Social Media

Image Slider

Bersama Cerita Bandung, Berjalan Kaki ke Gunung Padang Cianjur

10 May 2025

Harus sih cerita ini di mana-mana dan kepada siapa saja, bahwa saya berhasil tiba di gunung padang cianjur melalui rute hiking dan trekking yang levelnya intermediate, di umur 40 tahun, dengan terseok-seok dan selamat. 



Rasa-rasanya saya termasuk rajin olahraga. Setidaknya berjalan kaki. Akan tetapi saat diterjunkan di perbukitan cianjur dan hiking 8 km tubuh ini berasa sempoyongan, malu kalau pingsan jadi saya menguatkan diri sendiri saat menempuh perjalanan tersebut. Lol. Capek. 


Trip ke gunung padang cianjur (22/02/2025) saya ikuti bersama geng Cerita Bandung. Mereka membuat tur jalan kaki merambah hutan, sungai, perbukitan, bahkan kaki-kaki gunung dalam tajuk #JalaninAja. 


Meski berulang kali saya mengikuti tur jalan kaki Cerita Bandung, tapi ini pertama kali saya mendaftar tur bertema petualangan mereka. Tentu saja demografi profil peserta tur mayoritas muda mudi cekas berotot super. Langkah kaki mereka lebar dan gagah-gagah. Ada juga saya perhatikan tiga peserta yang lebih tua, tapi mereka tidak kalah cekasnya dengan yang berusia muda. Gokil. 



Bila ada peserta tur yang termasuk kategori jompo maka itu adalah saya: berjalan selalu di urutan paling belakang.


Bahkan dengan belagunya saya tidak merasa butuh tongkat bantuan menopang badan, semacam trekking pole. Uwie, rekan perjalanan terbaik, berhasil meyakinkan dan memberi saya tongkat yang terbuat dari batang pohon entah apa. Terima kasih, Uwie! Sepertinya ia sengaja berjalan paling belakang buat menemani saya, bukan karena dia sama jomponya dengan saya. 


Kami tidak menaiki ratusan anak tangga gunung padang cianjur yang legendaris itu. Melainkan hiking dan trekking, masuk dari jalan belakang, melalui kampung  tembusnya ke undakan ke-5 gunung padang. 


Normalnya bila kamu mengunjungi situs kuno ini adalah bayar tiket di depan, naik tangga batu ratusan jumlahnya mungkin hanya 15 menit durasinya kalau stamina kamu bagus, dan ketemu dengan undakan ke-1. Ada lima undakan di gunung padang cianjur. 


Rute jalan kaki menuju Gunung Padang Cianjur bersama Cerita Bandung sangat berbeda dengan rute yang saya tempuh dulu di tahun 2007 dan 2010 (bisa baca di sini). Jalan kaki 8 km terasa seperti 20 km. Waktu tempuh tiga jam. Satu jam terakhir konturnya tanjakan tanpa henti. 



Saya berjalan kaki membelah perkebunan teh, menyisir rumah warga di pedalaman kampung Ciukir, menyebrang kali (harfiah di sungai, bukan lewat jembatan), menapak di pematang sawah, masuk leuweung, dan tanjakan demi tanjakan yang bikin jantung merosot. 


Selama di jalan saya mengutuk diri sendiri mengapa sign-in dalam tur ini. Hahaha. Berat badan dan kenyamanan kota membuat saya menjadi manusia urban yang menyebalkan: terpisah dari tanah berbatu, berjarak dengan jalan rerumputan, kesakitan saat lengan bersentuhan ranting-ranting pohon teh, takut dengan jalanan terjal bukit, dan khawatir tisoledat di rute menurun. 


Pada waktu itu saya pikir selamanya saya akan memilih tur jalan kaki di kota saja yang ada alfamartnya dan ada gojeknya. Memang di momen-momen traveling seperti ini kita bisa mengenal diri sendiri dan boundaries-nya.


Tapi apakah iya saya menyesali perjalanan ini? Mengapa saya mau datang lagi ke Gunung Padang Cianjur untuk yang ke-3 kalinya?


Terjawab sudah saat menginjakkan kaki di Gunung Padang Cianjur yang sangat memukau pemandangannya. Saya menepuk pundak diri sendiri. Terima kasih membawa saya pada perjalanan ini, Lu. Tidak menyesal. The beauty of gunung padang cianjur dan nostalgia berjarak 15 tahun meluluhkan rasa lelah dan pegal-pegal. 


