Social Media

Kampung Andir Purwakarta, Pemukiman Rumah Adat Sunda

13 January 2016
Purwakarta masih kelabu. Hujan deras semalam menyisakan mendung yang menggantung. Hari ini hari terakhir saya berada di Purwakarta, sore nanti akan kembali ke Bandung.

Setelah menyaksikan Air Mancur Sri Baduga dan Museum Diorama, sekarang judulnya menengok semesta Purwakarta. Naik ke daerah yang lebih tinggi dari pusat kotanya. Berkunjung ke Kampung Andir, santap siang di Warung Sate Maranggi yang sederhana tapi luar biasa nikmatnya,  dan menjadi tamu di Legok Barong.

(Baca juga: Cara Menuju Purwakarta)


Hari ini satu orang istimewa akan mengantar kami. Warga lokal Purwakarta, sehari-hari bekerja di dinas pemerintahan setempat. Ata namanya. Kang Ata, begitu saya menyapanya.

Rumah Sunda di Kampung Andir


Kampung Baru, begitu warga desa di sekitar kampung tersebut menyebutnya. Namun secara resmi nama kampung kami tuju adalah Kampung Andir. Terletak di Desa Cianting Kecamatan Sukatani, Kampung Andir ini dapat kita capai melalui Jalan Raya Plered. Plered populer sebagai sentra keramik. Tapi kami tidak berkunjung melihat pembuatan keramiknya. 


Pertaruhan sebagai warga Purwakarta yang disandang Kang Ata mulai diuji. Tersesat dua kali ke Kampung Andir, ia tampak senewen. “Agak lupa posisinya di mana,” ujar Kang Ata sambil tersenyum.

Tidak ada papan petunjuk jalan. Kang Ata bertanya pada penduduk yang nongkrong di pinggir jalan. Tidak nyasar terlalu lama, sampai lah kami di Kampung Andir. Oala…pantas tersesat, jalan masuknya memang agak tricky. Dari kota Purwakarta, jalan masuknya berada di sisi kiri jalan raya Plered. Ada tanah lapang di situ, itulah pintu masuknya.

Saya membayangkan perjalanan offroad panjang, seru, dan menegangkan yang akan kami tempuh menuju Kampung Andir. Tapi tidak tuh. Berjalan kaki 10 menit dari pinggir jalan raya Plered juga sudah sampai. Jalannya masih berupa tanah bukan aspal. Semoga Pemkab Purwakarta secepatnya mempermulus jalan pendek tersebut.

(Baca juga : Menginap di Purwakarta, Enaknya di Mana ya?)


There you go, Kampung Andir. Sekali bertatap mata saya tahu mengapa kampung ini unik. Satu kampung bentuk rumahnya sama: Rumah Adat Sunda.

Saya mengenal orang sunda sebagai orang yang dekat dengan alam. Memiliki balong dan kebon tuh cita-cita sederhana orang Sunda deh kayaknya. Menanam sayuran di kebon dan memelihara ikan di balong. Sumber pangan mereka sederhana toh sehari-hari ada di sekitar mereka. Sama halnya dengan tempat tinggal, sederhana, fungsional, dan ramah lingkungan.

Atap rumah adat sunda berbeda beda jenis dan namanya tergantung bentuk atap dan pintu rumahnya. Ada Suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka Pongpok. Bentuk paling umum namanya Suhunan Jolopong karena bentuknya paling sederhana. Kita dapat melihatnya di desa-desa cagar budaya.

Desa cagar budaya khusus adat sunda masih ada yang bertahan. Baduy Luar di Banten, Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Mahmud di Bandung, Kampung Dukuh di Garut, dan Kampung Ciptagelar di Sukabumi. Satu kampung jumlah penghuninya sama, kalau berlebih mereka diharuskan keluar dari kampung tersebut.

Makin sedikit jumlah Kepala Keluarga di suatu kampung, jaminan keamanan sosialnya makin kuat. Gampang dikontrolnya kali maksudnya ya. Nampaknya hal yang sama hendak diterapkan di kabupaten Purwakarta, yakni membuat pemukiman dengan rumah adat sunda dengan jumlah rumah yang sudah ditentukan.

