Social Media

Image Slider

Buku Adalah Medium Kita Bercakap-Cakap dan Bertemu

18 October 2025

Empat pemilik toko buku dan perpustakaan di bandung duduk bersama dan membicarakan kabar tentang bagaimana apresiasi buku yang terjadi pada tokonya masing-masing. 



Di Perpustakaan Ajip Rosidi Sabtu 11 Oktober 2025 acara obrolan itu berlangsung, dalam rangka Festival Bukan Jumaahan Akbar, sebuah acara tahunan dari kajian rutin di Kedai Jante bernama Bukan Jumaahan. 


Keempatnya adalah Deni Rachman, pendiri Lawang Buku dan pemilik Toko Buku Bandung, Galuh Pangestri dari TB. Pelagia, Reiza Harits dari The Room 19 dan Tri Joko Her Riadi sebagai pendirinya perpustakaan Bunga di Tembok. 


Tahun 2025 di Bandung pergerakan perbukuan makin semarak jumlahnya. Ada kafe-kafe yang menyediakan buku-buku. Ada toko buku yang menjual makanan minuman. Ada perpustakaan berbayar dan gratis bermunculan. 


Deni merupakan pedagang buku paling senior yang duduk dalam bangku obrolan tersebut. Berjualan buku telah ia jalani lebih dari 15 tahun. Tokonya berada di Jalan Garut no. 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi. 


Ayah tiga anak ini meyakini bahwa tidaklah penting orang harus membeli di toko buku, "yang penting ramein, biarkan orang duduk berteduh, jadikan tempat buku sebagai tempat nongkrong," katanya.


Secara rutin kini di halaman Perpustakaan Ajip Rosidi berlangsung Pasar Minggu. Lawang Buku ikut serta. Kedatangan orang-orang dalam event pasar kaget tersebut turut serta meramaikan tokonya. 


Reiza memulai The Room 19 di tahun 2023 bersama dua temannya Alia dan Edo. Mereka menyewa sebuah ruang di lantai dua ruko di Jalan Dipati Ukur.


Perpustakaan indie berbayar ini diminati banyak mahasiswa, posisinya berada strategis di antara kampus-kampus bandung utara. 


Lulusan Unpad ini mengatakan bahwa pembaca membutuhkan interaksi dengan toko/perpustakaan. Karena itu The Room 19 membawa kebaruan dari segi tema, kurasi buku, kolaborasi membuat kegiatan seperti journaling, nonton, atau creative workshop lainnya. 


"Kunci meningkatkan keinginan orang membaca adalah membuat interaksi yang aman dan dua arah, bukan hanya menyodorkan buku," jelasnya lagi. 



Galuh sepakat dan menambahkan "pengunjung bukan cuma konsumen, karena yang berharga adalah percakapan dan pertemuan yang ada di dalam toko/perpustakaannya." 


Puncak apresiasi dari pembaca, menurut Galuh, adalah munculnya pemikir atau intelektual baru dari kalangan pembaca.


Pelagia juga beberapa kali menyelenggarakan diskusi yang narasumbernya berasal dari pembaca. Salah satu acara diskusi menarik yang pernah saya hadiri di Pelagia berjudul Mencari Cinta di Masa Pergerakan. Sebuah presentasi hasil penelitian seorang guru SMA boarding school yang juga lulusan sejarah Unpad, Ismi Indriani. 


Saya sendiri sering berkunjung ke Pelagia karena lokasinya searah dengan halte bis yang saya tumpangi pulang. Bila ada satu hal yang harus saya acungi jempol dari Pelagia, maka itu adalah kemampuannya memberi akses pada pembaca untuk mendapat buku yang kita inginkan. Di sana banyak buku yang tidak disegel sehingga kita bisa membacanya terlebih dahulu. 


Joko dari Bunga Di Tembok (BDT) adalah eks wartawan Pikiran Rakyat yang banyak meliput kegiatan literasi di Bandung. BDT perpustakaan berlokasi di Pasir Luyu, agak selatan kota Bandung. 


Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak berada di bawah atap yang sama. 


Ia menceritakan bahwa perpustakaan BDT merupakan sebuah usaha menemukan irisan antara buku, literasi, dan persoalan kita. "Bunga Di Tembok dan Bandung Bergerak adalah dua kaki yang berjalan. Jurnalismenya Bandung Bergerak, literasinya Bunga Di Tembok." 


Contoh apresiasi terjadi di perpustakaan Bunga Di Tembok adalah lahirnya sebuah klab buku, cerita Joko. "Sekarang klab bukunya sudah ke mana-mana kegiatannya bukan cuma di perpus BDT," ceritanya lagi. 



Muncul pertanyaan dari hadirin. Apakah membuat toko buku atau perpustakaan itu rekomendid? Apa tip-tipnya kalau kita mau bikin toko buku? 


Galuh menjawab selama ada ruang sendiri tanpa sewa bikin saja toko bukunya "jangan overthinking," ucapnya yakin. 


Reiza menjawab mantap dan pendek "berjejaring" yang juga diamini Joko. 


