Social Media

#NgobrolSore di Pustrop Wanadari: Menyelam dengan Kaki yang Lumpuh, Ekspedisi Lukisan Purbakala, dan Keliling Dunia 181 Hari

06 November 2015
Beberapa bulan lalu saya membeli sebuah buku. Judulnya: 51. Pilihan judul buku yang gak biasa. Buku ini memuat 51 foto lengkap dengan teks cerita fotonya. Darmastyo adalah penulis, fotografer, dan traveler yang menerbitkan buku 51.

Saya follow Icak -nama panggilan Darmastyo- di Instagram. Saya tahu dia traveling sendirian ke beberapa negara. Begitu tahu kalau Icak juga mengeluarkan buku 51, saya langsung memesannya.

Sebagai orang yang belum diberi kesempatan untuk keliling dunia, saya lampiaskan dengan banyak membaca buku dan melihat foto-foto. Terutama foto-foto cerita seperti yang ada di buku 51 karya Icak.

Jenis foto yang saya suka adalah foto cerita. Bukan foto selfie dan bukan foto OOTD (outfit of the day, itu lhooo :D). Karena foto cerita selalu menggambarkan rekaman peristiwa sehari-hari atau kejadian yang monumental. Kita kan jadi tahu kejadian apa yang ada di belahan bumi lain berkat foto-foto cerita kayak yang Icak terbitin di bukunya. 

Kalau ada teman atau kerabat yang berencana traveling, saya suka minta oleh-oleh berupa foto cerita. Ya syukur-syukur ditambah dengan t-shirt, gantungan kunci, sticker, atau postcard. Hahaha!

Bohong kok :D Saya cuma minta diperlihatkan foto-foto selama mereka traveling saja. Terkadang kalau mereka tidak keberatan, saya suka minta ketemu. Ngapain? denger langsung cerita travelingnya dong. Melihat saja belum cukup, mendengar langsung cerita dari orangnya kan beda sensasi lagi.

Karena alasan itulah saya menghadiri acara #NgobrolSore Pustrop Wanadri edisi Sumpah Pemuda 'Buku, Dedikasi, dan Inspirasi', untuk mendengar langsung  cerita perjalanannya Icak.

Ini pertama kalinya saya berkunjung ke Pustrop. Kalau tidak melihat poster acara yang dishare teman saya di Facebook, mungkin saya di rumah saja dan menonton televisi.

Sumber foto: Instagramnya Pustrop Wanadri

Pustrop Wanadri berada di jalan Batik Jonas no. 11 Sukaluyu Bandung. Kira-kira ada di belakang kampus ITENAS.

Pustrop sendiri merupakan singkatan dari Perpustakaan Tropis. Bagian dari Wanadri khusus untuk kegiatan literasi, riset, diskusi, dan ngopi-ngopi. Pustrop Wanadri buka untuk umum setiap hari pukul 09.00 – 17.00.

#NgobrolSore merupakan acara berkala yang diselenggarakan di hari tertentu pada jam tertentu. Temanya beragam, tapi garis merah tema obrolannya kira-kira traveling, kegiatan sosial, dan lingkungan.

Pada tema 'Buku, Dedikasi, dan Inspirasi' , Jumat 30 Oktober 2015, ada tiga orang yang jadi pembicara. Duh kata 'pembicara' ini memberi kesan acaranya serius. Padahal acara #NgobrolSore santai banget! Ada sajian kopi, teh, dan gorengan. Pembawa acaranya juga becanda melulu :D

Acara #NgobrolSore dimulai pukul 18.30. Sementara saya datang pada pukul 20.00. Belum terlambat amat sih, karena baru satu dari tiga orang yang presentasi baru saja saja menutup obrolannya ketika saya tiba.

Feri Latief, fotografer majalah National Geographic Indonesia, menjadi pembicara yang kedua. Beliau berbagi tentang perjalanannya merekam ekspedisi pencarian Gua-gua dan lukisan purbakala.

Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan daerah NTB-NTT menjadi kawasan yang dijelajahi tim arkelog termasuk Feri Latief. Perjalanan menyusuri Gua-gua tersebut memakan waktu satu-dua hari perjalanan jalan kaki diseling berperahu sampan. "Tiap daerah beda-beda tantangannya," cerita Feri. "Buat saya yang paling berat medannya di Kalimantan."