Kampung Andir ini rencananya akan menjadi desa wisata. Tapi dari hasil kunjungan saya ke sana (halah kunjungan...wkwkwkw orang penting banget), PR-nya Pemkab Purwakarta masih banyak. Menyediakan sarana air bersih dan listrik, menyediakan akses jalan yang mulus, juga menciptakan aktivitas yang menarik turis-turis. Hari gini apa yang gak masuk Instagram. Emang sih kesannya buatan banget ya, tapi menurut saya kenapa enggak. Selama warga senang dan mau diarahkan ya fair aja. Win-win solution.




Berderet rapi, rumah sunda di Kampung Andir ada 66 jumlahnya. Baru terisi 44 keluarga. Mereka yang menempati rumah ini merupakan warga yang direlokasi dari Cilawang, kawasan yang mengalami longsor beberapa tahun lalu.

Satu keluarga Kampung Andir menyambut kami. Duduk di emper, kami mengobrol ke sana ke mari, berkenalan sampai mencurahkan isi hati. Pindah dari tanah kelahiran pastinya berat di hati. Tapi saya rasa keukeuh menghuni rumahnya di Cilawang juga resikonya tinggi. Longsor bisa terjadi lagi.

Saya permisi pada mereka, mengambil waktu sebentar untuk berkeliling Kampung Andir. Melihat keseharian mereka, mengenal lebih dekat. Terdengar lagu sunda yang terpancar dari radio dari salah satu rumah, bayi merengek, dan sekumpulan anak perempuan yang asyik bersenda gurau.

(Baca juga : Gowes Sepeda Onthel di Museum Diorama)


Ayam-ayam berkeliaran. Tidak ada kandangnya. Bentuk rumah yang semi panggung memang dilakukan secara sengaja, bagian kolong rumah dijadikan rumah untuk ayam-ayam tersebut.

Menarik juga konsep kampung dengan rumah adat sunda ini. Bupati Purwakarta yang saya kenal sebatas berita di surat kabar dan media online, memang punya ketertarikan pada budaya dan sejarah, khususnya budaya sunda. Tidak heran program-programnya sering bersinggungan dengan tema kesukaannya tersebut. Dari taman air mancur dan museum diorama yang saya lihat kemarin, saya percaya beliau tidak setengah-setengah orangnya. 







Belum sempurna benar memang, harus ada petugas pemerintah yang mengecek secara berkala fasilitas umum di Kampung Andir. Kalau ini proyek ini berhasil, warga terpuaskan, saya yakin proyek-proyek pemerintah yang lain bisa melenggang mulus.

Sebelum pamit, saya jajan banyak di warung. Kok sudah lapar ya, padahal baru jam 10.30.

Berunding dengan teman seperjalanan, kami sepakat untuk makan siang. Kang Ata berkeling, pertanda cowok pendiam ini mengetahui sesuatu yang kami sama sekali tidak mengetahuinya. Kang Ata menawarkan sebuah tempat yang istimewa. “Makan Sate Maranggi aja, ya. Enak satenya. Terkenal tempatnya. Malahan jadi langganannya Bupati Purwakarta,” ujar Kang Ata, bangga. 

Rupanya sudah jadi rahasia umum kalau orang nomor 1 di Purwakarta tersebut adalah pelanggan setia Warung Pareang, rumah makan tersebutlah yang kami tuju, ke Desa Kiarapedes, Kecamatan Kiarapedes.

Sate Maranggi di Warung Pareang, Sop Sapinya ENAAAAAAAAAAK!


Oke gak basa basi ya. Kalian wajib memesan menu Sop Sapi di rumah makan ini. Gila enaknya kebangetan! ENAK ENAK ENAK! Enaknya harus saya pangkatin sejuta. Menurut saya skor kelezatan sop kakinya melebihi rasa satenya.

Pedas dari merica terasa begitu kuat mendominasi sop sapinya. Beradu dengan bumbu rempah lainnya, pedas itu hanya di mulut saja karena di perut saya efeknya sangat menghangatkan. Seperti memakan masakan nenek, ada banyak rasa cinta di situ.

