Tahun 2015 di Surabaya, ceritanya kami baru mengikuti tur dengan bis khusus wisata heritage. Tur yang menarik. Bila mau baca tulisan lama saya waktu jalan-jalan di Surabaya klik ke A Quick Trip to Surabaya.
Masjid Ampel salah satu tujuan kami waktu itu. Namun tidak kesampaian.
Tahun 2018 datang. Bulan Maret keinginan itu terwujud. Tanpa disangka, tak ada persiapan.
Hari Jumat waktu itu. Niatnya mobil sewaan kami hendak ke Malang. Surabaya jadi kota transit saja.
Tapi sopir mobil sewaan minta izin sholat Jumat. Farah, teman jalan-jalan saya edisi Surabaya-Malang, bertanya pada saya dan sopir. "sholatnya di masjid apa nih?"
Saya menyambar "masjid ampel aja!" seperti alam bawah sadar yang bicara. Hahaha.
Beruntunglah Pak Sopir yang asli arek suroboyo mengatakan lokasi masjidnya tidak jauh kok dari tempat kami berada saat itu. Wah beneran nih mau ke Masjid Ampel, bisik saya dalam hati. Hahaha.
Secara gak kebetulan, mobil diparkir di depan jalan-jalan kecil menuju masjid. Bukan di depan mulut jalan utama, jalan yang penuh pedagang suvenir itu tuh.
Rumah-rumah antik bermunculan di muka saya. Lantas saya mikir dong. Wah! apakah saya sedang berada di kampung arab? Kok suasana dan hawanya rada beda nih!
Ternyata bener! Ahahahaha ya ampun 'kebetulan-kebetulan' yang aneh.
Sambil menunggu pak sopir beres sholat jumat, saya jalan-jalan dengan Kubil. Farah dan anak-anaknya entah ke mana saya lupa.
Perasaan ini senangnya tak terhingga. Akhirnya saya berdiri di depan rumah-rumah antik itu!
Gak banyak rumah yang saya foto. Suasana gang-gang itu sepi sekali. Wajar saja sebab laki-lakinya lagi sholat jumat.
Surabaya ini kota pelabuhan besar di Indonesia. Sama seperti Batavia dan Cirebon, Surabaya punya sejarah panjang.
Umur kota Surabaya 725 tahun! Jauh sekali bila dibandingkan Bandung yang usianya 208 tahun. Bandung masih benih, Surabaya sudah manula :D
Karena dahulu kota pelabuhan tersohor, Surabaya jadi tempat berkumpul orang dari berbagai negara. Pedagang dan saudagar yang banyaknya dari Cina dan Arab berdatangan. Ada yang mampir sebentar, banyak pula yang menetap.
Masing-masing etnis berkumpul. Membentuk komunitasnya sendiri. Awalnya dua keluarga, lama-lama puluhan orang.
Komunal. Seolah-olah tiap etnis membentuk wilayahnya sendiri. Ditambah aturan dari pemerintah kolonial waktu itu kan, salah satunya Wijkenstensel: etnis tionghoa gak boleh tinggal di satu kawasan dengan pribumi. Intinya mah kawasan pecinan, daerah kolonial, area pribumi, dan kampung arab terpisah-pisah. Ini mah taktik Belanda sih biar kita gak akur heuheuheuheu.
Tiap kawasan punya tanda sendiri. Ciri tersebut terlihat mencolok dari arsitektur dan ragam hias rumahnya. Tata areanya. Juga wajah orang-orangnya :D
Sewaktu saya berkeliaran di kampung arab, suasananya sepi sebab sholat jumat sedang berlansung. Saya seliweran sambil moto rumah memang rada gak enak hati juga sih. Takutnya saya dianggap maling atau penjahat aheuheuheu. Mana saya berstatus turis pula.
Walo gerak-gerik saya buat normal saja alias gak canggung dan pakaian tidak mencolok, kayaknya tetep aja kelihatan 'bukan orang lokal' deh :D
Kegiatan melihat-lihat rumah kuno ala kampung arab ini saya seling dengan jajan kopi jahe dan makan es dawet. Saya perhatikan ada plang pedagang roti maryam, namun saya lewatkan saja. Maksudnya nanti mau balik lagi setelah jajan es dawet, ah sayang waktu sholat jumat berlalu cepat. Pak sopir kembali dan siap bawa kami ke Malang.
Saya dan Kubil menandaskan dua mangkuk Es Dawet. Ugh segar sekali kerongkongan ini dibanjur rasa manis yang dingin!
