Social Media

Kota Gede, Aku Padamu

22 June 2015
Dalam tubuh saya mengalir darah Pantura, Indramayu dan Cirebon. Ketika saya sampai di Kota Gede, Yogyakarta, agak aneh-aneh gimana gitu karena Kota Gede yang dahulunya kerajaan Mataram ini pernah mencaplok kawasan nenek moyang saya. Bergiliran dengan kerajaan Pajajaran, Mataram menjajah  Cirebon jauh sebelum Belanda datang. Sampai pada akhirnya Belanda yang menjajah kita semua. 

Mungkin begini ya rasanya orang Indonesia yang berkunjung ke negara Belanda. Hahaha perumpamaan yang gak terlalu tepat sih tapi ya kira-kira begitu lah. 

Ke Jogja, saya dan Gele membawa bakal peta perjalanan buatan Emile Leushuis. Karena kami gak berencana belanja atau wisata kuliner, tujuannya satu: gedung-gedung kuno di Kota Gede.

Sayangnya ukuran buku Emile gak ergonomis banget buat diajak jalan-jalan. Besar dan tebal, bukan buku ukuran saku. Alhasil saya hanya ngeprint petanya saja dan membaca keterangan bangunan dan sejarahnya di rumah. Padahal lebih asyik kalau membawa bukunya juga selama perjalanan. 

Menginap di hotel Kampoeng Djawa yang edgy dan hangat, kami berangkat pukul 8 pagi ke Kota Gede. Menumpang bis no 15, ongkosnya 3.000 saja perorang. 15 menit dari mulut jalan prawirotaman, bis membawa kami sampai di jalan masuk Kota Gede, mulai buka peta dan menyiapkan diri menempuh perjalanan hari itu.

Ketemu tukang becak dan tetap yak tukang becak di Jogja di mana-mana super agresif. Gak di Malioboro, gak juga di Kota Gede :D Mereka kalau diprospek jadi MLM kayaknya bisa tuh. 

Jogja cerah sekali. Matahari Jogja sudah memulai gigitan pertamanya. Jalan raya menyempit, paling lima meteran aja, mulai agak susah berjalan kaki meski ada trotoar. Beberapa kendaraan wisata seliweran mengangkut turis yang mulai berdatangan. Toko-toko silver khas Kota Gede belum banyak yang ramai pengunjung. Mungkin karena masih jam 9 pagi.

Seorang teman mengingatkan kami untuk makan Kipo, cemilan khas Kota Gede. Konon Kipo dulunya makanan raja-raja. Rasanya mirip dadar gulung loh. Manis dan kenyal. Hijau pula warnanya. 

Gele mulai motret dan sibuk sendiri. Saya menjaga Nabil dan membaca peta. Di dalam peta tercantum nomor-nomor yang menandakan bangunan. Kami mengikuti jalur di peta dan melihat bangunan yang dimaksud penulis buku Jelajah Kota-kota Pusaka tersebut. 

Kota Gede pernah jadi pusat kerajinan dan perdagangan. Pusat kota Mataram dan gak heran banyak bangsawan yang tinggal di sini. Pernah mengalami kemunduran gara-gara efek perang dunia ke II dan di tahun 80an pertumbuhan ekonomi Kota Gede bangkit lagi berkat kunjungan turis-turis bule yang meningkat. 

Satu hal yang perlu dihighlight dan ditiru kota Bandung dari Jogja adalah ketegasan pemerintah setempat untuk melarang mendirikan bangunan-bangunan pencakar langit di area Kota Gede. Mereka juga sanggup mencegah perkembangan komersil yang kita tahu malah merusak wajah kota. Hasilnya Kota Gede masih dapat menampilkan karakter yang orisinil kayak sekarang. Seenggaknya sih buat saya masih orisinil ya dibanding Bandung :D 

Di pinggir jalan utama, bangunan kunonya besar-besar. Beberapa diantaranya mewah sekali. Banyak bangsawan yang pernah bermukim di sini. Keturunan Keraton juga sepertinya. Masuk ke gang-gang di Kota Gede, baru deh melihat rumah yang ukurannya lebih kecil.

Meski di dalem gang, rumah-rumahnya juga gak kalah cantik dan masih banyak yang kuno! Banyak yang sudah kumal dan compang-camping, tapi entahlah buat saya malah terlihat begitu bersejarah. Itu rumah kalau bisa ngomong bakal cerita apa saja ya? 