Saya kayaknya mengalami mabok sop sapi Warung Pareang. Pertama kali menyuap sop kakinya, rasanya melayang-layang, seperti dikirim pulang ke rumah, ke kampung halaman. Seruput sop tersebut untuk kedua kalinya, eugh…tubuh ini terasa lebih ringan, seperti terangkat ke udara. Tambahkan nasi, tambahkan sate…ugh…saya gak bisa berhenti makan. Tahu-tahu perut sudah penuh, mangkok dan piring di hadapan saya ludes tak bersisa, tandas tiada ampun.






Segelas teh hangat meredakan semarak daging sapi di dalam mulut dan perut saya. Ueghhhh bahkan sesederhana minum teh juga masih sedap. Saya bisa pingsan keenakan di sini.

Selesai? Belum. Ada duren. Hahahaha! Daging-daging sapi yang bertemu daging-daging duren, alamak pesta pora tak henti-henti perut saya ini! Tolong seseorang pencetkan tombol stopnya!

Ya Tuhan, barusan itu kenikmatan tiada tara. Saya berada di Pareang, di sebuah saung warung makan sederhana di dataran tinggi Purwakarta, tuan rumahnya sangat ramah, dan menu-menunya luar biasa nikmat. Sampai pada menit kami pergi dari warung makan ini, saya berbisik dalam hati, berjanji akan kembali lagi ke sini. 
Warung Pareang di antara perkebunan teh Purwakarta: highly recommended! Ada rasa yang berbeda dari mericanya. Membaca nama desanya, Kiarapedes, harusnya sih di sana banyak pohon lada ya. Karena Kiara = pohon, pedes = merica, lada.

Dari Purwakarta arahkan kendaraan ke Wanayasa. Di suatu titik yang bernama Pangkalan Ojek Desa Legokhuni, kalian belok kiri. Nah dari sini tanya-tanya penduduk saja Warung Pareang di mana. Saya kehilangan orientasi waktu mencatat petunjuk arah, banyak sekali jalan simpang tiga di sini. Untungnya Kang Ata sudah tahu arah jalannya.

Warung Pareang, Desa Kiarapedes, Wanayasa Purwakarta
Sop Sapi Rp 20.000
Sate Maranggi Rp 2.000/tusuk
Nasi Rp 5.000

Selamat Datang di Legok Barong!


Masih di kawasan Wanayasa, dari Kiarapedes kami turun gunung sedikit. Aduhai pemandangannya elok sekali. Perkebunan teh, jalan aspal lurus dengan kontur tanjakan dan turunan. Tidak jauh di batas cakrawala sana ada gunung tinggi menjulang tertutup kabut. Garis-garis gunungnya yang kokoh dan gagah masih bisa saya lihat. Duh cantiknya...

Kembali ke jalan utama, kami hendak ke Legok Barong. Nah ini juga sama, tidak ada papan petunjuk jalannya euy. Jalan masuknnya ada di sebelah kiri jalan kalau dari arah kota Purwakarta. Jalan menyempit dan menanjak. 10 menit kemudian kami berbelok mengambil arah masuk hutan. Udara makin sejuk dan segar.

Tiket masuk ke Legok Barong Rp 2.000/orang. Saya pikir tempatnya bakal sepi ternyata sebaliknya, ramai kunjungan dari warga lokal, muda-mudi dan keluarga kecil. Mungkin karena hari minggu juga ya. Hari berlibur sedunia.

Ada dua tempat khusus yang bisa kita lihat di sini. Gua Panyileukan dan Curug Cimanah Rasa. Saya dan teman-teman mau lihat curugnya saja. 

Berjalan kaki sekitar 2 km. Medan perjalanan termasuk mudah. Berupa jalan setapak bertanah liat dengan pemandangan pepohonan pinus. Makin jauh langkah kaki mengayun, makin rapat dan banyak jenis pepohonannya. Untungnya tidak hujan, kalau hujan pasti menyulitkan sih.

Makin masuk ke hutan, udara makin lembab. Nyamuk bertebaran, seperti kejang-kejang, gak nahan senang melihat manusia :D Horeee makan besar, gitu kali kata nyamuk-nyamuk.

Air terjunnya tidak terlalu istimewa, debit air pun kecil. Ceruk di bawah air terjunnya mirip kolam air. Bisa nyemplung ke dalamnya karena dangkal.