Photo Courtesy : Feri Latief. Follow Instagramnya @feri_latief

Tim arkelog yang diceritakan Feri Latief berhasil melacak gua-gua yang terdapat lukisan purbakala. Kebanyakan lukisan yang saya lihat dari foto jepretan wartawan foto ini adalah lukisan tangan.

Dan ya namanya juga wartawan fotonya National Geographic Indonesia ya, fotonya…mmmhhh….BUAGUS-BAGUS! Entahlah bagaimana cara Feri Latief memotret di dalam gua. Katanya sih merunduk, jongkok, berbaring, daaan aneka macam posisi lainnya.

Sesuai tugasnya, sepanjang perjalanan Feri Latief tidak berhenti memotret. Indah sekali panorama alam yang saya lihat di foto-fotonya. Membayangkan bahwa nenek moyang saya pernah menghuni daerah-daerah terpencil seperti dalam fotonya Feri Latief, saya tidak bisa berhenti terpesona.

Melalui foto-fotonya, Feri Latief ini semacam perpanjangan tangan yang menceritakan kisah tim ekspedisi dan hasil penemuan lukisan purbakala. Kalau gak difoto, mana tahu kalau manusia purbakala pernah tinggal di tempat-tempat terpencil itu. Mana tahu kalau lukisan itu ada di sana kan.

Ilmu itu memang datangnya dari mana saja, bukan melulu guru atau profesor. Tapi juga fotografer dan traveler. Modalnya apa? Nyatet dan motret.

Anyway, pembicara terakhir setelah presentasi Feri Latief adalah Darmastyo (Icak). Ya, Icak nih gilirannya berbagi cerita perjalanan. Memulai perjalanan dari Sumatera, Icak berkelana 181 hari ke berbagai negara hingga ke negeri China.

Icak memulai presentasinya dengan menceritakan satu per satu foto yang ia muat dalam buku 51. Foto pertama tentang Gajah di Waykambas dan Icak yang kemalaman di taman nasional tersebut lalu menginap di pos penjaga. Foto berikutnya tentang pemakaman di Tibet.

Saya baru tahu kalau jenazah di Tibet didiamkan selama tiga hari, lalu diletakkan di alam terbuka. Tubuh jenazah tersebut disayat terlebih dahulu. Buat apa? Supaya memudahkan Burung Bangkai memakan jenazahnya. Iyaaa, jenazahnya sengaja dikasih ke para burung bangkai. 'Sky Dancer' sebutan buat burung bangkai di Tibet, kalau kata Icak. Namanya cantik banget untuk hewan pemakan bangkai, apalagi ini memakan jenazah manusia.

Ternyata memang seperti itu kebiasaan di Tibet. Mereka percaya kalau para Sky Dancer ini yang akan membawa para jenazah ke surga. "Orang Tibet percaya hidup itu siklus dan kematian bukanlah sesuatu yang harus disedihkan," cerita Icak lagi.

Dalam narasinya, Icak berulangkali bilang kalau selama dia traveling dia selalu mencatat. Iya saya setuju banget! Catatan dan foto perjalanan bukan untuk dipamerkan terus sombong-sombongan. Tapi sebagai pengingat sejarah, penanda kalau kita pernah ke sana dan apa yang kita alami selama mengarungi perjalanan tersebut.

Lagipula jalan-jalan gak melulu tentang bersenang-senang toh. Dari traveling kita bisa ketemu orang lain yang budayanya berbeda, pola pikirnya berbeda, cara hidupnya pun berbeda. Dan perbedaan ini bukan untuk diributkan. Seperti kata Icak "Perbedaan itu ada untuk dihargai. Pergi seluas-luasnya supaya tahu kebudayaan orang lain seperti apa."

Mudik ke Indonesia setelah merantau keliling dunia, Icak mengaku sudah tidak lagi punya banyak uang. Tabungannya ludesdes!

"Pulang ke Indonesia saya gak punya uang. Saya jual motor dan bikin buku. Saya bangga banget! Jangankan yang jual motor, yang punya motor saja belum tentu bisa nerbitin buku kan?" Kalimat dari Icak yang bikin geeeer peserta #NgobrolSore.


