Social Media

Ramadan Tempo Dulu di Bandung (History Walking Tour Bersama Best Western Premier La Grande Bandung Hotel dan Komunitas Aleut)

17 June 2017
Masjid Lautze-2 di Jalan Tamblong. Membaca nama masjidnya, sudah terbayang belum ini masjid bentuknya seperti apa?

Untuk ke dua kalinya saya melaksanakan ibadah sholat di masjid yang mungil dan kental nuansa tionghoanya ini. Pertama kalinya di tahun 2009. Ke dua kalinya masuk Masjid Lautze-2 baru saja seminggu yang lalu. 

Saya gak pernah menyengajakan diri masuk ke Masjid Lautze-2. Pasti ada aja alasannya datang ke masjid ini. Kalau dulu dalam rangka taraweh keliling dengan teman-teman, kedatangan minggu lalu (13/6/2017) dalam rangka mengikuti perjalanan pendek bertajuk Ramadan di Bandung. 

Masjid ini menjadi titik pertama perjalanan pendek yang saya hendak ikuti tersebut. Organisator acaranya Best Western Premiere La Grande Hotel. Pemandu perjalanan adalah Komunitas Aleut. Pengisi acaranya teman-teman media (wartawan media cetak dan daring, fotografer, blogger), Mojang Jajaka Bandung, Koko Cici Bandung dan Jakarta, dan adik-adik dari Panti Asuhan.  


Ramadan di Bandung adalah perjalanan pendek selama lk. 2 jam menyusuri tempat-tempat yang berhubungan dengan Ramadan di Bandung tempo dulu. Komunitas Aleut mengajak kami berjalan kaki dari Masjid Lau Tze-2 di Jalan Tamblong dan merentang jalan hingga ke Masjid Al Imtizaj Jalan ABC. 

Di akhir acara, kami berbuka puasa di restorannya Best Western Premiere La Grande Hotel. Nyammm menu berbuka puasanya melimpah ruah dan sedap-sedap rasanya. Hohoho. 

Di antara kedua masjid yang menjadi titik pertama dan terakhir rute Ramadan di Bandung ini, tentu saja kami melewati Alun-alun. Satu tempat legendaris yang selalu disebut namanya bila berhubungan dengan (Ramadan di) Bandung ada di sini: Masjid Agung. 

Irfan Teguh, pemandu dari Komunitas Aleut, bercerita banyak tentang Ramadan di Bandung pada zaman kolonial. Saya dengar sepotong-sepotong ceritanya karena teralihkan fokus sebab pengen moto-moto juga. Semacam berusaha menyimak penuturannya dengan telinga tapi mata ini jelalatan ke mana-mana heuheuheuheu. 

Bagian paling menarik dari cerita yang disampaikan Irfan adalah tentang acara buka puasa bersama di Masjid Agung dan kegiatan menghisap candu di kampung arabnya Bandung (bagian candu ini baca di sini ya). 

Dahulu di Bandung acara buka puasa bersama udah kayak kenduri. Banyak makanan, mewah-mewah pula menunya. Bukan cuma menu takjil tapi juga menu makanan berat. Sebenernya bukan pengurus masjid banyak uangnya. Karena menu buka puasanya hasil udunan warga Bandung kok. Ada yang nyumbang daging sapi, kerbau, ayam, dll. Ada yang ngasih nasi. Gotong royong banget lah. 

Terus asisten residen (baca: pemerintah kolonial) protes. Ngapain lah tiap hari makan-makan udah kayak pesta pora begitu. Diprotes pemerintahnya sendiri, akhirnya warga Bandung mengalah. Menu makanan berat dihapus, diganti menu-menu ringan ala takjil. 

Irfan menceritakan ulang kisah yang ia baca dari buku-buku tentang Bandung. Dari bukunya Us Tiarsa (Basa Bandung Halimunan), Haryoto Kunto (Ramadan di Priangan), dan banyak buku lainnya. Ah banyak sekali buku yang dia baca nampaknya. 

Saya inget pernah baca di bukunya Pak Kunto (cmiiw). Dahulu anak-anak ngabuburitnya di Balaikota. Bikin perahu dari kertas, di kertasnya mereka taro lilin. Api lilin dinyalakan, perahu dihanyutkan di selokan (sungai) sisi Balaikota. Membayangkannya saja saya pengen lihat langsung sore-sore di Bandung 80 tahun lalu... syahdu banget kali ya lihat perahu-perahu kertas dengan nyala api itu hanyut terbawa arus air yang tenang.  

Dibanding kampung halaman saya sendiri, Bandung memang terlampau nyaman untuk 'dipake' berjalan kaki sore-sore. Iya sih sekarang tambah macet dan cuaca Bandung makin panas, tapi kalau kamu pernah tinggal di Cirebon ya, cuaca di Bandung sekarang gak ada secuil-cuilnya panas ala kota pesisir :D 

Puas-puasin tinggal di kota kayak Bandung. Keluar rumah lebih sering. Jalan kaki lebih banyak dan lihat lebih dekat. Apalagi ada yang mewadahi kegiatan kayak gini macam Komunitas Aleut. 

Terima kasih udah ngajak saya jalan-jalan, Best Western Premiere La Grande Hotel. Terlepas dari acaranya, senang rasanya melihat ada kolaborasi antara sebuah hotel besar di Bandung dengan komunitas sejarah. Mudah-mudahan ada lebih banyak kolaborasi kayak gini biar gak pada jalan sendiri-sendiri :) 

Nginep di Bandung, paling strategis memang di Best Western Premiere La Grande Hotel. Ke mana-mana dekat radiusnya jalan kaki. Terus jalan-jalan di Bandungnya coba sesekali intip jadwalnya Komunitas Aleut di akun Instagramnya, siapa tahu bisa ikutan menjelajahi Bandung dari sisi yang berbeda bersama mereka. 



















Teks: Nurul Ulu
Foto: Nurul Ulu, difoto dengan Canon dan Lenovo

2 comments on "Ramadan Tempo Dulu di Bandung (History Walking Tour Bersama Best Western Premier La Grande Bandung Hotel dan Komunitas Aleut)"
  1. Jalan kaki di bandung itu asyik sebenernya. Tapi liat2 jalannya dulu. Banyak juga ya ternyata yg adem banyak pohon gitu mbak.

    ReplyDelete