Social Media

Image Slider

Tobucil di Jalan Panaitan 18!

29 July 2016
Yes, Tobucil sekarang di Jalan Panaitan 18 Bandung! Mereka pindah gitu, kalau yang sudah tahu, Tobucil kan lokasi sebelumnya di Jalan Aceh. 

FYI, Tobucil adalah salah ruang kreatif di Bandung yang -buat saya- sederhana tapi gerakannya konsisten dan produktif. Kalau ada yang bilang Bandung itu orang-orangnya kreatif, ya di Tobucil ini salah satu wujud kreativitas orang Bandung. 




Pertama kali saya kenal Tobucil gara-gara saudara saya yang kerja di sana (imatakubesar) waktu tahun...berapa yah, 2006 kayaknya ya. Pertama kali saya ikut kelas menulis di sini, kelas merajut, kelas review buku Pramoedya Ananta Toer, dan pertama kalinya juga saya melihat pertunjukkan Endah & Rhessa zaman musik mereka masih blues banget tahun 2007! 

FYI, lagi untuk yang belum tahu, Tobucil merupakan singkatan dari Toko Buku Kecil. Emang aslinya toko buku, tapi produknya nambah ke barang-barang craft karena isinya orang Tobucil orang yang semuanya apa-apa bikin sendiri. 

Kalau di Bandung saya sih ngerasain banget semangat DIY (Do It Youself) dan handmade-stuff datangnya dari tempat ini. Tobucil malah secara berkala bikin Crafty Days. Browsing deh tentang Crafty Days. 

Di Tobucil biasanya banyak kelas-kelas seru! Terbuka untuk umum. Terakhir saya di sana, ada Kelas Skenario Film, Kelas Fotografi, Kelas Public Speaking, juga Kelas Book Binding yang dibuat khusus oleh pendirinya, Mba Tarlen (Vitarlenology). 

Ya kalau kamu suka hal-hal yang gak mainstream (kan sekarang lagi ngetren tuh anti-mainstream hehehehe) dan berhubungan dengan dunia art, craft, handmade, book, dan sejenisnya, Tobucil ini salah satu yang patut kamu datangi. Bukan tempat yang besar dan fancy, buat saya pribadi sih Tobucil itu bikin betah banget. Gak ada Tobucil di Bandung macam Yogyakarta tanpa galeri-galeri seninya :D hehehe. 

Sebenarnya sih orang-orang di Tobucil gak pengen disebut 'beda' atau unik sih, apalagi anti-mainstream. Mereka cuma berpendirian teguh akan hal-hal yang mereka yakini dan mereka suka. Gak pengen dilabeli apa-apa, saya aja ini yang nulis kayak gitu hahahaha :P

Dan ini ketiga kalinya saya melihat Tobucil pindah tempat (kayaknya sih mereka udah lebih dari 3x ya pindahnya sejak lebih dari berapa ya, mungkin 13-14 tahun lalu). Dan tiga-tiganya tempatnya humble, teduh, nyaman, dan baguuuus! Kalau kamu ke sana dan menurut kamu tempatnya gak bagus ya berarti definisi bagus di antara kita berbeda :P 

Selamat menempati rumah baru, Tobucil! Semoga ada lebih banyak kebaikan untuk Tobucil di hari-hari mendatang! 

Cek berita-berita dari Tobucil di web: http://www.tobucil.net/
Cek juga Instagram Tobucil di @tobucil











Mba Tarlen dan studionya di tengah buku-buku buatannya!





Teks :Ulu
Foto: Indra Yudha, Nurul Ulu

Di Ullen Sentalu dan Gagal Menyalin Surat-surat Puteri Tinneke yang Patah Hati

27 July 2016
Oke. Ullen Sentalu. Perjalanan ke Yogyakarta sudah lewat dua bulan lalu, saya baru sempat menuliskan salah satu tempat yang saya kunjungi di sana sekarang. Begini ceritanya. 

Sebagai warga Jawa Barat yang berasal dari Suku Sunda coret (karena darah saya setengahnya milik Indramayu-Cirebon), kami tumbuh secara egaliter. Tidak ada kerajaan untuk kami agungkan setelah Kesultanan Banten meruntuhkan Pajajaran. Dari kecil sampai dewasa, saya mengenal sosok Raja dalam bentuk cerita dan lukisan saja. 

