Social Media

Derai Pinus di Balitsa Lembang

18 July 2016
Di kejauhan kabut tipis masih berbayang. "Harusnya sudah di sini jam 6 pagi kalau mau ngerasain kabut mah, Neng," kata sopir angkot jurusan Cikole - Lembang yang duduk di samping saya. Jam setengah delapan pagi saat saya dan Nabil duduk di samping pak sopir angkot.

Di penghujung musim liburan itu, saya pergi menuju sebuah tempat bernama Balitsa yang terletak di Desa Cikole, Lembang. Dari rumah saya menumpang angkot sebanyak 2x, angkot terakhir yang saya tumpangi kuning warnanya, disopiri seorang bapak-bapak yang senang bicara :D 

Hari masih terlalu pagi. Tidak ada kemacetan ke arah Lembang, begitu juga sebaliknya. Jalanan lengang. Duduk di tepi jendela angkot, saya memandang kabut yang menggantung di tebing-tebing perbukitan. Jalan berkelok-kelok, 'seperti cacing' kalau kata Nabil anak saya. 

Sedikit sesal karena kesiangan, padahal sudah janji pada Malia akan datang pukul 6 pagi karena ingin memotret kabut Lembang. Rencana gagal total. Saya tiba di Cikole pukul 8. 

Hari minggu (17/7/2016) saya mencicipi akhir pekan rasa masa lalu di Lembang. Bersama dengan Komunitas Lembang Heritage saya melihat dua sudut wajah Lembang: Balitsa dan Sindang Reret. 

Sebanyak 95% kawasan yang dijelajahi adalah Balitsa (Balai Penelitian Tanaman dan Sayur).

Saya tidak punya bekal pengetahuan apapun tentang Balitsa, kecuali tiga hal.




Pertama, restoran milik Ibu saya lokasinya ada di sebrang Balitsa, modal penasaran saja karena ingin tahu ada apa sih di dalamnya.

Kedua, berkali-kali saya lihat di newsfeed Instagram dengan keyword #balitsa dan pemandangan pepohonan pinus berderet rapi itu bagus sekali, elok nian, pengen lihat aslinya ehehehe.

Ketiga, mau jalan-jalan dengan Nabil, sudah lama gak bawa anak kecil ini jalan kaki agak jauh dan lama di sisi kota. 

Pada tahu kan kalo Lembang ini kawasan favoritnya orang-orang kolonial? Dari daerah kayak gini nih, juragan-juragan kolonial lahir.

Juragan kebon teh, juragan kebon kopi, juragan peternakan (susu) sapi.

Lahan Balitsa ini dulunya perkebunan kopi. Dari awalnya yang 42 hektar tanah, membentang dari kaki Gunung Putri hingga kaki Gunung Tangkubanparahu. Letaknya lebih tinggi dari jalan raya. Jadi ya harus nanjak dikit-dikit gitu deh.  Pemerintah ambil alih 14 hektar tanah untuk lahan Balitsa.

Juragan kebon kopi ini bernama Van de Root. Pengusaha sekaligus botanikus.

Ia bermukim di lahan perkopiannya, bangunan utama Balitsa adalah rumahnya. Namun kondisi asli rumahnya udah gak kelihatan karena di zaman penjajahan Jepang, mereka hancurin rumahnya. 

Kalau zaman sekarang pekerjaan kayak yang Van De Root lakukan itu istilahnya WAHD: 'work at home dad'. Tapi De Root tidak punya keturunan. Ganti istilah kalau begitu. Lebih cocok disebut SOHO: small office home office. Eh tapi Balitsa luas tanahnya 42 hektar. Big office home office dong namanya hehehe :D

Jepang dateng. De Root sekeluarga mengungsi ke Sukabumi. Lalu mereka berpisah, ia ke Belanda dan istrinya, Marietje, ke Subang.

Marietje wafat dan dimakamkan di halaman depan rumahnya yang sekarang jadi Balitsa. Kami diajak melihat makamnya. Ada di tengah tanaman tomat. Makam yang tak terurus nampaknya. Namun dibiarkan ada. 

Balitsa ini kerjanya ngapain aja? Itu juga pertanyaan yang berkelebat di pikiran saya sejak pertama kali mendengar namanya. 

Kalau orang-orang dengan latar pertanian dan perkebunan pasti tahu ya Balai Penelitian Tanaman dan Sayur ini apa kerjanya (selain meneliti :D). Tapi kayaknya mereka juga menciptakan inovasi pangan khusus sayuran.

