Social Media

Berkunjung ke Situs Batulonceng yang Sunyi di Lembang

03 February 2017
Gak ada niat kembali mengunjungi Situs Batulonceng untuk kedua kalinya. Tapi takdir mana tahu ya. Ternyata saya balik lagi ke sini. Bila tahun 2009 saya datang ke sini di musim kemarau, tahun ini bertemu lagi dengan Batulonceng di musim hujan, tepatnya mah sehari setelah Imlek (29/1/2017).  Tujuan mengikuti kegiatan komunitas Lembang Heritage ini mau jalan-jalan saja, ajak Nabilkubil hiking walau sebentar.




Sehari setelah Imlek, musim hujan baru benar-benar terasa di Bandung. Dingin dan berangin. Mau berangkat saja tertunda-tunda karena hujan. Padahal niatnya mau berangkat jauh lebih pagi. Mau makan sate kelinci di Tahu Tauhid dan yang paling penting mah gak mau kena macet akhir-minggu-Lembang. Tapi lagi-lagi takdir mana tahu ya. Berangkat dari rumah terlalu siang, kena macet di dekat Farmhouse dan masih hujan. 

Sampai juga di Tahu Tauhid dengan perasaan was-was takut ditinggal. Tahu Tauhid adalah lokasi peserta jelajah berkumpul sebelum berangkat ke Kampung Batulonceng, 15 km dari pusat kota Lembang. Patungan uang dan sewa dua angkot, kami berangkat ke Batuloceng. Kondisi jalannya buruk. Sebentar aspal, sebentar tanah. Di Maribaya jalannya berbatu-batu. Masuk ke Cibodas, sudah saja jalannya tanah semua. Ya menurut saya sih buruk untuk jalan sekelas Lembang ya jadi idola pariwisata yang kesohor. 

Berkelok-kelok jalannya, sampai di pertigaan kampung. Khas pisan lah pemandangannya. Kebayang kayaknya dulu pertigaan jalan Setiabudi-Cipaganti teh dulu begini ☺ Ada perbukitan, perkebunan, jembatan kecil, dan warung. Sudah terlihat Kampung Batuloncengnya. Kami berada di Patahan Lembang.

Gak ada angkutan umum di sini selain Ojeg. Angkot dari Lembang berhenti di Terminal Cibodas. Jauh lah, kalau minimarket pertanda peradaban modern di zaman sekarang, nah di sini mah gak ada minimarket. 

Berjalan kaki menuju Kampung Batulonceng Desa Suntenjaya, udaranya dingin sekali. Sudah lama tidak mengalami kedinginan macam ini di Bandung. Gak bawa jaket, gerimis turun. Kabut merayap di pucuk-pucuk perbukitan. Seandainya Bandung tiap hari cuacanya begini, saya mungkin bakal 30 kg lebih berat dan asma Indra kambuh tiap hari ☺ 

Bau kotoran sapi dan kuda menyeruak. Amboi sedapnya, tapi mual kalau lama-lama menciumnya. Saya ingin jalan bergegas, tapi membawa anak kecil jalan-jalan begini memang membuat kaki serasa dirantai. wkwkwkwk ☺ 

Berjalan di Kampung Batulonceng, melewati rumah-rumah kayu dan beton. Dahulu ke sini, rasanya rumah kayu semua. Sekarang ada yang rumah tembok, apa mereka tahu mereka berada tepat di jantung Patahan Lembang ya? Patahan ini kan kapan saja bisa terguncang gempa skala besar. Euuhh melihat rumah tembok dan membayangkan gempa saya sudah merinding. Gak ada papan petunjuk evakuasi di sini. Gak ada peringatan tentang bahaya gempa. 

Dari Kampung Batulonceng perjalanan ke situsnya memakan waktu 30 menit saja. Atau lebih sedikit. Jaraknya hanya 1 km saja, begitu kata Pak Maman. Jalan setapaknya basah dan licin. Susah juga jalan nanjak dan tiap waktu bisa terpeleset jatuh. Jarak sependek satu kilometer saja terasa bagai dua kali lipatnya. 