"Bunga Di Tembok banyak ditolong sama teman-teman & komunitas, kami juga membuat konsep sewa rak. Hal yang gak terduga akan muncul sepanjang jalan, memulai satu hal artinya membuka diri dgn 100 hal lainnya," cerita Joko lagi. 


Pertanyaan menarik lainnya muncul dan harus saya sertakan di sini. Apa bedanya apresiasi buku dulu dan sekarang? sayang konteks waktunya tidak disebutkan oleh penanya, tapi bisa dikerucutkan jadi: dulu (sebelum gempura era digital) dan sekarang (media sosial jadi makanan sehari-hari). 


Di masa kini, kata Deni, akses mencetak karya lebih besar. Siapa saja bisa melahirkan karya apapun. 


"Buku itu seperti spiral, tidak linear. Penting ada terobosan yang menembus batas, seperti merespon buku dengan tarian yang pernah dilakukan Teh Galuh, misalnya," katanya lagi. 


Joko menuturkan saat ini banyak ruang fisik yang melahirkan banyak komunitas. Media sosial berperan dalam menghubungkan banyak orang dengan gagasannya. 


Reiza menjelaskan tentang kolaborasi The Room 19 yang cukup sering dilakukan. 


Galuh berpendapat sekaligus memberi usul. Menurutnya justru di era seperti ini seharusnya tidak cuma ada workshop cara menulis. "Sudah ada banyak tutorial cara menulis, yang kurang itu tata kelolanya. Siapa publishingnya, distributornya, cara jualnya. Kita perlu workshop-workshop yang sifatnya teknis," ucap ibu dua anak yang juga seniman tari ini. 


Dalam diskusi juga beberapa kali mencuat topik penyitaan buku milik aktivis oleh kepolisian yang terjadi di bulan September. 


Deni menjelaskan bahwa proses penyitaan buku oleh aparat tidak sesuai hukum yang berlalu. "Bukan gitu caranya, karena menyita buku harus lewat pengadilan," jelas Deni berapi-api. 


Galuh menyambut semangat "nah itu, kita butuh workshop-workshop seperti itu yang harusnya kita buat. Seperti gimana sih alur penyitaan buku yang seharusnya," katanya lagi. 


Sayang sekali acara diskusi ini hanya berlangsung dua jam. Andaikan bisa diperpanjang jadi empat jam. Saya pun hendak bertanya pada mereka, apa saja buku terakhir yang mereka baca dan meminta rekomendasi bukunya.

Hampir Asar di Masjid Ar-Raudhoh Pekalongan

09 October 2025

Di masjid Ar-Raudhoh saya hendak salat, penjaga masjid mengatakan tidak ada mukena di sini. “Gak apa-apa saya bawa mukena, Pak,” begitu jawab saya polos. Yang tidak saya ketahui adalah masjid tersebut merupakan masjidnya umat keturunan arab dan saya sedang berada di jantungnya kawasan arab di Pekalongan. Tidak ada perempuan salat di sana. Dalam arti: hanya laki-laki yang beribadah di masjidnya. 


masjid ar-raudhoh pekalongan

Untungnya saya belum salat di sana. Karena memang belum azan asar. Saya pikir bisa nih sambil nunggu azan yang 20 menitan lagi menjelang. Memang begitulah penyakitnya manusia masa kini: foto-foto sampai hapenya muntah. 


Bagaimanapun, saya minta izin berfoto pada penjaga masjid dan ia membolehkan. 


Masjid Ar-Raudhoh tidak seperti bangunan masjid. Dia nampak seperti rumah. Bila pun disebut tempat ibadah muslim, cocoknya jadi musola. Bangunannya pun klasik. Bila melihatnya kita tahu bangunan tersebut bukan berasal dari tahun 80an, tapi lebih tua lagi. 


Pada fasad bangunan masjid tertulis dalam huruf arab: Masjid Ar-Raudhoh 1352 H. Berarti masjid ini sudah ada sejak tahun masehi 1933. Hampir satu abad lalu. 


Terdiri dari dua bangunan rumah dan banyak jendela besar-besar dengan daun jendelanya yang bisa dibuka tutup ke luar. Beberapa jendela ada kaca patrinya. Warna masjid ini krem keputihan. Tidak ada warna menonjol selain karpet masjid. 


Ternyata betul masjid ini dahulunya rumah daru seorang habib bernama Ali bin Ahmad Al-Athas. Namun tidak saya ketahui profesi beliau, apakah pendakwah yang juga pedagang seperti sebagaimana pada umumnya orang-orang keturunan arab. 



Masjidnya kosong tidak ada orang. Saya memotret dengan leluasa. Sampai muncul satu orang masuk ke halaman masjid dan parkir motor. Seorang laki-laki, mengenakan sarung dan kopiah haji. 


Saya melihatnya, begitu pun dia. Dia tersenyum, saya juga. Dari matanya saya menangkap ada kesan aneh melihat saya di sana, orang asing perempuan di masjid. Saya menilik wajahnya, ada garis-garis keturunan arab di sana. 

Dia duduk dan bertanya asal saya dari mana. 


Bandung, Pak. Jawab saya berusaha ramah. 


Yang tidak saya duga adalah pertanyaan dia berikutnya. “Udah nikah, Mbak?”


