Social Media

Image Slider

Cara Menuju Ciletuh - Sukabumi

27 November 2015


Petunjuk arah yang saya cantumkan di sini keberangkatannya dari Bandung ya.

Kendaraan Umum
1. Naik bis jurusan Sukabumi di Terminal Leuwi Panjang. Turun di Terminal Sukabumi.
2. Lanjut naik angkot jurusan Cisaat.
3. Turun di Cisaat dan lanjut dengan menumpang Elf sampai di pertigaan desa bernama Surade (benerin ya kalau saya salah tulis nama desanya :D) , bilang ke sopirnya kamu mau ke Ciletuh. Perjalanan dari kota Sukabumi kira-kira 3 - 4 jam. Elf hanya beroperasi sampai pukul 5 sore.
4. Di pertigaan Surade, perjalanan dilanjut naik Ojek. Butuh sekitar 30 menit lagi untuk sampai di Ciletuh.


Kendaraan Pribadi
1. Aktifkan google map atau GPS. Arahkan kendaraan menuju Sukabumi. 
2. Setir kendaraan ke arah Cisaat. Nah dari sini saya gak ingat mesti ambil jalan yang mana, yang pasti sih arahnya sama dengan Ujung Genteng. Nanti di Surade kalian belok kanan. 

Oiya, untuk Wisata di Ciletuh, saran saya kontak teman-teman di PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi). Cek facebook PAPSI dengan klik yang ini.  Baca paket wisata di Ciletuh di sini.  Selama saya di sana, mulai dari penginapan, makan, kendaraan, air minum, sampai foto-foto dan bantuan perjalanan di medan-medna yang sulit disediakan oleh PAPSI. 

Saya gak saranin pergi pulang hari. Mendingan menginap satu atau dua malam di Ciletuh. Satu hari aja mah kurang banget euy, belum lagi durasi perjalanan ke Ciletuh yang panjang. Saya dan teman-teman ambil paket wisata yang 3D2N, tiga hari dua malam. Sekitar Rp 750.000/orang. 


Teks : Nurul Ulu

Trip to Ciletuh 4 : Memanjat Pohon di Curug Tengah

26 November 2015

Hari terakhir berada di Ciletuh yang pagi itu langitnya mendung. Jadwal hari ini mengunjungi dua curug dan satu tempat bernama Panenjoan. Lagi-lagi Land Rover jadi kendaraan pengangkut orang-orang kota Bandung ke lokasi air terjun. 

Curug Tengah. Saya menobatkan jalur jalan ke curug ini sebagai meda tersulit dan terberat. Awalnya sih cuma berjalan kaki di garis-garis pematang sawah. Panorama alamnya di sini aduh gustiiii bagusnyaaaa! Air terjunnya sudah nampak, tapi bukan penampakan air terjun itu yang kami tuju. Curug Tengah masih berada di bagian bawah dari tanah yang kami pijak. 

Sekitar 15 menit berjalan kaki di pematang sawah kami mulai menerjang turunan yang curam dan offroad alias permukaannya bertanah.

Hujan semalam membuat tanahnya kian lunak dan licin. Atas usulan PAPSI, Biofarma membantu menyediakan sarana tali tambang di sepanjang trek tersebut hanya pada satu sisi. Sambil berjalan turun, pengunjung dapat bertopang pada tali tambang tersebut. Talinya berukuran tebal dan sangat cocok untuk digunakan dalam aktivitas 'ekstrim' yang saya dan teman-teman lakukan menuju Curug Tengah. 

Awalnya sih jalurnya masih gampang aja, lama-lama kok makin curam yah :D Bagian tersulit adalah pada waktu harus memanjat/turun dari pohon. Tangan kiri saya yang pernah patah dan bengkok ini terasa nyut-nyutan. Untuk memindahkan badan dan kaki, tangan kiri saya harus bekerja lebih keras :D Alamak…senang rasanya bisa melalui itu semua dengan…anu… apa ya… dengan deg-degan, berat tapi lancar :D heuheu. 

Curug Tengah ini cantik sekali! Meski katanya hujan baru empat kali turun di Ciletuh, tapi debit airnya sudah terbilang kencang sih menurut saya mah. Apalagi nanti ya di bulan Maret dan April. Wohooo ada lagi alasan untuk kembali ke Ciletuh. 

Saya bersalaman dengan Curug Tengah. Saya juga motret. Saya juga melamun :D gak melamun ketang, mikirin banyak hal sambil ngamatin air terjunnya. Oiya kedalaman air di curug ini mencapai delapan meter. Eeewww dalam sekali…

Abis itu kami ke Curug Awang. 

Perjalanan ke Curug Awang terasa sangat ringan mengingat jalur terjal di Curug Tengah. Memang setelah kesusahan, pasti ada kemudahan ya hehehe :D

Curug Awang sama indahnya dengan semua curug yang saya kunjungi di Ciletuh. Tapi kedalamannya dong paling juara, 12 meter aja gitu. Karena ini curug terakhir yang kami datangi, jadi kami berlama-lama di pelataran curugnya. Dipuas-puasin banget lah. Motret sampai lemes! Hihihi. 

Kembali ke Landy dan berangkat ke Panenjoan. Wah ini tempatnya terrrrgampang buat diakses. Gak ribet, gak susah, cuma 30 detik dari tempat parkir hehehe. Dari sini saya bisa memandang Ciletuh dengan sudut yang berbeda dengan yang saya lihat di Puncak Darma tapi dengan objek pemandangan yang sama. Megahnya ya ampun…

Panenjoan merupakan tempat terakhir kami berwisata di Ciletuh. Padahal masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak di sini. Tapi pekerjaan dan keluarga menanti.

Ciletuh kawasan yang kaya raya, bukan untuk ditambang sih, bukan sumber daya yang mineralnya bisa dikeruk sampai habis. Ciletuh surganya ilmu bumi. Untuk saya yang bukan peminat ilmu alam, pesona alam Ciletuh terlalu indah dan terlalu luar biasa untuk disimpan sendirian. Orang se-Indonesia harus tahu. Seluruh dunia harus tahu Ciletuh. 

Saat ini Ciletuh sedang disiapkan menjadi Geopark nasional yang diakui UNESCO di tahun 2017. Biofarrma dengan CSR-nya membantu warga di sana merintis jalan menuju pengesahan geopark tersebut. Semoga cita-cita tersebut terwujud. Indonesia punya potensi besar di bidang pariwisata, sayang kalau diabaikan.

Batu-batu purbanya yang sarat ilmu pengetahuan. Air terjunnya yang buanyak dan eksotis. Titik penglihatan yang megah dan epik seperti Puncak Darma dan Panenjoan.

Beruntung banget saya bisa mengunjungi Ciletuh. Terima kasih Biofarma dan teman-teman PAPSI.




Trip to Ciletuh 3 : Matahari Terbenam di Puncak Darma

25 November 2015
Perahu kembali membawa kami ke Ciletuh bagian-ada-peradaban. Saya masih jadi roti bakar hangus di sini. Tapi anehnya, sedang panas-panasnya, sedang haus-hausnya, sedang lapar-laparnya, saya tertidur perahu. Terbangun pun karena dipanggil teman. Lu, udah nyampe. Bangun, Lu.

Perahu merapat. Gak bisa dijelaskan betapa senangnya saya melihat warung dan segera membeli satu botol air garam yang kemasannya biru itu lho. Habis tiga kali teguk. Bisa nih balik lagi ke Pantai Cikepek :D hahahaha belagu.

Sesi yang ditunggu-tunggu tiba: makan. Sholat sudah, istirahat sudah, tiga botol minuman habis sudah. Saya dan teman-teman sudah cukup segar dan berenergi untuk menuju situs wisata berikutnya: Air Terjun Cimarinjung! 

Air terjunnya tinggi dan gak jauh dari areal parkir. Curug Cimarinjung saya nobatkan sebagai tempat wisata yang paling gampang dijangkau di Ciletuh. Gak ada halangan berarti lah pokoknya, enteng banget jalan kakinya. 