Lalu saya ke Jawa Tengah, menyambangi daerah istimewa di sana. Yogyakarta dan hal-hal berbeda dengan yang saya alami di Bandung. Di sini raja masih ada. Meski pemerintahan berada di tampuk kepresidenan di Jakarta sana, tapi masyarakat Yogyakarta nampaknya masih mengagungkan Sultannya. Rajanya. Hal yang tidak saya lihat di Cirebon, meski kesultanannya masih ada tapi kok saya perhatikan masyarakat Cirebon biasa saja terhadap Keraton ya :D Kenapa ya...

Ngomong-ngomong, di Yogyakarta saya sempatkan mampir ke Kaliurang. Ke mana lagi kalau bukan: Ullen Sentalu. 

Pintu masuk Ullen Sentalu

Menemukan museum Ullen Sentalu tidak sesulit yang saya bayangkan. Kembali ke Ullen Sentalu untuk saya adalah napak tilas. 9 tahun lalu saya masih mahasiswi dan sendirian naik angkutan umum mengunjungi Ullen Sentalu. Kembali museum ini dari dalam kendaraan pribadi saya berujar dalam hati:  the power of youth memang benar adanya. Gak kebayang dulu naik elf Jogja sendirian, tidak tahu arah, berjalan kaki menanjak jauh pula. Hahaha. 

Ullen Sentalu kini ramai pengunjung dan terlihat kerumunan orang antri untuk masuk. Tahun 2007 saya ke Ullen Sentalu di hari kerja jam 12 siang, saya satu-satunya pengunjung di situ. Tahun 2016 dan saya kembali datang pada hari kerja jam makan siang bukan di musim liburan. Tiket masuk kini harganya Rp 30.000/orang. Saya tebus untuk berempat: saya, Indra, Ibu, dan adik saya. 

Wajah Ullen Sentalu yang saya ingat 9 tahun lalu lebih rimbun dari yang saya saksikan kemarin itu. Dahulu fasad museum ini sama sekali tidak seperti menunjukkan tempat terbuka untuk umum. Malah seperti rumah nenek sihir yang saya baca di novel-novel masa kecil. Sekarang teras Ullen Sentalu lebih terang ya. Pepohonan lebat merambat di bagian sisi kanan itu kayaknya sudah dipangkas.  Atau saya yang lupa lupa ingat wujudnya dahulu…ah entahlah. 

Tidak menunggu waktu lama, kami dipanggil pemandu. Tergabung dalam grup terdiri dari kurang dari 15 orang, Ullen Sentalu siap kami jelajahi. 


Ruangan Minum Teh, di sini boleh motret

Koleksi museum ini memperlihatkan barang pribadi keluarga Keraton. Alat musik, lukisan, foto-foto, kain batik, hingga surat-surat dari kerabat dan teman yang isinya menghibur Puteri Keraton, Tinneke, yang sedang patah hati. 

Selama tur saya melihat pegawai museum yang mengelap barang-barang dan mengecek temperatur udara ruangan. Tiap ruangan dijaga suhunya agar barangnya tak lapuk. Membayangkan kesigapan museum ini menjaga koleksinya, saya penasaran berapa biaya yang habis perbulan untu perawatan, dari mana sumber biayanya selain tiket masuk yang saya beli. 

Orang yang memandu kami sangat fasih bercerita. Macam orang yang beribu-ribu kali mengucap kata yang sama. Lancar tiada jeda, tiada keselepet lidah menyebut nama-nama yang njelimet dan pancakaki yang panjang ala kerajaan. Meski ceritanya terdengar sangat text-book dan terburu-buru, tapi kalau saya dan peserta lain bertanya ia lancar menjawab dan cukup memuaskan kok jawabannya. Dan ehm, anu, pemandunya cantik sekali :D 

Ujung museum, menuju pintu keluar.
Bangunan menara itu restoran. 

Di dalam museum ini dilarang berfoto. Saya senang juga ada aturan tersebut. Karena saya jadi fokus mendengar cerita pemandunya. Sejujurnya bagi saya memotret sekaligus menyimak adalah dua kegiatan yang sulit dilakukan bersamaan. 

