Social Media

Image Slider

Braga Culinary Night, Perdana!

15 January 2014




Malam minggu 11 Januari 2014 jadi tanggal bersejarah di Bandung. Braga Culinary Night (BCN) menyedot ribuan pengunjung muda-mudi sampai ibu-ibu, para bapak, sampai orok-orok imut. Acara perdana buatan era pemerintahan baru Walikota Bandung, Ridwan Kamil, sukses besar.

Saya jadi salah satu dari ribuan pengunjung itu. 

Alasan saya datang ke Braga Culinary Night ada dua: makan-makan dan pengen melihat perbedaan festival buatan Ridwan Kamil dengan rezim pemerintahan kota Bandung sebelumnya, Dada Rosada. Sebagai arsitek dan umur yang relatif muda buat ukuran pejabat, walikota Bandung yang sekarang pasti punya citarasa yang berbeda dengan yang sudah-sudah. Perubahan apa saja yang beliau lakukan dalam festival (kuliner) ini merupakan ketertarikan besar saya. 

Alasan pertama kedatangan saya ke acara makan-makan ini gagal total. Makan-makannya cuma sedikit. Nasi Hainan dari Bin Ukon porsinya terlalu sedikit buat kami bertiga, saya, suami, dan si kecil. Salah juga sih belinya satu porsi doang hahahaha :D Tidak itu saja, kami sempat sih mencari food truck lain untuk nyicip-nyicip, tapi antriannya buset panjang gila dan penuh sama orang-orang dengan perut yang gak kalah laparnya dengan saya. Malas jadinya. 

Untuk alasan yang kedua, nah ini dia. Seneng euy saya. Kelihatan ada banyak perubahan estetika dalam Braga Culinary Night ini.


Di Bandung itu ada beberapa tempat yang sering digunakan untuk acara publik. Lapangan Gasibu, dan Monumen Perjuangan sudah langganan banyak festival. Begitu juga dengan kawasan Braga walau tidak sesering mereka. Jalan Braga ini jalan peninggalan Belanda. Gedung-gedung tua berderet rapi disini. Beberapanya tidak terawat dan berganti rupa jadi bangunan modern. Namun yang tua-tua masih banyak kok. Setahu saya sudah sedikit yang bermukim di rumah-rumah tua ini. Banyaknya jadi tempat usaha kayak restoran, hotel, toko baju, toko perhiasan, dan lain-lain. 

Saking legendarisnya Braga, banyak banget yang syuting film dan sinetron disini. Pasangan yang bikin foto prewedding di Braga juga sudah tidak kehitung banyaknya. Kalau siang menjelang sore, muda-mudi banyak yang nongkrong di Braga buat foto-foto. 

Saya suka Braga. Suka banget. Tapi saya lebih suka daerah Pecinan di Bandung. Hawanya lebih misterius tapi gak menyeramkan, bau sejarahnya lebih kental bikin penasaran melulu kejadian apa saja yang pernah berlangsung disana :D

Anyway, di Braga, acara populernya adalah Braga Festival.

Braga Festival yang rutin dibuat sekali dalam satu tahun juga banyak bikin orang-orang pada datang. Termasuk saya, hampir tiap tahun selalu menyempatkan diri ke Braga Festival. Tiap tahun juga kecewa karena acaranya begitu-gitu saja: stand yang monoton, panggung dengan musik yang menghentak-hentak bikin pusing, dekor acara yang kering, desain yang jelek, bangunan tua nan cantik di Braga yang tidak dilibatkan.


Braga Culinary Night ini rada beda. Gak ada panggung musik. Horeee! Panitia juga menyediakan meja-meja dan bangku-bangku kayu yang nyeni. Bukan meja plastik dan kursi lipat ala kondangan. Meja bangku kayu ini ada di beberapa titik sepanjang Braga. Buat saya, meja bangku kayu di depan Gedung Gas Negara ini jadi favorit. Soalnya menyatu dengan bangunannya. Tidak menghalangi kemegahan Gedung Gas Negara buatan kompeni, malahan bikin tambah cantik. Diatas mejanya sengaja ditambahkan vas isi bunga-bunga warna merah. Braga gak bisa diceraiberaikan dari bangunan-bangunan tuanya. Dekorasi kayak begini bikin Braga malam itu tambah menawan (apalagi kalau gak hiruk pikuk ya suasananya :D)



Sayang kurang banyak meja bangkunya. Tambahin lagi dong kalau ntar dibuat lagi acara kuliner begini. 