Bebatuan di sini besar-besar. Raksasa gitu ukurannya. Guedeee banget! Eksotis lah batunya. Gurat di tebing sekitar air terjunnya juga seksi banget. Rasanya seperti ada di teras sebuah Gua. Emang dulunya Ciletuh ini gimana bentuknya ya, banyak bebatuan yang unik deh. Dari yang kecil sampai yang raksasa. 

Di air terjun ini ada pintu airnya. Mungkin airnya dibelokin untuk mengairi lahan pesawahan ya soalnya di sekitar curug banyak sawah. Sepatu saya kembali basah di sini. Masa bodo lah hahaha yang penting bisa kecipratan air terjunnya dan motret dalam jarak dekat tapi aman. 

Kalau berkunjung ke air terjun saya selalu celupin entah tangan atau kaki ke dalam air terjunnya. Semacam perkenalan dengan mereka. Saya gak datang untuk motret saja. Saya juga pengen kenalan dengan air dari curug-curug itu. Agak lebay sih tapi ya ibaratnya kamu kenalan sama orang kan pasti bersalaman, nah cara saya bersalaman dengan benda kayak air terjun itu adalah mencelupkan tangan saya ke dalam airnya. Gak lebay ah. Cuma sedikit sentimentil gitu :D

Satu lagi kunjungan berikutnya sebelum menutup hari. Land Rover mengangkut kami ke Puncak Darma. "Cuma 30 menit aja, Teh," kata Akang-akang PAPSI. Dan saya cuma yang ah gampang 30 menit doang mah, deket dong. 

30 menit terlama dalam hidup saya hahahahaa :D

Jalan ke Puncak Darma offroad abis! Mending tanah datar doang gitu, ini mah berlubang lah, berbatu lah, sampai yang jembatan kayu doang ya ampun! Jalannya cuma muat satu mobil, jadi supir berkali-kali memencet klakson, siapa tahu ada kendaraan dari arah berlawanan. Saya gak bisa bayangin sih ada kendaraan lain di situ selain Landy yang kami naiki. Jalannya kayak gitu, mobil jenis apa lagi yang sanggup melintasinya selain Land Rover! Ada sih motor-motor, tapi motornya juga udah dimodifikasi.  

Tangguh banget emang Land Rover. Saya duduk di paling belakang dan masih menahan badan takut jatuh. Tiap nanjak kan gak ada ampun ya, gravitasi tetap aja menarik badan saya. Tapi saya udah capek jadi gak teriak-teriak ketakutan, malah ketawa. Teman-teman yang lain juga pada tertawa. Seru banget! 

Pemandangan laut terlihat dari kejauhan, menyembul di tengah dua bukit atau batang pohon bambu. Badan kami semua terguncang-guncang di dalam Landy, seperti sarden dalam kemasan yang dibawa lari anjing. Jalan seperti tak berujung. Lutut gemetar dan jantung saya pindah lokasinya entah di mana.

Sepanjang perjalanan berulang kali lihat pohon bambu dan tanah-tanah kosong, siapa yang menanam kebon di tempat seperti ini? 

Satu tanjakan terakhir dan hup! Sampai. Tiba-tiba tidak ada tanah yang lebih tinggi dari tanah yang kami pijak. Udara terasa lebih sejuk. Pemandangan menakjubkan. Rasanya seperti di puncak dunia. Langit berawan dengan sedikit biru di atas sana. Kami berada di Puncak Darma.

Terima kasih namanya Puncak Darma. Bukan bukit teletubbies atau nama norak lainnya. Puncak Darma adalah nama yang indah. 

Pengalaman terpanggang matahari di perjalanan pertama membuat saya sangat bahagia bisa ada di Puncak Darma. Seperti klimaksnya. Mungkin harus jadi roti bakar dulu sebelum merasakan momen rileks yang membahagiakan di ujung daratan ini. Hehe :D 

Ciletuh terlihat megah dari Puncak Darma. Lautan yang menjorok ke daratan. Dan daratan yang luas terbentang dengan perbukitan di tiap sisinya. Rumah-rumah bergerombol menandakan satu desa. Bagaikan Drone, saya bisa melepas pandangan dari satu desa ke desa yang lainnya dengan pandangan mata burung. 

Saya harus kembali ke Ciletuh tahun depan ketika musim hujan sedang sibuk-sibuknya. Pasti daratan Ciletuh lebih hijau dan lebat dari yang saya lihat sekarang. Pertunjukkan alamnya akan lebih dramatis! Kayaknya Maret dan April bisa dibilang best time buat berkunjung ke Ciletuh ya. 

Walaupun jejak kemarau masih dominan pada pemandangan yang saya lihat, saya gak bisa berhenti memotret. Tetap saja indah. Tapi saya harus berhenti moto euy. Saya harus menikmati panorama tersebut tanpa kamera. Duduk dan diam saja, melihat ujung cakrawala,dan berusaha merekam kuat-kuat momen perasaan berada Puncak Darma. Foto gak bisa merekam perasaan. 

Motret sudah, melamun sudah. Waktunya….makan! Ada dua warung bercokol (((bercokol)))) di Puncak Darma. Saya makan mie rebus di sini. Teman-teman juga menyantap sajian sederhana yang super gurih dan enak ini. Senangnya bisa makan mie rebus di tempat seindah Puncak Darma. Terima kasih, Tuhan! 

Gak tahu kebaikan macam apa yang sudah kami (kloter dua) lakukan sampai muncul satu bonus lainnya: SUNSET! Matahari. Terbenam. Matahari. Terbenam. Matahari. Terbenam. Matahari. Terbenam. Matahari terbenam di Puncak Darma. 

Hanya tinggal kami berenam yang ada di Puncak Darma. Tiba-tiba suasana terasa lebih hening. Kecuali bahwa Irfan menyetel Payung Teduh, ya untunglah bukan Koil :D 

Saking indahnya sinar matahari sore yang menyorot ke laut, saya kira bakal ada sesuatu yang turun dengan anggun di sepanjang arah cahaya tersebut. Bidadari mungkin :D Tapi gak ada, sinar matahari yang nampak lembut dan magis itu secara perlahan redup, menarik dirinya dari batas garis pantai hingga terus ke arah laut di tengah lalu menghilang. Tinggal semburatnya yang masih menggantung. Berwarna jingga.

Dan saya rasa saya melihat ayah saya di sana. Di ujung cakrawala. Kami saling memandang tapi gak bicara apa-apa. 

Saya perkirakan durasi matahari itu terbenam sebelum benar-benar tenggelam ke bumi bagian lain tidak lebih dari 10 menit. 10 menit yang melarutkan. 10 menit yang...magis.

Pertunjukan alam selesai. Waktunya pulang dan kembali mengarungi setengah jam dengan Landy ke titik pertama kami berangkat di Curug Cimarinjung. 

Sepanjang perjalanan turun dari Puncak Darma saya gak bisa gak sentimentil (lagi). Kenapa ya setiap habis menginjakan kaki di tempat yang jauh dari rumah dan ketika saya harus pergi dari tempat itu, rasanya kayak ada yang tertinggal. Saya cuma mampir gak lebih dari dua jam, bukan seumur hidup saya tinggal di situ, tapi perasaan sentimentilnya masih terkenang sampai detik saya menulis ini.


Trip to Ciletuh 2: Meloncat-loncat di Batu Naga

24 November 2015

Dua perahu berukuran sedang mendekat ke pantai. Kami menaiki perahu bermesin Honda tersebut. 1,5 jam kami habiskan berperahu di lautan menuju Pantai Cikepek untuk mengunjungi Batu Naga. Kami gak berlayar ke tengah lautan sih. Masih di pinggir-pinggir aja.

