Hari yang menyenangkan adalah Sabtu 21 Maret 2015. Saya, Gele dan Nabil bisa berjalan-jalan kembali. Rasanya sudah seabad kami hanya hilir mudik di dalam kota, di antara trotoar yang rusak dan klakson kendaraan yang menyalak.
Happy banget bisa bersentuhan lagi dengan rumput basah, melihat pepohonan tinggi dan digembrong nyamuk! hahaha.
Kami bertiga tinggal di Ledeng, Bandung Utara. Ledeng mirip dengan Dago, udaranya masih sejuk dan kualitas airnya masih bagus. Itu kalau kamu ke Lembang pasti lewat wilayah rumah saya deh, ngetopnya dengan nama Setiabudi sih bukan Ledeng :D
Di rumah saya tinggal, sumber airnya masih alami, bening, dan dingin sekali. Dan karena Ledeng itu kawasan yang pasti kalian lewati kalau mau menuju Lembang, gak aneh kalau tiap akhir minggu, jalan Setiabudi yang memintas Ledeng itu pasti macet sejadi-jadinya, separah-parahnya, senyebelin-nyebelinnya.
But ya anyway saya bikin blog tentang Bandung dan bisa jadi mengundang orang datang ke Bandung dan saya menyumbang kemacetan. Jadi ya sudah lah hahaha :P
Kembali ke air.
Di rumah saya tinggal, sumber airnya masih alami, bening, dan dingin sekali. Dan karena Ledeng itu kawasan yang pasti kalian lewati kalau mau menuju Lembang, gak aneh kalau tiap akhir minggu, jalan Setiabudi yang memintas Ledeng itu pasti macet sejadi-jadinya, separah-parahnya, senyebelin-nyebelinnya.
But ya anyway saya bikin blog tentang Bandung dan bisa jadi mengundang orang datang ke Bandung dan saya menyumbang kemacetan. Jadi ya sudah lah hahaha :P
Kembali ke air.
Perjalanan Napak Tilas Sejarah Air di Ledeng Bandung yang kami ikuti ini gak lama durasinya. Kira-kira total perjalanan hanya dua jam saja. Di mulai pukul 10.00 dan berakhir sekitar jam makan siang (adzan dhuhur). Satu jam pertama treknya menantang nian euy.
Rutenya menarik sekali! Mengejutkan karena ada tidak jauh dari rumah saya!
Tujuan utama: melihat Gedong Cai (Gedung Air, Gedung tempat penampungan air) buatan Belanda tahun 1921.
Perjalanan dimulai dari Jalan Sersan Surip, jalan masuknya setelah Terminal Ledeng sebelah kanan jalan jika kalian datang dari arah bawah (kota). Kami menyusuri jalan Sersan Surip sampai mentok dan menuruni tangga yang curam ketinggiannya.
Tiba di titik terendah, kami masih harus mendaki tangga lainnya di depan sana yang juga sama terjalnya dan lebih licin. Belum lagi jarak antar anak tangganya tinggi-tinggi. Kayak melintasi huruf U gitu deh. Turunan curam, lembah, lalu tanjakan terjal. Hitung-hitung trek pemanasan kali ya :D
Tiba di titik terendah, kami masih harus mendaki tangga lainnya di depan sana yang juga sama terjalnya dan lebih licin. Belum lagi jarak antar anak tangganya tinggi-tinggi. Kayak melintasi huruf U gitu deh. Turunan curam, lembah, lalu tanjakan terjal. Hitung-hitung trek pemanasan kali ya :D
Selesai dengan shock therapy pertama, berikutnya kami jalan kaki menyusuri jalan setapak, keluar dari pemukiman warga. Jalan setapaknya hampir gak terlihat karena tertutup rumput. Kami bersua kembali dengan tanah basah dan berumput liar, embun dan segala macam serangga.
Pemandangan di beberapa titik cantik sekali, semacam Tebing Keraton kw 3. Ada secuil sawah, kebon, sedikit rimbun pepohonan, dan tanah lapang. Dulunya hutan dan pesawahan. Sayang sih wilayah hijau di sini tergeser villa dan pagar kompleks yang memakan wilayah hijau di area Ledeng.
Pemandangan di beberapa titik cantik sekali, semacam Tebing Keraton kw 3. Ada secuil sawah, kebon, sedikit rimbun pepohonan, dan tanah lapang. Dulunya hutan dan pesawahan. Sayang sih wilayah hijau di sini tergeser villa dan pagar kompleks yang memakan wilayah hijau di area Ledeng.
Jalan setapak yang panjang dan berkelok masih jadi jenis trek yang sama. Beberapa kali berjalan kaki di tepi jurang, saya agak-agak ngeri tapi seneng sih. Agak linu sebenarnya mengingat saya 'nenteng' satu anak unyu umur tiga tahun dan saya keukeuh gak mau gendong anak ini. Berat, cuy! Hahaha.
Pada akhirnya kami bertiga jalan kaki seperti kura-kura, mengikuti kecepatan Nabil. Nabil bukan kura-kura, Nabil itu anak saya yang umurnya baru tiga tahun :P Kami berjalan pelan dan hati-hati, terpisah jauh dari rombongan. Hal yang wajar kalau berjalan sama anak-anak. Tapi seru juga karena kami jadi melihat pemandangan lebih lama dan detail.
Pada akhirnya kami bertiga jalan kaki seperti kura-kura, mengikuti kecepatan Nabil. Nabil bukan kura-kura, Nabil itu anak saya yang umurnya baru tiga tahun :P Kami berjalan pelan dan hati-hati, terpisah jauh dari rombongan. Hal yang wajar kalau berjalan sama anak-anak. Tapi seru juga karena kami jadi melihat pemandangan lebih lama dan detail.
Berada di tempat saya waktu itu, terlihat banyak ruang hijau di Bandung yang lenyap dimakan pemukiman. Salah satunya di Ledeng. Mudah-mudahan tempat yang kami kunjungi ini gak hilang kayak yang lainnya. Developer sebenernya bukan satu-satunya yang salah. Permintaan akan tempat tinggal itu tinggi sekali. Penduduk tambah banyak kok.
Sebenarnya sih di sini pemerintah sebagai pengatur regulasinya yang kacau. Sembarangan kasih izin membangun, jadi ya gak aneh sekarang banyak sumber mata air yang kering, cuaca di Bandung kerasa tambah panas, dan pas musim hujan banjir melulu di daerah hilir.
Wah, masih hijau2 yaa... Seru kayaknya napak tilas seperti ini. Jadi inget sewaktu kuliah jalan2 lewat sawah-sungai, melewati Pondok Hijau, terus nyambung ke UPI. Wajah lain yg berbeda dr pemandangan kota
ReplyDeleteluarbiasa ya orang Belanda dulu, megah banget
ReplyDelete