Kami bukanlah satu-satunya yang berada di Curug Cimanah Rasa. Ada sekitar 10 orang lainnya di situ sedang asyik berswafoto. Meski penampilan curug ini sederhana, ya lumayanlah orang-orang berdatangan ingin bermain air dan berfoto di sini.

Saya juga sempatkan bermain air sebentar. Jadi penasaran dengan Curug lainnya di Purwakarta. Curug Cijalu misalnya. Lain kali datang lagi ke Purwakarta, saya susurin satu-satu air terjunnya. 

Khawatir akan turun hujan, kami segera balik arah ke tempat tadi memarkirkan mobil. Dua kilometer kembali kami susuri. Saya baru menyadari ada beberapa jalan yang bercabang karena sempat salah memilih cabang jalan :D Sebenarnya gak usah takut tersesat karena di tiap cabang jalan ada batu-batu yang dicat, berfungsi sebagai petunjuk arah.
Istirahat dari total perjalanan kaki sepanjang 4 km, saya duduk mengamati wisata alam Legok Barong. Sebotol air minum sudah habis. Kang Ata menyapa, memberi kode untuk pulang “hayuk atuh,” katanya.

Maka beranjaklah kami semua, turun gunung kembali ke kota Purwakarta. Kang Ata menurunkan kami di pool travel, lokasi yang sama dengan titik kedatangan kami di Purwakarta hari sabtu kemarin.

Ini dia waktunya, memberi salam sampai jumpa pada Purwakarta. Dua hari yang menyenangkan, memuaskan, dan memberi pengalaman baru. Purwakarta memang istimewa. Kulinernya, wisata alamnya, semangat kemandiriannya. Semoga mereka gak berhenti berinovasi, mau melihat ke depan dan menjemput impian menjadi sebuah kabupaten yang maju.






Teks : Nurul Ulu Wachdiyyah
Foto : Nurul Ulu Wachdiyyah
20 comments on "Kampung Andir Purwakarta, Pemukiman Rumah Adat Sunda"
  1. Aihh, pemandangan kayak gini emang seger banget ya :) apalagi sambil menikmati sajian kuliner di atas, makin mantep tuh..

    ReplyDelete
  2. gambarnya bagus - bagus banget, jadi kepengen main kesana klo weekend penasaran penegn liat kampung andirnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pemandangan aslinya emang bagus, Mba. Semoga pas kita ke sana lagi, Kampung Andir sudah siap menampung wisatawan yah :)

      Delete
  3. Duh pemandangannya bagus, pengen kesana. Kampungnya asri banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bagus, Mba. Masih dalam pembangunan menuju kampung wisata sih ini kampungnya.

      Delete
  4. Pemandangannya oke banget. Foto sopnya bikin laper bangeet :). Makasih infonya, mba :)

    ReplyDelete
  5. Aku kenal purwakarta karena sate marangginya hehehe, jalan2nya menyenangkan banget :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya seru! Ikon banget ya Sate Marangginya, tapi emang yang enak ada di sana. Di Bandung ada yg jual, rasanya biasa aja.

      Delete
  6. Saya tiga tahun jadi warga Purwakarta belum pernah ke tempat-tempat ini. Tapi dulu mgkn belum sebagus ini. Skrg karena Pak Dedy cinta budaya, makanya dipercantik ya.

    ReplyDelete
  7. Ko baru dengar ya kampung Antir..sate maranggi permah nyoba juga yg deket tol..enaak

    ReplyDelete
  8. dari stasiun purwakarta ke kampung andir naik apa yah
    mohon info y

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh saya gak tahu euy. Kampung Andir ada di Plered. Kayaknya naik angkot yang ke Plered. Cuma dari mananya saya gak tahu, bisa ditanya ke petugas stasiun kereta api saja. Semoga mereka bisa membantu, Mba.

      Delete
  9. salam.... mba boleh minta informasi ga? saya rencana mau mengadakan penelitian dan observasi kampung andir punya informasi berupa kontak ketua adat atau yang mengurus perizinan kunjungan mahasiswa? terima kasih mba

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah gak punya informasinya euy. coba tanya admin instagram @explorepurwakarta aja, mba. siapa tahu bisa bantu. atau kontak bupatinya di twitter, beliau suka jawab pertanyaan followersnya.

      Delete