Pukul dua siang, sinar matahari bengkok. Meski langit kelabu sejak pagi hari, tapi di gunung padang langit sebagian membiru. Awan bergumpalan. Angin berhembus pelan, anginnya menyisip ke sela-sela kerudung dan pakaian saya. Suara daun bergesekan. Mulut burung-burung berkicau. Semua yang saya dengar, lihat, dan rasakan di sana sangat menyentuh kalbu. Indah sekali. 


Ada beberapa orang seliweran, selain kami. Namun rasa tentram menyusup ke sanubari meski kamu tahu kamu tidak sendirian di sana. 



Pukul lima pagi saya memulai trip ini di Stasiun Bandung, jam tiga sore saya bersandar di rerumputan menatap langit dan membasuh wajah dengan energi gunung padang yang tidak kasat mata. Betul-betul terasa sebagai puncaknya perjalanan. Pukul empat sore kami harus beranjak kembali ke Stasiun Lampegan. 


Tahun 2011 muncul desas-desus gunung padang cianjur yang disebut situs kuno terbesar di dunia. Bagi saya ini situs yang menarik dan ya sudah berhenti di situ saja. Fakta bombastisnya yang viral -dan masih diperdebatkan itu- tidak berpengaruh terlalu signifikan secara pribadi. 


Namun karena perhatian dari pemerintah, peneliti, bahkan liputannya juga tayang di serial dokumenter Netflix, Gunung Padang Cianjur memanglah terawat pemeliharaannya. Berbeda sekali kondisinya di tahun 2007, saya harus ketok-ketok pintu rumah kuncennya, meminta izin naik ke gunung padang. Sekarang? saya itung ada enam pemandu yang siap sedia di pintu loket. Ya, bahkan ada pintu loketnya! 


Kekaguman saya ada pada pemandangan bukit ini dan energi yang entah bagaimana membuat saya merasa tentram dan sentosa hanya dengan berdiri/duduk/berbaring di sana. Semua bebatuan heksagonal bergelimpangan secara teratur, dikelilingi pepohonan. Perbukitan dan Gunung Pangrango bisa terlihat.  Indah sekali. 




Gunung Padang Cianjur terdiri dari lima undakan. Tiap undakan menandakan lima ruang.  Undakan ke-5 adalah yang tertinggi, ada bebatuan yang ditancapkan menyerupai nisan, entah itu makam ataukah bebatuan yang sengaja disimpan dengan formasi tertentu agar terlihat sakral. 


Di undakan ke-2 ada pohon kemenyan yang dilingkari tali. Tidak jauh darinya ada sesajen. Ada papan larangan berbunyi dilarang memakai alas kaki saat menginjakkan batu di sekeliling pohon tersebut. Begitulah kepercayaannya. 


Namun terlepas dari kesakralannya, kita bisa duduk bersantai di sini. Melepas lelah, membebaskan diri sendiri dari penat, mengisi tangki udara bersih ke paru-paru, atau membayangkan bagaimana kehidupan kuno berlangsung di gunung padang, sebelum kembali ke kota dengan terbengong-bengong dan terguncang, kembali pada kehidupan yang padat pekerjaan dan tayangan di layar kaca ponsel, tanpa henti. 




dokumentasi:

Foto 1-2-6 dokumentasi Cerita Bandung

Foto 3-4-5 dokumentasi pribadi

Bengong di Bis Metro Jabar Trans

10 April 2025

 Tempat terenak buat bengong adalah kamar mandi, kamar tidur, bangku kereta api, dan kursi bis. 



Hampir tiga tahun saya berstatus penumpang tetapnya bis umum bernama Metro Jabar Trans (MJT). Sebelumnya kami sebut dia Teman Bus. Warga kabupaten menyederhanakan nama bisnya menjadi Bis Tayo, merujuk pada tokoh kartun Tayo The Little Bus favoritnya anak-anak. Ongkos bis tidak pernah berubah, Rp4.900 saja jauh dekat. Pembayarannya juga masih sama, via QRIS atau tap in kartu. 


Dan entah sudah berapa banyak saya menulis cerita pengalaman menumpang bis MJT di feed instagram. Dari mulai yang paling klise tapi penting: kondisi halte. 


Hanya sedikit halte dalam koridor bis 3D yang saya tumpangi, layak disebut halte. Mereka adalah halte:

Merdeka

Alun-Alun

Terusan Buahbatu

Podomoro Park


Saya sebut layak karena di halte ada bangku, haltenya berbentuk halte ada atap buat berteduh dari panas dan hujan. Ada rambu-rambu lalu lintas. 