Di perjalanan berangkat ini, euforia masih memeluk kami. Teman-teman sibuk berselfie di atas perahu. Begitu juga saya. Setelah beberapa saat, kamera (ponsel) saya simpan di tas. Waktunya menikmati pemandangan tanpa layar kamera dan beberapa lainnya masih asyik berpose. 

Sepanjang perjalanan berperahu, kami melewati beberapa bebatuan yang bentuknya unik. Batu-batu purba ini rupanya ada yang mirip kodok sehingga namanya Batu Kodok. Ada juga Batu Badak, juga ada batu yang dinamakan sama dengan alat kelamin laki-laki. Tiap nama sesuai bentuknya sih :D

Berdasarkan literatur yang saya baca, batu-batu purba di Ciletuh ini termasuk yang tertua di pulau Jawa. Ada sejak 50-60 juta tahun lalu. Kami gak mendekat ke batu-batu unik tersebut, cuma bisa motret dari kejauhan. 

Pantai Cikepek yang dituju mulai nampak. Para nelayan menepikan perahunya, saya turun dari perahu dan lupa membuka sepatu. Basah deh. Tapi panas siang itu durjana kok hingga sepatu saya kering lagi. Kering dan lengket tepatnya mah.

Turun dari perahu, masih semangat. Perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki menyusuri garis pantai. Pasirnya putih dan pemandangannya indaaaah sekali! banyak kerikil batu karang dan fosil terumbu karang.

Rasanya udah jauh dari mana-mana. Kayak lagi berada di pulau gak berpenghuni. 

Matahari sudah tepat di atas kepala saat saya masih harus berjalan kaki sejauh 2 km. Menuju situs Batu Naga, sedikit tempat berteduhnya, saya bagaikan roti yang dipanggang hidup-hidup oleh matahari. Air minum sudah habis, perbekalan makanan lupa dibawa, dan topi tanpa tali yang saya pakai terbang-terbang ditiup angin pantai yang kencang. 

Tiba di Batu Naga. Sepatu yang basah saya buka dan jemur. Nyeker, saya loncat di bongkahan batu-batu. Panas gila permukaan batunya. Tapi enak juga ya nyeker, kaki saya lebih kuat mencengkram bebatuannya dibanding kalau saya pakai sepatu. Berasa kayak cicak di sini, loncat dari satu batu ke batu lainnya. Emang harus loncat karena…batunya panas banget! :D

Batu Naga adalah sebutan dari penduduk setempat. Batunya berpunduk seperti kulit naga. Ada juga yang menyebutkan Batu Batik karena motifnya seperti batik. Terinspirasi dari motif bebatuan ini, warga lokal menciptakan kain batik bermotif Batu Naga/Batu Batik. 

Saya belum sempat mencarinya di Google euy, itu kenapa batunya bisa kayak gitu ya bentuknya? kayak batik, kayak punduk naga. Aneh banget! Bukan aneh jelek sih, ini lebih ke aneh yang eksotis. Apa yang terjadi dengan bumi sampai-sampai bisa membentuk rupa batu seperti itu?

Pemandunya gak cerita asal muasal batu berdasar ilmu pengetahuan. Nanti lah saya cari di google aja. 

So, cukup lama juga kami berfoto ria di Batu Naga. Cuaca sudah puaanassssss sekali. Merasa sudah cukup melihat batu tersebut, kami beristirahat di bawah pepohonan mangrove. Sambil makan permen dan minum perbekalan air yang sudah menipis, saya berusaha ngumpulin lagi energi yang habis karena sebagian besar disedot matahari sih.

Waktunya kembali ke perahu, saya mengenakan sepatu lagi. Berjalan lagi ke perahu rasanya seperti berjalan dengan kaki terantai. Euforia jalan-jalan sirna sudah. Semua orang mukanya capek kepanasan. Kelaparan juga. Dua kilometer kembali pulang ke perahu. Panas, berat, dengan alas kaki yang hampir selalu terbenam di pasir pantai Cikepek. 

Kang Asep, pemandu kami, berjalan santai seperti tidak kepanasan, juga tidak kecapekan. Sementara orang kota seperti saya, berjalan terengah-engah. Saya bukan lagi roti panggang, saya mulai terbakar. Roti bakar. Pokoknya saya berusaha berjalan secepatnya, ingin lekas sampai di perahu dan kembali ke daratan yang ada rumah makan dan warung yang menjual minuman. 

Trip pertama di Ciletuh: 1,5 jam menumpang mobil. 1,5 jam naik perahu. Dua kilometer berjalan kaki. Semuanya kalikan dua dengan bonus dipanggang matahari. Saya bukan lagi roti bakar, saya adalah roti bakar yang hangus. Hahaha :D 

Trip to Ciletuh I : Pasir Putih di Pantai Mandrajaya

23 November 2015

Delapan jam perjalanan dari Bandung ke Sukabumi terasa begitu lama pada empat jam pertamanya. Mual. Pusing. Pengen muntah rasanya.

Setelah menyantap seporsi nasi, soto ayam, dan pepes jamur di kota Sukabumi (Restoran Bunut), sisa perjalanan dilalui dengan perasaan yang lebih enteng. Lapar rupanya saya tuh. Hehehe :D 

Ciletuh merupakan tujuan wisata yang saya datangi pada 20-22 November 2015. Bersama dengan  PT. Bio Farma, pihak yang mengajak saya dan 11 orang lainnya ke Ciletuh kabupaten Sukabumi ini, kami siap menjelajahi kawasan yang sedang disiapkan menjadi Geopark nasional tersebut.

Ohiya saya cerita dulu. Saya menang kuis yang diselenggarakan oleh Biofarma di instagram (selanjutnya saya tulis PT. Bio Farma dengan Biofarma ya). Lomba foto gitu sih. Pemenangnya ada tiga. Saya, Ayu, dan Irfan. Kami bertiga boleh bawa teman satu orang untuk ikut ke Ciletuh.

Biofarma melalui CSR-nya membina PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi). PAPSI ini lah yang jadi organisator wisata di kawasan Ciletuh.

Targetnya tahun 2017 kawasan Ciletuh menjadi kawasan Geopark yang diakui UNESCO (PBB). Karena apa sampe segitunya mau diakui salah satu lembaga pusakanya perserikatan bangsa-bangsa?

Karena potensi kawasan Ciletuh sangat bagus bukan hanya untuk ilmu pengetahuan tapi juga wisata alam. Pendek kata mah: Ciletuh itu daratan tertua di Pulau Jawa. 

Jumat 20 November pukul 10 malam, kami sampai di Ciletuh dan langsung bertemu dengan beberapa teman yang akan menjadi pendamping perjalanan kami di Ciletuh, ya teman-teman dari PAPSI.

Udara malam itu di Ciletuh terasa sangat sejuk. Mungkin karena habis hujan. Saya membayangkan cuacanya jauh lebih panas, seperti di Cirebon lah, ternyata jauh lebih segar tuh. Efek terkurung delapan jam di dalam mobil kali ya :D

Kami menginap di homestay, penginapan  yang juga rumah penduduk. Wow homestay, pikir saya saat itu. Ini di Yogyakarta atau di Nepal nih? :D Wah serius juga sampai mereka menyiapkan homestay segala.

Peserta perempuan tidur di rumah Ibu Marsonah. Peserta laki-laki entah di rumah siapa. Malam itu saya sulit tidur, mungkin karena jatah tidurnya sudah habis sebab hampir empat jam perjalanan menuju Ciletuh dari Kota Sukabumi saya tertidur pulas seperti kebo. 

Homestay yang saya inapi adalah rumah yang bersih dan resik. Menunjukkan karakter pemiliknya yang apik. Ekspektasi kedua yang gak saya perkirakaan sebelumnya, yaitu rumah yang nyaman dan kamar mandi yang bersih. Kalimat berikut ini terbaca klise tapi emang benar adanya : rasanya seperti menginap di rumah sendiri.