Pemandu Lembang Heritage, Malia Albinia, memberitahu kami sekilas tentang pekerjaan Balitsa. "Kalau butuh tanaman Paria tapi Parianya tidak pahit, bisa kontak Balitsa." Berarti kegiatan orang-orang di Balitsa ini semacam rekayasa genetis gitu kali ya? Kayak menanam Stroberi tapi rasanya mirip buah Pisang :D

Tidak terlalu banyak kisah yang saya dengar tentang Van De Root yang diceritakan Malia. Nampaknya De Root sama dengan Bosscha, tipikal juragan yang disukai para pegawainya dan tidak puna keturunan.

Saat Jepang menguasai Bandung, orang-orang non-pribumi ditangkap dan ditawan di kamp-kamp interniran. Termasuk Van de Root. Namun ada rumor yang mengatakan bahwa juragan yang satu ini bersembunyi di rumah pegawai pribuminya. 

Makam Van De Root ada di lahan perkebunan Balitsa.  Lokasinya berjauhan dengan makam istrinya. Kalau makam istrinya ada di rimbunan tanaman tomat, makam Van De Root ada di lahan yang saat itu tengah digarap. Jadi saya gak tahu bapak-bapak petani mau nanem apa.

Makamnya berbentuk gundukan tanah tanpa pertanda (nisan) persis di tengah kebun. Bukan makam yang mewah. Makam keluarga saya jauh lebih layak kondisinya.

Tapi apa iya itu makam Van de Root. Kan dia udah balik ke Belanda ya...

Highlight dari perjalanan di Balitsa ini jelas deretan Pohon Pinusnya. Cantik sekali. Sekitar 300 m ruas jalan di Balitsa berpagar pohon pinus. Jadi ingat puisi Chairil Anwar yang musikalisasinya bertengger di playlist dalam smartphone saya, Derai-Derai Cemara. Saya meminjam sebagian judulnya untuk saya jadikan judul tulisan ini.

Tak ada yang tidak berfoto dengan latar pepohonan Pinus tersebut. Bagus banget!

Dari Balitsa kami naik angkot ke Sindang Reret.

Malia mengajak kami ke restoran Sindang Reret. Bukan untuk makan tapi melihat makam tuan Elman, pemilik Vila Elman yang lokasinya di kompleks restoran tersebut. Sayang peninggalan Tuan Elman gak ada. Vilanya sudah berganti rupa. Lokasi makamnya berada lebih dalam ke kompleks Sindang Reret yang masih banyak pohonnya, temaram seperti di hutan. Nisan berbentuk Salib yang terbenam di tanah menandakan makam Elman. Kondisi makamnya sama dengan makan Van De Root. Tak terurus. 

Di antara kisah Van De Root dan Tuan Elman, Malia juga menceritakan asal usul nama Cikole, Cibogo, dan Cibedug. Cikole sih yang paling menarik. Kata Malia Cikole berasal dari dua kata: Ci dan Kole. Keduanya bahasa sunda. Ci artinya air. Hampir semua nama tempat di Bandung ini ada unsur air. 

Kole artinya ada dua. Arti yang pertama adalah pohon pisang (dalam bahasa sunda buhun. Buhun = tua, kuno). Dahulu di Cikole ada segala macam jenis pohon pisang. Arti kedua berasal dari kata Ci Kopi Lekoh (air kopi yang kental rasanya). Dahulu di pekarangan satu rumah warga pasti ada pohon kopinya. 

Kalau Cibogo berhubungan dengan nama ikan, Ikan Bogo. Kalau Cibedug, tahu lah ya pasti ada hubungannya dengan Bedug (masjid). 

Jalan-jalan yang dimulai pukul 9 pagi itu selesai deh sekitar jam 12 siang, setelah melihat makam Tuan Elman. Sebagian orang gak langsung pulang, makan siang dulu di restoran Ibu saya hohohoho :D Aduh maap beribu maap ya drama 'makanan-lama-dianter'nya. aheuheuheuheu :D 

Acara Jelajah Lembang ini informal banget sih. Menjawab pertanyaan teman-teman yang bertanya di Facebook dan IG, sebenarnya acara model begini emang kemasannya jalan-jalan saja, hampir 99% dilakukan berjalan kaki. Tapi muatan jalan-jalannya sejarah. Kalau kita gak suka hal-hal berbau sejarah, pasti ada saja pertanyaan macam "adoooh ngapain ngelihat makam orang sih" :D 

Saya baru saja membaca tulisan Zulkaida Akbar berjudul "Agar Tak Menjadi Buih Bagian 2 (Tentang Apresiasi)". Di dalamnya dibahas tentang Budaya Apreasiasi. Disebut dalam artikel itu bahwa apresiasi dan memberi kesempatan adalah kunci pertumbuhan jangka panjang. 