Hah? kaget juga ditanya langsung demikian. 


“Suaminya di mana, Mbak?” tanyanya lagi. 

“Nginepnya di mana?”

“Ke sini sama siapa?”


Saya tidak melihat ia bermaksud buruk. Sepertinya hanya ingin bertanya saja. Saya menjawab tanpa memberinya informasi terlalu rinci. 


Azan asar akan berkumandang dalam waktu dekat. Perasaan saya mengatakan sebaiknya saya segera pergi saja. "Salat di kamar hotel saja," bisik saya dalam hati. Saya pamit padanya dan berterima kasih pada penjaga masjid. 


Ada beberapa tukang becak bergantian mengambil air dari sumur dan menawarkan jasa becaknya. Iya makasih, Pak. Saya tolak halus. 


Di sisi kiri depan masjid ada sumur, tempat berwudu, dan tiga kamar mandi. Becak terparkir di dekat pintu masjid dan seorang tukang becak tertidur di sana. 



Di kamar hotel saya browsing tentang masjidnya dan menyadari bahwa saya memang bodoh. Masjid Ar-Raudhoh sepertinya khusus  untuk umat laki-laki. Mungkin perempuan bisa salat di sana tapi hanya orang-orang polos dan tidak paham seperti saya yang ‘berani’ salat di sana. 


Pantas saja saya perhatikan tidak saja tidak ada mukena, tapi juga tidak ada area khusus salat bagi perempuan. 


Mungkin kulturnya mereka begitu. Pantas saja orang yang berbincang sebentar dengan saya di masjid itu seperti ada yang aneh dalam pandangannya saat melihat saya. Mungkin kalau keanehan bisa bicara ia akan mengatakan: loh kok ada perempuan di sini?


Saya sedang tidak menyalahkan siapapun selain diri saya sendiri karena tidak tahu apa-apa. 

Dua Jam Makan Siang dan Ngopi di Sragi

07 October 2025

Tiga hari di Pekalongan saya memulainya sendirian di Sragi, 16 km dari pusat kota. Jauh sekali dipikir-pikir untuk apa ke sana. Mungkin di lain waktu saya tidak akan melakukannya lagi bila tanpa bersama siapapun. Makin tua memang makin terasa kalau berjalan sendiri itu rasanya kesepian. 



Padahal di jalan bertemu Mas Badi, driver ojeg online yang santun dan budiman. Bisa saja saya mengajaknya makan siang dan mengobrol agak lama. Tapi mengapa saya tidak melakukannya, ya entahlah! Semakin tua semakin mager bersosialisasi kah? 


Di Sragi ada pabrik gula satu-satunya yang masih beroperasi sejak zaman belanda dulu. Pernah ada 17 pabrik gula di kabupaten Pekalongan, hampir semuanya sudah mati. 


Pergilah saya ke Sragi, sudah sejak lama saya ingin melihat suasana pabrik gula dan rumah-rumah dinasnya. Informasi tentang Sragi saya ketahui dari instagram, dari akunnya Aditya. Makasih, Kang Adit! 



Omah Carkonah adalah tujuan saya di Sragi. Rumah tua yang juga pernah jadi rumah dinas pegawai pabrik gula. Sekarang rumahnya menjadi rumah makan. Saya tiba di sana tepat sebelum waktu sholat jumat. Saya meminta nomor telepon Mas Badi dan memintanya kembali lagi pukul dua siang dan menjemput saya. Ongkosnya saya tanggung PP kali dua. Menumpang bis dan mencari ojeg pangkalan lebih adventurous tapi dengan usia saya dan waktu terbatas lebih baik membayar agak mahal buat Mas Badi. 


Sepertinya memang saya makin menua ada benar ada efek lainnya. Sekelebatan nostalgia saat jalan-jalan juga bermunculan seiring pemandangan yang muncul. Tidak hanya saya menemukan suasana dan pemandangan baru, tapi juga yang lama-lama yang terasa seolah saya pernah di sana. 


Waktu kelas 2 SMA (di Cirebon), saya pernah kerja kelompok di rumah seorang teman di kompleks pabrik gula Tersana Baru. Dari terminal Harjamukti saya menumpang elp bersama Heru, teman sekelompok. Dia berdiri berayun-ayun di pintu elf. Saya duduk tergencet di dekat pintu. Suasana elf di pagi hari selalu ramai penumpang. Tahun 2000 hanya elf satu-satunya angkutan menghubungkan kabupaten ke kota. 


Kami turun di depan komplek pabrik gula dan Rija menjemput. Di Desa Babakan namanya. Dia menuntun kami ke rumahnya yang bentuknya sangat klasik. Rumah ala-ala orang belanda. Saya ternganga, seandainya Rija bisa menjadi saksinya maka ia akan menyatakan melihat saya terbengong-bengong menatap rumahnya dan rumah-rumah tetangganya. 


Karena rumah di sana indah sekali. Halaman berumput agak luas dan berpohon. Rumah tanpa pagar, ada jalan menuju ke teras, di terasnya bisa duduk-duduk memandang jalanan, jendela besar-besar, pintu tinggi-tinggi, langit-langit seperti tak terjangkau. Saya memuji rumahnya sementara Rija terlihat tidak betah. Katanya ada kunti*anak di rumah. 


