakukan Teh Galuh, misalnya," katanya lagi.
Joko menuturkan saat ini banyak ruang fisik yang melahirkan banyak komunitas. Media sosial berperan dalam menghubungkan banyak orang dengan gagasannya.
Reiza menjelaskan tentang kolaborasi The Room 19 yang cukup sering dilakukan.
Galuh berpendapat sekaligus memberi usul. Menurutnya justru di era seperti ini seharusnya tidak cuma ada workshop cara menulis. "Sudah ada banyak tutorial cara menulis, yang kurang itu tata kelolanya. Siapa publishingnya, distributornya, cara jualnya. Kita perlu workshop-workshop yang sifatnya teknis," ucap ibu dua anak yang juga seniman tari ini.
Dalam diskusi juga beberapa kali mencuat topik penyitaan buku milik aktivis oleh kepolisian yang terjadi di bulan September.
Deni menjelaskan bahwa proses penyitaan buku oleh aparat tidak sesuai hukum yang berlalu. "Bukan gitu caranya, karena menyita buku harus lewat pengadilan," jelas Deni berapi-api.
Galuh menyambut semangat "nah itu, kita butuh workshop-workshop seperti itu yang harusnya kita buat. Seperti gimana sih alur penyitaan buku yang seharusnya," katanya lagi.
Sayang sekali acara diskusi ini hanya berlangsung dua jam. Andaikan bisa diperpanjang jadi empat jam. Saya pun hendak bertanya pada mereka, apa saja buku terakhir yang mereka baca dan meminta rekomendasi bukunya.