Ternyata larangan tersebut juga membuat kami, para pengunjung, jadi lebih santai dan tenang ya hihihi. Karena kalau diperbolehkan foto-foto, kebayang gak sih beringasnya kami dengan kamera. Salah satu dari peserta membawa kamera go pro dan di pintu masuk sudah heboh bervideo ria namun tetap santun dan patuh dengan larangan menggunakan kamera dan video di dalam Ullen Sentalu. 

Saya memotret area yang diperbolehkan saja, itu juga dengan kamera ponsel. Ruang yang kami boleh foto adalah tempat kami minum teh. Minuman teh di Ullen Sentalu adalah ramuan tradisional untuk puteri keraton. Katanya bikin awet muda. Terdiri dari tujuh bahan rahasia campuran jahe, kayu manis, gula jawa, garam, dan daun pandan. Rasanya saya tidak ingat, enak sih tapi biasa saja :D

Masuk keluar ruang-ruang dan koridor di Ullen Sentalu ini sungguh pengalaman yang menyenangkan. Ruangannya lembab dan dingin. Di sekitarnya banyak pohon. Adem suasananya.

Baru saya lihat museum -bagian dari sebuah kerajaan (dalam hal ini keraton)- memajang benda-benda yang terbilang amat sangat pribadi. Iya emang saya belum melihat banyak isi dunia sih heuheuheueu.

Ruangan yang memperlihatkan surat-surat untuk puteri keraton (Tineke) yang patah hati itu favorit saya. Ada 29 surat. I was like ya ampun patah hatinya seorang puteri keraton ini diketahui semua orang...bagaimana rasanya semua orang tahu kamu patah hati...

Kembali ke surat saja. Tulisan dalam surat-surat dari teman dan kerabatnya Puteri Tinneke sangat halus, sopan, santun, dan puitis.

Saya ingin menyalin isi surat-surat itu, tapi pemandu mengajak kami keluar ruangan setelah ia selesai bicara. Cepat sekali padahal saya sedang mencatat isi suratnya di smartphone (yang lalu terhapus. Aaargh!). Ah saya browsing saja dan di blog milik Mbak Yusmei usemayjourney.wordpress ini saya menemukan dua surat dari Ruang Tinneke tersebut. Saya baca lagi isi suratnya, saya salin di sini. 


Kota Kasunanan
Gusti sayang
kupu tanpa sayap
Tak ada di dunia ini
Mawar tanpa duri
jarang ada atau boleh dikata tak ada
Persahabatan tanpa cacat
Juga jarang terjadi
Tetapi cinta tanpa kepercayaan
Adalah suatau bualan terbesar di dunia ini


Ullen Sentalu saya masukkan ke daftar a must visit place di Yogyakarta, di Indonesia kalau perlu. Berasal dari sebuah kalimat berbunyi Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku, Ullen Sentalu artinya Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan. 




Entah apa makna dari Ullen Sentalu-nya, seingat saya pemandunya menjelaskan tapi ingatan saya berhenti di situ. Kalau ada yang tahu, boleh komen ya kasihtahu saya juga. 

Melongok kehidupan kerajaan memang selalu menarik (untuk saya pribadi). Mungkin karena auranya yang misterius, kaku, sekaligus unik. Ullen Sentalu adalah hal-hal yang tidak terjadi dalam hidup banyak orang sih. Dan saya suka penasaran kehidupan di masa lampau teh gimana sih. 

Tur jalan kaki yang menghabiskan waktu hampir 60 menit itu baru saya sadari memperlihatkan banyak koleksi perempuan ningrat keraton. Mulai dari Gusti Nurul, Gusti Menuk, Ibu Ageng, dan Tinneke. Uniknya lagi, perempuan-perempuan itu tidak seperti perempuan keraton yang saya bayangkan deh. Gusti Nurul anti poligami dan kelihatannya tomboy, dan beliau kelihatannya bebas-bebas saja melakukan hal yang ia suka. Gusti Menuk fashionable abis, Ibu Ageng nampaknya macam istri-istri yang dominan pada suaminya :D Tangguh macam wanita bertangan besi. 

Habis ini saya mau lihat Museum Kartini deh. Semoga kesampaian tahun ini ke Jepara dan Lasem. 


