Social Media

Menyelipkan Misi dalam Catatan Perjalanan

26 May 2017
Apa teman-teman juga ngeblog seperti saya? Bila iya, apa blognya bertema wisata?

Banyak ya blog yang sekarang temanya khusus tentang wisata. Blog yang sedang teman-teman baca ini pun -Bandung Diary- topik utamanya wisata.

Wisata macam-macam jenisnya, dari kuliner, alam, sampai dengan wisata buku, sejarah, budaya, olahraga, religi, dan masih banyak lagi kategori turunannya.

Kalau disuruh milih kategori yang paling saya sukai, jawabannya dua saja: sejarah dan budaya. Sukanya jalan-jalan sih, kalau tema jalan-jalannya sejarah dan budaya, wuih saya tambah cinta.

Bagi yang hobi menulis, blog adalah salah satu media terkini untuk menuangkan gagasan atau curahan hati. Bonus terbesarnya dari media yang terhubung ke internet kayak blog : kita bisa share ke khalayak umum.

Ya sama, hobi saya menulis juga. Catatan jalan-jalan saya ada di blog. Bila dulu menulis sebatas ruang antara saya dan tulisan sendiri, sekarang ada ruang untuk pembaca. Kita bisa bersuara dan dibaca orang banyak. 


Kenapa Wisata Sejarah dan Budaya?

Di umur saya yang ke 30, setengah hidup saya habis di Indramayu dan Cirebon. Setengahnya lagi di Bandung. Bagian terbaiknya adalah saya bisa melihat dua budaya dari dua sisi.

Sisi yang terlampau cuek ala orang pesisir dan sisi yang kelewat halus ala orang gunung. Dua budaya ditempa alam, hasilnya beda-beda. Bila tidak mengenalnya memang lebih mudah berprasangka, tapi kalau sudah tahu dalam-dalamnya, alamak indahnya perbedaan ini. Hihihi.

Terus gimana caranya mengenal dua budaya itu? Ya turun ke jalan. Temui banyak orang, kenalan dengan beragam orang, baca sejarahnya, makan menu khasnya, dan datangi situs-situs legendarisnya.

Mengenal sejarah Bandung sudah lebih sering saya lakukan. Maklumlah posisi di Bandung, ya paling gampang jelajah daerah sendiri saja. Mencari tahu di mana titik pertama kota Bandung, membaca sejarah perkebunan yang menyangga ekonomi perkotaan, mengenal kehidupan menak-menak Priangan (termasuk Bandung), dan masih banyak lagi.

Makin banyak tahu, kian penasaran saja rasanya. Pertanyaan yang terjawab menggiring saya pada pertanyaan lain.

Ke kota lain sih gimana? Masa Bandung aja.


Tergantung kondisi tabungan. Hehehe. Yaiyalah traveling juga butuh biaya. Makanya paling gampang jelajah kota sendiri, biayanya bisa diminimalkan :D hihihi.

Saya usahain paling tidak satu kali dalam satu tahun menyempatkan diri melihat budaya lain di kota lain. Termasuk kota asal muasal saya.

Awal tahun ini saya pergi ke Cirebon. Satu kali kunjungan masih kurang, dua kali menggenapkan. Di antara seporsi Empal Gentong dan Nasi Jamblang yang nikmat, saya singgah ke masjid-masjid kuno dan berjalan kaki dari Kampung Arab sampai Keraton Kanoman.

Berbekal buku-buku yang saya baca sebelum berangkat, saya menyusun rute kunjungan. Walau saya sadar baru secuil saja yang saya ketahui, tapi bisa mengenal lebih dekat sejarah dan kehidupan religi di Cirebon rasanya menyenangkan.

Ketemu orang yang beda budaya tuh jadi tahu dan paham kalau, misalnya nih kenapa orang sunda kebanyakan (terutama yang di pegunungan) super ramah dan senang senyum, kenapa orang di pesisir cenderung cuek dan kalau ngomong langsung ke poinnya, kenapa orang di Timur tidak makan beras, kenapa di Aceh Islamnya kental, dan lain-lain dan masih banyak lagi. 