Hahaha kami tertawa, saya juga sambil menatap langit-langit yang Rija tunjuk di mana kunti itu sering muncul. 


Ayahnya bekerja di PG Tersana Baru dan tahun itu mereka pindah dinas ke Cirebon. Rupanya itulah alasan mengapa Rija menjadi anak baru di sekolah kami. 


Saya kira kenangan itu yang muncul saat saya berada di Sragi. Kenangan bertemu dengan rumah tua rumah dinasnya pegawai pabrik gula Tersana Baru yang teman saya diami. 


Saya masuk ke Omah Carkonah dan menelusurinya sampai ke belakang. Ukuran rumah dan ruang-ruangnya lebih besar daripada rumahnya Rija, saya pikir begitu. Pengunjung terlihat ada banyak. Suara musik mengalun. Pegawainya hilir mudik. 


Makanan di sini tersaji prasmanan. Mbak-mbak Omah Carkonah mengatakan garang asamnya best seller. Namun mulut saya sedang enggan mengunyah daging apapun. Saya ambil piring dan memilih menu nasi, lodeh, dan tempe mendoan. Minumnya harus yang segar jadi es asem jawa saja. 


Duduk menghadap jendela paling besar saya menyantap makan siang. Enak juga. Menu yang ratingnya 8 dari 10. Memuaskan kalau menyantap makanan enak yang kita pilih sendiri tanpa rekomendasi siapa-siapa. 


Makanan habis saya minta izin memotret. Boleh, kata pegawainya. 


Terdiri dari tiga kamar besar, satu ruang tamu, dua teras, satu garasi, dan dua ruangan lainnya, Omah Carkonah sangatlah luas! Belum lagi halaman depan dan belakang. Secara keseluruhan rumahnya memang tua tapi pintu, jendela, dan ornamen di teras sepertinya sudah mengalami perubahan. Tidak nampak seklasik itu soalnya. 


Saya berpindah ke rumah sebelah yang berfungsi sebagai coffeeshop: Teman Semeja. Di sini lebih sedikit pengunjung dan ruangannya banyak kosong, hawa rumah kolonial lebih terasa. Juga saya rasakan angker atau saya memang penakut, jadi saya duduk di teras saja menunggu pesanan datang. 



Namanya juga kofisop, karyawannya anak-anak muda berpakaian hitam. Lengkap dengan mbak-mbak cantik sebagai barista.  Pemandangan skena di Sragi siang itu saya lihat di Teman Semeja.  


Dua rumah dinas pabrik gula Sragi inilah yang mengalami perubahan fungsi. Rumah-rumah sebelahnya ada yang kosong dan ada juga yang masih berpenghuni. 


Saya berjalan menyusuri sepotong Sragi dan melihat pabrik gula dari luar. Asap cerobong pabrik sedang bekerja. Rupanya saya datang di saat pabriknya sedang giling tebu. 


Mas Badi -driver ojeg online- cerita kalau pabrik gula tersebut hanya aktif kalau panen tebu. “Cuma lima bulan aja, mbak” katanya.


Terus sisa tujuh bulan ngapain, Mas? 

Ya pabriknya kosong saja, Mbak. Sambil nunggu panen tebu yang berikutnya.


Saya tanyakan kembali padanya apakah ia bekerja di pabrik gula juga, sebab Mas Badi memberitahu kalau rumahnya berlokasi di Sragi dekat pabrik gula. 


“Enggak, kalo kepingin kerja di pabrik gula mesti orangtuanya pegawai juga di sana,” jawabnya lagi. 


Oh gitu, baru saya ketahui fakta tersebut. 



Saya meninggalkan Sragi yang (sangat) panas cuacanya. Truk-truk pengangkut tebu hilir mudik melindas jalanan dan debunya. Luar biasa sibuk sekali. Motor Mas Badi beberapa kali berpapasan dan menyalip truknya. Bagaimana sibuknya jalanan Sragi dan jalanan pantura di masa lalu saat pabrik gula sedang jaya-jayanya ya! 


Tidak hanya pabrik gula yang ada di Sragi, ada juga pabrik konveksi dan entah apalagi. Saya melihat setidaknya ada lima pabrik di antara pesawahan luas dan pepohonan pinggir jalan itu. 


Dari Sragi saya meminta Mas Badi mengarahkan motor ke kota. Saya turun di depan masjid Ar-Raudhah, hanya beberapa meter saja dari Binumar, penginapan yang saya booking kamarnya tiga hari dua malam di Pekalongan. 


Mas Badi, matur nuwun ya. Saya betulan sangat berterima kasih padanya karena mau mengantar jemput dari kota-kabupaten-kota. Ia pun dengan santun mengatakan yang sama. Katanya jangan segan-segan mengontak lagi kalau butuh bantuan. Saya cek ratingnya di aplikasi, pantas layanannya mantap. Ratingnya 5.0. 


Sore itu saya tidur di kamar hotel, Pekalongan hari pertama selesai. 


