Social Media

Jatigede In The Morning

15 April 2015
Sebelum bersiap mengelilingi wilayah Jatigede dan melihat bendungan, saya berkeliling rumah dan halaman sekitar. Hunting foto ceritanya. Mencari cerita untuk dimuat di blog ini.

Mulai dari subuh-subuh duduk nongkrong di pintu samping rumah, merasakan angin paginya Jatigede sambil menyantap cemilan bernama Ketimus dan segelas air teh hangat. Matahari belum muncul namun langit sudah memutih. 

Saya minta izin melihat tempat paling belakang, gudang, dari rumah panggung saya saya inapi. Beberapa menit saya habiskan di Gudang, saya beranjak ke luar. Bermain di halaman belakang rumah Teh Awang. Di sana saya melihat ayam yang bertengger di atas pohon, memperhatikan detail kayu-kayu rumahnya, menemukan beberapa rumah yang abandoned, ditinggal pemiliknya. Ngobrol dengan emak-emak yang belum ingin pindah dari Jatigede. Terakhir sih memperhatikan seorang teman yang sedang mengemas bawaannya menuju Bendungan Jatigede.

Suka ngerasa gak sih ada banyak pagi yang kita lalui dan sama aja rasanya. Pagi di desa Cipaku itu buat saya adalah pagi yang berbeda. Menyadari bahwa saya berada di tanah yang akan tenggelam jadi bendungan, pagi di Jatigede saat itu sangat... apa ya...duh gimana jelasinnya ya. Sangat gak biasa. 

Membayangkan rumah ini, tanah ini, dan semua yang ada di dalamnya bakal tenggelam jadi bendungan...duh rasanya kok sedih ya. Kayaknya saya harus ketik ulang kalimat terakhir saya di postingan Jatigede sebelumnya. Berada di Jatigede dan berinteraksi dengan warganya walau cuma sebentar, saya jatuh cinta sekaligus patah hati. Tempat seindah dan sesubur jatigede kenapa harus ditenggelamkan dan dijadikan bendungan...
































Post Comment
Post a Comment