Menulis Catatan Perjalanan, Menulis dengan Misi 4 Pilar

Bagian klimaksnya dari hobi jalan-jalan saya adalah menuangkan kisahnya dalam sebuah catatan. Sebelum menulis, kita pasti mikir dulu dong. Apa sih yang mau ditulis. Pengalaman macam apa yang mau kita sampaikan pada orang lain.

Ada pesan dalam tulisannya gak?
Ada gagasannya gak?
Atau murni mencurahkan hati saja bertutur kesan selama berjalan?

Intinya sih sesekali bolehlah menulis dengan misi secara disengaja.

Misinya apa aja? Ya bisa apa aja: curhat, kampanye politik, promosi produk, membuat citra, mencari uang, pengen terkenal, ya apa aja bebas :D

Misi blog Bandung Diary apa? Nyuruh orang jalan-jalan hahahaha. Ya gampangnya gitu sih. Tapi kalau mau dikerucutkan lagi, misi saya bantuin orang jalan-jalan, gak cuma di Bandung tapi juga di kota lain.

Gak cuma bantuin orang jalan-jalan, saya juga pengen cerita. Pengen memberi tahu orang lain tentang apa yang saya lihat dan apa yang saya rasakan dalam perjalanan. Semacam FOMO lah, sindrom Fear of Missing Out alias saya harus tahu duluan dan orang lain harus tahu dari saya. Ahehehehe milenial speaking *milenial macam apa umurnya 30 tahun hihihi* Ya intinya sih saya seneng cerita dan saya mau ceritain ke orang lain. 

Berhubungan dengan konsep membuat misi dalam tulisan tersebut, saya menemukan hal baru dalam acara Netizen Bandung Ngobrol bareng MPR RI yang berlangsung di Hotel Novotel Bandung. Lucunya sih hal baru ini sebenarnya hal yang lama juga. 

Hal barunya bernama 4 Pilar.
Hal lama bernama menulis dengan misi.

Dalam diskusi bersama MPR RI (20/5/2017) dan para para blogger dari Bandung, saya diajak untuk menulis dengan misi khusus, yakni mensosialisasikan 4 Pilar MPR.


Pesan Persatuan, Pesan 4 Pilar MPR RI

Sebentar. 4 Pilar MPR itu apa?

4 Pilar tuh semacam pegangan kita sebagai warga negara Indonesia. Secara kita ini terbentuk dari ribuan pulau, ratusan bahasa daerah, macam-macam agama. 

Dibangun dari perbedaan, lantas modalnya menyatukan perbedaan itu dengan apa?Dengan 4 Pilar. Apa aja 4 pilar yang dimaksud?

NKRI
Bukan sekadar singkatan, Negara Kesatuan Republik Indonesia artinya beragam suku dan bahasa, Indonesia disatukan oleh tujuan dasar yaitu merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. 

UUD 45
Pedoman dalam kehidupan bernegara.

Pancasila
Ideologi negara Indonesia yang mengakui ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.

Bhineka Tunggal Ika
Semboyan negara Indonesia yang mempertegas keberagaman dalam persatuan.


Kalau dibaca sekilas sebenarnya sederhana banget ya. 4 Pilar itu kan kita pelajari di sekolah dasar. Tapi apa kita sudah benar-benar memaknainya dalam kehidupan sehari-hari? Jangan-jangan cuma teori aja, prakteknya gak ada.

Atau sebaliknya, sebenarnya kita udah praktekin tapi tak tahu kalau kebaikan yang kita lakukan berlandaskan 4 Pilar. 

Kayak saya yang setengah sunda setengah jawa plus muslim juga, ketemu orang batak marganya ginting dan agamanya katolik. Kan benturan budaya lagi tuh. Apa saling marah-memarahi? Saling menghindar karena alasan beda agama doang? Kan enggak. 