Bersama Cerita Bandung, Berjalan Kaki ke Gunung Padang Cianjur

10 May 2025

Harus sih cerita ini di mana-mana dan kepada siapa saja, bahwa saya berhasil tiba di gunung padang cianjur melalui rute hiking dan trekking yang levelnya intermediate, di umur 40 tahun, dengan terseok-seok dan selamat. 



Rasa-rasanya saya termasuk rajin olahraga. Setidaknya berjalan kaki. Akan tetapi saat diterjunkan di perbukitan cianjur dan hiking 8 km tubuh ini berasa sempoyongan, malu kalau pingsan jadi saya menguatkan diri sendiri saat menempuh perjalanan tersebut. Lol. Capek. 


Trip ke gunung padang cianjur (22/02/2025) saya ikuti bersama geng Cerita Bandung. Mereka membuat tur jalan kaki merambah hutan, sungai, perbukitan, bahkan kaki-kaki gunung dalam tajuk #JalaninAja. 


Meski berulang kali saya mengikuti tur jalan kaki Cerita Bandung, tapi ini pertama kali saya mendaftar tur bertema petualangan mereka. Tentu saja demografi profil peserta tur mayoritas muda mudi cekas berotot super. Langkah kaki mereka lebar dan gagah-gagah. 


Ada juga saya perhatikan tiga peserta yang lebih tua, tapi mereka tidak kalah cekasnya dengan yang berusia muda. Gokil. 



Bila ada peserta tur yang termasuk kategori jompo maka itu adalah saya: berjalan selalu di urutan paling belakang.


Bahkan dengan belagunya saya tidak merasa butuh tongkat bantuan menopang badan, semacam trekking pole. Uwie, rekan perjalanan terbaik, berhasil meyakinkan dan memberi saya tongkat yang terbuat dari batang pohon entah apa. Terima kasih, Uwie! Sepertinya ia sengaja berjalan paling belakang buat menemani saya, bukan karena dia sama jomponya dengan saya. 


Kami tidak menaiki ratusan anak tangga gunung padang cianjur yang legendaris itu. Melainkan hiking dan trekking, masuk dari jalan belakang, melalui perbukitan dan perkampungan tembus jalan masuknya langsung ke undakan ke-5 gunung padang. 


Normalnya bila kamu mengunjungi situs kuno ini adalah bayar tiket di depan, naik tangga batu ratusan jumlahnya mungkin hanya 15 menit durasinya kalau stamina kamu bagus, dan ketemu dengan undakan ke-1. Ada lima undakan di gunung padang cianjur. 


Rute jalan kaki menuju Gunung Padang Cianjur bersama Cerita Bandung sangat berbeda dengan rute yang saya tempuh dulu di tahun 2007 dan 2010 (bisa baca di sini). Jalan kakinya 8 km terasa seperti 20 km. Waktu tempuh tiga jam. Satu jam terakhir konturnya tanjakan tanpa henti. 



Saya berjalan kaki membelah perkebunan teh, menyisir rumah warga di pedalaman kampung Ciukir, menyebrang kali (harfiah di sungai, bukan lewat jembatan), menapak di pematang sawah, masuk leuweung, dan tanjakan demi tanjakan yang bikin jantung merosot. 


Selama di jalan saya mengutuk diri sendiri mengapa sign-in dalam tur ini. Hahaha. Berat badan dan kenyamanan kota membuat saya menjadi manusia urban yang menyebalkan: terpisah dari tanah berbatu, berjarak dengan jalan rerumputan, kesakitan saat lengan bersentuhan ranting-ranting pohon teh, takut dengan jalanan terjal bukit, dan khawatir tisoledat di rute menurun. 


Pada waktu itu saya pikir selamanya saya akan memilih tur jalan kaki di kota saja yang ada alfamartnya dan ada gojeknya. Memang di momen-momen traveling seperti ini kita bisa mengenal diri sendiri dan boundaries-nya.


Tapi apakah iya saya menyesali perjalanan ini? Mengapa saya mau datang lagi ke Gunung Padang Cianjur untuk yang ke-3 kalinya?


Terjawab sudah saat menginjakkan kaki di Gunung Padang Cianjur yang sangat memukau pemandangannya. Saya menepuk pundak diri sendiri. Terima kasih membawa saya pada perjalanan ini, Lu. Tidak menyesal. The beauty of gunung padang cianjur dan nostalgia berjarak 15 tahun meluluhkan rasa lelah dan pegal-pegal. 


Pukul dua siang, sinar matahari bengkok. Meski langit kelabu sejak pagi hari, tapi di gunung padang langit sebagian membiru. Awan bergumpalan. Angin berhembus pelan, anginnya menyisip ke sela-sela kerudung dan pakaian saya. Suara daun bergesekan. Mulut burung-burung berkicau. Semua yang saya dengar, lihat, dan rasakan di sana sangat menyentuh kalbu. Indah sekali. 


Ada beberapa orang seliweran, selain kami. Namun rasa tentram menyusup ke sanubari meski kamu tahu kamu tidak sendirian di sana. 