Surabaya dan mataharinya gahar memang! Begitu juga mbok-mbok pedagang es dawet yang belakangan saya baru tahu asalnya dari Madura semua! Senang sekali bisa ngobrol dengan mereka yang celetukannya khas orang yang ditempa alam yang kejam. Ngerti gak maksud saya ini? :D
Lalu lumayan juga saya bawa pulang sebungkus kopi jahe, barang yang saya beli mendadak karena begini: pas saya moto jendela sebuah rumah, pemilik rumah keluar. Oh rupanya rumah tersebut memiliki toko di fasad rumah. Saya gak enak atuh masa moto-moto tanpa izin eheuheuheu. Kopi jahe itu saya beli sebagai tanda meminta izin, tak lupa saya juga memuji betapa indah rumah tuanya itu. Ia hanya senyum dan berlalu cepat, seperti malas berinteraksi lebih banyak dengan saya. Baik gak apa-apa :D
Rumah-rumah di sini berada di gang-gang yang lebar jalannya muat untuk dua becak. Tiap gang bermuara ke jalan utama menuju Masjid Ampel.
Rumah berdempetan. Tidak ada halaman. Rumah dengan teras tidak banyak.
Ada rumah berpagar. Banyak juga yang tidak. Ada yang tingkat dua, banyak juga yang satu lantai aja. Ada yang mungil, gak sedikit yang agak mewah.
Yang mewah-mewah ini ukuran rumahnya agak besar dengan lantai marmer. Juga berpagar.
Rumah-rumah di sana umumnya memasang tirai gulung di depan pintu rumah. Buat apa ya tirai itu? untuk menghalau sinar matahari kah? untuk jaga privasi rumah walo pintunya dibuka? atau ada tujuan lainnya?
Saat saya bertanya di Instagram, seorang followers saya memberi jawaban unik. Katanya tirai itu dimaksudkan agar rezeki yang ada di rumah tidak keluar. Tirai itu semacam 'perisai'. Menarik ya! Saya perhatikan di kawasan lain tidak ada tirai di depan pintu rumahnya, di sini saja adanya.
Dekorasi rumah di sini ya sederhana saja. Ada sih yang unik, yang atap pelananya kriwil-kriwil dekorasinya. Juga ragam hias di teralis jendelanya. Kayaknya dekorasi itu deh yang ngasih identitas kalau itu tuh rumah ala kampung arab. Coba perhatiin pola pada teralis pagar dan jendela pada beberapa rumah di sana yang saya foto ini.
Satu hal yang pasti jika menemui rumah kuno: jendela dan pintunya lebar dan tinggi-tinggi. Ada juga yang tegel rumahnya ala-ala motif artdeco, pola gambarnya kembang.
Cuma satu jam sih berkeliaran di sini. Sekalian sholat juga di masjidnya. Masjid Ampel masjid yang megah! Pilarnya besar-besar, terbesar yang pernah saya lihat kalau untuk ukuran masjid kuno mah.
Peziarah hilir mudik, suasananya seperti bubar sholat Ied/lebaran.
Saking ramainya, saya agak khawatir kamar mandinya jorok sih dengan orang sebanyak itu.
Ternyata enggak dong. Bersih banget! Bayar sih buat masuk kamar mandi. Gak apa-apa deh. Rela banget walo kebersihan sudah seharusnya kita jaga bersama tanpa pamrih. Tapi ya dengan pengunjung sebanyak itu? ahehehe wajar sajalah kalau berbayar.
Senang rasanya satu bucket list saya tercapai: menyambangi kampung arab di Surabaya! Dapet bonus juga bisa berkunjung ke Masjid Ampel.
Ini bila bertanya pada saya, apa istimewanya kampung arab? hmmmm, saya rasa suasananya unik bila dibanding kampung-kampung masa kini sih. Mana rumahnya tua-tua. Sayang ya saya cuma merasakan satu jam saja di sana. Kalau lebih lama mungkin saya menemukan lebih banyak? bisa jadi.
Rumah kuno selalu menyenangkan untuk dipandang. Ya sama kayak kamu memandang panorama Bandung dari Tebing Keraton, misalnya. Atau mengunjungi Floating Market, contohnya. Objek yang saya nikmati dengan kamu berbeda, tapi rasa suka dan senang yang muncul kurang lebih sama lah.
Di sana saya gak berfoto banyak. Saya bahkan lupa memotret diri sendiri. Ah tapi itu tidak penting. Saya ada di Ampel Surabaya! Kenangan itu saya rekam kuat-kuat di kepala. Menuliskannya di blog pun dalam rangka merawat ingatan.
