Tulisan pertama untuk blog ini di tahun 2017. Mood ngeblog lagi gak bagus, hilang gitu. Jenuh, mungkin. Sekarang sedang menyibukkan diri dengan pekerjaan saja. Memberi jarak dengan blog sendiri, supaya kembali dengan kondisi semangat. Dan semangatnya mulai muncul dikit demi sedikit. Hehehe.
Bila kamu memiliki akun Instagram, di sanalah kabar Bandung Diary secara berkala masih dapat diikuti selama blog ini hiatus hampir tiga minggu.
Awal Januari kami plesir ke Cirebon dan Indramayu. Sudah niat ingin menyusuri bangunan tua di Cirebon, senangnya misi tersebut dapat tercapai. Cirebon memiliki banyak rumah kuno yang aduhai istimewa nian rupanya.
Kembali ke Bandung.
Beberapa hari setelah kembali dari Cirebon, kami hiking menyusuri rute Maribaya di Lembang ke Dago Pakar. Sengaja, ingin menghirup lagi udara pegunungan yang sejuk dan asri meski nampaknya sebagian dari trek yang saya susuri itu sudah gak seasri dulu.
Saya menyempatkan diri berkunjung ke Museum Pendidikan Nasional. Juga akan menulis resensi sebuah hotel lama yang super recommended yang terletak di Dago. Ah saya juga pernah berjanji akan memaparkan beberapa buku yang saya baca di tahun 2016, tanggal sudah bergulir ke angka 22 di tahun 2017 dan janji tersebut belum saya tunaikan.
Pukul delapan malam minggu, sedang suntuk kami bertiga ingin jalan-jalan santai. Karena sedang butuh raket tenis (bekas saja), kami datang ke sebuah toko barang bekas yang berlokasi di Jalan Riau. Rumah tua, barang-barang bekas semua. Bbrrrrr....saya meremang di lantai dua. Serem :D Barangnya bagus-bagus, mungkin kami akan kembali. Perkara seramnya mah bumbu saja hehehe.
Tahun ini ada beberapa kota yang ingin (sekali pake banget kuadrat sepuluh!) saya sambangi. Semoga tercapai.
Seminggu yang lalu, saya mengikuti workshop fotografi khusus Human Interest yang dimentori oleh fotografer kawakan Budhi Ipoeng. Saya gak sengaja ikutan acara ini, karena diajak seorang teman baik saja. Namun saya sangat senang karena paparan Pak Ipoeng tentang fotografi sangatlah menyenangkan dan membuka cakrawala saya akan tema human interest. Selalu membahagiakan mendengar kisah dan petuah dari fotografer yang lahir di zaman kamera analog. Sejenis orang yang menganggap kamera bukan barang keren tapi sebuah alat saja, media untuk berkarya. Orang-orang yang menerapkan praktek one-shoot-one-kill. Orang yang pernah motret secara profesional dengan roll film. Nanti saya ceritain ya apa yang Pak Ipoeng bahas di workshopnya, di artikel khusus #photographytalk.
Playlist akan saya tambah. Lagunya ya masih gitu-gitu aja hahaha.
Di Instagram, saya mengikuti perjalanan seorang teman di Jepang. Pimpi nama teman saya. Dia memiliki usaha craft shop di Indonesia, Sawo Kecik namanya. Kalau melihat hasil karyanya, buat saya Pimpi adalah seorang seniman. Dia sedang mendalami teknik Katazome (browsing sendiri Katazome apa ya :D). Kalau baca di akun IG miliknya, Pimpi cerita sudah menerapkan teknik ini pada prakarya yang ia buat setahun belakangan. Dan awal Januari lalu dia ke Jepang untuk belajar Katazome. Serunya melihat perjalanan Pimpi. Datang ke kota-kota kecil untuk berguru pada sensei-sensei yang juga khusus berkarya dengan Katazome. Seneng aja gitu baca ceritanya Pimpi yang tulus, happy, dan memberi sudut pandang baru pada sebuah kegiatan bernama traveling. Jenuh lihat orang-orang unggah foto pemandangan epik dan menclok ke sana-sini dengan tujuan jalan-jalan tok pengen kekinian lah, pengen bertualang lah :D Baca ceritanya Pimpi mah beda, saya jadi agak malu juga sih karena jadi refleksi ke diri sendiri saya traveling buat apaan. Hahaha :D apeeeuuu.
Hmmm... apalagi ya....
Oh iya. Jadi beberapa hari lalu saya dalam perjalanan dari utara Bandung ke selatan. 28 km saja jaraknya. Sore waktu itu sangatlah dramatis. Gradasi warna kuning, merah muda, dan oranye bersatu dengan warna kelabu dan putih. Senja yang indah, lembayung yang magis.
Terpikir untuk menghentikan kendaraan yang sedang Indra pacu. Tapi sedetik kemudian saya berpikir, kenapa segala yang saya lihat harus saya foto. Buat apa. Mau dimasukin ke IG? terus kalau udah diunggah apa yang saya rasain, seneng? bangga?
Terus saya diam saja. Kendaraan melaju, lembayung tertarik berkebalikan arah dengan saya. Berkas-berkasnya masih ada dan tajam warnanya. Lalu saya teringat ayah saya. Dua tahun lalu beliau wafat, tiap kali saya melihat pemandangan-pemandangan magis seperti senja itu, saya selalu ingat padanya. Memang agak aneh, kontradiktif sekali. Pemandangannya indah, tapi sayanya sedih. Saya suka mikir kalau ayah saya ada di sana sekarang, di angkasa, di lautan, di pucuk-pucuk pepohonan yang tinggi dan rindang. Indah tapi tak tergapai, hanya bisa dirasakan saja.
Ya mungkin sama seperti kalau sedang hujan dalam keadaan ideal, menimbulkan perasaan romantis. Namun yang saya rasakan seiring bertambah umur, romantis adalah istilah yang banyak sayapnya. Iya, Januari ini saya bertambah tua.
Selamat hari lahir, Ulu.
Teks : Ulu
Foto : Ulu
wah selamat ulang tahun ya teh ulu.. sukses terus ;)
ReplyDeleteaku baru baca, barokalloh ya teh. aku bacanya meresapi banget kayak baca novel. aseli...ada hawa lain *assek
ReplyDeletesoal sawo kecik, aku tahunya di twitter atau fb gt,,tahun lalu. okedeh meluncur ke IG nyaaa
Selamat ulang tahun ya Ulu, keep inspiring and happy..
ReplyDelete