Pukul lima pagi saya memulai trip ini di Stasiun Bandung, jam tiga sore saya bersandar di rerumputan menatap langit dan membasuh wajah dengan energi gunung padang yang tidak kasat mata. Betul-betul terasa sebagai puncaknya perjalanan. Pukul empat sore kami harus beranjak kembali ke Stasiun Lampegan. 


Tahun 2011 muncul desas-desus gunung padang cianjur yang disebut situs kuno terbesar di dunia. Bagi saya ini situs yang menarik dan ya sudah berhenti di situ saja. Fakta bombastisnya yang viral -dan masih diperdebatkan itu- tidak berpengaruh terlalu signifikan secara pribadi. 


Namun karena perhatian dari pemerintah, peneliti, bahkan liputannya juga tayang di serial dokumenter Netflix, Gunung Padang Cianjur memanglah terawat pemeliharaannya. Berbeda sekali kondisinya di tahun 2007, saya harus ketok-ketok pintu rumah kuncennya, meminta izin naik ke gunung padang. Sekarang? saya itung ada enam pemandu yang siap sedia di pintu loket. Ya, bahkan ada pintu loketnya! 


Kekaguman saya ada pada pemandangan bukit ini dan energi yang entah bagaimana membuat saya merasa tentram dan sentosa hanya dengan berdiri/duduk/berbaring di sana. Semua bebatuan heksagonal bergelimpangan secara teratur, dikelilingi pepohonan. Perbukitan dan Gunung Pangrango bisa terlihat.  Indah sekali. 




Gunung Padang Cianjur terdiri dari lima undakan. Tiap undakan menandakan lima ruang.  Undakan ke-5 adalah yang tertinggi, ada bebatuan yang ditancapkan menyerupai nisan, entah itu makam ataukah bebatuan yang sengaja disimpan dengan formasi tertentu agar terlihat sakral. 


Di undakan ke-2 ada pohon kemenyan yang dilingkari tali. Tidak jauh darinya ada sesajen. Ada papan larangan berbunyi dilarang memakai alas kaki saat menginjakkan batu di sekeliling pohon tersebut. Begitulah kepercayaannya. 


Namun terlepas dari kesakralannya, kita bisa duduk bersantai di sini. Melepas lelah, membebaskan diri sendiri dari penat, mengisi tangki udara bersih ke paru-paru, atau membayangkan bagaimana kehidupan kuno berlangsung di gunung padang, sebelum kembali ke kota dengan terbengong-bengong dan terguncang, kembali pada kehidupan yang padat pekerjaan dan tayangan di layar kaca ponsel, tanpa henti. 




dokumentasi:

Foto 1-2-6 dokumentasi Cerita Bandung

Foto 3-4-5 dokumentasi pribadi

Bengong di Bis Metro Jabar Trans

10 April 2025

Tempat terenak buat bengong adalah kamar mandi, kamar tidur, bangku kereta api, dan kursi bis. 



Hampir tiga tahun saya berstatus penumpang tetapnya bis umum bernama Metro Jabar Trans (MJT). Sebelumnya kami sebut dia Teman Bus. Warga kabupaten menyederhanakan nama bisnya menjadi Bis Tayo, merujuk pada tokoh kartun Tayo The Little Bus favoritnya anak-anak. Ongkos bis tidak pernah berubah, Rp4.900 saja jauh dekat. Pembayarannya juga masih sama, via QRIS atau tap in kartu. 


Dan entah sudah berapa banyak saya menulis cerita pengalaman menumpang bis MJT di feed instagram. Dari mulai yang paling klise tapi penting: kondisi halte. 


Hanya sedikit halte dalam koridor bis 3D yang saya tumpangi, layak disebut halte. Mereka adalah halte:

Merdeka

Alun-Alun

Terusan Buahbatu

Podomoro Park


Saya sebut layak karena di halte ada bangku, haltenya berbentuk halte ada atap buat berteduh dari panas dan hujan. Ada rambu-rambu lalu lintas. 


Total halte ada 30. Tidak sampai lima halte yang kondisinya layak. Mayoritas halte bis MJT tidak berbentuk dan hanya dapat kita lihat dengan mata batin. 


Becanda. Ada kok bisa kelihatan sediiiikit. Pertanda haltenya dari rambu-rambu halte, itu saja. Komunitas Transport For Bandung (FDTB) membantu dengan memasang poster kecil gambar rute bis dan nama halte. Yha! begitu saja. 


Kata warga sih "begitu juga udah untung". Sedih. 


Untuk memudahkan mencari halte kita bisa menggunakan aplikasi Mitra Darat. Saya mengandalkan aplikasi ini untuk tracking bis. Kebantu banget deh beneran, serasa quantum leap warga kabupaten menikmati layanan transportasi umum seperti ini. Makasih ya siapapun yang ngide bis Metro Jabar Trans di kementrian perhubungan dan dinas-dinas pemerintah. Gitu atuh beneran kerjanya kerasa sama kami rakyat yang bayar pajak. 