Keluar masuk gang di Kota Gede, baru nyadar kalau gangnya bersih sekali! Saya dan Gele sampai yang uwow lah itu sama bersihnya. Puntung rokok pun gak ada. padahal tempat sampah juga gak banyak. Hebat nih warganya. Apa pas saya ke sana emang baru pada kerja bakti gitu ya? :D 

Saya melihat Pasar Legi, Rumah Kalang, Bangunan Ansor Silver, Masjid Perak, Rumah Joglo, Kompleks Makam Mataram, dan masih banyak lagi. Ada 23 titik utama yang penulis rekomendasikan untuk dikunjungi atau sekedar dilihat dari tepi jalan. Emang yah...rekomendasinya gak salah. Arsitektur bangunannya detail dan cantik sekali. Sejarah bangunannya bisa dibaca juga di dalam bukunya. Saya gak bisa ceritain satu-satu ya apa saja bangunan yang saya lihat di sana, beli aja bukunya :D

Sayang kami kelupaan masuk Pasar Legi! Aaahhkkk! Padahal buat saya wajah asli suatu wilayah salah satunya bisa dilihat dari dalam pasarnya. Termasuk hunting kuliner, biasanya saya lakukan di dalam pasar. Terus yang lupa gitu gara-gara nyari Warung Sidosemi sih :(

Di belakang Pasar Legi, kami hendak ke Warung Sidosemi. Sayang warungnya tutup. Ya udah ke Makam Mataram aja. Kompleksnya mirip candi. Kompleksnya luas dan teduh. Suasananya senyap dan hening. Di dalam kompleksnya ada masjid yang umurnya jauh lebih tua dibanding makamnya sendiri. Sayang masjidnya sedang direnovasi :(

Anyway, ada beberapa bangunan tua yang kami masuki. Bukan bangunan yang privat banget sih, cuma toko-toko perhiasan silver gitu. Ansor Silver. Emile meyarankan kita untuk menjenguk Ansor Silver. Pas saya masuk ke bangunannya....wuaaaaa!

Bangunan Ansor Silver megah sekali! Dari luar juga penampakannya tampak intimidatif sih buat bangunan di sekitarnya. Sekaya apa ya pemilik bangunan Ansor ini sampai rumahnya guede banget ya. Pasti bukan sembarang orang sih. Kata Mbaknya yang jadi pramuniaga, pemilik bangunan masih ada hubungan kerabat dengan Keraton. Oala ya pantes ya rumahnya kayak istana gitu.

Beberapa bangunan menarik lainnya adalah Rumah Kalang dan Rumah Joglo.

Rumah Joglo itu beneran rumah tempat tinggal warga, bukan sengaja dibuat untuk turis. Gak banyak rumahnya, hanya 2-3 rumah beriringan. Saya mau melihat-lihat bagian dalamnya, Gele mau motret. Tapi kami berdua malu dengan pemilik rumah yang kelihatan sedang asyik nongkrong di teras. Mau minta izin tapi bagaimana ya, malu euy. Jadi ya cuma lirik-lirik rumahnya dan senyum tanda permisi saja sama mereka. Aduh... pemandangan Rumah Joglo di dalam gang dan bukan diperuntukkan untuk turis tuh rasanya organik banget! Rumah Joglo beneran bukan dibuat-buat! Bukan pemandangan sehari-hari ya :D 

Rumah Kalang adalah bangunan yang tak berpenghuni. Kelihatannya sedang direnovasi. Bentuk bangunannya sih rumah Jawa. Tapi masih bisa terlihat pengaruh arsitektur Eropanya. Dari buku yang saya baca, tertulis bahwa terdapat lorong bawah tanah di belakang kompleks Rumah Kalang. Pernah digunakan sebagai tempat menyimpan uang dan barang berharga lainnya. 

Kalang sendiri merujuk pada definisi orang buangan. Berdasarkan buku yang saya baca, orang Kalang masih keturunan kerajaan Majapahit dan berasal dari abad 13. Mereka mulai bermukim di Kota gede di abad 17 dan bekerja sebagai tukang kayu. Foto rumah Kalang saya taro di foto pertama di bawah itu. Cuma dua bangunan itu bukan rumah utamanya, baru bagian depan saja. Atau jangan-jangan Rumah Kalang yang Gele foto dengan yang dimaksud di buku beda yah. Waduw! 

Banyak yang sudah terjadi di Kota Gede. Secara mereka pernah jadi pusatnya Mataram, kerajaan terkuat di Nusantara selain Majapahit, Pajajaran, dan Sriwijaya. Masih kurang buat saya waktu untuk mejelajahi Kota Gede. Rasanya pengen balik lagi dan lagi. Tahun depan ya, sekalian ke ArtJog :)

Lebih memudahkan kalau jalan-jalannya dengan seorang teman yang asli Jogja sih. Bisa membantu komunikasi dengan warga setempat dan bisa izin masuk bangunan tanpa merasa kikuk. Yah jadi catetan juga buat saya dan Gele. Dan kami sudah tahu akan mengontak siapa kalau kelak ke Jogja lagi. Hahaha :D

Kota Gede, kami akan kembali.

















4 comments on " Kota Gede, Aku Padamu"
  1. Kangen Jogja Ulu... terakhir kesana 2 taun lalu

    ReplyDelete
  2. Mba, foto-fotonya kurang banyak hihihi
    Terima kasih sudah tambah menginspirasi saya untuk ke Kota GEde

    ReplyDelete