Cuplikan dari Photobooknya Darmastyo. Follow Icak di @Darmastyo

Perjalanan Icak keliling dunia makan waktu 181 hari. Kalau melihat foto-foto dan mendengar ceritanya, tipe travelingnya Icak bukanlah tipikal perjalanan fancy. Gak mewah sama sekali. Icak cocok disebut sebagai backpacker. Menginap di hostel murah, numpang kendaraan orang lain, makan pun seadanya gak niat banget nyari makanan yang ada nasinya.

Pasti deh malam itu peserta #NgobrolSore banyak yang terinspirasi. Mungkin sesampainya pulang nanti ke rumah atau kos-kosan, mulai pada nabung untuk bekal keliling Indonesia dan dunia.

Anyway, karena saya gak melihat pembicara yang pertama, saya browsing aja tentang orang yang namanya Irfan Ramdhani ini. Beliau adalah penulis buku Tabah Sampai Akhir.


Foto saya pinjam dari Instagramnya Irfan, follow @ramdhani_irfann

Bukunya memuat kisah nyata Irfan dalam berjuang menghadapi perubahan dalam hidup dan inspirasinya untuk menjalani hidup meski dengan dua kaki yang lumpuh. 

Kecelakaan yang dialami Irfan menyebabkan kakinya lumpuh dan tidak bisa berjalan lagi. Tapi Irfan gak patah arang. Usai pengobatan dan berbagai terapi yang dijalani Irfan, dia kembali melanjutkan hobi travelingnya tidak hanya ke pegunungan tapi juga menyelami lautan! Menjadi penyandang disabilitas gak berarti gak bisa jalan-jalan dan menikmati hidup, Irfan berhasil membuktikannya. Salut!

Ki-ka : Heri Latief, Irfan, Icak, dan host acara
Sumber foto : Instagram Pustrop Wanadri

Pulang dari acara #NgobrolSore Pustrop Wanadri, saya ngerasa otak saya menggendut, semangat saya menggebu dan mata saya ngantuk! Hahaha. Acara yang katanya selesai pada pukul 21.00 itu molor hingga pukul sebelas malam. Saya sendiri tidak menyadari malam sudah selarut itu :D tahu-tahu di jalan pulang ngantuk aja.

Terima kasih, Irfan, Feri, dan Icak. Juga Terima kasih, Pustrop.


Perpustakaan Tropis Wanadri
Jl. Batik Jonas No. 22
09.00 - 17.00

Instagram Pustrop di sini. 
Facebook Pustrop di sini. 


8 comments on "#NgobrolSore di Pustrop Wanadari: Menyelam dengan Kaki yang Lumpuh, Ekspedisi Lukisan Purbakala, dan Keliling Dunia 181 Hari"
  1. tuh, kaaan! Saya juga setuju banget foto yang banyak bertebaran di internet adalah sebuah karya. Suka sebel aja kalau digeneralisir foto-foto itu pamer. Upload makananm, perjalanan, dll selalu dianggap pamer. Padahal foto bisa menjadi cerita. Bisa juga kita terinspirasi. Atau minimal sekadar kagum, lah. *Duh, pagi-pagi saya jadi curcol di sini :D*

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkwkwkwk :D sering disebut pamer ya, mba chi? hahaha aduh sabar ya, maju terus pantang mundur! tetep foto-foto dan nulis-nulis!

      Delete
  2. Keren banget mas Ical, menginspirasi. Saya juga suka foto-foto yang berisi cerita , Lu.

    ReplyDelete
  3. Aaaak suka banget sama foto-fotonya, bahkan semua mengandung arti disetiap jepretannya.
    Seneng ya dapat pengalaman dari temen-temen sampai gak kerasa waktunya molor hehe

    ReplyDelete
  4. Ceritanya Menarik banget Mak. Inspiratif.

    Salam kenal Mak ;)

    ReplyDelete
  5. Aku malah suka lihat-lihat foto orang traveling. Ga pernah berprasangka buruk kalo mereka sedang pamer. Di IG aku follow akun-akun traveller. Btw, nice post, Ulu. Baru tahu juga tentang Sky Dancer itu. :)

    ReplyDelete