Terlepas dari sarana haltenya, bis MJT sangatlah menolong. Bisnya nyaman, bersih, dan dapat diandalkan. Banyak atau kosong penumpang bisnya tetap berjalan, dari subuh pukul lima hingga sembilan malam. Terutama lagi bagi perempuan seperti saya, menumpang bis MJT terasa aman. Sejauh ini di dalam bisnya saya aman tidur, aman baca, aman nonton (di hape, menggunakan earphone), dan tentu saja aman bengong. 


Di Sukabumi Beberapa Malam

06 February 2025

Dari Stasiun Sukabumi ke hotel di Jalan Siliwangi jaraknya hanya 1,4 km. Kita jalan kaki? tanya saya pada Indra. Iya, jalan kaki, katanya semangat. 




Otw Hotel


Yang tidak kami ketahui adalah kontur jalanan di kota tersebut nanjak (tanpa mudun). Bila di Bandung bayangkan berjalan kaki dari Gandok ke Siliwangi dan teruskan ke kampus Unpar di Ciumbuleuit. Sambil gendong ransel bekal nginap dua malam tiga hari. 


Keluar stasiun kereta api kami bertemu dengan Jalan Stasiun Timur yang astaganaga tanjakannya! Masih belum cukup kami berjodoh dengan Jalan Gudang yang masih nanjak juga. Hwarakadah! 


Napas mau putus rasanya tapi kami seperti kerasukan semangat pasukan galia jadi maju terus pantang pesan taksi online. 


Tiba di kamar hotel kami langsung terjun ke kasur. Semaput. 


Kalau kamu berpikir anjirlah segitu doang kayak mau mati, maka katakan hal yang sama pada dirimu sendiri saat kamu berusia paruh baya nanti yang baru aja selesai melakukan perjalanan dari pukul 8 pagi sampai 5 sore: naik bis, naik kereta, naik angkot, naik kereta, jalan kaki pake nanjak. Modyar.



Makan Malamnya


Makan-makan di sukabumi kami mampirnya ke restoran makanan chinese sebelah hotel. Rumah Makan Haroemsari namanya. Halal jadi kami sikat ayolah. 


Kami pilih menu ayam jahe, ifumi, dan kwetiaw. Hamdalah enak-enak semua khas masakan tionghoa yang beraroma bawang putih dan citarasa saos tiramnya. Hehe. 





Jajan Oleh-Oleh


Buat oleh-oleh kami belanja penganan tersohor ala sukabumi: mochi. 


Tentang kenapa mochi jadi kuliner khasnya saya pun tidak tahu. Yang pasti orang-orang keturunan tionghoa yang meracik makanan ini, begitupun tokonya milik mereka juga. Mulanya saya pergi ke toko mochi 39 yang cenah toko tua permochian di sukabumi. 


Sayang stok mochi mereka habis. Belum jam 12 siang loh padahal. Ternyata kita harus order dulu pagi harinya, gokil sih mochi limited judulnya. 


Jadi kami belanja ke toko Mochi A Yani. Bungkus mochi kacang aja seperti biasa. Enak gak? Enaaakkkk! hehe



Sekitar Stasiun Sukabumi


Setelah membungkus dua kotak mochi di Toko Mochi A Yani saya hanya perlu berjalan lima menit menuju Toko Nyonya. Menuju ke sana saya harus sebrangi satu perempatan jalan yang sibuk, angkot-angkot warna merah muda seliweran. Kota Sukabumi agak panas siang itu. 




Awalnya saya kira Toko Nyonya adalah toko kelontong, semacam toko serba ada. Saya akan masuk ke tokonya dan beli minuman botol di sana! Demikian rencananya. 


Sampailah saya di lokasi tujuan. Kulihat-lihat dan terbengong. Toko Nyonya bukan toko kelontong melainkan toko yang menjual pakaian dalam perempuan. 


Membeli pakaian dalam menurutku tidak bisa dilakukan secara spontan. Harus ada persiapan. Harus ada niat dari rumah. Jadi siang itu saya putuskan melihat tokonya dari luar saja. Besok-besok jika ada kesempatan ke Sukabumi lagi saya pasti sudah persiapkan diri belanja kutang atau celana dalam di Toko Nyonya.


Tahun 2025 dan seterusnya kami akan lebih sering jalan-jalan di Sukabumi. Ya sepertinya bakal begitu. 




Tulisan lainnya tentang Sukabumi

Menginap di Tanakita 

Menumpang kereta api dari Cipatat Bandung ke Sukabumi

Geotrek Dua Hari Tiga Malam di Ciletuh

Sore-Sore di Kotagede Makan Gudeg Krecek

15 January 2025

Tur jalan kaki di Kotagede selesai pukul 17.30. Kupikir daripada kembali ke penginapan lebih baik saya cari makan dulu. Ke arah Pasar Legi saya berjalan dan berhenti di sana menyantap makan malam lezat bernama gudeg krecek. 




Makan malam yang nikmat. Duduknya menghadap bangunan pasar. Langit menghitam, magrib sudah menjelang. Selesai makan saya beranjak jalan kaki lagi sambil memotret bangunan tua di pinggir jalan. 


Terakhir kali saya menyisir jalanan kotagede di tahun 2016. Sudah berlalu terlalu lama. 