Di Pantai Mandrajaya

Sabtu 21 November 2015. Pagi-pagi nongkrong di bagian belakang rumah Ibu Marsonah sambil menyantap makan pagi. Aduhai senangnya tinggal di Ciletuh. Duduk melamun melihat pekarangan yang masih banyak pohonnya. Kalau saya harus tinggal di Ciletuh, saya pilih ngontrak di rumah Ibu Marsonah saja. Hehehe :D

Hari sabtu ini jadwalnya melihat Batu Batik/Batu Naga di Pantai Cikepek. Kami terbagi dalam dua kloter. Satu tim diboyong dengan mobil Avanza modifikasi. Satu tim lainnya diangkut mobil Land Rover. Saya pilih Avanza karena ada 1,5 jam perjalanan dari markas PAPSI menuju pantai terdekat, belum mau badan saya masuk angin hahaha :D 

Kemarau masih menancapkan taringnya kuat-kuat di Ciletuh. Pepohonan masih banyak yang kering. Areal pesawahan kondisinya kerontang seperti lahan yang diabaikan berbulan-bulan lamanya. Pemandangan tanah coklat dan gersang mulai membosankan. 

Tapi di beberapa titik pepohonan sudah mulai menghijau. Daun-daunnya sehat. Ada Cebreng, Jabon, Jati, Kelapa Sadap, juga Kelapa Sawit. Hebat ya saya tahu namanya, lha pemandunya yang ngasitahu dan saya mencatat. Ehehe.

Pohon Mangga lebih banyak lagi di sini.  Baru tahu nih, buah mangga dijagokan jadi salah satu komoditi utama Ciletuh. Sayangnya kalau masa panen, harga mangga perkilogram jadi murah banget. Petani/pemilik (pohon mangga) yang rugi sih. Ibu Marsonah cerita harganya bisa sampai Rp 2.000 perkilogram kalau sedang panen. Ya ampun kemurahan itu mah!

Kenapa bisa gitu ya, saya kok gak nemu masalah kayak gitu di Indramayu yang juga menjadikan buah mangga jadi jagoan.

Anyway, mobil terus melaju, kadang ngebut kadang perlahan. Disesuaikan jalannya karena ada yang kondisi jalannya beraspal mulus, ada juga jalanan tanah berlubang. Ada tanjakan dan ada jalan yang menurun meski tidak curam. 

Sampai di Pantai Mandrajaya. Sinar matahari seperti sudah tepat di atas kepala. Padahal waktu masih menunjukkan jam setengah sebelas siang. Perut saya mulai lapar lagi. Tapi pemandangan pantai berpasir putih dan sepi orang ini lebih menggiurkan daripada acuh pada perut yang keroncongan.

Kami semua terpesona pemandangan pantai Mandrajaya dan mulai sibuk merekamnya dengan semua gawai yang berlensa.


homestay saya nginep nih

Berkunjung ke Dago Dairy

19 November 2015
Selasa 17 November 2015. Di hari dan tanggal tersebut saya melihat sisi Bandung yang baru. Berlokasi di desa Buniwangi, sekitar 20 menit saja berkendara motor dari Terminal Dago, kami berempat sampai di sebuah peternakan sapi perah: Dago Dairy.

Buniwangi memberikan sambutan pertamanya kepada saya, Gele, Nabil, dan Unis. Yaitu jalan yang menanjak seperti tak ada putusnya. Motor yang kami tumpangi harus berjuang keras untuk sampai ke Dago Dairy. Pepohonan di sini masih lumayan jumlahnya, tapi vila-vila juga bermunculan seperti Bekicot di musim hujan. 

Seperti melintas dari satu bukit ke bukit lainnya, perjalanan menuju Dago Dairy makin menegangkan sekaligus menakjubkan. Mungkin karena saya takut ketinggian ya, jadi kalau lihat jurang di beberapa tepi jalan, rasanya ngilu banget. Jantung seperti merosot sampai ke perut waktu motor tancap gas kuat-kuat menerjang tanjakan :D

Tapi pemandangannya waduh baguuus! Sayang aja sih banyak lahan hutan yang berubah jadi kebon. Tapi ya overall panorama alamnya indah. Beberapa bulan ke depan bakal lebih syahdu lagi deh perbukitannya karena musim hujan. Pepohonannya bakal lebih lebat, hijau, dan sehat.

Sampai di Dago Dairy, udaranya dingin dan sejuk khas pegunungan. Langit mulai berawan, bersiap kapan saja menumpahkan air hujannya. Saking segar dan nyamannya udara di Buniwangi, langsung lupa dengan jalanan berbatu dan tanah liat sesudah jalan beraspalnya habis tadi. Meski hujan sudah berlangsung hampir tiap hari selama tiga minggu ini di Bandung, sisa kemarau masih terlihat. Pepohonan yang meranggas dan rerumputan yang baru menghijau. Sekering apa ya daerah ini di musim kering kemarin. Tanya saya dalam hati. 

Dago Dairy pukul sembilan pagi, masih tampak sepi. Ke mana nih orang-orangnya? tanya saya ke Gele. Ke belakang aja, orangnya di dalem rumah kali, kata Gele. 

Eh benar saja, kesibukan terjadi di kandang sapi. Mark, orang yang mengundang kami ke peternakannya itu, sedang asyik menggobrol dengan seorang pegawai. Sapi-sapi sedang asyik makan rumput. Saya masuk ke area kandang hendak menyapa Mark. Lalu di dekat saya berdiri, seekor sapi, kencing dan airnya mengalir seperti air terjun. Byuuuuurrrr! Hahahaha :D 

Kami dan Mark berkenalan, saling bersalaman. Selama ini hanya bertemu di ruang Instagram. Sejak bulan Maret Mark mengundang kami datang mengunjungi Dago Dairy, baru di penghujung tahun ini kami menunaikan janji. 

Mark langsung nyerocos cerita tentang peternakannya. Jam berapa sapi-sapinya makan, mulai usaha tahun berapa, sempat berjualan sapi potong, pengen fokus ke bisnis sapi perah, sampai jenis rumput yang dijadikan makanan buat sapinya. Banyak banget yang Mark yang ceritain! 

Sapi perahnya ada banyak, sekitar 20 ekor deh kalau gak salah. Belum lagi yang sapi kecil-kecilnya. Sapi perahnya Mark ukuran badannya besar banget! bahkan lebih besar dari Mark yang tubuhnya paling bongsor diantara kami semua. Para sapi di sini nampaknya sehat dan bahagia. Sebahagia Mark membagi ceritanya beternak sapi pada kami. 

Mark juga memelihara ayam. Ayam-ayam asyik menunduk mencari makan dengan bebas. Kayaknya ayam sama bahagianya dengan para sapi. Mereka pun serupa gendutnya. Ayamnya bebas berkeliaran, kalau malam sih kayaknya masuk kandang. 

Di depan peternakan Mark ada sebidang tanah yang kata pria asal Australia ini sih hutan. Terus dia ajak kami ke hutan itu. Mark gak cuma fasih cerita tentang peternakan saja ternyata. Di hutan dia ngomongin tumbuhan dan pepohonan. "Jangan makan Kaliandra putih, rasanya pahit sekali," kata Mark dengan muka mengernyit menandakan mimik muka seperti habis minum jamu pahit. Mark juga tahu jadwal binatang yang sering berkunjung ke pepohonan di sekitar peternakannya. "Lihat lihat, itu Tupai! Tuh lihat tuh Tupainya lagi pindah ke pohon lain," semangat banget nunjukin Tupainya. "Pokoknya kalau ada pohon bergerak-gerak, pasti sedang ada binatang di situ," kata Mark lagi. 

Orangnya antusias banget cerita segala macam deh. Gak berhenti ngomong kecuali kalau saya atau Gele bertanya. Hihihi :D 

Lalu berikutnya Mark ajak kami melihat ladang rumputnya di tanah yang gak jauh dari peternakannya. Menurut Mark, rumput lokal nutrisinya sangat kurang untuk memenuhi gizi sapi-sapinya. "Rumput lokal cepat tumbuhnya, tapi kurang nutrisinya," tutur Mark. Makanya dia menanam sendiri Rumput Brazil yang kandungan gizinya lebih banyak dibanding rumput lokal, terutama Proteinnya. Warna rumput Brazil lebih hijau sih ya. Lebih cerah.