Stand tenda putih ala-ala festival yang standar dan membosankan itu musnah juga. Semua pengisi acara membawa sendiri tendanya masing-masing, termasuk boothnya. Di Braga Culinary Night ada tiga kategori stand: food truck, mini food truck, sama booth. Ketiganya dibawa sendiri oleh penjual makanannya. Jadi warna-warni banget. Walau ada sedikit yang tendanya apa adanya kurang enak dilihat, tapi banyak kok yang segar-segar.




PKL, nyempil diantara modernitas food truck, genset, tenda, dan lampu sorot :D



Dekorasi acaranya juga tidak banyak. Tidak ribet. Sederhana tapi fungsional dan lucu. Seneng deh. Payung warna-warni yang malang melintang diatas kepala kita-kita ini jadi objek favorit SEMUA orang. Benar-benar S E M U A orang. Gak ada yang gak foto-foto dengan payung itu kayaknya. Saya juga poto-poto nih. Hahaha seru!


Panitia juga menyediakan peta lokasi! Baru ini acara di Braga ada peta lokasinya :D kemajuan yang sederhana tapi penting. Hihihi.

Hujan membuat acara agak sepi di awal waktu seharusnya BCN mulai. Jam tujuh malam. Begitu hujan reda, pengunjung mulai merengsek memenuhi hampir tiap food truck dan saya mulai kewalahan. Oh tidak...

Dari awal saya sudah niatkan bakal datang sebelum BCN dimulai. Karena hujan saya harus berteduh dulu. Sudah menyempatkan diri sih hujan-hujanan dan mulai menyusuri tiap food truck di BCN. Tapi yang jual makanannya juga belum banyak yang buka karena air masih mengucur dari langit. Hiks. Rencana gagal total.

Alhasil saya hanya foto-foto saja. Itu juga agak tersendat-sendat jalan kakinya. Braga semakin penuh. 500 meter ruang di Braga untuk ribuan orang, berlebihan gak, sih? Kasihan Braganya. Lagipula menurut saya jadinya tidak bisa khusyuk menikmati acaranya. Semua sibuk berdesak-desakan buas mencari makan. 

Tempat sampah juga sedikit :( Sayang banget, yah.

Selain kekurangannya tersebut, saya acungin jempol buat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pimpinan Ridwan Kamil. Acaranya seru dan keren! Desain si poster dan segala macamnya itu bagus, gak kayak dulu-dulu yang fontnya cuma dapat ambil dari default program microsoft word doang dengan warna yang norak :D hahaha. Saya gak bisa desain sih tapi kan kelihatan mana yang keren, mana yang ugh kampungan.

Denger-denger Braga Culinary Night bakal rutin nih, satu minggu sekali. Saya gak menyesal kemarin datang ke BCN meski nantinya dia bakal ada lagi. Saya datang ke acara perdananya Braga Culinary Night gitu loh, sejarah itu :) Walau harus pulang dengan perut kruyukan dan akhirnya beli makan malam di kios langganan di Terminal Ledeng :P


Program Pak Walikota dalam menaikkan index of happiness masyarakat Bandung salah satunya dengan acara ini. Seru ya punya program begini. Pemerintah dulu-dulu mana kepikiran mau ngebahagiain penduduknya. Moga-moga program ini maju terus, konsisten, dan dijauhkan dari orang-orang jahat. Amin.

Kalau buat saya, pemerintahan baru dibawah pimpinan Ridwan Kamil kayak menumbuhkan harapan lagi. Seperti ada cahaya lagi. Kekurangan pasti ada. Lampu penerangan masih banyak yang mati, jalan bolong juga ada, pasar tradisional belum keurus. Tapi dibanding dengan yang dulu-dulu, wah jauh sekali bedanya. Tiga bulan masa pemerintahan Ridwan Kamil kemajuannya lebih banyak daripada masa pemerintahan 10 tahun Dada Rosada.

Memang ada orang-orang yang maruk dan jahat kayak Dada Rosada, sampai saya mikir mau jadi apa kota ini ya. Tapi kita juga ternyata bisa berpegangan erat sama-sama dengan Pak Walikota yang sekarang, ikut merubah Bandung jadi kota yang nyeni, bersih, dan membahagiakan. Pelan-pelan sih pasti prosesnya. Tapi mimpi itu harusnya bisa terwujud.