Cerita Dari Purwakarta

25 July 2016
Sate Maranggi terenak di Purwakarta di mana menurutmu? Di kota ini frekuensi saya menyantap Sate Maranggi baru di 4 tempat saja. 

Pertama, di pinggir jalan sebuah lapak non-permanen tanpa nama. Pada malam minggu sewaktu menunggu peluncuran air mandur Sri Baduga (Situ Buleud).
Kedua, di Sate Pareang di Wanayasa saat hendak ke Curug.  
Ketiga, di Sate Cibungur sebagai meeting point saya dengan teman-teman sebelum piknik di Purwakarta.
Keempat di restoran Sambel Hejo setelah menonton puncak HUT Purwakarta. 


Sate Maranggi Cibungur

Pengalaman pertama yang berkesan. Bukan hanya karena pengalamannya saja, tapi karena rasanya yang enak terenak dari semuanya. Dagingnya yang super empuk saya tidak butuh waktu lama mengunyahnya. Lezat sekali. 

Usai dengan Sate Maranggi, saya bertemu dengan sepiring ayam kampung goreng ala Purwakarta di restoran Sambel Hejo dan restoran bernama lucu (jika kamu tahu artinya dalam bahasa Sunda) Sajolna. Tidak kalah enak! Empuk dan gurihnya luar biasa, meninggalkan kesan teramat dalam di hati saya. 

Jika saya harus kembali ke Purwakarta, saya akan datang pada malam minggu untuk Sate Maranggi Tak Bernama di Situ Buleud dan keesokan harinya ke RM. Sajolna untuk menyantap Ayam Kampung Goreng yang super enak di sana! 

Dua hari di Purwakarta, saya tidak berkunjung ke banyak tempat. Hanya sedikit saja tapi berkesan. 

Kamu tahu Purwakarta adalah kota yang lebih hangat dari Bandung? Setengah hari pertama saya tidak merasakannya. Mungkin cuaca kelabu. Anginnya bertiup sana-sini, membantu mendinginkan suhu. Saat menandaskan Sate Maranggi dan Sop Iga di Cibungur, tubuh saya tidak kepanasan sampai harus kipas-kipas. 

Sate Maranggi Cibungurnya terasa enak tapi tak istimewa. Sop Iga rasanya jauh lebih menonjol dan berkesan. Kebersihannya oke, kecepatan makanannya mendarat di meja makan saya juga oke banget, harga relatif terjangkau. Jangan lupa pesan es kelapa muda, terasa sangat menyegarkan setelah mulut ini menyantap perdagingan. 

Dengan titik-titik air yang masih menggantung di angkasa, saya dan teman-teman bergegas ke Waduk Jatiluhur dan Giritirta. Balapan dengan hujan, Waduk Jatiluhur didahulukan. 


Waduk Jatiluhur

Ini pertama kalinya saya melihat Waduk yang katanya menahan banjir di Karawang dan Bekasi tersebut. Setahu saya, Jati adalah nama sebuah pohon dan Luhur artinya tinggi. Jatiluhur letaknya memang berada di ketinggian. Jalanan menuju ke sana menanjak dan berkelok. Masih banyak pohon di sisi kanan kirinya. Di sini Purwakarta terasa adem. 

Karena bendungan yang dibuat tahun 1960an ini juga dimaksudkan sebagai objek wisata, tersedia fasilitas nongkrong lengkap dengan sarana permainan sederhana di bawah pepohonan rindang. Cocok untuk orang tua yang bawa anak. Juga menarik untuk muda mudi yang ingin beromantis ria melihat perairan Waduk Jatiluhur sambil terayun-ayun di ayunan. 

Melamun sebentar di tepi Waduk Jatiluhur yang kelilingnya mencapai 150 km ini, saya membuka Google dan mencari tahu berapa luasnya. Sering saya membaca tentang Waduk Jatiluhur pada artikel sebuah surat kabar, pada tulisan sambil lewat yang saya baca saat browsing. Namun informasi itu terlewat begitu saja. Sekarang saya ada tepi waduknya, membaca lagi dan menelan informasi tentang Waduk Jatiluhur. Rasanya seperti mengoles balsem ke kulit, terasa banget nancap dalam ingatan hahaha :D 

Saya mengucap selamat tinggal pada Waduk Jatiluhur dan menyongsong Giritirta yang terkenal dengan Skypool-nya. 