Ada sekitar 20 orang lebih berjalan kaki bersama-sama. Mereka jalan kakinya seperti mudah saja, enteng seperti melayang. Pada perjalanan pergi dan pulang dari Situs Batulonceng, saya dan Indra terseok-seok paling belakang bersama Malia, koordinatornya Lembang Heritage. Saya jatuh. Indra jatuh. Malia juga jatuh hahahaha. Memang senang menertawakan orang jatuh, tapi diri sendiri yang jatuh ya sakitnya gak enak banget. 

Situs Batulonceng sama kondisinya dengan kebanyakan situs yang saya datangi dan letaknya di dalam hutan. Semacam tempat-tempat yang mencerminkan budaya sakral yang kita anut. Ada keteduhan, ada kesepian, ada energi yang aneh gitu. Mistis dan misterius. Mirip Hutan Larangan. Banyak pohonnya, ada dua atau tiga pohon raksasa, dan ada makamnya.

Pohon paling besar namanya Kalimlorot, begitu kata Pak Maman. Pohon Saninten nama umumnya mah. Buahnya sama kayak Rambutan tapi jangan dipegang dengan tangan kosong, alamak itu rambut di buahnya tajam seperti duri. Jangan langsung digigit juga ntar sakit berdarah euy kitanya. Harus langsung dibelah sama pisau atau golok sih. Itu kan buah kesukaan monyet, monyet makannya gimana ya, mereka belah buahnya pake batu kali ya?

Kembali ke Situs Batulonceng.

Batulonceng itu bentuknya seperti lonceng. Bisa gitu bentuknya bisa jadi karena bekas bom waktu penjajahan Belanda. Begitu Pak T. Bachtiar (geograf, penulis buku Bandung Purba) bilang. Kalau diperhatiin batunya seperti patung anak kecil setengah badan tanpa kepala. Kecil kok ukurannya, tapi kalau diangkat beeeuhhhh berat luar biasa edan parah beratnya! 

Ada lagi batu lainnya. Batu Kujang namanya. Bentuknya mirip keris kujang, ukurannya lebih tinggi. Berat enggaknya mah saya gak tahu karena gak nyobain angkat batunya karena bentuk dan posisinya kayak gak mungkin diangkat gituh. 

Kedua batu ini dikeramatkan. Bila dulu hanya Batulonceng yang terlindung dalam sebuah pondok, sekarang mah ada pondokan baru, lokasi di mana Batu Kujang berada. Baru lima tahun sih rumah untuk Batu Kujang ini dibuat. Kata Pak Maman mah maksud pondokannya biar yang datang untuk berdoa di sini gak kehujanan. Tapi menurut saya mah sayang juga sih, karena dulu waktu ke sini, area sekitar Batu Kujang ini tempat cahaya matahari masuk. Batulonceng yang dulu saya datangi jauh lebih terang dan segar. Dari titik Batu Kujang ini berdiri, kita bisa lihat pemandangan ke arah perbukitan lainnya. 

Batulonceng dan Batu Kujang banyak mitosnya. Kalau secara ilmu pengetahuan yang saya tahu dari uraian T. Bachtiar (geograf, penulis buku Bandung Purba), Batu Kujang itu menhir. Batu pemujaan manusia purba, asalnya dari zaman megalitikum. 

Setiap puncak bukit, menurut Pak Bachtiar, ada peninggalan megalitikumnya. Dari lokasi Situs Batulonceng berada kalau ditelusuri sampai ke Bukit Tunggul, ada peninggalan megalitikum juga di sana dengan skala yang lebih banyak dan lebih luas.

Kembali ke jalan utama, saya melewati jalan yang berbeda. Ada lebih banyak pohon kopi di sini. Jenisnya arabika. Di sekitar daerah Cibodas-Lembang ini emang banyak perkebunan kopi. Di akhir perjalanan kami diajak makan siang dan beristirahat di Kafe Arjuna, warung kopi sekaligus produsen kopi.

