Harus sih cerita ini di mana-mana dan kepada siapa saja, bahwa saya berhasil tiba di gunung padang cianjur melalui rute hiking dan trekking yang levelnya intermediate, di umur 40 tahun, dengan terseok-seok dan selamat.
Rasa-rasanya saya termasuk rajin olahraga. Setidaknya berjalan kaki. Akan tetapi saat diterjunkan di perbukitan cianjur dan hiking 8 km tubuh ini berasa sempoyongan, malu kalau pingsan jadi saya menguatkan diri sendiri saat menempuh perjalanan tersebut. Lol. Capek.
Trip ke gunung padang cianjur (22/02/2025) saya ikuti bersama geng Cerita Bandung. Mereka membuat tur jalan kaki merambah hutan, sungai, perbukitan, bahkan kaki-kaki gunung dalam tajuk #JalaninAja.
Meski berulang kali saya mengikuti tur jalan kaki Cerita Bandung, tapi ini pertama kali saya mendaftar tur bertema petualangan mereka. Tentu saja demografi profil peserta tur mayoritas muda mudi cekas berotot super. Langkah kaki mereka lebar dan gagah-gagah. Ada juga saya perhatikan tiga peserta yang lebih tua, tapi mereka tidak kalah cekasnya dengan yang berusia muda. Gokil.
Bila ada peserta tur yang termasuk kategori jompo maka itu adalah saya: berjalan selalu di urutan paling belakang.
Bahkan dengan belagunya saya tidak merasa butuh tongkat bantuan menopang badan, semacam trekking pole. Uwie, rekan perjalanan terbaik, berhasil meyakinkan dan memberi saya tongkat yang terbuat dari batang pohon entah apa. Terima kasih, Uwie! Sepertinya ia sengaja berjalan paling belakang buat menemani saya, bukan karena dia sama jomponya dengan saya.
Kami tidak menaiki ratusan anak tangga gunung padang cianjur yang legendaris itu. Melainkan hiking dan trekking, masuk dari jalan belakang, melalui kampung tembusnya ke undakan ke-5 gunung padang.
Normalnya bila kamu mengunjungi situs kuno ini adalah bayar tiket di depan, naik tangga batu ratusan jumlahnya mungkin hanya 15 menit durasinya kalau stamina kamu bagus, dan ketemu dengan undakan ke-1. Ada lima undakan di gunung padang cianjur.
Rute jalan kaki menuju Gunung Padang Cianjur bersama Cerita Bandung sangat berbeda dengan rute yang saya tempuh dulu di tahun 2007 dan 2010 (bisa baca di sini). Jalan kaki 8 km terasa seperti 20 km. Waktu tempuh tiga jam. Satu jam terakhir konturnya tanjakan tanpa henti.
Saya berjalan kaki membelah perkebunan teh, menyisir rumah warga di pedalaman kampung Ciukir, menyebrang kali (harfiah di sungai, bukan lewat jembatan), menapak di pematang sawah, masuk leuweung, dan tanjakan demi tanjakan yang bikin jantung merosot.
Selama di jalan saya mengutuk diri sendiri mengapa sign-in dalam tur ini. Hahaha. Berat badan dan kenyamanan kota membuat saya menjadi manusia urban yang menyebalkan: terpisah dari tanah berbatu, berjarak dengan jalan rerumputan, kesakitan saat lengan bersentuhan ranting-ranting pohon teh, takut dengan jalanan terjal bukit, dan khawatir tisoledat di rute menurun.
Pada waktu itu saya pikir selamanya saya akan memilih tur jalan kaki di kota saja yang ada alfamartnya dan ada gojeknya. Memang di momen-momen traveling seperti ini kita bisa mengenal diri sendiri dan boundaries-nya.
Tapi apakah iya saya menyesali perjalanan ini? Mengapa saya mau datang lagi ke Gunung Padang Cianjur untuk yang ke-3 kalinya?
Terjawab sudah saat menginjakkan kaki di Gunung Padang Cianjur yang sangat memukau pemandangannya. Saya menepuk pundak diri sendiri. Terima kasih membawa saya pada perjalanan ini, Lu. Tidak menyesal. The beauty of gunung padang cianjur dan nostalgia berjarak 15 tahun meluluhkan rasa lelah dan pegal-pegal.
Pukul dua siang, sinar matahari bengkok. Meski langit kelabu sejak pagi hari, tapi di gunung padang langit sebagian membiru. Awan bergumpalan. Angin berhembus pelan, anginnya menyisip ke sela-sela kerudung dan pakaian saya. Suara daun bergesekan. Mulut burung-burung berkicau. Semua yang saya dengar, lihat, dan rasakan di sana sangat menyentuh kalbu. Indah sekali.
Ada beberapa orang seliweran, selain kami. Namun rasa tentram menyusup ke sanubari meski kamu tahu kamu tidak sendirian di sana.
Pukul lima pagi saya memulai trip ini di Stasiun Bandung, jam tiga sore saya bersandar di rerumputan menatap langit dan membasuh wajah dengan energi gunung padang yang tidak kasat mata. Betul-betul terasa sebagai puncaknya perjalanan. Pukul empat sore kami harus beranjak kembali ke Stasiun Lampegan.
Tahun 2011 muncul desas-desus gunung padang cianjur yang disebut situs kuno terbesar di dunia. Bagi saya ini situs yang menarik dan ya sudah berhenti di situ saja. Fakta bombastisnya yang viral -dan masih diperdebatkan itu- tidak berpengaruh terlalu signifikan secara pribadi.
Namun karena perhatian dari pemerintah, peneliti, bahkan liputannya juga tayang di serial dokumenter Netflix, Gunung Padang Cianjur memanglah terawat pemeliharaannya. Berbeda sekali kondisinya di tahun 2007, saya harus ketok-ketok pintu rumah kuncennya, meminta izin naik ke gunung padang. Sekarang? saya itung ada enam pemandu yang siap sedia di pintu loket. Ya, bahkan ada pintu loketnya!
Kekaguman saya ada pada pemandangan bukit ini dan energi yang entah bagaimana membuat saya merasa tentram dan sentosa hanya dengan berdiri/duduk/berbaring di sana. Semua bebatuan heksagonal bergelimpangan secara teratur, dikelilingi pepohonan. Perbukitan dan Gunung Pangrango bisa terlihat. Indah sekali.
Gunung Padang Cianjur terdiri dari lima undakan. Tiap undakan menandakan lima ruang. Undakan ke-5 adalah yang tertinggi, ada bebatuan yang ditancapkan menyerupai nisan, entah itu makam ataukah bebatuan yang sengaja disimpan dengan formasi tertentu agar terlihat sakral.
Di undakan ke-2 ada pohon kemenyan yang dilingkari tali. Tidak jauh darinya ada sesajen. Ada papan larangan berbunyi dilarang memakai alas kaki saat menginjakkan batu di sekeliling pohon tersebut. Begitulah kepercayaannya.
Namun terlepas dari kesakralannya, kita bisa duduk bersantai di sini. Melepas lelah, membebaskan diri sendiri dari penat, mengisi tangki udara bersih ke paru-paru, atau membayangkan bagaimana kehidupan kuno berlangsung di gunung padang, sebelum kembali ke kota dengan terbengong-bengong dan terguncang, kembali pada kehidupan yang padat pekerjaan dan tayangan di layar kaca ponsel, tanpa henti.
dokumentasi:
Foto 1-2-6 dokumentasi Cerita Bandung
Foto 3-4-5 dokumentasi pribadi