Mark meminta Gele memotretnya dengan rumput Brazil. Saya pikir dia bakal ambil posisi jongkok waktu difoto. Ternyata dia…tiduran :D ambil posisi hampir setara dengan rumputnya. Kayaknya Mark sayang banget ya dengan semua yang ada di peternakannya. Ya sapinya, ya ayam-ayamnya, ya rumputnya. 

Mark sudah merasa cukup mengajak kami tur di peternakannya, kami beranjak ke bagian meja dan bangku kayu. Istirahat, meminum susu dan yoghurt stroberi yang Mark sudah siapkan. Hmmm susunya segar banget! Enaaak! Rasanya sapi banget dan teksturnya sedikit encer, tidak sekental susu UHT atau susu murni pada umumnya. Saya memanaskan air susunya di suhu 63 celcius selama 30 menit, jadi rasa originalnya gak rusak. Kira-kira dia ngomongnya gitu. 

Produk Dago Dairy dapat dibeli di beberapa supermarket di Bandung, diantaranya di Yogya Riau Junction. Mark dan Yanti istrinya juga memasarkan Dago Dairy ke hotel-hotel di Bandung. Produksi mereka saat ini perharinya 300 liter. 

Kunjungan yang menyenangkan di Dago Dairy. Sayang kami harus cepat pulang karena langit makin kelam pertanda akan turun hujan. Belum sempat mengambil banyak foto. Pada waktu keasyikan ngobrol jadi pas sadar harus pulang karena hujan keburu datang. 

Sebelum kembail ke rumah, Mark membekali kami dengan susu Dago Dairy. Pamit pada Mark, kami pulang kehujanan. Wangi tanah Buniwangi menyeruak, udara makin terasa dingin. Kami berempat kehujanan di gunung karena memutuskan berjalan kaki sepanjang 500 meter di jalur offroad. Kami tidak keberatan basah-basahan. Rasanya…segar luar biasa. Tidak ada wangi tanah sesegar ini kecuali di gunung, tidak ada hujan sesehat ini kecuali di gunung.

Anyway, kalau teman-teman tertarik mengunjungi Dago Dairy kontak ke yanti@dagodairy.com. Gak bisa datang mendadak ya, kontak dulu mereka beberapa hari sebelum rencana kedatangan kalian.

Anyway lagi, Dago Dairy bukan tempat wisata yang dirancang untuk turis. Jadi ekspektasi 'kenyamanan ala turis' jangan dibawa ke sini. Ini mah peternakan 'alami'. Tempat parkir seadanya, malah kalo kendaraan gak bisa naik sampai ke pelataran Dago Dairy, kalian harus jalan kaki 500 meter menanjak lah. Buat saya sih seru-seru aja, seneng malahan :D

Oiya, kalau ke Dago Dairy gunakan sepatu ya, pake sandal mah repot euy, kecuali sandal gunung!

Dago Dairy
Buniwangi Wetan Desa Mekarwangi Lembang 40391
yanti@dagodairy.com

Facebook: Dago Dairy
Instagram : @dago_dairy
Website : http://www.dagodairy.com/


Petunjuk Arah ke Dago Diary

1. Naiklah kendaraan umum. Naik angkot sampai terminal Dago. Lalu lanjut dengan naik Ojek, umumnya mereka tahu lokasi Dago Diary. Tarifnya kalau sampai jalan beraspal saja 15.000. Kalau sampai tepat di muka Dago Dairy 30.000.

2. Naik kendaraan pribadi: masuk ke Jl. Dago Giri - Buniwangi (Dalemwangi) - dan cari di google map :D Kontak Yanti aja, saya diberi peta petunjuk jalannya sampai ke Dago Dairy. 


Petunjuk Arah ke Surabi Cihapit

14 November 2015
Kalau saya selalu datang dari arah jalan Riau. Buka Google Mapnya, cari Jalan Riau. Cari perempatan jalan Riau - jalan Cihapit - jalan Citarum. Lokasi lapak surabinya gak jauh dari Jalan Riau. Kira-kira 100 meter aja. 



Gak ada angkot yang lewat ke Jalan Cihapit. Semua angkot lewatnya ke Jalan Riau. Jadi naik angkotnya : Margahayu - Ledeng. Atau naiklah Gojek :D 





Foto : Indragele
Teks : Ulu

Surabi Oncom Terenak di Bandung Ada di Jalan Cihapit

Ke Bandung terus jajan Surabi Keju atau yang coklat? Yaaah justru kalau menurut saya sih harusnya jajan Surabi Oncom. Keju dan coklat sih banyak tersedia di minimarket dan supermarket. Kamu udah tau rasanya kayak gimana.  Tapi oncom? Susah dapetin oncom yang enak. 

Surabi Oncom tuh udah yang paling orisinil dan Bandung banget! Jadi saya saranin sih Surabi Keju atau yang rasanya 'ngota' gitu mah piilhan kedua aja. Buruan pertamanya: SURABI ONCOM! 

Oncom tuh cara bikinnya sama kayak Tempe. Melalui proses peragian dan dibantu bakteri. Kalau tempe bahan utamanya kacang kedelai, kalau Oncom bahan utamanya kacang tanah. Kadang-kadang dicampur dengan ampas kelapa juga sih.


Oncom yang enak itu tergantung dari kualitas kacang tanahnya. Juga kualitas air yang digunakan selama proses pembuatan oncom. Oncom dari daerah pegunungan relatif lebih empuk dan enak dibanding Oncom dari daerah dataran rendah. Kayak di Cirebon, ada yang namanya Dage. Sama aja kayak Oncom, cuma sepengalaman saya, Dage rasanya gak selezat Oncom. 

Makanya Oncom Bandung itu lumayan terkenal. Tapi gak semua tempat yang jualan Oncom itu kualitas Oncomnya bagus. Keluarga saya aja kalau beli Oncom pasti di Pasar Anyar, dekat Tegalega. Penjualnya pun itu-itu saja sejak ibu masih muda. Udah langganan. Oncomnya kualitas oke. Lembut, kenyal, dan gak ada kerikilnya. 


Surabi Oncom yang enak di Bandung adanya di Jalan Cihapit. Saya belum nemu surabi oncom yang lebih enak dari Surabi Cihapit. Tiap kali makan Surabi Oncom di sana, saya meleleh. Abisnya enak banget. Banyak street food di Bandung yang jenis makanannya sesuai denga hawa Bandung yang dingin. Surabi Cihapit ini salah satunya. 

Rekomendasi saya kalau kalian ke Bandung dan pengen makanan yang khas banget rasanya, khas Bandung, ya pergilah ke Surabi Cihapit ini.

Surabi Cihapit
Jalan Cihapit di depan Toko Djitu

Buka setiap hari : 06.00 - 12.00 terus dilanjut buka lagi jam 14.00 - 21.00

Surabi Oncom 2.000
Surabi Kinca 2.000
Surabi Keju 5.000











Teks : Nurul Ulu
Foto : Indragele

Jalan ABC di Bandung, Surganya Frame Kacamata!

11 November 2015
Saya mau cerita tempat belanja frame kacamata. Penting banget ya beli frame kacamata doang? PENTING! :D 

Mata saya minus dan silindris. Kadang-kadang aja sih pake kacamatanya, kalau situasi mengharuskan saya lihat jarak jauh. Sebelum saya divonis minus silindris, saya udah beli frame kacamata kok. Buat gaya doang. Kacanya bening aja. Framenya beli di Jalan ABC. 