Skypool Giritirta

Syukurlah hujan tidak turun. Tapi langit masih abu-abu. Menambah efek dramatis pada Giritirta yang disebut-sebut bagai pemandian khayangan. Di sini kolam renangnya berbatasan dengan tebing. Jadi terbayang tidak pemandangan hamparan lembahnya? 

Orang-orang mengatakan berenang di Giritirta bagai berenang di awan. Saya tidak berenang. Hanya berkeliling melihat-lihat saja. Sebagian pemandangan lembah dan perbukitan tertutup entah awan entah kabut. 

Mengelilingi Giritirta, saya mencium bau kaporit yang cukup tajam. Tidak terlalu masalah sih untuk saya, tapi untuk kamu saya tidak tahu. Di sini tersedia bukan hanya kolam renang dan fasilitas mandi saja, ada juga restoran, tempat menginap, dan areal wisata outbond.

Mungkin saya akan kembali ke lokasi pemandian di kawasan Wanayasa ini. Tidak lupa membawa pakaian renang.  

Kembali ke Kota Purwakarta dan saatnya istirahat. 


Sarapan di Harper Purwakarta

Merebahkan diri pada sebuah ranjang di kamar no 500 Hotel Harper Purwakarta terasa sangat nikmat. Sungguh hari yang panjang. Purwakarta dalam ingatan adalah tempat yang tak akan habis wisatanya disemai. Mungkin harus ada Purwakarta Diary :D Ah bukan saya yang buat, kamu dong warga Purwakartanya. 

Sate Maranggi Cibungur 
Sate Maranggi 1 tusuk 3K
Sop Sapi 18K
Nasi Timbel 5K
Es kelapa muda 15K

Tiket masuk Jatiluhur 10K

Tiket masuk Giritirta
Senin - Jumat : 20K
Sabtu & minggu : 25K
Tiket berenang : 60K



Menyantap Bakso Boedjangan

23 July 2016
Setelah kepopuleran Warung Upnormal, maka Bakso Boedjangan adalah tempat hits setelahnya. Bermula dari satu tempat mungil di Jalan Dipati Ukur, lapak bakso ini makin merajai warung perbaksoan di Bandung. Cabangnya sudah banyak! 

Cabang terakhir di Bandung ada di Jalan Setiabudhi. Saya gak sengaja tahu dari akun @infobdg sih di IG. Pas lagi skrol, eh ada pengumuman Bakso Boedjangan buka cabang di Jalan Setiabudhi. Berhubung dekat dari rumah, saya datang dong pas jam makan siang. Naik angkot 5 menit sampai.

Karena hari pertama buka, masih kosong tempatnya. Terdiri dari 2 lantai. Lantai 1 untuk para perokok. Lantai 2 untuk mereka yang non-smokers. Saya, Indra, dan Nabil naik ke lantai 2 dan kami satu-satunya pengunjung di lantai tersebut. Asyik! 


Bakso Boedjangan Cabang Setiabudi

Saya keliru mengira tempatnya bakal kecil. Ternyata luas juga! Kayak dua ruko jadi satu, begitu. Tempatnya bersih dan apik. Buat yang pernah menyambangi Bakso Boedjangan sudah tahu lah ya interiornya seperti apa. Stylenya anak muda banget lah. Dinding yang bermural, tempat bagus untuk latar foto. Lightingnya juga oke menurut kami. Teduh dan tentram. Ada AC pula jadi gak akan kepanasan. Wait, di Bandung kepanasan? Iya bisa kok kalau kata orang Bandungnya mah, kalau orang Jakarta mah gak mungkin kepanasan ya di Bandung :D 

Penilaian ini didasarkan karena kami satu-satunya tamu di lantai 2. Kalau kondisinya sedang ramai mungkin berbeda rasanya ya :D 

Okeh. Kita bedah rasa. Gak semua menu kami pesan. 3 menu bakso, 2 menu minuman. 



Green Yamin (+Bakso Urat Sedang)
17.500


Saya pesan yang asin. Rasanya oke juga. Asin dan gurih. Mienya tipis dan keriting. Kata Teteh yang melayani kami, warna hijau didapat dari sayuran. Entah apa sayurannya saya gak nanya. Memang terasa alami sih rasanya, bukan hijau dari bahan kimia. Menu ini oke juga, saya rekomendasikan kalau kamu makan-makan di Bakso Boedjangan. Porsinya untuk saya sih kurang banyak. 