Saya mencari satu pintu tua diantara jalanan tersebut, yang pernah saya jadikan latar berfoto. Meski agak ragu apakah bakal menemukannya karena hari sudah gelap dan tidak yakin otak saya akan mengingatnya. 


Ternyata ingat. Bahkan warna cat pintunya masih sama. Hijau tua. Tapi agaknya jalanan aspal mengalami peninggian. Mungkin diaspal beberapa kali, entahlah. Di gedung pintu tersebut berada ada spanduk bertuliskan DIJUAL. 




Sembilan tahun lalu saya menggendong nabil di punggung. Indra berada di seberang jalan dan memotret kami berdua. Saya memandang pintu itu dari seberang dan membayangkan berada di sana bersama nabil. Memang betul waktu terbangnya cepat sekali padahal hari demi hari dan tahun demi tahun berlalunya bukankah lama. 


Sedikit berjalan lagi saya bertemu toko buku Natan. Sayang tokonya baru tutup, waktu sudah menunjukkan pukul hampir 19.00 sedangkan tokonya tutup saat magrib. 


Tahun 2022 saya pernah berkunjung ke toko tersebut siang-siang di hari jumat yang mendung. Niatnya mau mampir lagi, apa daya kemalaman. 



Saya berjalan lagi sebentar. Tanggung. Ada toko es kelapa muda, saya jajan dulu satu butir. Seperti di bandung, trotoar di sini sama buruknya. Tidak dirancang buat pejalan kaki.   


Azan isya terdengar. Barulah saya pesan ojeg online, waktunya pulang, sori maksudnya kembali lagi ke penginapan.Kapan-kapan saya datang lagi ke Kotagede tapi tidak sendirian. 


 

Buku Kopi Dalam Kebudayaan Orang Sunda: Kopi Tutung, Sesajen, Tembang, dan Pantun

07 January 2025

Buku ini mengupas kopi dalam kehidupan sehari-hari dan pengaruhnya terhadap orang sunda. Menarik sekali membaca fakta perkopian ini. Dalam segelas air hitam kecoklatan ini ada cerita panjang dari era kolonialisme hingga zamannya anak skena. 



Atep Kurnia pada buku Kopi Dalam Kebudayaan Orang Sunda membahas kopi dari segala macam tinjauan sejarah. Ada kopi sebagai minuman. Juga ada kopi sebagai sesajen. Kopi adalah warna. Pun juga ada pembahasan tentang istilah 'ngopi' yang ternyata tidak sesimpel itu. 


Buku ini juga membedah kopi sebagai nama kawasan, seni pantun dan tembang, kopi sebagai rasa, dan tentu saja kopi sebagai sejarah imperialisme belanda. 


Pada kopi sebagai warna kita akan ketemu istilah seperti:

Wungu kopi, mendekati warna tanah

Kopi tutung, coklat tua


Penulis yakin (data based) kita lebih dahulu menggunakan istilah kopi tutung ketimbang menyebut istilah 'warna coklat'. 


Jenis tulisan dalam buku ini deskriptif semua dan pendek-pendek. Satu cerita terdiri dari 2-3 halaman.  Penulis menyertakan kesimpulan di akhir paragraf tiap bab. Bertabur data karenanya banyak kutipan.


Namun dalam buku ini tidak menyebut mengapa istilah ngopi ala orang bandung berbeda dengan ngopi ala orang sunda lainnya. 


Ngopi di bandung artinya nongkrong sambil menyantap makanan ringan, minumnya bukan cuma kopi, bisa saja air teh atau susu, atau apa saja. Di bandung kita bisa jajan di Ijan (warung susu murni) dan menyebutnya sebagai ngopi. Kita bisa nongkrong makan surabi dan minumnya teh hangat dan menyebutnya sebagai ngopi juga. 


Sedangkan di kota priangan lain (subang, purwakarta, bogor, sukabumi, tasik, ciamis, dan bbrp kota lain), ngopi adalah kegiatan yang harfiah, artinya sesuai nama: ngopi, minum kopi. 


Iya gak sih? Atau gimana nih di daerahmu, 'ngopi' artinya apa, beda gak dengan budaya ngopi ala warga bandung?


Kopi dalam Kebudayaan Sunda adalah buku ringan (tipis 147 halaman) dan konotatif (informasinya menarik dan tidak terasa berat). Menyenangkan bacanya. 


Ditulis oleh Atep Kurnia, buku ini merupakan karya cetaknya yang ke-4 di tahun 2022 saja. Tulisan Atep tentang sejarah dan budaya bisa kita baca di berbagai situs online, salah satunya @bandungbergerak.id. 


Cocok dibaca untuk para pemandu wisata, barista, anak skena, traveler kopi, traveler senja. Hehe. Bacaan ringan jadi sebetulnya cocok untuk siapa saja termasuk anak SD sekalipun. Buku-buku karya Atep Kurnia ukurannya selalu compact, praktis dibaca, membahas tema ringan dan data-based. Untuk perkenalan sejarah bandung, buku-bukunya layak baca dan koleksi, imho.  


Buku bisa dibeli langsung pada penulisnya di instagram @atepkurnia2020 atau pesan ke penerbit @penerbitlayung.