Social Media

Jelajah Masjid Antik di Bandung: Masjid Cipaganti

12 May 2017
Di tepi jalan yang langganan macetnya itu ada masjid antik. Di Jalan Cipaganti, nama masjidnya Masjid Cipaganti. Gampang ya namanya. Nyantol ke nama daerah, jadi nama masjid adalah identitas masjidnya itu sendiri. 


Turnya diadakan oleh Heritage Lover. Malia pemandunya. Kata Malia, pejabat lokal yang (berinisiatif) membangun Masjid Cipaganti adalah menak sekaligus bupati Bandung bernama Raden Tg Hassan Soemadipraja. Arsitek masjidnya Wolff Schoemaker. Arsitek yang popular di Bandung saat itu, gurunya Soekarno di THS (sekarang ITB).

Jadi apa istimewanya rancangan Wolff Schoemaker di Masjid Cipaganti ini? 


Biasanya rancangan dia ada ukiran bergaya artdeco, di sini kayaknya gak ada. Terus gak mungkin kan dia pasang ornamen Kala seperti ciri khasnya sebab yang dia rancang ini kan tempat ibadah umat islam. 

Satu-satunya yang khas Eropa dari bangunan ini adalah lokasinya yang tusuk sate bila dilihat dari Jalan Sastra (perpotongan Jalan Cihampelas-Jalan Cipaganti).

Orang timur menganggap posisi tusuk sate gak terlalu bagus. Tapi buat orang Eropa justru estetik. Melihat Masjid Cipaganti dari Jalan Sastra terlihat indahnya. Jalan Sastra dan Cipaganti tepi jalannya pepohonan. Bila kamu berdiri di ujung Jalan Sastra - Cihampelas, terlihat pohon-pohon ini membingkai masjid. Tapi itu dulu sih waktu Jalan Sastra belum jadi parkiran motor kayak sekarang...

Coba aja datang pagi-pagi ke Jalan Sastra yang masih sepi dan berdiri di dekat jalan Cihampelas. Lihat ke arah masjid. Framing masjidnya bagus sekali.

FYI, tanah untuk masjid merupakan wakaf dari Bupati Hassan dan sebagian lagi wakaf dari keluarga Ursone. Hah kok bisa Ursone yang katolik itu nyumbangin tanah untuk masjid?

Pertama, karena di belakang masjid ada pabrik cokelat milik Mafalda, anaknya P. A Ursone dan Nyi Oekri.

Kedua, Nyi Oekri istrinya P. A Ursone kan muslim. Ada andil dari beliau agar Ursone mau menyumbangkan tanah untuk pembangunan masjid.

Ketiga, Ursone emang filantropis sih. Mereka juga nyumbangin tanah untuk pembangunan peneropongan bintang Bosscha.

Keempat, tanahnya Ursone ada buanyak sekaleeeee. Nyumbangin tanah untuk masjid cipaganti buat mereka kayak buang garam di laut.

Luas masjid di tahun 1934 hanya 19X15 m. Masih ada tuh ruangannya. 

Masjid Cipaganti terdiri dari satu lantai saja dengan ruang utama di bagian tengah. Bagian utara dan selatan dari ruang tengah ini adalah ruang tambahan yang dibangun tahun 65.

Ruang utama di bagian tengah adalah ruang aslinya. Ruang berumur 83 tahun.

Pintu masuk masjid yang asli ada di bagian tengah. Pintunya mah udah modern sih. Pintu masuk masjidnya pun sekarang dari sisi selatan dan utara. Pintu di bagian tengah ini gak tahu kapan dibukanya. Mungkin pas sholat Id atau sejenisnya ya. 

Pintu masuk dahulu dari bagian depan. Pas masuk masjid, ada dinding setinggi 1,70 meter yang membuat kita harus berbelok dikit agak ke kanan atau ke kiri baru deh masuk ruang utama.

Gaya pintu berlapis kayak gitu mirip-mirip yang saya lihat di pintu masuk keraton dan masjid mataram kuno di Kotagede. Ada pintu di dalam pintu. Kenapa ya, kenapa gak bisa jalan lurus aja masuk terus nyampe gitu. Kenapa harus dibelok-belokin dulu. Itu bagian dari keindahan atau mencerminkan pola pikir kita yang bertele-tele, senang bicara berputar-putar dulu baru nyatain maksudnya?

Dindingnya berpola. Polanya unik dan tercantum tulisan arabnya. Bukan bahasa sunda dalam bahasa arab, tapi emang bahasa arab. Mungkin salah satu penggalan dari ayat suci Alquran atau doa.

Masuk ke masjid ada tiang utama berjumlah empat. Sakaguru tersebut berbentuk segi empat dan memiliki ukiran di bagian atas dan bawah tiang. Ukirannya gak jelas gambar apa, mungkin bunga ya. Bentuknya kayak sulur-sulur gitu sih.

Semua tiang dicat warna abu-abu. Ada ukiran di tiangnya, ukirannya juga di cat warna emas dan hijau.

Saya raba ukirannya, buah craftmanship tempo dulu. Ukiran tiang ada di bagian atas dan bawah.

Saya ajak Indra ikutan jelajah masjid, lumayan dia dan ilmu arsiteknya bisa nerangin walo gak menyeluruh. Menurut Indra, langit-langit masjidnya bisa jadi dipasang tahun 60an. Masjid yang dulu atapnya mengecurut tinggi. Di bagian atas ada bukaan sebagai jalan masuknya cahaya matahari sebagai penerang (karena dulu belum ada listrik dan lampu kayak sekarang) dan sirkulasi udara.

Tempat imam dan mimbarnya juga baru, gak tahu mimbar yang dahulu bagaimana bentuknya. 

Lokasi wudhu tidak diceritakan ada di mana. Dahulu bisa jadi airnya dari sumur sumur yang berada di dekat dinding utara dan selatan masjid.

Bila melihat masjid dari luar, bisa pandangi atapnya yang masih bersirap. Pucuk masjid bukan kubah tapi bentuknya bulan sabit warna kuning. Saya gak tahu apa bentuknya yang dulu begitu.

Di dalam Masjid Cipaganti sekitar 30 menit saja.  Lihat-lihat, foto-foto. Abis itu kami ke Jalan Hata, saya ceritain di tulisan berikutnya ya perihal rumah kuno di Jalan Hata. 

Mampir-mampir ke masjid ini lah kalo lewat Cipaganti. Menyenangkan masjidnya. Berlantai satu saja. Lumayan bersih walo tempat wudhu dan kamar mandi perempuannya kekecilan. Juga menurut saya mah area tersebut masih harus disikat dan dikasi pewangi ameh teu hangseur. 

plakat bangunan
pola dindingnya bagus
bagus ya dekorasinya, unik



plakat bangunan




Teks: Ulu
Foto : Ulu