Di jalan ini banyak yang jual koleksi kacamata. Bukan toko yang fancy sih, cuma pake gerobak doang. Tapi koleksinya lengkap euy! Rata-rata kwalitet dua sih, tapi gak jarang juga kita bisa nemuin frame kacamata yang orisinil dan mereknya branded abis!

Baca juga: Cari Uang untuk Traveling

Kalo pengen dapet harta karun frame yang keren dan asli, ya harus niat banget sih carinya. Disusurin satu-satu penjualnya. Kalo lagi beruntung bisa kok neu satu atau dua frame. Kalo saya sih cari yang kwalitet dua ajah, gak perlu yang asli. Heuheuheuheu. 

Harga seperti biasa bisa ditawar. Dari yang 150K ditawar alot bisa turun jadi 100K. Modelnya juga beragam, dari yang tipe nerd sampai yang gaul ala yang suka dipake seleb-seleb fashion Instagram yg modis. Yang framenya polos gak ada motif, sampai yang motif macan tutul atau zebra juga ada. Buanyak pilihan! 

Gak usah malu belanja frame kacamata di sini, lagian kenapa malu juga sih. Mahasiswa-mahasiswi Bandung belanja kacamata di jalan ABC ini. Modis-modis euy yang belanjanya. Next time lihat OOTD di Instagram ada yang pake kacamatanya, coba tanya itu kacamata beli di mana :D ya kan siapa tahu belinya di Jalan ABC. wkwkwkwk. 

Waktu kapan saya beli frame, di sebelah ada cewek dua orang cantik-cantik. Temennya nyobain kacamata terus komen ke temenny, "gue udah keliatan kayak anak seni belon?'. What! Saya gak bisa gak ketawa dengernya. Memang kacamata mengubah penampilan banget ya. 

Koleksi frame kacamata saya cuma dua. Tapi adik saya...beuh banyak! 15 frame kayaknya yang dia punya. Padahal mata dia gak minus tuh, normal-normal aja. Dia malah pake kacamata bolong. Yes i know aneh banget pake kacamata bolong buat apa coba. Buat gaya lah. Di Bandung mah biasa kayaknya anak-anak muda pake kacamata bolong :D 

Lapak kacamata bisa mulai didatangi dari pagi hari jam 9 pagi. Mulai pada tutup jam 4 sore. Bukanya setiap hari. 

Harga framenya variatif. Dari yang 50K sampai ada juga yang 200K. Kalo frame kacamata hasil hunting saya di Jalan ABC harganya 75K dan 100K.

Anyway sori fotonya gak banyak kayak biasa :D waktu ke sana gak bawa kameran, motret pake kamera hape juga males-malesan hehehe. 

Makan Pagi di Warung Kopi Purnama

10 November 2015
Warung Kopi Purnama. Saya gak tahu pemilihan nama ini karena nama pemiliknya Pak Purnama atau memang Purnama nama bulan atau bagaimana. Buat saya sih namanya romantis banget. 

Tempat ini berada di kawasan Pecinannya Bandung. Sebenarnya di Jalan Alkateri sih, dan Alkateri itu nama saudagar Arab di Bandung duluuuu banget. Cuma penghuni rumah di jalan ini tuh kebanyakan orang keturunan Tionghoa. Gak heran di Warkop Purnama pelanggannya ya mereka yang bermata sipit. 

Warkop Purnama tempatnya gak besar, juga gak luas. Tapi karena jumlah pelanggannya bertambah, Warkop Purnama memperluas tempat makannya ke bagian belakang rumah. Karena rumahnya tipe rumah jaman dulu, jarak dari lantai rumah ke langit-langitnya jauh, tinggi banget. Jendelanya juga banyak. Khas rumah tempo dulu lah. Jadi tanpa AC pun, Warkop Purnama tetap sejuk karena ventilasi udaranya yang baik. 

Warkop Purnama pertama kali buka tahun 1930. Nama restonya dulu Chang Chong Se yang artinya Silakan Mencoba! Baru deh di tahun 1966 waktu Soekarno melokalkan semua tempat dan nama dengan nama yang menggunakan bahasa Indonesia, namanya berubah jadi Warung Kopi Purnama. 

Pendiri pertamanya bernama Yong A Thong. Asalnya dari Medan. Sekarang Warkop Purnama dikelola oleh generasinya yang ke-4. Duh saya tuh suka salut sekaligus iri dengan kekuatan bisnis keluarga dari orang-orang kayak gini nih. Kok bisa gitu turun temurun dan tetap awet usahanya. Karena keluarga saya juga punya lapak ayam di Pasar Baru, tapi…ah ya sudahlah :D 

Berkat perkembangan internet, Warkop Purnama jadi beken banget di kalangan anak muda. Banyak orang yang share keberadaan mereka di Facebook, Instagram, Twitter, sampai ke media cetak dan online. Tempat ini masuk ke daftar Trip Advisor juga lho. Ya memang tempat-tempat semacam Warkop Purnama tuh harta karunnya kota. Ada BIP, ada BEC, ada Mall PVJ, tapi tempat kayak gitu rasanya hambar. Kita terhibur tapi selebihnya ya biasa aja. Beda kayak warkop Purnama. Gak ada tempat yang lebih sentimentil dari Warkop Purnama, Sumber Hidangan, Toko Buku Djawa (yang mana udah tutup), Toko Olahraga Spotec, dan sejenisnya. 

Menu makan pagi di Warkop Purnama yang saya, Gele, dan Nabil pilih adalah Roti Srikaya dan Roti Telur Keju. Minumnya teh manis dan teh jeruk nipis plum. Oiya untuk yg beragama Islam, di Warkop Purnama tersedia makanan halal. Emang sih ada daging babi, tapi wadah masaknya berbeda dengan yang non-islam (terutama daging-dagingan ya). Jadi aman buat yang muslim lho. 

Warkop Purnama
Jl. Alkateri No. 22 Bandung
Buka setiap hari jam 6.30 - 21.00. 


Tips : Usahakan makannya di bagian restoran yang di depan, karena tempatnya jadul abis. 


Makan Kue Ape di Bandung

09 November 2015
Halow! mau bahas lagi variasi street food in Bandung nih. Kali ini dari makanan yang warnanya hijau bernama Kue Ape. Kebetulan beberapa hari lalu hunting foto dan pas lagi laper, ketemu dengan gerobak Kue Ape. Jajan deh, sekalian foto deh sambil ngaku-ngaku buat tugas kuliah. Abis saya paling gak suka kalau saya dikira turis. Gimana ya, berasa belagu gitu. Heuheuheuheu :D perasaan aja sih. 

Kue Ape sekarang mahal deh harganya. Satu potong 1000 perak! *sedih* 

Terbuat dari tepung beras, terigu, santan, dan pewarna makanan atau pandan buat ngeijoin bagian tengahnya, Kue Ape teksturnya kenyal kayak Surabi. Rasanya manis. 

Cara manggangnya pake wajan mungil dan gak pake kompor, pakenya arang. Satu gerobak biasanya ada 2-4 alat panggang. Durasi masaknya juga sebentar, sekitar dua menitan lah. 

Kue Ape makannya gak ribet. Karena bentuknya kering. Gak bikin tangan lengket lah. Cuma ya cepet abis aja kalo dimakan wwkwkwk :D 

Karena warnanya yang mencolok, hijau, kue ini bisa kelihatan dari jauh. Kalau mau jajan Kue Ape, cobain ke daerah Pasar Baru dan Alun-alun. Gak ada penjual tetapnya sih karena mereka jualannya pindah-pindah, pake gerobak. Cuma mangkalnya gak jauh-jauh dari dua tempat yang saya kasitahu tadi. 



Sampai sekarang saya gak tahu kenapa kue ini namanya Kue Ape. Bentuknya sendiri lebih mirip Serabi Jawa, Serabi Notosuman itu lho. Setahu saya, Serabi itu dulunya makanan raja-raja di Keraton. Ya mungkin makanan ini berevolusi menjadi makanan rakyat jelata juga dan namanya jadi Kue Ape. 