Jalan-jalan bertema sejarah ala Lembang Heritage ini juga menurut saya sih bagian dari usaha saya mengapresiasi sejarah. Terbaca agak berat ya, apresiasi sejarah heuheuheu. Baca buku sejarah saja jarang saya lakukan. 

Kalau gitu saya ralat sedikit, saya mengapresiasi kegiatan Lembang Heritage, pada orang-orang yang mewartakan kisah-kisah tempo dulu tersebut. 

Lha kamu pikir mereka bisa cerita ulang kepada kita gimana caranya? ya mereka baca buku dulu lah, ya tanya-tanya orang yang umurnya sudah tua lah. Lha dikata gampang nanya-nanya data ke orang berumur senja.

Ditambah lagi proses baca buku beratus-ratus jumlah halamannya, mengingat-ingat datanya. Belum lagi kalau mereka survey tempat sebelum acara jelajahnya dibuka untuk umum. Hal-hal kayak gitu yang saya apresiasi. Jadi, terima kasih, Malia, Kang Indra, Andre, Robi, Kang Ope, dan teman-teman dari Lembang Heritage! Ditunggu acara jelajah berikutnya.


Gedung utama, dahulu rumah Van de Root



Makam Maritje, istri Van de Root
Satu dari tiga puncak Gunung Putri
Pohon Pinus



Tape Ketan Daun Jati





Melihat makam Van de Root. Yes, gundukan tanah yang di tengah itu makamnya. 






Difoto Denny Lawang Buku

Sindang Reret
Menuju Makam Elma. Saya gak motret makamnya



Teks : Ulu
Foto : Ulu, difoto dengan smartphone Lenovo A6000. Edit foto menggunakan aplikasi VSCO
20 comments on "Derai Pinus di Balitsa Lembang"
  1. haiisshhh... lgs kebayang wanginya pohon2 pinus ini mbak :).. trs itu ingetin aku jg ama pohon2 yg terkenal bgt di nami island itu loh ;)..

    aku trmasuk yg suka traveling sambil bljar sejarah gini.. lbh asyik malah, lbh masuk drpd kita hanya sekedar baca buku yaa :)..

    btw, itu tape ketan bungkus daun jatinya menggoda sekal ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul, lebih bisa dimengerti kalo kemasannya jalan-jalan, bukan diem di kelas dengerin guru doang hehehee :D

      Delete
  2. wah hutan pinussss, aku suka dan paling suka kalau ngambilin buahnay yang jatuh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah banyak banget saya lihat buah pinus berguguran kemarin itu, mba. pasti suka deh mba tira :)

      Delete
  3. Lembang bagus yaaah. Aku baru lewat aja, belum sampai masuk2 menjelajah. Jadi pengen :)

    ReplyDelete
  4. Itu Nabil yg sdg di kebon meni lucu.

    ReplyDelete
  5. Ini pakai kamera hape? Whaaa kereen. Ah bandung emang selalu gitu. Ngga abis abis dieksplore

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makaci, Innay! Kota-kota & desa lainnya juga sama, pasti gak abis-abis dijelajahi. Cuma masalah sudut pandang aja kayaknya yak :D

      Delete
  6. Waah baru tahu ada tempat ini dan ada komunitas Lembang Heritage. Keren!

    ReplyDelete
  7. Huuuuaaaaa >.<
    Klasik kece-kece yaaa

    Kak, pict-pictnya bagus banget kaaak, padahal cuma pake smartphone ya

    ^,^

    ReplyDelete
  8. Kak, masuk balitsa htmnya brpa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gratis. Minta ijin ke satpamnya. Kalo boleh masuk ya sukur, gak boleh ya balik lagi hehehe

      Delete
  9. Aku selalu ingin kesini lagi teh, adeeem banget duduk dibawah pohon pinus

    ReplyDelete
  10. Keren banget tehhhh, aku mau juga ah kapan2...

    Btw selamat yaa akhirnya uda berTLD hehehe

    ReplyDelete
  11. Kehilangan Ifa Malia Albinia, ada yg tau? Ulu msh ada kontak dia?

    ReplyDelete