Social Media

Mudik After Three Years

24 May 2022

Mudik gak sama lagi artinya. Rumah tujuan saya sudah kosong. Ibu pulang kampung ke tanah kelahirannya. Ayah meninggal. Adik-adik sudah lepas landas alias sudah pada bekerja, tidak bermukim di rumah.


Dulu mudik ketemu orang tua. Kini mudik tujuannya untuk bertemu kerabat. Memperpanjang nama keluarga. 

 

 

Sepanjang usia hingga tahun 2018 mudik adalah ritual hari raya. Sekarang? agak garing terasanya. Tidak ada ketegangan berburu tiket mudik. Tidak ada huru hara membeli oleh-oleh. Tidak ada pertanyaan, "rencana kapan mudiknya?". Juga tidak ada ritual ngepak pakaian.

 

Garing. Persis seperti yang orang-orang selalu bilang: seperti kanebo kering. 


Namun tahun ini berbeda. Ibuku mengajak mudik dalam rangka urusan keluarga. Kami berangkat semua. Semuanya. Hanya kurang satu personel yang masih berjibaku di tanah Sumatera. Tiga hari dua malam trip keluarga ini berjalan, tentu saja ada dramanya. 


Kami menginap di hotel. Aneh betul ada rumah, yang mana besar ukurannya, tapi kami semua tidur di bangunan dan ranjang yang asing. Toh bagaimana lagi, rumah induk sudah kosong. Tidak ada lagi ranjang tempat saya dahulu mengompol sewaktu kelas 5 SD. Yap, fakta memalukan yang sudahlah bodo amat. Hehe. 


 

Rumah induk itu bernama Rumah Karangampel, rumah tanpa nama sebetulnya tapi saya beri nama saja di sini. Dua pohon mangga besar menaungi halaman depan, tampak (dan memang) adem jadinya. Pohon mangga ini berumur sama dengan rumahnya. 32 tahun. Mangga Cengkir dan Mangga Harumanis. 


Bagaimana menjelaskan sensasi yang saya alami saat saya kembali masuk ke dalam rumah yang kosong ini ya. Rasanya dalam hati ikut kosong juga. Kamar tidur apalagi. 


Kamar di mana saya membaca surat cinta dari kakak kelas. Tempat saya belajar dan menulis, mendengar berbagai kaset dari Spice Girls, Rhoma Irama, SO7, dan The Beatles. Lokasi ternyaman untuk membaca. Tempat yang membuat saya 'asyik sendiri'. Itulah yang terasa paling, paling apa ya, paling melangut.


Di ruang tamu sudah tidak ada sofa. Hanya tersisa satu lemari raksasa yang menua. Sudut-sudutnya patah, pintu rak copot. 


Di ruang meja makan lebih hampa lagi. Kosong semua. Ada lampu kuno menggantung miring. Rak sepatu debunya tebal. Kursi-kursi antik yang terlalu besar ukurannya buat orang-orang yang rumahnya milenial seperti saya, tidak terangkut. 


Saya foto semua titik di rumah ini, dari pintu gerbang sampai kamar belakang. Semuanya. 


Berada di sana dan menelan berbagai memori yang melintas tidak membuat saya sedih. Justru saat harus kembali ke Bandung terasa mulai sedihnya. 


Bukannya saya ingin tinggal lagi sana, saya sudah tidak kerasan dengan cuaca pantura yang panasnya tajam. Hanya saja, berada di rumah itu membuatku merasa tua dan hampa. Dan agaknya menyedihkan juga saya tidak menyukai udara panas di Karangampel sementara udara ini yang ikut membesarkan saya. 

 

 


Pengalaman dengan Karangampel membuatku teringat novel berjudul Semasa. 


Di halaman 101 dalam novel tersebut Bibi Sari berkata: hidup memang seperti itu, kamu melepaskan sesuatu, lalu memulai sesuatu. Rumah ini, bagaimanapun, ya benda mati. Yang hidup itu kenangan di dalamnya, juga alasan-alasanannya berdiri. Semua kedekatan emosional yang muncul darinya, juga terhadapnya, itu tidak akan lepas, tidak akan hilang. Aku akan memegangnya terus-menerus, memeluknya di hatiku, sampai kapan pun.


Post Comment
Post a Comment