Ada juga yang bilang Kue Ape berasal dari Jakarta. Nama 'Ape' berasal dari kata 'Apa'. 

Karena Setiap Lembarnya Mengalir Berjuta Cahaya (Playlist #4)

08 November 2015
Playlist ke-4 di blog ini. Masih dari lagu-lagu yang bukan masa kini. Playlist ini cocok didengerin malam hari waktu kita sedang sedih atau pengen denger suara yang gak terlalu berisik. 

Mood saya lagi berantakan waktu susun playlist ini. Seperti disuruh lari tapi saya cuma mau berjalan. Seperti orang mengantuk tapi masih ingin bekerja. Seperti ingin makan ketoprak tapi cuma bisa gorengan. Seperti seharusnya menangis tapi saya mau diam saja. 

November datang, Bandung mulai hujan. Waktunya memberi ruang pada kenangan dan membuatnya satu playlist yang lain lagi.

Oiya, mau rekomendasi musisi sederhana bernama Taufanny Nugraha Ph.D. Saya denger di soundcloud. Oh jatuh cinta dengan suara dan petikan guitalelenya. Selain nyanyi lagu-lagu sendiri, dia juga ngecover musik-musik dari pak A.T Mahmud dan Ibu Soed. Dengernya adem sekali, kayak abis dibanjur air hangat waktu kedinginan, berendam di air terjun yang jernih setelah 10 jam jalan kaki. 



1. Andien - Pulang

2. Frau - Mesin Penenun Hujan

3. Norah Jones - Come Away with Me

4. Simon and Garfunkel - If I Could

5. Efek Rumah Kaca - Jangan Bakar Buku

6. Cozy Street Corner - Jelang Benam Matahari

7. Irma & Cholil - Cinta itu Sengit

8. Taufanny Nugraha Ph.D - Hujan Rintik-rintik (A.T Mahmud)

9. Taufanny Nugraha Ph.D - Bunga Cantik

10. The Bird and The Bee - Come As You Were



*Judul postingan ini saya kutip dari kalimat pertama di lirik lagu Jangan Bakar Buku - Efek Rumah Kaca.

Sel No. 5 Penjara Banceuy, Sel Penjara Soekarno

07 November 2015
Mengunjungi situs penjara Banceuy hari itu terasa berbeda buat saya. Karena…tempatnya jadi bagus banget! udah gak kehitung sih berapa kali saya ke situs ini. Makanya pangling sekali melihat bentuknya sekarang. Selnya masih di lokasi yang sama, tapi sekelilingnya berbeda. Jauh berbeda dengan yang dulu. 

Nih foto situs penjaranya Soekarno sebelum direnovasi:

Before. Saya pinjam fotonya dari web www.nrmnews.com
Sebelum Emil jadi walikota Bandung, situs penjara Banceuy yang mana tempat Soekarno dipenjara ini dulu kondisinya mengkhawatirkan. Bau, jelek, gak jelas lah itu simbol-simbol batu buat apa dan maksudnya apa, kadang-kadang ada ada jemuran nangkring di pagarnya. Waduh pokoknya gak layak sama sekali untuk disebut situs bersejarah. Ya seperti nasib kebanyakan situs bersejarah di negeri ini lah. 

Kompleks penjara Banceuy sendiri sudah tidak ada wujudnya, berganti rupa jadi ruko. Tapi pemerintah menyisakan dua bangunan sebagai pertanda bahwa di situ dulu posisi kompleks penjara Banceuy. 

Bangunan pertama adalah pos penjaga. 
Bangunan kedua adalah sel no. 5 yang jadi selnya Soekarno. 

Memasuki situs Penjara Soekarno ini kita akan melihat undakan. Di bagian atasnya seperti panggung ada patung Bung Karno yang sedang duduk memegang buku dengan pandangan ke depan, seolah-olah beliau sedang berpikir. Di sepanjang dinding yang mengelilingi situs ini dipasang timeline perjalanan hidup Soekarno dari lahir sampai jadi presiden. Sel bisa kita lihat dari luar, tapi tidak bisa kita masuki. 

Tersedia mushola dan kamar mandi. 
Ada kamar mandi
kamar mandi.
k a m a r  m a n d i.

Ya ampun...

Ada patung Bung Karno, timeline sejarah, lantai batu berwarna hitam, bisa melihat sel penjara dalam jarak sangat dekat. Ini ya fasilitas kayak gini tuh baru ada setelah Ridwan Kamil jadi walikota. Dulu fasilitas kayak gitu gak ada. 'Dulu' yang saya maksud bukan 10 tahun lalu ya, tapi dua tahun lalu lah. Ya ampun bikin garuk-garuk kepala gak gatal gak sih, walikota dulu itu ngapain aja kerjanya ya. 

Tempat bersejarah ini sekarang jauh lebih bersih, informatif, dan terhormat. TERHORMAT. Sel penjara ini kan simbol perjuangan Soekarno, simbol gerakan beliau waktu di PNI, tempat di mana Soekarno melahirkan pidatonya yang menggelegar: Indonesia Menggugat. Melalui renovasinya, Ridwan Kamil menunjukkan gak cuma kepedulian sih, tapi juga kecerdasan dan sikap peka yang baik. Harusnya situs kayak gini gak cuma dirawat, tapi juga diperlakukan seperti kita menjaga barang koleksi sendiri. 

Terima kasih, RK. Melihat situs penjara ini sekarang saya bangga. Kalau ajak temen atau turis berkunjung ke sini saya gak malu lagi. Gak bau pesing lagi. Gak ada jemuran lagi. 

Teman-teman, seandainya kalian pernah mengunjungi situs penjara ini sebelum RK renovasi, kalian pasti…bete :D Tapi sekarang situsnya jadi bagus hehehe. 

#NgobrolSore di Pustrop Wanadari: Menyelam dengan Kaki yang Lumpuh, Ekspedisi Lukisan Purbakala, dan Keliling Dunia 181 Hari

06 November 2015
Beberapa bulan lalu saya membeli sebuah buku. Judulnya: 51. Pilihan judul buku yang gak biasa. Buku ini memuat 51 foto lengkap dengan teks cerita fotonya. Darmastyo adalah penulis, fotografer, dan traveler yang menerbitkan buku 51.

Saya follow Icak -nama panggilan Darmastyo- di Instagram. Saya tahu dia traveling sendirian ke beberapa negara. Begitu tahu kalau Icak juga mengeluarkan buku 51, saya langsung memesannya.

Sebagai orang yang belum diberi kesempatan untuk keliling dunia, saya lampiaskan dengan banyak membaca buku dan melihat foto-foto. Terutama foto-foto cerita seperti yang ada di buku 51 karya Icak.

Jenis foto yang saya suka adalah foto cerita. Bukan foto selfie dan bukan foto OOTD (outfit of the day, itu lhooo :D). Karena foto cerita selalu menggambarkan rekaman peristiwa sehari-hari atau kejadian yang monumental. Kita kan jadi tahu kejadian apa yang ada di belahan bumi lain berkat foto-foto cerita kayak yang Icak terbitin di bukunya. 

Kalau ada teman atau kerabat yang berencana traveling, saya suka minta oleh-oleh berupa foto cerita. Ya syukur-syukur ditambah dengan t-shirt, gantungan kunci, sticker, atau postcard. Hahaha!

Bohong kok :D Saya cuma minta diperlihatkan foto-foto selama mereka traveling saja. Terkadang kalau mereka tidak keberatan, saya suka minta ketemu. Ngapain? denger langsung cerita travelingnya dong. Melihat saja belum cukup, mendengar langsung cerita dari orangnya kan beda sensasi lagi.

Karena alasan itulah saya menghadiri acara #NgobrolSore Pustrop Wanadri edisi Sumpah Pemuda 'Buku, Dedikasi, dan Inspirasi', untuk mendengar langsung  cerita perjalanannya Icak.