Ih saya lebay banget gak sih nulis begini. hahaha :D maap-maap ya kalau lebay.

Semoga di waktu berikutnya bakal ada lagi acara seperti ini. Atau sejenisnya. Tentu aja dengan perbaikan disana-sini. Kalau satu sudah jalan biasanya mudah membuat acara 'turunan'nya. Braga bukan satu-satunya jalan di Bandung. Kayaknya jalan-jalan lain mulai harus dihidupkan lagi. Sekaligus untuk memecah keramaian juga.

Sampai ketemu di acara-acara lain di Bandung ya :)




Foto-foto oleh Indra Yudha 

Kirab Cap Go Meh 2011, Seru Pisan!

07 January 2014

Catatan tahun 2011 yang saya simpan di Multiply, tapi portalnya tutup, tulisannya lenyap juga. Saya tulis ulang disini. 


Perayaan Kirab Budaya Tahun Baru Imlek alias Cap Go Meh tahun 2011 di Bandung adalah yang pertama kalinya sejak pemerintah Orde Baru melarangnya 44 tahun lalu. Jadi bagaikan bisul yang pecah, gunung yang meletus, sungai yang menjebol dinding, orang-orang keturunan Tionghoa yang merayakan Kirab Tahun Baru Imlek tumpah ruah di beberapa ruas jalan utama Bandung. Senyum mereka lebar-lebar, tawanya seluas angkasa. Selamat ya, kawan-kawan. Saya juga gak bisa ngebayangin seandainya saya dilarang merayakan Lebaran dan baru bisa menikmatinya secara terbuka setelah 44 tahun kemudian...



Perayaan tersebut mengakibatkan kemacetan yang panjang. Banyak pengendara yang mengumpat & mencaci entah pada siapa: polisi bisa jadi, orang-orang yang nonton juga mungkin, tapi gak tepat rasanya kalau memaki mereka yang merayakan Kirab Cap Go Meh.

Bukan orang-orang yang merayakan atau yang nonton Kirabnya yang salah. Ini mah pemerintah yang gak cerdas. Sudah tahu ini perayaan pertama kali setelah 50 tahun Kirab Cap Go meh dilarang. Tidak ada sosialiasi pengalihan lalu lintas sejak jauh hari. Pengumuman kurang banyak. Polisi sedikit. Ditambah acara openingnya telat satu jam karena apa? karena nunggu si Dada Rosada yang waktu itu masih jadi walikota perusak kota Bandung. Hohoho :D


Dalam bayangan saya, kemacetan dan lautan manusia pasti ada. Tapi nekad aja, ah. Badan saya fit siap menyelip diantara orang-orang, bawaan minim, kaki siap berlari, dan tentengan kami saat itu hanya kamera. Kami gak sibuk cetak-cetik sms, tidak update status, dan mengharamkan diri posting di twitter. Fokus pokoknya buat nonton Kirab Cap Go Meh. Kapan lagi bisa menyelam diantara haru biru bahagia mereka setelah 44 tahun dilarang merayakan Kirab Budaya Tahun Baru Imlek gitu loh :D

Di Kirab ini gak hanya ada Barongsai, masih banyak lagi simbol-simbol yang saya gak paham artinya dan maksudnya. Ada Liong, semacam ular dengan kepala naga, banyak tandu yang dipanggul beberapa orang termasuk wanita. Diatas tandu ada patung dan cara membawa tandu dengan dogayang-goyang ke kiri dan kanan. Semerbak wangi hio dimana-mana, bendera dan panji-panji berkibar gagah sepanjang kirab. 


Seru! Kunci ikutan acara ini adalah strategi manajemen waktu. Halah, lebay ya? hahaha. Tapi enggak kok. Kami datang saat acara belum mulai dan perut sudah kenyang. Kami sudah bergabung dengan pawai Barongsai di barisan terdepan saat keramaian mulai menyemut di bagian belakang. Jadi kami tidak terjebak lama dalam hiruk pikuk orang-orang.

Ini deh kayaknya Liong

Disana saya gerak dan gerak terus, sembari motret momen-momennya. Itu aja sih. Kalau diam di satu titik ibaratnya kerikil yang tergerus aliran sungai yang lagi deras, kebawa deh. Nah kami mah enggak. Ikutin arusnya sebaik mungkin saja. Kadang kami diam selama 10 menit, sering juga berlari-lari mengejar barongsai atau ikut dalam pawai anak-anak yang memegang lampion cantik.