Pertahunnya produksi kopi Kopi Arjuna mencapai 60 ton. Selain punya kebun kopi sendiri, pemiliknya juga bekerja sama dengan banyak petani kopi. Salah satu suplier kedai kopi terkemuka merek st*rb*ck ini memenangkan penghargaan juara favorit ke dua di ajang West Java Cofee Festival 2016. Kalau kamu sedang berada di Lembang dan ingin merasakan kopi yang rasanya orisinil, nah ke Kopi Arjuna aja. Tinggal googling, alamatnya ada, petunjuk arahnya ada. Tempatnya mah biasa aja, tapi tempat kayak gini biasanya juara kalau soal rasa. Nu resep kopi geura angkat kaditu ☺

Dipikir-pikir kenapa ya Lembang ini. Banyak wahana wisata rekreasi yang sifatnya senang-senang dan heboh, semuanya disukai turis. Ngehits banget lah pokoknya. Tapi kalau melihat Lembang lebih dekat ada Situs Batulonceng yang sunyi, ada perkebunan kopi, dan ada kualitas kopi di secangkir Kopi Arjuna. Diintegrasi itu semuanya bisa jadi paket wisata yang lebih 'kalem' dan berisi. Kalau datang ke De Ranch dan Farmhouse dianggap rekreasi melepas penat, ikutan jalan-jalan model begini buat saya jauh lebih rekreatif.

Kalau mau baca perjalanan saya lainnya bersama Lembang Heritage , tinggal klik di sini ya. 













Pintu masuk Situs Batulonceng
Rumah Batulonceng


Kuncen Situs Batulonceng, Pak Maman. Di sebelahnya adalah Pohon Saninten

Pohon Kopi Arabika 






Teks : Ulu
Foto : Indra, Ulu. Difoto dgn Lenovo A6000, edit dgn VSCO
8 comments on "Berkunjung ke Situs Batulonceng yang Sunyi di Lembang"
  1. lumayan juga perjalanannya,
    luamayn capek bayangin jalan naik turun 1 kilo he.. he..
    tapi demi rasa pensaran liat Batulonceng dan pemandangan cantik ya sepadanlah

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo saya udah pernah ke sini duluan, udah tau bakal gimana. hehehe. sekarang malah bukitnya banyak yang dijadiin kebon euy kasian, gak selebat dulu hutannya.

      Delete
  2. Lain kali ajak aku atuh teh ulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya suka lupa ngajakin orang. makanya saya taro link Lembang Heritage. kalo mereka ada acara lagi, suka ada pengumumannya. tinggal join grupnya biar gak ketinggalan acaranya. jadi, silakan join grupnya, tinggal klik hehehe.

      Delete
  3. Foto-fotonya Mbak Ulu mah memang keren pakai banget... tone-nya dapet banget kalau saya bilang. Sunyi dan misteriusnya juga terasa dari gambar-gambarnya. Apalagi kampungnya yang jauh dan tak tersentuh padahal Lembang kan terkenal sekali ya. Selalu dan tetap saja ada memang sesuatu yang ada di sudut dan tak terganggu di setiap daerah pariwisata.
    Kira-kira ada kaitannya nggak ya antara Situs Batulonceng ini dengan Sesar Lembang? Sepertinya masyarakat zaman dulu sudah maklum bahwa Sesar Lembang ini salah satu keajaiban alam sehingga mereka mendirikan menhir sebagai sarana pemujaan. Mungkin supaya alam nggak terlalu kejam merusak jika suatu hari ada bencana gempa, hehe. Menarik ini situsnya. Dari kenampakannya masih banyak rahasia yang tersembunyi. Kalau mau berkunjung kita tinggal hubungi Pak Maman ini, ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow Gara, terima kasih banyak :)

      Nah saya gak tahu tentang ada hubungan gak sesar lembang dengan situsnya, Gara. Coba bentar saya tanya Pak Bachtiar dulu ya. Kalau di daerah Priangan di puncak-puncak bukitnya emang selalu ada Menhir, tapi setahu saya bukan karena mereka tahu ada fenomena alam kayak gempa gitu.

      Iya betul hubungi dulu Pak Maman di Kampung Batulonceng Desa Suntenjaya. Beliau yang pegang kunci gerbang ke situsnya.

      Delete
  4. di Pekalongan lagi rame area situs megalitikum. katanya sih berapa hektar gitu teh. aku belum kesana.
    btw, jemuran difoto jadi artistik pisaaan

    ReplyDelete
  5. Nuhun artikel nya.
    Saya sampai di artikel ini karena nyari tulisan tentang kopi Arjuna.
    Berniat mengantarkan anak untuk belajar menjadi barista di kafe ini.

    ReplyDelete