Atau misalnya pas saya lagi jalan-jalan ke Cirebon dengan Indra suami saya yang orang sunda. Terus kami sholat Dzuhur di masjid terdekat lokasi kami berkeliaran. Masuk pelataran masjid, banyak orang sedang beristirahat. Bertatap muka dengan mereka, Indra memberi senyum kepada orang-orang yang ia tidak kenal. Orang yang ia beri senyum membalas senyum tidak? Ya tidak :D

Terus kami baper gak karena udah senyumin malah gak dibales senyum? Ya enggak atuh.

Orang Sunda mah di mana-mana memang defaultnya senyum melulu, tapi orang Cirebon gak selalu sih. Ada alasan kenapa kayak gitu. Kalau dijembrengin satu-satu alasannya secara sejarah dan budaya ya panjang. Tapi intinya sih perbedaan kayak gitu harusnya gak mesti jadi ribut lah. Beda budaya aja. 

MPR dengan formula 4 Pilar memberi payung terhadap perbedaan di negeri ini. Jadi gak usah takut merasa orang lain berbeda dengan kamu. Negara ini gak homogen kok.

Pesan itu yang MPR RI ingin sosialisasikan pada masyarakat secara luas. Bahwa perbedaan itu bukan masalah. Negara ini gak dibangun dari satu agama yang itu-itu aja, suku yang itu-itu aja, dan daerah yang itu-itu aja.

Dalam diskusi yang sebelumnya telah berlangsung di Makassar, Solo, Palembang, dan Yogyakarta, MPR meminta kepada para blogger untuk meneruskan estafet pesan 4 Pilar ini dalam tulisan.

Pulang ke rumah saya membuka dapur blog dan membaca tulisan sendiri berulang-ulang. Bukan cuma blog, saya juga membaca ulang caption foto-foto dan status di akun media sosial @bandungdiary.

Tulisan saya tentang perjalanan di Yogyakarta, Cirebon, Sukabumi, Surabaya, Purwakarta, dan lain-lainnya termasuk catatan perjalanan di Bandung sendiri.

Apa saya sudah menulis dengan misi 4 Pilar tanpa sengaja? Apa saya menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan rasa cinta pada negeri ini dalam tulisan tersebut?

Bila terasa belum, saatnya sekarang menulis dengan misi memasukkan nilai-nilai 4 Pilar. Bila terasa sudah, ah apa iya? Sekarang waktunya menulis dengan misi sengaja memberi pesan baik kepada pembaca terhadap negeri yang saya pijak. Sebagai pembaca, tugas teman-teman meneruskan pesan tersebut pada orang-orang di lingkungan sekitar. 

Selain melalui bidang seni dan budaya, menarik juga MPR RI turun dan sosialisasi langsung kepada warganya, yaitu kami warga pelaku digital (blogger). 

Apa MPR RI juga turun ke sekolah-sekolah termasuk ke jalan langsung menemui warganya secara acak, seperti misalnya di Car Free Day? Kayaknya dampak sosialiasinya bakal lebih banyak dan langsung bila dilakukan demikian. Saran teman saya Hilman Mulya Nugraha dalam diskusi Netizen Bandung Ngobrol bareng MPR RI juga sangat aplikatif: bagaimana bila MPR RI memiliki akun media sosial yang dikelola secara atraktif dan komunikatif. 

Bukan hanya blog, media sosial juga jadi corong menyebarluaskan 4 Pilar. Kalau informasi dari media resmi MPR RI jenisnya share-able dan retweet-able (ya kira-kira kayak akun GNFI yang mana favorit saya -Good News From Indonesia-) sosialisasi 4 Pilar jauh lebih mudah dan dijamin banyak yang share dan baca. Iya kayaknya akun GNFI itu udah paling cocok kalau mau dijadikan studi banding oleh tim digitalnya MPR RI.  

Yak, siap berbagi peran menyuarakan 4 Pilar? Saya siap! 