Ah menyenangkan banget. Kebahagian yang pada merayakan kayak menular. Saya ikut seneng juga soalnya. Klimaksnya pada waktu barisan anak-anak memegang lampion mengeluarkan cahaya cantik sekali. Macam perawan berbusana rapi dan menawan yang jadi rebutan bujang di kampung saja, begitu. Hohoho. Saat itu waktu bergerak mendekati magrib. Langit biru sedikit mendung bersih dari kawanan awan. Cahaya dari lampion bikin apa ya, sentimentil, romantis, sendu, bahagia. Hehe :D


Klimaks kedua ada di depan gedung tua, bekas hotel Surabaya. Bangunannya klasik sementara kirab Cap Go Meh pertunjukkannya bersejarah dan cantik. Barongsai dan Liong menari-nari mempertontonkan sejarah. Saya gak bisa menggambarkan perasaan dengan baik. Terharu, sentimentil, tiba-tiba merasa jadi putri cina, sedetik kemudian kembali jadi rakyat jelata yang berlari-lari mengejar pawai Barongsai. Hehehe.

Seru!

Ada deh kayaknya tiga jam saya lari-lari, jongkok, jalan kaki, salaman sama Barongsai. Sadar-sadar sudah jam 8 malam saja. Perasaan waktu mulai ikut kirab masih pukul 5 sore.


Di tahun berikutnya, 2012 dan 2013, Kirab Budaya Cap Go Meh kembali digelar. Namun saya rasa pengalaman ikutan di tahun sebelumnya sudah cukup karena momennya sudah saya dapat. Jadi buat saya tidak ada yang spesial lagi. Buat yang mereka yang merayakan ya selalu istimewa :)

Kirab Cap Go Meh bisa kita lihat di banyak kota di Indonesia. Bandung, Bogor, Tegal, Singkawang, dan silakan google sendiri yak hahaha :P


Kalau ada yang bersyukur karena tidak datang ke Cap Go Meh 2011 dan senang karena tidak terjebak kemacetan manusia disana, nih saya kasihtau: YOU MISSED A LOT :P wajah-wajah haru biru bahagia yang ngerayain Kirab Cap Go Meh itu setimpal dengan apapun yang menghalangi saya disana. Dan itu tidak terjadi setiap hari, ibaratnya saya pas-pasan dengan komet Halley yang hanya muncul sekali dalam 76 tahun itu. Saya benci keramaian, sih. Kebanyakan manusia bikin pusing. Tapi buat yang satu ini mah beda, Cap Go Meh 2011 :)



ps:
1. info tentang Inpres no 14/1967 yang melarang perayaan Cap Go Meh bisa temen-temen baca
disini. Hatur nuhun temen saya, Adi Wiyono, yang ngasitau linknya :)
2. Kirab budaya Cap Go Meh memang baru dikasih ijin di Bandung taun 2011, beda-beda dengan kota lain. Surabaya atau beberapa kota pesisir yang kuat pengaruh hidup pecinannya lebih dulu merayakan Kirab budaya cap go meh secara terbuka daripada Bandung. Nah kalo perayaan Cap Go Meh-nya sendiri mah udah boleh dari taun 2001 setelah Inpresnya dicabut sama (Alm) Gusdur. 



Foto oleh Indra Yudha, tidak diedit hanya diresize :D

Harta Karun Bernama Yoghurt Cisangkuy

04 January 2014

Cisangkuy itu nama sungai di daerah selatan Bandung. Dia juga nama jalan yang lokasinya dekat dengan Gedung Sate. Jalan Cisangkuy. Jalan ini punya harta karun. Namanya Yoghurt Cisangkuy.

Frekuensi kedatangan saya ke tempat makan ini bisa dihitung sama satu tangan. Gak terlalu doyan makan-makan di tempat ini karena harganya yang menyentuh titik nadir isi dompet saya. Hohoho :D 

Perkenalan saya dengan Yoghurt Cisangkuy berawal dari ajakan teman. Kata dia menu Kentang-Sosis yang paling jagoan. "Sosisnya enak banget, Lu. Beda rasanya. Kayaknya dia buat sendiri, deh. Bukan sosis instan", tutur teman saya. Masalahnya temen saya ini jago masak. Jago pangkat sejuta, deh. Saya gak bisa gak setuju kalau makanan dia bilang enak. harus dicobain!