Total halte ada 30. Tidak sampai lima halte yang kondisinya layak. Mayoritas halte bis MJT tidak berbentuk dan hanya dapat kita lihat dengan mata batin. 


Becanda. Ada kok bisa kelihatan sediiiikit. Pertanda haltenya dari rambu-rambu halte, itu saja. Komunitas Transport For Bandung (FDTB) membantu dengan memasang poster kecil gambar rute bis dan nama halte. Yha! begitu saja. 


Kata warga sih "begitu juga udah untung". Sedih. 


Untuk memudahkan mencari halte kita bisa menggunakan aplikasi Mitra Darat. Saya mengandalkan aplikasi ini untuk tracking bis. Kebantu banget deh beneran, serasa quantum leap warga kabupaten menikmati layanan transportasi umum seperti ini. Makasih ya siapapun yang ngide bis Metro Jabar Trans di kementrian perhubungan dan dinas-dinas pemerintah. Gitu atuh beneran kerjanya kerasa sama kami rakyat yang bayar pajak. 


Terlepas dari sarana haltenya, bis MJT sangatlah menolong. Bisnya nyaman, bersih, dan dapat diandalkan. Banyak atau kosong penumpang bisnya tetap berjalan, dari subuh pukul lima hingga sembilan malam. Terutama lagi bagi perempuan seperti saya, menumpang bis MJT terasa aman. Sejauh ini di dalam bisnya saya aman tidur, aman baca, aman nonton (di hape, menggunakan earphone), dan tentu saja aman bengong. 


Di Sukabumi Beberapa Malam

06 February 2025

Dari Stasiun Sukabumi ke hotel di Jalan Siliwangi jaraknya hanya 1,4 km. Kita jalan kaki? tanya saya pada Indra. Iya, jalan kaki, katanya semangat. 




Otw Hotel


Yang tidak kami ketahui adalah kontur jalanan di kota tersebut nanjak (tanpa mudun). Bila di Bandung bayangkan berjalan kaki dari Gandok ke Siliwangi dan teruskan ke kampus Unpar di Ciumbuleuit. Sambil gendong ransel bekal nginap dua malam tiga hari. 


Keluar stasiun kereta api kami bertemu dengan Jalan Stasiun Timur yang astaganaga tanjakannya! Masih belum cukup kami berjodoh dengan Jalan Gudang yang masih nanjak juga. Hwarakadah! 


Napas mau putus rasanya tapi kami seperti kerasukan semangat pasukan galia jadi maju terus pantang pesan taksi online. 


Tiba di kamar hotel kami langsung terjun ke kasur. Semaput. 


Kalau kamu berpikir anjirlah segitu doang kayak mau mati, maka katakan hal yang sama pada dirimu sendiri saat kamu berusia paruh baya nanti yang baru aja selesai melakukan perjalanan dari pukul 8 pagi sampai 5 sore: naik bis, naik kereta, naik angkot, naik kereta, jalan kaki pake nanjak. Modyar.



Makan Malamnya


Makan-makan di sukabumi kami mampirnya ke restoran makanan chinese sebelah hotel. Rumah Makan Haroemsari namanya. Halal jadi kami sikat ayolah. 


Kami pilih menu ayam jahe, ifumi, dan kwetiaw. Hamdalah enak-enak semua khas masakan tionghoa yang beraroma bawang putih dan citarasa saos tiramnya. Hehe. 





Jajan Oleh-Oleh


Buat oleh-oleh kami belanja penganan tersohor ala sukabumi: mochi. 


Tentang kenapa mochi jadi kuliner khasnya saya pun tidak tahu. Yang pasti orang-orang keturunan tionghoa yang meracik makanan ini, begitupun tokonya milik mereka juga. Mulanya saya pergi ke toko mochi 39 yang cenah toko tua permochian di sukabumi. 


Sayang stok mochi mereka habis. Belum jam 12 siang loh padahal. Ternyata kita harus order dulu pagi harinya, gokil sih mochi limited judulnya. 


Jadi kami belanja ke toko Mochi A Yani. Bungkus mochi kacang aja seperti biasa. Enak gak? Enaaakkkk! hehe



Sekitar Stasiun Sukabumi


Setelah membungkus dua kotak mochi di Toko Mochi A Yani saya hanya perlu berjalan lima menit menuju Toko Nyonya. Menuju ke sana saya harus sebrangi satu perempatan jalan yang sibuk, angkot-angkot warna merah muda seliweran. Kota Sukabumi agak panas siang itu. 