Rasa gak puas mah pasti ada. Mana saya datang seperti kebetulan saja. Sehingga rasanya seperti tidak siap namun harus dihadapi.
Tapi manusia mana ada rasa puasnya. Alhamdulillah ya Allah makasih ya untuk kebetulan yang tidak kebetulan ini. Saya senang! Si Nabil kelihatannya gak terlalu senang sih tapi saya menebus perlakuan egois saya padanya dengan main sepuasnya di Jatim Park 2! Impas ya, Bil :)))))
Ini foto lebih banyak. Foto dijepret oleh saya semua dengan hp.
Masjid Ampel salah satu tujuan kami waktu itu. Namun tidak kesampaian.
Tahun 2018 datang. Bulan Maret keinginan itu terwujud. Tanpa disangka, tak ada persiapan.
Hari Jumat waktu itu. Niatnya mobil sewaan kami hendak ke Malang. Surabaya jadi kota transit saja.
Tapi sopir mobil sewaan minta izin sholat Jumat. Farah, teman jalan-jalan saya edisi Surabaya-Malang, bertanya pada saya dan sopir. "sholatnya di masjid apa nih?"
Saya menyambar "masjid ampel aja!" seperti alam bawah sadar yang bicara. Hahaha.
Beruntunglah Pak Sopir yang asli arek suroboyo mengatakan lokasi masjidnya tidak jauh kok dari tempat kami berada saat itu. Wah beneran nih mau ke Masjid Ampel, bisik saya dalam hati. Hahaha.
Secara gak kebetulan, mobil diparkir di depan jalan-jalan kecil menuju masjid. Bukan di depan mulut jalan utama, jalan yang penuh pedagang suvenir itu tuh.
Rumah-rumah antik bermunculan di muka saya. Lantas saya mikir dong. Wah! apakah saya sedang berada di kampung arab? Kok suasana dan hawanya rada beda nih!
Ternyata bener! Ahahahaha ya ampun 'kebetulan-kebetulan' yang aneh.
Sambil menunggu pak sopir beres sholat jumat, saya jalan-jalan dengan Kubil. Farah dan anak-anaknya entah ke mana saya lupa.
Perasaan ini senangnya tak terhingga. Akhirnya saya berdiri di depan rumah-rumah antik itu!
Gak banyak rumah yang saya foto. Suasana gang-gang itu sepi sekali. Wajar saja sebab laki-lakinya lagi sholat jumat.
Surabaya ini kota pelabuhan besar di Indonesia. Sama seperti Batavia dan Cirebon, Surabaya punya sejarah panjang.
Umur kota Surabaya 725 tahun! Jauh sekali bila dibandingkan Bandung yang usianya 208 tahun. Bandung masih benih, Surabaya sudah manula :D
Karena dahulu kota pelabuhan tersohor, Surabaya jadi tempat berkumpul orang dari berbagai negara. Pedagang dan saudagar yang banyaknya dari Cina dan Arab berdatangan. Ada yang mampir sebentar, banyak pula yang menetap.
Masing-masing etnis berkumpul. Membentuk komunitasnya sendiri. Awalnya dua keluarga, lama-lama puluhan orang.
Komunal. Seolah-olah tiap etnis membentuk wilayahnya sendiri. Ditambah aturan dari pemerintah kolonial waktu itu kan, salah satunya Wijkenstensel: etnis tionghoa gak boleh tinggal di satu kawasan dengan pribumi. Intinya mah kawasan pecinan, daerah kolonial, area pribumi, dan kampung arab terpisah-pisah. Ini mah taktik Belanda sih biar kita gak akur heuheuheuheu.
Tiap kawasan punya tanda sendiri. Ciri tersebut terlihat mencolok dari arsitektur dan ragam hias rumahnya. Tata areanya. Juga wajah orang-orangnya :D
Sewaktu saya berkeliaran di kampung arab, suasananya sepi sebab sholat jumat sedang berlansung. Saya seliweran sambil moto rumah memang rada gak enak hati juga sih. Takutnya saya dianggap maling atau penjahat aheuheuheu. Mana saya berstatus turis pula.