Yamin Premium (+Bakso Urat Sedang)
18.500


Pesanan Indra. Rasanya enak banget! Ini menu terbaik dari 2 menu pesanan kami lainnya. Bentuk mie sama dengan Green Yamin. Manisnya, luar biasa enak. Manis dan gurih. Kecapnya enak tuh, kan ada ya yang kecap gak enak. Saya gak tahu bagian premiumnya di mana karena gak ad ayang istimewa selain rasanya. Porsi untuk Indra kurang mengenyangkan. 

Dan tambahan Bakso Urat Sedang yang ditempatkan dalam mangkok ukuran standar itu kelihatan sangat….sedikit :D Satu bakso, mangkuknya besar. Ganti mangkuk kecil saja agar efek 'sedikit'nya berkurang. 



Menu standar, Bakso Komplit
12.500


Ada bakso, bihun, mie, dan sayuran. Rasanya yang paling biasa. Kuahnya standar. Dibilang enak ya enggak, tapi gak enak juga terlalu jahat kayaknya :D Yang pasti mah kandungan MSG dalam kuah terasa kosong alias nihil. Cocok lah untuk ibu-ibu yang gak mau anaknya makan bakso berMSG. Eh ini tebakan saya doang ya gak ada MSG :D 

Atau bisa jadi kandungan tulang dan daging yang dikuahkan kurang banyak makanya kurang kuat rasa kuahnya. Yah ini menu standar banget lah rasanya. 



Air Mata Buaya
12.500

Terdiri dari sirup warna merah, air soda, selasih, dan agar-agar. Minuman yang cocok setelah menyantap seporsi bakso. Segar dan tentu saja manis. Efek kenyal-kenyalnya ibarat sedang mengunyah bakso dalam bentuk minuman :D *apa sih hehehe* Oke nih minumannya. Pesan ya kalau ke Bakso Boedjangan. 

Lemon Tea
8.500

Standar tapi enak. Apakah lemon tea-nya lemon tea kemasan? Entahlah. Rasanya oke-oke saja. 




Total uang yang harus kami bayar setelah kena pajak adalah Rp 76.450. Makan bakso untuk bertiga harganya kemahalan menurut saya mah. Ya ada harga ada rupa. Namun nampaknya ini terakhir kalinya kami datang ke Bakso Boedjangan. Kembali ke tukang bakso langganan saja. Hehehe. 


Derai Pinus di Balitsa Lembang

18 July 2016
Di kejauhan kabut tipis masih berbayang. "Harusnya sudah di sini jam 6 pagi kalau mau ngerasain kabut mah, Neng," kata sopir angkot jurusan Cikole - Lembang yang duduk di samping saya. Jam setengah delapan pagi saat saya dan Nabil duduk di samping pak sopir angkot.

Di penghujung musim liburan itu, saya pergi menuju sebuah tempat bernama Balitsa yang terletak di Desa Cikole, Lembang. Dari rumah saya menumpang angkot sebanyak 2x, angkot terakhir yang saya tumpangi kuning warnanya, disopiri seorang bapak-bapak yang senang bicara :D 

Hari masih terlalu pagi. Tidak ada kemacetan ke arah Lembang, begitu juga sebaliknya. Jalanan lengang. Duduk di tepi jendela angkot, saya memandang kabut yang menggantung di tebing-tebing perbukitan. Jalan berkelok-kelok, 'seperti cacing' kalau kata Nabil anak saya. 

Sedikit sesal karena kesiangan, padahal sudah janji pada Malia akan datang pukul 6 pagi karena ingin memotret kabut Lembang. Rencana gagal total. Saya tiba di Cikole pukul 8. 

Hari minggu (17/7/2016) saya mencicipi akhir pekan rasa masa lalu di Lembang. Bersama dengan Komunitas Lembang Heritage saya melihat dua sudut wajah Lembang: Balitsa dan Sindang Reret. 

Sebanyak 95% kawasan yang dijelajahi adalah Balitsa (Balai Penelitian Tanaman dan Sayur).

Saya tidak punya bekal pengetahuan apapun tentang Balitsa, kecuali tiga hal.