Ini pertama kalinya saya berkunjung ke Pustrop. Kalau tidak melihat poster acara yang dishare teman saya di Facebook, mungkin saya di rumah saja dan menonton televisi.

Sumber foto: Instagramnya Pustrop Wanadri

Substore Bandung: When Old Meets New

05 November 2015
Ada yang pernah denger atau baca tentang toko musik bernama Substore? Di Jakarta toko ini happening banget. Lokasinya di Pasar Santa. Nah! Mulai familiar dengan namanya? Woh belum :D Coba googling dulu atuh Substore + Pasar Santa. 

Substore ini toko yang menjual vinyl (piringan hitam), t-shirt, poster, dan buku-buku musik. Gak cuma barang baru sih kelihatannya, yang bekas juga ada. Apa aja yang ada korelasinya dengan musik, mereka punya stoknya. 

Substore juga ada tokonya lho di Bandung. Lokasinya di Ruko Cikapundung.



Cikapundung RiverSpot

04 November 2015
Tempat ini hasil berbenah di momen Konferensi Asia Afrika 2015. Sebelumnya di sini tempat mangkalnya penjual koran dan majalah. Kalau mau jadi loper koran, ya ke Cikapundung aja buat ambil koran-korannya. Saya gak tahu sekarang pada pindah ke mana penjual korannya. 

Ridwan Kamil memberi nama ini Cikapundung Riverspot. bangku dan meja berwarna merah mencolok diletakkan rapi di tepi kolam. Sungai Cikapundungnya masih terlihat. Biasanya satu minggu sekali ada acara di sini. Kemarin mahasiswa/i dari kampus ITB menyelenggarakan acara berjudul Seluk Beluk Kota Lama di Cikapundung Riverspot. 

Oktober 2015: Persib, Kampung Kolase, dan Bandros

03 November 2015
Hujan akhirnya turun di Bandung, awal bulan ke sepuluh. Tepat di saat saya menggelar acara tahunan Pasar Kutu. Berderai-derai angin dan hujan menciumi tanah Bandung. Seminggu setelahnya, kota Kembang kembali panas. Kemarau masih menunjukkan taringnya yang ganas. 

Angin musim panas kembali meradang. Dingin dan mengigit tidak kepalang. Membuat mereka yang kekurangan konsumsi buah dan sayur berulangkali meriang. 

Bulan Oktober berita di surat kabar harian Pikiran Rakyat ramai memberitakan kabar dari Kampung Cikapundung. Ridwan Kamil di bulan Oktober ini menemui halang rintangnya dari Kampung Kolase. Kawasan Cikapundung di jalan Siliwangi itu mau direstorasi. Dibuat jadi indah, ala-ala Eropa kalau kalian para pecinta Emil bilang. Mirip seperti kawasan Asia Afrika. 

Warga yang menempati wilayah Cikapundung diminta pindah ke rumah susun yang sudah disiapkan pemerintah di Sadang Serang. Dekat Dago. RK kelihatannya mengalami kesulitan berkomunikasi dengan warga. Ditambah kelompok seniman yang baru saja menggelar instalasi seninya di kampung Cikapundung ini juga berulang kali kampanye tentang penolakan pemindahan warga ke rumah susun. 

Oya, di bulan Oktober ini Persib menjuarai Piala Presiden. Jalanan Bandung sewaktu Persib bertanding. Sayang hanya 2 x 45 menit saja durasinya. Begitu tim kesayangan Bandung ini resmi meraih kemenangan, jalanan kota meledak! Bobotoh memenuhi jalanan kota. Untunglah saya sudah pulang ke rumah. Kalau tidak habislah saya di jalanan ibukota Jawa Barat!

Bulan Oktober juga menjadi momen bersejarah untuk keberadaan Bis Bandros. Seperti antiklimaks, bis ini sekarang dinonaktifkan. Satu penumpang wafat karena jatuh dari Bandros. Angkot 05 juga menemui ajalnya. Katanya sih rebranding angkot diganti jadi nomor 08. Tapi akar masalahnya kan kelakuan sopir-sopirnya.

Sekarang udah November. Sudah di penghujung akhir tahun 2015 aja ya... apa aja yang bakal terjadi di Bandung selama bulan November? 



- Ulu

Petunjuk Arah ke Lotek Alkateri

02 November 2015
Saya kasih cara menuju Lotek Alkateri ya. Biar gak nyasar :D 


1. Bisa masuk dari Jalan Otista - Jalan ABC - jalan kaki lurus sampai ketemu dengan perempatan pertama perpotongan Jalan ABC dengan Jalan Alkateri, belok ke kanan. Ketemu deh dengan Lotek Alkaterinya.

2. Bisa juga dari Jalan Asia Afrika. Di seberang Alun-alun Bandung, di Jalan Asia Afrika, ada hotel Golden Flower. Di samping Hotel tersebut ada jalan kecil, nah itu lah jalan Alkateri. Masuk ya ke jalan kecil ini. Muat satu mobil doang dan satu arah pula. Berjalan kaki lurus ikuti Jalan Alketerinya. Mendekati mulut jalannya, sebelum perpotongan jalan, di sebelah kiri, itulah Lotek Alkateri. 

3. Bisa juga datang dari jalan Banceuy. Yang ini saya bingung jelasinnya gimana. Pake dua jalan di atas aja deh :D 


Lotek Alkateri Rp 8.000

Buka Setiap hari jam 09.00 - sehabisnya, biasanya sih jam 15.00 juga udah habis. 





Teks : Nurul Ulu
Foto : Indra Yudha (Gele)

Makan Lotek di Jalan Alkateri Bandung

Nah ini lotek langganan saya di Bandung. Lokasinya jauh sih dari rumah. Kalau kebetulan sedang lewat di sekitar Pasar Baru atau belanja kopi di Kopi Aroma, saya suka sengaja sempetin makan di Lotek Alkateri. 

Alkateri sendiri nama jalan di Bandung. Loteknya jualan di jalan tersebut. Sebenarnya Alkateri nama orang sih, penghuni lama Bandung yang keturunan bangsa Arab dan kelihatannya saudagar kaya. 

Anyway Lotek Alkateri saya suka karena ya apalagi kalau bukan rasanya :D harganya juga relatif murah. Porsinya dikit sih, buat saya mah kayak porsi cemilan hahaahaha. Tidak mengeyangkan. 

Makan lotek di sini gak beralaskan piring melainkan nasi kertas bungkus. Dibentuk seperti cone es krim, kita makan lotek dengan cara seperti kita makan es krim cone pake sendok. 



Makan Surabi di Bandung, yang enak di mana ya?

01 November 2015
Surabi makanan cemilannya orang Sunda. Secara umum makanan ini dikenal dengan nama Serabi. Di Bandung kami menyebutnya Surabi. Gak cuma orang Sunda sih, di bagian lain Indonesia juga ada makanan yang sama kayak Surabi. Cuma beda nama aja. 

Surabi ini jenis makanan yang cocok buat disantap pada pagi dan sore hari. Ditemenin teh hangat atau kopi hitam yang mengepul-ngepul asap air panasnya. 

Dan karena Surabi ini makanan seribu umat, jadi gak sulit mencari pedagang Surabi di Bandung. Yang susah adalah ketemu dengan Surabi yang rasanya masih orisinil. 

Surabi paling ngetop di Bandung namanya Surabi Imut. Tapi sekarang namanya udah ganti dan gak seterkenal kayak 10 tahun lalu. Surabi Setiabudhi sih yang pembelinya banyak melulu kayak ada diskon 90% aja padahal enggak. Karena lokasinya dekat rumah, saya suka perhatiin tempatnya kalau lewat Surabi Setiabudhi. Gak pernah kosong deh, penuh melulu. Ckckckck. 

Surabi Setiabudhi udah saya cobain kok. Rasanya enak dan ukuran Surabinya besar deh. Tapi ya cuma sebatas enak aja gak ada perasaan yang enaknya heboh gitu.