Awalnya saya kira Toko Nyonya adalah toko kelontong, semacam toko serba ada. Saya akan masuk ke tokonya dan beli minuman botol di sana! Demikian rencananya. 


Sampailah saya di lokasi tujuan. Kulihat-lihat dan terbengong. Toko Nyonya bukan toko kelontong melainkan toko yang menjual pakaian dalam perempuan. 


Membeli pakaian dalam menurutku tidak bisa dilakukan secara spontan. Harus ada persiapan. Harus ada niat dari rumah. Jadi siang itu saya putuskan melihat tokonya dari luar saja. Besok-besok jika ada kesempatan ke Sukabumi lagi saya pasti sudah persiapkan diri belanja kutang atau celana dalam di Toko Nyonya.


Tahun 2025 dan seterusnya kami akan lebih sering jalan-jalan di Sukabumi. Ya sepertinya bakal begitu. 




Tulisan lainnya tentang Sukabumi

Menginap di Tanakita 

Menumpang kereta api dari Cipatat Bandung ke Sukabumi

Geotrek Dua Hari Tiga Malam di Ciletuh

Buku Kopi Dalam Kebudayaan Orang Sunda: Kopi Tutung, Sesajen, Pantun, dan Tembang

07 January 2025

Buku ini mengupas kopi dalam kehidupan sehari-hari dan pengaruhnya terhadap orang sunda. Menarik sekali membaca fakta perkopian ini. Dalam segelas air hitam kecoklatan ini ada cerita panjang dari era kolonialisme hingga zamannya anak skena. 



Atep Kurnia pada buku Kopi Dalam Kebudayaan Orang Sunda membahas kopi dari segala macam tinjauan sejarah. Ada kopi sebagai minuman. Juga ada kopi sebagai sesajen. Kopi adalah warna. Pun juga ada pembahasan tentang istilah 'ngopi' yang ternyata tidak sesimpel itu. 


Buku ini juga membedah kopi sebagai nama kawasan, seni pantun dan tembang, kopi sebagai rasa, dan tentu saja kopi sebagai sejarah imperialisme belanda. 


Pada kopi sebagai warna kita akan ketemu istilah seperti:

Wungu kopi, mendekati warna tanah

Kopi tutung, coklat tua


Penulis yakin (data based) kita lebih dahulu menggunakan istilah kopi tutung ketimbang menyebut istilah 'warna coklat'. 


Jenis tulisan dalam buku ini deskriptif semua dan pendek-pendek. Satu cerita terdiri dari 2-3 halaman.  Penulis menyertakan kesimpulan di akhir paragraf tiap bab. Bertabur data karenanya banyak kutipan.


Namun dalam buku ini tidak menyebut mengapa istilah ngopi ala orang bandung berbeda dengan ngopi ala orang sunda lainnya. 


Ngopi di bandung artinya nongkrong sambil menyantap makanan ringan, minumnya bukan cuma kopi, bisa saja air teh atau susu, atau apa saja. Di bandung kita bisa jajan di Ijan (warung susu murni) dan menyebutnya sebagai ngopi. Kita bisa nongkrong makan surabi dan minumnya teh hangat dan menyebutnya sebagai ngopi juga. 


Sedangkan di kota priangan lain (subang, purwakarta, bogor, sukabumi, tasik, ciamis, dan bbrp kota lain), ngopi adalah kegiatan yang harfiah, artinya sesuai nama: ngopi, minum kopi. 


Iya gak sih? Atau gimana nih di daerahmu, 'ngopi' artinya apa, beda gak dengan budaya ngopi ala warga bandung?


Kopi dalam Kebudayaan Sunda adalah buku ringan (tipis 147 halaman) dan konotatif (informasinya menarik dan tidak terasa berat). Menyenangkan bacanya. 


Ditulis oleh Atep Kurnia, buku ini merupakan karya cetaknya yang ke-4 di tahun 2022 saja. Tulisan Atep tentang sejarah dan budaya bisa kita baca di berbagai situs online, salah satunya @bandungbergerak.id. 


Cocok dibaca untuk para pemandu wisata, barista, anak skena, traveler kopi, traveler senja. Hehe. Bacaan ringan jadi sebetulnya cocok untuk siapa saja termasuk anak SD sekalipun. Buku-buku karya Atep Kurnia ukurannya selalu compact, praktis dibaca, membahas tema ringan dan data-based. Untuk perkenalan sejarah bandung, buku-bukunya layak baca dan koleksi, imho.  


Buku bisa dibeli langsung pada penulisnya di instagram @atepkurnia2020 atau pesan ke penerbit @penerbitlayung.