Walo gerak-gerik saya buat normal saja alias gak canggung dan pakaian tidak mencolok, kayaknya tetep aja kelihatan 'bukan orang lokal' deh :D
Kegiatan melihat-lihat rumah kuno ala kampung arab ini saya seling dengan jajan kopi jahe dan makan es dawet. Saya perhatikan ada plang pedagang roti maryam, namun saya lewatkan saja. Maksudnya nanti mau balik lagi setelah jajan es dawet, ah sayang waktu sholat jumat berlalu cepat. Pak sopir kembali dan siap bawa kami ke Malang.
Saya dan Kubil menandaskan dua mangkuk Es Dawet. Ugh segar sekali kerongkongan ini dibanjur rasa manis yang dingin!
Surabaya dan mataharinya gahar memang! Begitu juga mbok-mbok pedagang es dawet yang belakangan saya baru tahu asalnya dari Madura semua! Senang sekali bisa ngobrol dengan mereka yang celetukannya khas orang yang ditempa alam yang kejam. Ngerti gak maksud saya ini? :D
Lalu lumayan juga saya bawa pulang sebungkus kopi jahe, barang yang saya beli mendadak karena begini: pas saya moto jendela sebuah rumah, pemilik rumah keluar. Oh rupanya rumah tersebut memiliki toko di fasad rumah. Saya gak enak atuh masa moto-moto tanpa izin eheuheuheu. Kopi jahe itu saya beli sebagai tanda meminta izin, tak lupa saya juga memuji betapa indah rumah tuanya itu. Ia hanya senyum dan berlalu cepat, seperti malas berinteraksi lebih banyak dengan saya. Baik gak apa-apa :D
warungnya di sebelah kiri jendela ini |
Rumah-rumah di sini berada di gang-gang yang lebar jalannya muat untuk dua becak. Tiap gang bermuara ke jalan utama menuju Masjid Ampel.
Rumah berdempetan. Tidak ada halaman. Rumah dengan teras tidak banyak.
Ada rumah berpagar. Banyak juga yang tidak. Ada yang tingkat dua, banyak juga yang satu lantai aja. Ada yang mungil, gak sedikit yang agak mewah.
Yang mewah-mewah ini ukuran rumahnya agak besar dengan lantai marmer. Juga berpagar.
Rumah-rumah di sana umumnya memasang tirai gulung di depan pintu rumah. Buat apa ya tirai itu? untuk menghalau sinar matahari kah? untuk jaga privasi rumah walo pintunya dibuka? atau ada tujuan lainnya?
Saat saya bertanya di Instagram, seorang followers saya memberi jawaban unik. Katanya tirai itu dimaksudkan agar rezeki yang ada di rumah tidak keluar. Tirai itu semacam 'perisai'. Menarik ya! Saya perhatikan di kawasan lain tidak ada tirai di depan pintu rumahnya, di sini saja adanya.
Dekorasi rumah di sini ya sederhana saja. Ada sih yang unik, yang atap pelananya kriwil-kriwil dekorasinya. Juga ragam hias di teralis jendelanya. Kayaknya dekorasi itu deh yang ngasih identitas kalau itu tuh rumah ala kampung arab. Coba perhatiin pola pada teralis pagar dan jendela pada beberapa rumah di sana yang saya foto ini.
sori ya ini saya gak ngerti kenapa gak saya foto dari angle lain sebab si tiang lampu frontal banget mengganggu pemandangan jendelanya ya :( |
Satu hal yang pasti jika menemui rumah kuno: jendela dan pintunya lebar dan tinggi-tinggi. Ada juga yang tegel rumahnya ala-ala motif artdeco, pola gambarnya kembang.
Cuma satu jam sih berkeliaran di sini. Sekalian sholat juga di masjidnya. Masjid Ampel masjid yang megah! Pilarnya besar-besar, terbesar yang pernah saya lihat kalau untuk ukuran masjid kuno mah.
Peziarah hilir mudik, suasananya seperti bubar sholat Ied/lebaran.
Saking ramainya, saya agak khawatir kamar mandinya jorok sih dengan orang sebanyak itu.
Ternyata enggak dong. Bersih banget! Bayar sih buat masuk kamar mandi. Gak apa-apa deh. Rela banget walo kebersihan sudah seharusnya kita jaga bersama tanpa pamrih. Tapi ya dengan pengunjung sebanyak itu? ahehehe wajar sajalah kalau berbayar.
Senang rasanya satu bucket list saya tercapai: menyambangi kampung arab di Surabaya! Dapet bonus juga bisa berkunjung ke Masjid Ampel.