Saya makan deh kentang sosisnya. Rupanya memang benar ini menu legendaris. Menunya sudah ada sejak dulu kala saya belum lahir tahun 1985. Kalau dulu satu porsi bisa untuk mengisi perut dua orang, sekarang porsinya mengecil. Rasa masih sama. Harganya 24.000. 

Terakhir kali saya ke Yoghurt Cisangkuy malah tidak memesan Kentang-Sosis. Melainkan Surabi oncom dua porsi dan Surabi Keju Coklat dua porsi juga. Gak ketinggalan dong, yoghurtnya! Karena saya gak suka yang asam-asam, saya milih rasa Vanila. Harganya 15.000.

Surabi Keju Coklat. Surabi Oncom keburu masuk perut.
Enak, pakai tepung beras asli.

Lupa ga moto waktu yoghurtnya masih utuh :D

Yoghurt Cisangkuy tempatnya menyenangkan, sih. Homy karena pada dasarnya dia adalah rumah yang disulap jadi kafe sederhana. Memanfaatkan halaman depan, teras, garasi, sampai ke ruang tamu rumahnya. Rumahnya punya gaya jadul, gaya ala rumah Belanda, Bandung tempo dulu. 


Ada pohon besar yang menaungi halaman depannya. Teduh sekali. Sang pemilik kelihatannya menyukai tanaman. Hijau segar dimana-mana, soalnya. Seneng ya punya rumah yang halamannya begini :D 



Saya belum pernah lihat tempat ini sepi. Ramai melulu. Apalagi hari minggu. Tua muda, datang semua. Menunya macam-macam, dari yang modern rasa bule-bule sampai yang citarasanya lokal. Harga... buat saya sih tidak murah. Mahal, euum iya sih :DRecommended nih -walau saya tidak akrab dengan harga menu-menunya-. Setidaknya rasakan suasana makan dibawah pohon yang teduh atau didalam rumah tua yang antik dan cantik. Buat saya, pagi-pagi adalah waktu yang super cocok buat makan-makan di harta karunnya jalan Cisangkuy ini. 





Foto oleh Indra Yudha dan saya sendiri.

Bubur Terenak di Jalan Cibadak

03 January 2014

Makan pagi-pagi. 
Menunya bubur. 
Minumnya teh panas. 
Lokasinya di Bandung. 
Udaranya sejuk segar. 

Nih saya kasih rekomendasi bubur. Saya sudah mencoba beberapa bubur di Bandung, dari yang sekelas PKL sampai kelas restoran. Bubur dari hotel saja yang belum :D 

Bubur di jalan Cibadak (bagian barat) ini rasanya enak. Buburnya kental dan gurih. Konon waktu meramu buburnya, Mang Oleh mencampur telur didalamnya. Entah benar atau tidak, sumpah ini bubur tingkat kekentalannya bagus dan meluncur dengan baik di mulut juga di perut.


Namanya Bubur Maranti. Karena penjualnya bernama Mang Oleh, saya menyebutnya Bubur Mang Oleh. Mulai berjualan pukul enam pagi, katanya sih tutup jam sembilan. Tapi jam delapan pun sudah ludes buburnya. Kapan terakhir kali Mang Oleh membawa pulang dagangannya yang tak laku, ia pun tak ingat. Hebat ya :) habis terus!

Menurut saya, rasa makanan yang enak datang tidak hanya dari kejagoan seseorang memasak. Tapi juga tingkat kebersihan dan kesenangnnya membuat makanan tersebut. Mang Oleh punya tiga standar tadi: jago, bersih, dan senang membuatnya. Alhasil buburnya terasa tidak hanya selewat enak tapi juga membahagiakan yang memakannya. 


Bubur di Bandung punya topping potongan cakue dan ayam. Nah seporsi bubur Mang Oleh yang dihargai 7.500 ini suwir ayamnya banyak sekali. Berlimpah ruah. Ayamnya juga sama lezatnya dengan buburnya kalau dimakan terpisah. Teman makan setia makan bubur, kerupuk, juga rasanya tidak kalah nikmat dengan buburnya. Masing-masing komponen itu: ayam, cakue, kerupuk, tidak berdiri sendiri. Mereka, ibaratnya google V, bersatu membentuk kekuatan rasa yang super lezat. *halah,lebaytapibeneran*


Cobain ya! Dijamin standar rasa bubur yang sudah kamu tahu bakal rusak gara-gara bubur Mang Oleh.