Teks : Nurul Ulu
Foto: Indra Yudha, Nurul Ulu

22 comments on "Menyelipkan Misi dalam Catatan Perjalanan"
  1. Setelah baca tulisan ini, kayaknya aku perlu menjembrengkan tujuan ngeblog lagi. Memasukkan 4 pilar. Sekarang mah engga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kadang emang gak sadar juga kita udah masukin unsur-unsur pancasila dalam tulisan, nay. ya bisa jadi hehehe

      Delete
  2. wuaa, teh ulu. bagus tulisannya. aku bingung mu nulis apa. hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha masih, Vanisa :D ditulis berdasarkan sudut pandang Vanisa & profesinya aja biar gampang mah hehehe

      Delete
  3. Teh Ulu ini keren. Membumikan 4 pilar dengan seni dan budaya. Salut


    *)aku masih bingung mau nulis seperti apa :(

    ReplyDelete
  4. 4 pilar yang sudah jarang diajarkan di bangku sekolah, juga jarang dipahamkan di masyarakat. Siapa yang bertanggungjawab mengajarkan? Sebenarnya diri sendiri yang harus sadar bahwa 4 pilar tersebut menjadi pedoman hidup bermasyarakat dan sebagai pemersatu bangsa

    ReplyDelete
    Replies
    1. emang harusnya diajarin sejak kecil. dan emang udah seharusnya gak cuma teori dan ide aja, tapi harus diaplikasikan :D

      Delete
  5. Ulu keren banget, pembukaa tulisannya dan dimasukkan unsur 4 pilar terasa halus perpindahan temanya

    ReplyDelete
  6. Banyak pelajaran dan hikmah dari wisata budaya. Makanya seneng wisata budaya sama anak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah bagus banget anaknya dilibatkan dengan pengalaman wisata budaya :)

      Delete
  7. Wiih keren banget memasukkan unsur 4 pilar pada seni dan budaya, keren kamuuu Uluuuuu.

    ReplyDelete
  8. Keren teh.

    Saya juga siap menyuarakan 4 Pilar MPR

    ReplyDelete
  9. Kayaknya kita dapat angle yang sama soal perjalanan. Kebanyakan org traveling hanya untuk represing plus belanja dan makan tanpa memperhatikan aspek budaya lokal yang menurut saya akan makin bisa memahami perbedaan yang kita miliki. Mungkin mid class yang skrg harus lebih banyak menggunakan uangnya untuk traveling yg lebih berguna. #naon

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul pisan, Gun. Traveling dengan tujuan yang bukan semata senang-senang, tapi juga sengaja membenturkan diri dengan perbedaan. Bukan buat dicari-cari siapa yang lebih bagus, tapi buat memperkaya diri aja dengan perbedaan dan gimana menghadapinya. #apeeeu

      Delete
  10. Saya jatuh hati dengan blog ini. Gaya penulisannya asyik ^_^
    Mengenai empat pilar yang disampaikan, saya malah mudeng di sini dari pada saya mendengar langsung ketika ada acara serupa di Jakarta. Barangkali, daya tangkap saya memang lemah. Saya lebih paham dan mudeng dengan membaca.

    Salam kenal (yang udah sekian lama kenal) Mbak Ulu dan suami. Salam takzim :)

    Saya juga jadi mikir, ngapain selama ini jadi blogger kalau cuman jadi follower hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenernya saya juga gak mudeng awalnya, tapi dirunut lagi dari awal dalam bentuk tulisan ternyata malah ngerti. Walo sebenernya ada yang ga sreg juga, Pancasila seharusnya bukan jadi Pilar. Tapi dia jadi fondasi karena Pancasila ideologi Indonesia. 3 lainnya baru 3 Pilar.

      Makasih banget ya, Mba Anaz :) Kita udah kenal, di IG juga udah follow-followan dan komen-komenan :)

      Delete
  11. Babang belum karena belum tau, ok siap next mau dipraktekkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin udah dikerjain tapi gak sadar aja ehehehe :D ya bisa jadi eehehehehe

      Delete