Ini bila bertanya pada saya, apa istimewanya kampung arab? hmmmm, saya rasa suasananya unik bila dibanding kampung-kampung masa kini sih. Mana rumahnya tua-tua. Sayang ya saya cuma merasakan satu jam saja di sana. Kalau lebih lama mungkin saya menemukan lebih banyak? bisa jadi.
Rumah kuno selalu menyenangkan untuk dipandang. Ya sama kayak kamu memandang panorama Bandung dari Tebing Keraton, misalnya. Atau mengunjungi Floating Market, contohnya. Objek yang saya nikmati dengan kamu berbeda, tapi rasa suka dan senang yang muncul kurang lebih sama lah.
Di sana saya gak berfoto banyak. Saya bahkan lupa memotret diri sendiri. Ah tapi itu tidak penting. Saya ada di Ampel Surabaya! Kenangan itu saya rekam kuat-kuat di kepala. Menuliskannya di blog pun dalam rangka merawat ingatan.
Rasa gak puas mah pasti ada. Mana saya datang seperti kebetulan saja. Sehingga rasanya seperti tidak siap namun harus dihadapi.
Tapi manusia mana ada rasa puasnya. Alhamdulillah ya Allah makasih ya untuk kebetulan yang tidak kebetulan ini. Saya senang! Si Nabil kelihatannya gak terlalu senang sih tapi saya menebus perlakuan egois saya padanya dengan main sepuasnya di Jatim Park 2! Impas ya, Bil :)))))
Ini foto lebih banyak. Foto dijepret oleh saya semua dengan hp.
bagus foto-fotonya.. suka sekali
ReplyDeleteKebetulan-kebetulan yang menyenangkan yah, Lu. Apa yang ditangkap mata kamera Ulu pasti keren. Alur ceritanya bikin saya ngerasa ada di sana. Mudah-mudahan nanti beneran bisa berkunjung ke kampung Arab dan masjid Ampel.
ReplyDeletePikabetaheun ningalna. Resik
ReplyDeleteAku naksir sama jendela-jendelanya teh. Tinggi, besar dan teralis cantik-cantik. Itu yang soal tirai bambu depan pintu kok unik sih. Supaya rezeki yang di dalam enggak keluar, jadi macam perisai :))
ReplyDeleteSelalu suka jendela - jendelanya, keren ya lu.
ReplyDeletedesignnya bikin jauh cinta, walaupun terkesan jadoel tapi keliatan banyak kenangannya yaa
ReplyDeleteEmang ya yg kuno bisa instagenic kalo zaman sekarang😁 pengen deh main kesana
ReplyDeletesalfok gitu aku sama jendelanya, soalnya cocok banget buat di feed ig nih hihiihi
ReplyDeleteFoto²nya keren banget, teh. Aku suka melihat sesuatu yg unik dan antik ��
ReplyDeleteYg teralisnya mcm2 itu cantik2 ih
ReplyDeletewah, makasih teteh...
ReplyDeletemasjid ampel bisa jadi salah satu referensi tempat wisata kalau lagi main ke surabaya.
Setiap etnis punya gaya architecture khas ya ?
ReplyDeleteJadi pingin nulis tentang ini juga 😊😊
Kerai bambu buat menghalangi tampias air hujan masuk ke dalam rumah.
ReplyDeleteaku baru tau teh umur Surabaya 725th wow banget jauh sama bandung 200than yah 😁 pas ke Surabaya aku ga banyak eksplor walau uda 3x dinas ke surabaya..
ReplyDeleteBtw yg tirai itu yg aku tau untuk halau sinar matahari ternyata disana beda ya teh biar rezeki ga keluar lucu hehehe
Arek Suroboyo is comiiing...
ReplyDeleteAku ((kalau gak salah)) baru sekali main ke Ampel.
Dan kalau ke sini, harus bin wajib makan makanan khas Arabnya, teh...macam roti maryam dicocol sama gulai atau nasi kebulinya.
Waah...mancap!
Nyesel ke sini. Ada dawet meduro tak iyee... xD Aku jadi kangen ke Surabaya euy. Cuma kalau di Surabaya itu malah nggak bisa jalan-jalan santai karena harus silaturahmi ke keluarga. Mungkin kuharus diam-diam ke Surabayanya, hahaha.
ReplyDeleteOmong-omong, aku suka BANGET tulisan ini. Mengalir dan indah.
kopi rempah itu yang di Pekalongan disebut kopi tahlil sepertinya
ReplyDeleteSelalu suka lihat arsitektur rumah bergaya lama. Jendela dan pintu besar yang mengalirkan udara lebih baik daripada model sekarang.
ReplyDelete