Social Media

Membaca Kambing dan Hujan

03 November 2020

Kayaknya saya ketemu satu buku terbaik tahun ini. Sebenarnya ini buku lama terbitan 2015. Namun baru kubaca bulan lalu. Dan saya membacanya ulang dan lagi dan ulang dan lagi. Sungguh pengalaman membaca yang menyenangkan. Saya jatuh cinta pada Mif. Hahaha maaf ya, Fauzia. 


Kambing Dan Hujan adalah novel yang ditulis Ikhwan Mahfud. Saya berkenalan dengan novelnya tahun kemarin, di acaranya Bandung Readers Festival program Taaruf Buku. Terus kupikir, wah menarik juga novelnya. Lantas saya baca dan YA MENARIK AMAT INI NOVELNYA REKOMENDID TOLONG PADA BELI DAN BACA JUGA YA! 




Ceritanya tentang upaya dua anak muda mudi NU dan Muhammadiyah, Mif dan Fauzia, mewujudkan pernikahan mereka. Bapak dari Mif adalah tokoh kaum pembaharu (Muhammadiyah). Fauzia nih bapaknya penganut islam tradisi (NU). Keduanya dari desa yang sama. 


Hayo lho bayangin kamu berasal dari jantung yang sama tapi kulit berbeda. Terus mau nikah. Restu orang tua turun gak nih? Terus islamnya ngikut siapa ntar, kaum pembaharu atau islam tradisional? Satu agamanya, banyak genrenya 😜 


Novelnya ringan aja, membumi kalimatnya sehingga mudah dicerna. Plot maju mundur dengan narator yang berganti-ganti. Saya menyukai perjalanan alur ceritanya (meski toh saya bisa tebak akhirnya bagaimana): santai dan logis. 


Sepanjang membaca novelnya, saya senyum-senyum, sedikit sedih, ada perihnya, tertawa, dan senyum lagi. Senyum lha wong almarhum ayah saya pemuda Muhammadiyah. Hahaha. Alhamdulillah ayahku gak fanatik macam Pak Suyudi. Satu-satunya 'kefanatikan' yang ia tanam di rumah adalah anak perempuannya harus pake jilbab. Wajib gak ada nego. Bila kamu membaca kalimat tadi dan ingin mendebatku soal berjilbab, please gak usah. Sebab saya gak bisa debat balik heu..heu..heu..


Kalo baca judul, ini novel gak ada islam-islamnya. Pas dibaca pun, kisahnya bukan tentang agama juga. Justru indonesia banget sih ceritanya. Ada asal usul kampungnya Mif dan Fauzia, gimana kaum pembaharu masuk kampungnya, kerumitan era PKI, sampai tradisi keluarga Desa Centong. 


Tentang adat tradisi nih seru deh bacanya. Semisal mengapa di Centong gak ada kebiasaan makan bersama. Makan di rumah ya masing-masing aja. Mau bareng ayo, mau sendiri ya gak apa. "Yang penting ada yang dimakan dan yang belum makan mendapat bagian" (halaman 23). 


Saya highlight bagian tersebut karena saya mengalami gegar budaya di Bandung perihal makan bersama. Di kampung panturaku kami memang makan bersama. Namun kami gak saling tunggu. Siapa yang dahulu ada di meja makan, ya sudah dia yang makan. Kecuali ada bapak di rumah, barulah dia yang berhak makan pertama (atau bersama-sama). 


Di Bandung kutemui makan bersama adalah kewajiban. Bila ada salah seorang anggota keluarga yang belum hadir di meja makan padahal dia ada di rumah, itu orang akan dipanggil-panggil hingga wujudnya muncul. Kalo dia gak muncul, seisi rumah akan ngambek, pundung istilahnya. Orang sunda dan hal-hal yang segalanya harus terikat memang :P  


Balik lagi ke novel. 


Walo ada hawa 'pertentangan' NU dan Muhammadiyah di novelnya, tapi gak ada sudut pandang saling menjelekkan. Padahal mereka beda banget kan ya. Niat sholat, cara berdzikir, syariat pernikahan, sampai 1 syawal aja beda. 


Malahan Mahfud Ikhwan menurutku selera humornya bagus. Dalam novelnya, perbedaan-perbedaan antar umat yang agamanya sama itu kelihatan sedikit pedih, bikin gemas dan kesal, juga lucu. Seperti yang terjadi di halaman-halaman akhir (347). 


"Kalian singkirkan beduk dari masjid karena mengganggapnya bid'ah, lalu membawa masuk pengeras suara dan menyebutnya sebagai kemajuan. Konyol" kata Pak Fauzan dari islam tradisional, NU. 


"Kalau rukyat lebih utama, kenapa kalian lihat jam kalau mau shalat lima waktu? itu hasil hisab, tahu? lucu" sanggah Pak Kandar si figurnya Muhammadiyah di Centong. 


Terus gimana caranya Mif dan Fauzia ngakurin bapak-bapaknya itu? Lantas kalo kita gak ngerti-ngerti amat NU dan Muhammadiyah, apa masih bisa menikmati novel dengan latar agama Islam ini? 


Seriusan menurut saya ini salah satu novel bagus yang pernah saya baca. Teks-teks miring yang rada banyak jatahnya dalam novel rada ganggu, mana ejaan lama pun. Pusing bacanya. Namun butuh juga sih teksnya diketik miring sebagai penanda surat-suratan. 


Satu hal lagi yang membuatku bingung adalah penamaan karakter yang berubah-ubah. Misalnya Mat - Moek - Pak Fauzan. Orangnya sama, namanya berbeda-beda. Gak apa-apa, maklum sebenarnya. Cuma bacanya halamannya jadi bolak-balik aja buat mastiin apakah Kandar = Is, misalnya. 

 

Nah begitulah. REKOMENDID NOVELNYA NIH! AYO BELI & BACA BUKUNYA. Novel Mahfud Ikhwan yang lain mungkin menarik juga ya? *cek gramedia online, cek toko akal buku, cek toko buku berdikari*


ps: Atik, makasih pinjaman novel Kambing dan Hujan-nya. Wkwk

Post Comment
Post a Comment